• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SADD AL-DHARI’AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS SADD AL-DHARI’AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

SKRIPSI

Oleh:

VRIDA NUR KHOTIMA NIM. C02212047

Universitas Islam NegeriSunanAmpel FakultasSyari’ah danHukum JurusanHukumPerdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Dalam penulisan Skripsi ini penulis mengambil judul “Analisis Sadd Al-Dhari<’ah Terhadap Jual Beli Pesanan Makanan dengan Sistem Ngebon oleh

para Nelayan di Desa Brondong gang 6 Lamongan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana proses jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon makanan oleh para nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan? (2) Bagaimana analisis Sadd Al-Dhari<’ah terhadap jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebonoleh nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan?

Jenis penelitian ini adalah penelitian field research (penelitian lapangan). Dengan pendekatan deskriptif analitis. Dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara secara langsung yakni mengumpulkan data dengan cara mencatat hal yang menjadi sumber data dari hasil wawancara.

Hasil dari penelitian ini menjawab bahwa dalam prosesnya pembeli memesan makanan dengan menyebutkan pesanan yang diinginkan dan melunasi pembayarannya diwaktu akhir setelah pulang berlayar. Sedangkan dalam analisis Sadd Al-Dhari<’ah praktek ini termasuk hal yang dilarang, karena adanya pihak penjual yang telah dirugikan oleh pembeli yang ngebon dalam hal pembayarannya yang terlambat atau tidak bayar sama sekali.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ...vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistem Penulisan ... 19

BAB II SADD AL-DH>ARI<’AH, JUAL BELI PESANAN DAN UTANG (QARD}) A.Sadd Al- Dhari<’ah ... 21

1. Pengertian Sadd Al- Dhari<’ah... 21

(8)

a. Al-Quran ... 24

b. Hadis ... 26

c. Kaidah Fiqih ... 27

3. Macam-macam Sadd Al- Dhari<’ah ... 28

B.Jual Beli Pesanan (Istisna>’) ... 30

1. Pengertian Jual Beli Pesanan ... 30

2. Dasar Hukum Jual Beli Pesanan ... 34

a. Al-Quran ... 34

b. Hadis ... 36

c. Ijma’ ... 37

3. Perbedaan Antara Jual Beli al-Salam dan Istisna>’ .. 39

4. Rukun dan Syarat Jual Beli Pesanan ... 40

C.Utang (Qard{) ... 42

1. Pengertian Utang (Qard{) ... 43

2. Dasar Hukum Utang (Qard{) ... 44

a. Al-Quran ... 45

b. Hadis ... 45

c. Ijma’ ... 46

3. Rukun dan Syarat Utang (Qard{) ... 47

4. Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Qard} ... 47

BAB III DESKRIPSI TENTANG JUAL BELI PESANAN MAKANAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN A. Keadaan Wilayah Desa Brondong ... 49

1. Letak Geografis Desa Brondong ... 49

2. Keadaan Penduduk ... 52

3. Keadaan Sosial Agama ... 52

4. Keadaan Sosial Pendidikan... 52

(9)

B. Gambaran Kegiatan Proses Jual Beli Pesanan

Makanan Dengan Sistem Ngebon (Utang) Oleh Para

Nelayan Di Desa Brondong Gang 6 Lamongan ... 54

1. Dari Segi Penjual ... 54

2. Pembeli ... 57

3. Proses Pemesanan Makanan ... 57

4. Jenis Makanan ... 58

5. Harga Makanan ... 59

6. Ketentuan Pembayaran ... 59

BAB IV ANALISIS SADD AL-DHARI<’AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON A. Analisis tentang praktek jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon oleh para nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan ... 62

B. Analisis Sadd Al-Dhari<’ah tentang jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon oleh para nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan ... 67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 76

(10)

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah adalah sebagai makhluk sosial,

sehingga di dalam kehidupan sehari-hari perlu berhubungan dengan

manusia lain, sehingga setiap manusia saling membutuhkan satu sama

lain. Supaya mereka dapat saling tolong menolong, tukar menukar

kebutuhan dan keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup

masing-masing baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, pinjam

meminjam, bercocok tanam atau dalam hal yang lain, baik untuk

kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan atau kemanfaatan

umum dan kepentingan bersama.1

Allah menjamin rezeki seluruh makhluk hidup yang merangkak

di atas bumi, agama Islam menganjurkan umatnya untuk selalu

berusaha dan bekerja dalam berbagai aktivitas ekonomi guna

mencukupi kebutuhan hidupnya dan menjadikan usahanya sebagai

sebagian dari ibadah dan jihad.2 Dengan demikian manusia harus

bermuamalah dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan, untuk

kelancaran bersama bagi kepentingan pribadi maupun untuk

kepentingan kelompok.

Ketika manusia hanya mementingkan diri sendiri, tidak mau

tahu nasib orang lain yang memerlukan bantuan. Serta hanya untuk

1

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terjemah Kamaluddin A. Marzuki), Jilid 11, (Bandung:

PT Alma’arif, 1987), 19.

2

(11)

mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, maka yang akan

terjadi kekacauan dalam bermuamalah, oleh karena itu setiap individu

dituntut untuk mengetahui mana perkara yang diperbolehkan dan mana

yang diharamkan dalam melakukan aktivitas muamalah, misalnya

dalam melakukan perjanjian jual beli masing-masing pihak harus

mengetahui hak-hak dan kewajiaban yang harus dilaksanakan sesuai

kesepakatan bersama, sehingga dapat melindungi hak masing-masing

jangan sampai terabaikan dan untuk menjaga kemaslahatan umum

supaya aktivitas muamalat dapat berjalan dengan lancar. Agama Islam

memberi peraturan yang sebaik-baiknya, supaya dengan hadirnya

muamalat, sumber penghidupan manusia menjadi terjamin, terhindar

dari perselisihan dan permusuhan serta berpegang teguh pada al-Quran

dan hadis.

Seperti yang terjadi pada zaman sekarang ini, peran manusia

sebagai makhluk sosial untuk saling membantu sangatlah dibutuhkan,

terutama di dalam masalah ekonomi masyarakat. Karena melihat

kondisi masyarakat yang satu dengan yang lain sangatlah

berbeda-beda, pasti dibutuhkan antara mereka untuk saling menolong seperti

dalam hal kegiatan ekonomi seperti jual beli, kerjasama, pinjam

meminjam, atau utang piutang. Dalam memenuhi kehidupan

sehari-hari banyak dari masyarakat yang belum bisa memenuhi

kebutuhannya. Untuk itu kadang seseorang sering berhutang kepada

orang lain, baik berupa uang atau berupa barang yang akan dibayar

(12)

kesepakatan antara dua pihak yang bersangkutan. Dengan adanya

bantuan dari orang lain untuk saling tolong menolong timbullah

adanya utang piutang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang

mampu kepada masyarakat yang membutuhkan.

Menurut bahasa, kata qard} berarti al-qit}’u (cabang) atau

potongan. Dinamakan tersebut karena uang yang diambil oleh orang

yang meminjamkan memotong sebagian hartanya.3 Memberikan utang

adalah disunahkan, dan bagi orang yang melakukannya akan

mendapatkan pahala yang besar. Rasulullah bersabda:

اً َ َ اٍ َ اَ َ َ اَا َ اَ ِ اِْ َُ َ َ ا ً ْ َُ ا ً ِ ْ ُ اُ ِ ْ ُُ اٍ ِ ْ ُ اْ ِ ا َ

ا

Artinya: “Tiada seorang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslim dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu kali (HR Ibnu Majah).4

Hukum memberi utang adalah sunah karena mengandung

suatu kebaikan, yaitu menolong orang yang ditimpa kesukaran.

Menolong orang dalam keadaan seperti itu sangat dianjurkan oleh

agama.5 Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqara>h ayat 282.

 ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya

3

Sayyid Sabiq..., 181. 4

Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Alqazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 2,

(Beirut: Da>r al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt.), 812.

(13)

dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menuliskan.”6 (Q.S al-Baqara>h (2) : 282)

Memberikan utang merupakan amalan yang mulia yang jika

tujuannya untuk meringankan beban atau membantu orang dalam

kesulitan bukan dengan tujuan mengambil kesempatan atau manfaat

dari orang-orang yang berhutang.

Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan

andilnya kepada orang lain. Saling bermuamalah untuk memenuhi

hajat dan mencapai kemajuan dalam hidupnya. Dalam mencapai

setiap kemajuan dan tujuan hidup, diperlukan kerjasama dan gotong

royong antar sesama manusia, sebagaimana yang tertera dalam

Al-Quran surat al-Ma>idah (5) ayat 2 yang berbunyi:

ا

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”7 (Q.S Al-Ma>idah (5):2)

Setiap orang akan mengalami kesulitan dalam hidupnya jika

tidak bekerja sama dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial

seharusnya manusia saling berinteraksi antara orang satu dengan

orang yang lainnya. Untuk menjamin keselarasan dan keharmonisan

dalam dunia dagang dibutuhkan suatu kaidah, patokan atau norma

6

Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan terjemahnya, (Bandung: Sygma Publishing, 2011), 48.

7

(14)

yang akan mengatur perhubungan manusia dalam perniagaan yakni

hukum dan moralitas perdagangan. Islam dengan doktrinnya yang

penuh dinamika tidak mengabaikan aspek penting ini. Dalam studi

Islam didapati suatu bagiannya yang khas memperkarakan

masalah-masalah kebendaan dan harta kekayaan. Dalam ilmu fiqih didapati

kitab dan bab-bab yang membeberkan hukum jual beli dan berbagai

masalah dalam usaha perdagangan yang memerintah kepada saudagar

dan usahawan agar bersih dan jujur dalam usaha mereka.

Jual beli dan perdagangan memiliki permasalahan dan

liku-liku jika dilaksanakan tanpa aturan dan norma yang tepat, maka akan

menimbulkan bencana dan kerusakan dalam masyarakat. Dan salah

satu bentuk transaksi yang sering terjadi di masyarakat adalah al-ba’i

(jual beli). Terdapat beberapa ayat dan hadis yang menjelasakan

diperbolehkannya melakukan transaksi ini, seperti dijelaskan dalam

surat al-Baqara>h Ayat 275.

 mengharamkan riba.”8 (Q.S. al-Baqara>h (2): 275)

Salah satu bentuk dari muamalat yang disyariatkan oleh Islam

adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu bentuk ibadah dalam

mencari rizeki untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak akan

terlepas dari hubungan sosial. Jual beli yang baik sesuai syariat adalah

jual beli yang tidak mengandung unsur penipuan, kekerasan,

8

(15)

kesamaran, merugikan salah satu pihak dan riba. Salah satunya adalah

jual beli pesanan.

Sadd Al-Dhari<’ah ialah, mencegah sesuatu perbuatan agar tidak

sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan

menimbulkan mafsadah. Pencegah terhadap mafsadah dilakukan

karena ia bersifat terlarang.9 Sebagai contoh, pada dasarnya menjual

anggur adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan

yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang

akan mengolahnya , menjadi minuman keras menjadi terlarang.

Perbuatan tersebut terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah.

Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat

minuman keras, dan agar orang terhindar dari meminum minuman

yang memabukkan, dimana keduanya merupakan mafsadah.

Penggunaan media yang akan melahirkan kemaslahatan harus

didorong dan dianjurkan, karena menghasilkan kemaslahatan adalah

sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Sebagai contoh, dianjurkan

untuk membangun industri tekstil, karena hal itu akan menghasilkan

kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup auratnya.10

Sedangkan melihat keadaan masyarakat di daerah pesisir desa

Brondong yang mayoritas orang nelayan. Dengan berbagai jenis

nelayan yang ada di sana, ada nelayan mayangan, mancing, kursin.

Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan makan di warung secara

langsung ataupun pesan makanan di warung untuk para belah

9

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 236. 10

(16)

(anggota) nelayan tapi ngebon (utang) dalam sistem pembayarannya.

Karena nelayan juga banyak kegiatannya sebelum berangkat berlayar

ataupun setelah datang dari berlayar, makanya bisa 1 sampai 3 kali

pesan makanan tiap 1 juragan (pemilik kapal). Biasanya ketika makan

di warung ataupun pesan makanan juragan (pemilik kapal) bayar

semua makanan anggotanya itu setelah mereka pulang dari berlayar,

antara 10-20 harian barulah datang dari berlayar di laut. Jadi para

pembeli atau pemilik kapal membayar utang makan setelah mereka

datang berlayar, kadang juga ketika jurangan kapalnya sudah datang

belum juga untuk menyegerakan melunasi ngebonnya (utangnya),

sedangkan pemilik warung malu jika ingin meminta agar utangnya itu

segera dilunasi. Ada juga pemilik kapal yang sengaja tidak pernah ke

warung makan itu, padahal mereka punya tanggungan utang makanan

belahnya (anggotanya).11

Padahal dalam Islam jual beli pesanan itu ketika membayar

barang yang dipesan adalah waktu di awal tengah dan akhir sebelum

barang itu jadi. Namun, praktek yang terjadi disini adalah kebaikan

seorang penjual yang memberikan kebaikan dengan membolehkan

hutang tapi disalah gunakan oleh pembeli yang ngebon (utang) dalam

hal pembayarannya yang terlambat bahkan ada yang tidak membayar.

Hal inilah yang menjadi uniknya masalah ini penulis angkat. Makanan

yang dipesan sudah dinikmati tapi uang pembayarannya belum segera

dilunasi. Hal seperti ini bisa merugikan pemilik warung, walaupun

11

(17)

dengan adanya ngebon (utang) tadi bisa membantu pemilik kapal.

Namun adakalanya pemilik kapal menyalah gunakan kebaikan

pemilik warung dalam memberikan hutang tersebut.

Dari berbagai masalah yang disebutkan di atas, maka penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bagaimana proses jual

beli pesanan dengan sistem ngebon (utang) di desa Brondong gang 6

Lamongan ini.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka

dapat ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pesanan makanan oleh nelayan

2. Proses pesanan makanan dengan sistem ngebon oleh nelayan di

desa Brondong gang 6 Lamongan

3. Ketentuan pesanan makanan dengan sistem ngebon (utang)

para nelayan

4. Analisis Sadd Al-Dhari<’ah terhadap jual beli pesanan

makanan dengan sistem ngebon (utang) oleh nelayan di desa

Brondong gang 6 Lamongan

Melihat luasnya pembahasan tentang jual beli pesanan dengan

sistem ngebon (utang) dalam identifikasi masalah di atas, maka

(18)

1. Proses jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon

makanan oleh para nelayan di desa Brondong gang 6

Lamongan

2. Analisis Sadd Al-Dhari<’ah terhadap jual beli pesanan

makanan dengan sistem ngebon (utang) oleh nelayan di desa

Brondong gang 6 Lamongan

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana proses jual beli pesanan makanan dengan sistem

ngebon makanan oleh para nelayan di desa Brondong gang 6

Lamongan?

2. Bagaimana analisis Sadd Al-Dhari<’ah terhadap jual beli

pesanan makanan dengan sistem ngebon oleh nelayan di desa

Brondong gang 6 Lamongan?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang

kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah

yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan

dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari

kajian/penelitian yang telah ada.12

12

(19)

1. Pertama, penelitian Yuliansyah Rahman Satrida (2014),13 “

Analisis SaddAz|-Z|ari>’ah Terhadap Penggunaan Kartu Remi

Di Wonocolo Surabaya”. Penggunaan kartu remi di masyarakat

Wonocolo Surabaya memiliki dampak negatif bagi para

pengguna dan sebagian masyarakat sekitar yang ditimbulkan

oleh media tersebut. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan

bahwa hukumnya makruh dalam menggunakan kartu remi,

hendaknya masyarakat lebih menjauhi media hiburan seperti itu

dan untuk para pengguna kartu remi, alangkah lebih baiknya

apabila dalam memakainya tanpa harus menggunakan adanya

unsur uang.

2. Kedua, penelitian Yuni Eti Jayanti (2014),14 “Tinjauan

Maslahah Mursalah Terhadap Utang Piutang Padi Pada

Lumbung Desa Tenggiring Sambeng Lamongan”. Isi dari judul

skripsi ini adalah, bahwa praktik pelaksanaan utang piutang

padi pada lumbung desa di desa Tenggiring Sambeng

Lamongan, tidak sesuai dengan teori qard} (utang) dalam

hukum Islam. Karena dalam qard} tidak dibolehkan memberi

utang atau pinjaman dengan syarat tambahan saat

mengembalikannya. Sebab qard} adalah memberikan sebagian

13

Yuliansyah Rahman Satrida, “ Analisis Sadd Az|-Z|ari>’ah Terhadap Penggunaan

Kartu Remi Di Wonocolo Surabaya” (Skripsi— Prodi Muamalah Jurusan Ekonomi

Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya 2014), 75.

14Yuni Eti Jayanti, “Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Utang Piutang Padi Pada

Lumbung Desa Tenggiring Sambeng Lamongan” (Skripsi— Prodi Muamalah Jurusan

(20)

harta atau memberikan sesuatu untuk dikembalikan pada waktu

yang ditentukan dan dengan jumlah yang sama.

3. Ketiga penelitian Taufiq Hidayat (2006),15 “Tinjauan Hukum

Islam dan Hukum Perdata Terhadap Jual Beli Sistem Pesanan

Pada Perusahaan Kecap UD. Eka Usaha Tuban”. Hasil dari

penelitian ini adalah, proses jual beli sistem pesanan yang

dilakukan oleh UD. Eka Usaha Tuban dapat diketahui bahwa

pertama: pemesan membayar uang muka atau membayar

kontan kepada penjual, setelah transaksi selesai produk dikirim

oleh penjual. Kedua: pemesan menerima kiriman produk dulu,

setelah itu uang dibayar kontan. Jika pembayaran itu setengah,

maka wajib dilunasi 15 hari setelah barang dikirim. Ketiga:

pemesan menerima kiriman produk dulu, uang dibayar kontan

15 hari setelah barang dikirim. Sedangkan yang

melatarbelakangi terjadinya jual beli sistem di UD. Eka Usaha

Tuban adalah semakin banyak dan meningkatnya kecap.

Beberapa judul skripsi yang ada, sudah mengandung

perbedaan dengan judul skripsi yang akan saya angkat. Karena

judul skripsi saya berisi tentang jual beli pesanan makanan

dengan sistem ngebon yang akan dianalisis dari segi Sadd

Al|-Dhari<’ah di warung makan di desa Brondong gang 6

Lamongan.

15

Taufiq Hidayat, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Perdata Terhadap Jual Beli

(21)

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai

tujuan:

1. Untuk mengetahui tentang proses jual beli pesanan makanan

dengan sistem ngebon (utang) oleh nelayan di desa Brondong

gang 6 Lamongan

2. Untuk mengetahui tentang analisis Sadd Al-Dhari<’ah

terhadap jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon

(utang)oleh nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat,

sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:

1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan dari segi Sadd Al-Dhari<’ah tentang kegiatan

jual beli pesanan dengan sitem ngebon (utang) oleh nelayan di

warung makan di desa Brondong gang 6 Lamongan

2. Aspek Praktis

Hasil dari penelitian ini sebagai referensi serta memberikan

penjelasan bagi masyarakat umumnya tentang pandangan

(22)

dengan sitem ngebon (utang) oleh nelayan di desa Brondong

gang 6 Lamongan

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah deretan pengertian yang yang

dipaparkan secara gamblang untuk memudahkan dalam permbahasan

ini diantaranya:

1. Sadd Al-Dhari<’ah

Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung

kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).16

Sebuah kebaikan yang dimiliki oleh pemilik warung yang telah

disalah gunakan oleh pembeli yang telah berhutang.

2. Jual Beli Pesanan Makanan (Istisna>’)

Akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan

atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu. Jual beli

pesanan makanan yang tidak hanya sekedar pesan, tapi ada juga

yang makan di tempat tapi bayarnya utang.

3. Ngebon

Ngebon atau sama saja dengan utang atau hutang, yang

biasanya terjadi di kalangan masyarakat.

4. Desa Brondong

Adalah salah satu desa dari kecamatan Brondong kabupaten

Lamongan yang berada di daerah pesisir pantai utara laut Jawa.

H. Metode Penelitian

16Rachmat Syafe’i,

(23)

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field

research). Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data

yang diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian kualitatif. Agar

penulisan skripsi ini dapat tersusun dengan benar, maka penulis

memandang perlu untuk mengemukakan metode penulisan skripsi ini

yaitu sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Dengan melihat persoalan di atas, maka data yang akan

digali meliputi:

a. Data yang berkaitan dengan proses jual beli pesanan

makanan dengan sistem ngebon.

b. Data tentang Sadd Al-Dhari<’ah yang berkaitan dengan

jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon (utang).

2. Sumber Data

Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang

menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Sumber data primer di sini adalah sumber data yang

diperoleh secara langsung dari subyek penelitian. Dalam

penelitian ini sumber data primer adalah:

1) Penjual makanan

2) Pembeli yang ngebon (utang) makanan

3) Pembeli yang makan tapi tidak ngebon (utang)

(24)

Data ini bersumber dari buku-buku, catatan-catatan

dokumen tentang apa saja yang berhubungan dengan

masalah kegiatan jual beli pesanan dengan sistem ngebon.17

Adapun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah

tersebut diantaranya:

1) Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih

2) Satria Effendi, Ushul Fiqh

3) Rachmat Syafie, Fiqih Muamalah

4) Rahman Abdul Ghazaly DKK, Fiqh Muamalat

5) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam

6) Fiqih Sehari-hari, Fiqih Sehari-hari

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian

adalah mendapatakan data.18 Tanpa mengetahui teknik

pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi atau pengamatan yakni suatu penggalian

data dengan cara mengamati gejala yang diteliti. Dalam

hal ini panca indera manusia (penggelihatan dan

17

Moleong J Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 112-113.

18

(25)

pendengaran) diperlukan untuk menangkap gejala atau

hal yang diamati. Apa yang ditangkap tadi, dicatat dan

selanjutnya catatan tersebut dianalisis.19 Jadi mengamati

proses kegiatan jual beli pesanan makanan dengan

sistem ngebon (utang) secara langsung.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam

penelitian yang berlangsung secara lisan dengan dua

orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara

langsung informasi-informasi atau keterangan.20

Apabila wawancara bertujuan untuk mendapatkan

keterangan atau untuk keperluan informasi maka

individu yang menjadi sasaran wawancara adalah

informan. Pada wawancara ini yang penting adalah

memilih orang-orang yang tepat dan memiliki

pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui.21

Dalam hal ini penulis akan terjun ke lapangan yakni di

desa Brondong gang 6 Lamongan dengan

mewawancarai pembeli, orang pembeli yang ngebon

(utang) makan, orang pembeli yang makan tapi tidak

ngebon (utang).

c. Studi Dokumen

19

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), 70. 20

Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodelogi Penelitian, Cetakan kesepuluh (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 83.

21

(26)

Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk

memperoleh data dari buku dan bahan mengenai

penelitian yang pernah dilakukan.22 Studi dokumen ini

adalah salah satu cara pengumpulan data yang

digunakan dalam suatu penelitian sosial. Pengumpulan

data tersebut dilakukan guna memperoleh sumber data

primer dan sekunder, baik dari kitab-kitab, buku-buku,

maupun dokumen lain yang berkaitan dengan

kebutuhan penelitian. (studi dokumen merupakan suatu

data yang kita kumpulkan ketika telah meneliti di suatu

desa tersebut: misalnya data penduduk desa tersebut,

mata pencaharian dan seterusnya)

4. Teknik Pengolahan Data

Maka dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan

sebagai berikut:

1. Organizing adalah suatu proses yang sistematis dalam

pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk

tujuan penelitian. 23

2. Editing adalah kegiatan pengeditan akan kebenaran dan

ketepatan data tersebut. 24

22

Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, (Jakarta: UI Press, 1986), 201.

23

Sony Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 89.

24

(27)

3. Coding adalah kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa

data yang relevan dengan tema penelitian agar lebih

fungsional. 25

5. Metode Analisis Data

Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun,

kemudian menganalisisnya dengan menggunakan metode

deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu menggambarkan

atau menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya yang sesuai

dengan kenyataannya.26 Dengan mengumpulkan data tentang

jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon (utang) oleh

nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan yang disertai

analisa untuk mengambil kesimpulan. Penulis menggunakan

teknik ini karena ingin memaparkan, menjelaskan dan

menguraikan data yang terkumpul kemudian disusun dan

dianalisa untuk diambil kesimpulan.

Pola pikir yang dipakai adalah induktif yaitu merupakan

metode yang digunakan untuk mengemukakan fakta-fakta atau

kenyataan dari hasil penelitian di desa Brondong gang 6

Kabupaten Lamongan, kemudian ditinjau dari segi Sadd Al-

Dhari<’ah.

25

Ibid., 99. 26

(28)

I. Sistem Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami hasil penelitian ini, maka

penulis menganggap perlu untuk mensistematisasikan pembahasan

dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bab Pertama: Pendahuluan dalam bab ini peneliti memaparkan

seluruh isi penelitian secara umum yang terdiri dari: latar belakang,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab Kedua: merupakan deskripsi tentang pengertian Sadd

Al-Dhari<’ah, macam-macam Sadd Al-Dhari<’ah, kehujjahan Sadd

Al|-Dhari<’ah. Pengertian jual beli pesanan, dasar hukum jual beli

pesanan, rukun dansyarat jual beli pesanan, hikmah jual beli pesanan.

Pengertian qard}, dasar hukum qard}, rukun dan syarat qard}, hikmah

dan manfaat disyariatkan qard.

Bab Ketiga: Dalam bab tiga ini berisi tentang hasil penelitian

proses jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon (utang) oleh

nelayan. Dalam sub bab ini dibahas letak geografis, letak demografis,

keadaan pendidikan, keadaan sosial, keadaan ekonomi dan gambaran

kegiatan proses jual beli pesanan makanan dengan sistem ngebon

(utang) oleh para nelayan di desa Brondong gang 6 Lamongan.

Bab Keempat: Merupakan kajian analisis atau jawaban dari

(29)

proses jual beli pesanan makanan dengan sitem ngebon (utang) oleh

para nelayan. Serta analisis Sadd Al-Dhari<’ah terhadap proses jual

beli pesanan makanan dengan sitem ngebon (utang) oleh para nelayan

di desa Brondong gang 6 Lamongan.

(30)

BAB II

SADD AL-DHARI<’AH, JUAL BELI PESANAN DAN UTANG

(QARD})

A. Konsep Sadd Al-Dhari<’ah

1. Pengertian Sadd Al-Dhari<’ah

Dilihat dari segi bahasa kata

ِ َ ْر َلا ْلَ

terdiri dari dua kata,

yaitu

َلَ

artinya menutup dan kata

ِ َ ْر ِ َلا

berarti wasilah atau

jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian Sadd al-Dhari<’ah

secara bahasa berarti “ menutup jalan kepada suatu

tujuan.1Maksudnya yaitu menutup jalan yang tujuannya menuju

kepada kerusakan.Sesuai dengan tujuan syara’ menetapkan

hukum para Mukallaf, agar mencapai kemaslahatan dan

menjauhkan diri dari kerusakan.2Akan tetappi pendapat

tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya

Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah yang menyatakan bahwa

al-Dhari<’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang,

tetapi ada juga yang dianjurkan.Dengan demikian, lebih tepat

lagi jika Sadd al-Dhari<’ahdibagi menjadi dua, yaitu Sadd

al-Dhari<’ah(yang dilarang) dan Fath al-Dhari<’ah (yang

dianjurkan).3 Pengertian Sadd al-Dhari<’ah, menurut Imam

Asy-Syatibi adalah:

1

Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 172. 2

Masykur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 116. 3Rachmat Syafe’i,

(31)

ٍ َ َ ْ َ َ ِ ٌ َ َ ْ َ َ ُ َِ ُ ُ َ اَل َ

Artinya:“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada

suatu kerusakan (kemafsadatan).”4

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd

Al-Dhari<’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang

sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan

suatu kerusakan. Sadd al-Dhari<’ah diartikan sebagai upaya

mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus

hukum yang pada dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan

untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.

Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqih, Sadd al-Dhari<’ah

dibagai menjadi dua: Sadd al-Dhari<’ah (yang dilarang) dan

fath al-Dhari<’ah (yang dianjurkan).5Meskipun Sadd

al-Dhari<’ah dapat berarti Sadd al-Dhari<’ahdan fath

al-Dhari<’ah, namun dikalangan ulama’ ushul fiqih, jika kata

Sadd al-Dhari<’ah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk

kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk

menunjuk pengertian Sadd al-Dhari<’ah.

Yang dimaksud dengan Sadd al-Dhari<’ah ialah,

mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan

al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan

4

Ibid. 5

(32)

mafsadah.6Pencegah terhadap mafsadah dilakukan karena ia

bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya menjual

anggur adalah mubah (boleh), karena anggur adalah

buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual anggur

kepada orang yang akan mengolahnya ,menjadi minuman

keras menjadi terlarang. Perbuatan tersebut terlarang, karena

akan menimbulkan mafsadah. Larangan tersebut untuk

mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan

agar orang terhindar dari meminum minuman yang

memabukkan, dimana keduanya merupakan mafsadah.

Adapun yang dimaksud dengan fath al-Dhari<’ah adalah

kebalikan darisadd al-Dhari<’ah yaitu, menganjurkan media

atau jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang dapat

menimbulkan al-mashlahah (kemanfaatan atau kebaikan), jika

ia akan menghasilkan kebaikan. Penggunaan media yang akan

melahirkan kemaslahatan harus didorong dan dianjurkan,

karena menghasilkan kemaslahatan adalah sesuatu yang

diperintahkan dalam Islam. Sebagai contoh, dianjurkan untuk

membangun industri tekstil, karena hal itu akan menghasilkan

kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup auratnya.7

Sebagai objek hukum syara’, perbuatan yang al-Dhari<’ah

berperan sebagai jalan, media atau perantara untuk mencapai

tujuan hukum, dapat diberi predikat salah satu hukum takli>fi>

6

Ibid. 7

(33)

yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Suatu perbuatan yang menjadi media untuk menimbulkan

sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula hukumnya; sesuatu

yang menjadi media untuk menimbulkan sesuatu yang sunnah,

menjadi sunnah pula hukumnya; demikian seterusnya. Dengan

kemaslahatan, diperintahkan. Sebaliknya, suatu perbuatan yang

menjadi media menimbulkan mafsadah, maka ia dilarang.

Sebagai gambaran untuk memahami Sadd al-Dhari<’ah

dapat diilustrasikan dari pepatah yang mengatakan: “lebih baik

mencegah dari pada mengobati” pepatah ini dapat kita pahami

bahwa mencegah itu relatif lebih mudah dan tidak memerlukan

biaya besar. Adapun mengobati resikonya lebih besar dan

membutuhkan waktu serta biaya yang tidak sedik\it.Hukum

Islam dibangun atas dasar mencari maslahat dan menolak

madarat.Untuk mencapai dua hal tersebut, maka diperlukan

antisipasi dan usaha.8

2. Dasar Hukum Sadd Al-Dhari<’ah

Di dalam ruang lingkup Sadd al-Dhari<’ah, tidak ada dalil

yang jelas dan pasti menurut nas} maupun ijma ulama tentang

boleh tidak dalam menggunakannya. Namun demiian, ada

beberapa nas} yang mengarah kepadanya, baik al-Quran

maupun As-Sunnah, juga kaidah fiqh, diantaranya yakni:

8

(34)

a. Al-Quran batas tanpa pengetahuan. (QS. al-An’a>m (6): 108)9

Maksud dari penjelasan ayat di atas ialah pada

haikatnya memaki-maki sembahan kaum musyrikin itu

boleh. Namun, akan berdampak fatal jika kaum musyrikin

itu memaki-maki Allah SWT beserta agamanya. Karena

itulah, sebelum terjadinya balasan caci maki itu dilakuan,

maka larangan mencaci maki tuhan terhadap agama lain

maupun sebaliknya merupakan tindakan preventif.

 

  Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Ra>a'ina>", tetapi Katakanlah: "Unzhurna>", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqa>rah (2) :104)10

Penjelasan pada al-Baqarah ayat 104 di atas, dapat

dipahami bahwasannya suatu dampak negatif itu

akanterjadia pabila melakukan perbuatan yang

dikhawatirkan dapat menyebabkan pelanggaran jika

9

Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan terjemahnya, (Bandung: Sygma Publishing, 2011), 141.

(35)

melakukannya. Kata ra>’ina> berarti “sudilah kiranya

kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat

menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi

pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina

Rasulullah SAW.mereka menggunakannya dengan maksud

kata ra>’ina> sebagai bentuk isim fail dari masdar kata

ru’u>nah yang berarti bodoh atau tolol.11

b. Sunnah

Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk diatara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.”

Beliau kemudian ditanya, :Bagaiamana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau

kemudian menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki

ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.12

Hadis tersebut menurut ulama fiqh Ibnu Tamiyyah

dalam Nasrun Haroen.Menunjukkan bahwa Sadd

al-Dhari<’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan

hukum syara’ karena sabda rasulullah di atas masih bersifat

dugaan, namun atas dasar dugaan ini Rasulullah SAW

11

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, 26. Dalam kitab Digital al-Maktabah asy- Sya>milah, versi 2.09.

12

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukha>ri al-Ja’fi, al-Jami>’ ash-Sha>hih al-

(36)

melarangnya.13 Para ulama ushul fiqih memandang Sadd

al-Dhari<’ahada dua sisi:

1) Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang

melakukan sesuatu pekerjaan, baik bertujuan untuk

yang halal maupun yang haram. Seperti seseorang yang

menikahi seorang wanita yang telah dicerai suaminya

sebanyak tiga kali, dengan tujuan agar wanita itu boleh

menikah kembali oleh suami pertamanya. Pada dasarya

nikah menurut Islam dianjurkan, tetapi motivasinya

mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan

Islam, maka nikah seperti ini dilarang.

2) Dari sisi suatu perbuatan seseorang yang membawa

dampak negatif misalnya, seorang muslim mencaci

maki sesembahannya kaum musyrik. Niatnya mungkin

untuk menunjukkan kebenaran aqidahnya yang

menyembah Allah yang Maha Benar. Tetapi akibat

caciannya ini bisa membawa dampak negatif yang

lebih buruk lagi yaitu munculnya cacian yang serupa

atau lebih dari itu maka perbuatan ini dilarang.14

c. Kaidah Fiqh

ٌ َ َ َ ُهََ ِ َ َْا َ ِ َ َ َ

Artinya: Apa yang membawa kepada yang haram

maka hal tersebut juga haram hukumnya.15

13

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos. 1996), 164. 14Elkafilah, “Kehujjahan

Sadd Az|-z|ari>’ah” dalam, http://elkafilah.wordpress.com,/ artikel (diakses pada 6 Mei 2016).

15

(37)

ِ ِ َ َ ْ ِ ْ َ َ َ ٌ ا َ ُ ِ ِ َ َ ْ ُ ْ َ

Artinya: Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.16

Dari kaidah diatas adalah bahwa melarang segala

perbuatan dan perkataan yang dilakukan mukallaf yang

dilarang syara’ terkadang menyampaikan dengan sendirinya

kepada kerusakan tanpa perantara, seperti zina, pencurian,

dan pembunhan. Namun terkadang tidak menyampaikan

dengan sendirinya, tetapi dia menjadi wasilah kepada

sesuatu yang lain yang menyampaikan kepada kerusakan

tersebut, seperti khalwat yang menjadi sebab terjadiya

percampuran keturunan, tetapi dia menjadi perantara

kepada zina yang menimbulkan kerusakan.17

3. Macam-Macam Sadd Al-Dhari<’ah

Para ahli ushul fiqih membagi Sadd al-Dhari<’ah menjadi

empat kategori.Pembagian ini mempunyai signifikasi manakala

dihubungkan dengan kemungkinan membawa dampak negatif

(mafsadah) dan membantu tindakan yang telah diharamkan.

Adapun pembagian itu adalah sebagai berikut:18

a. Sadd al-Dhari<’ah yang secara pasti dan meyakinkan akan

membawa kepada mafsadah. Misalnya menggali sumur

ditengah jalan umum yang situasinya gelap. Terhadap Sadd

16Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 134. 17

T.m. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), 322.

18

(38)

al-Dhari<’ahsemacam ini, para ushul fiqh telah bersepakat

menetapkan keharamannya.

b. Sadd al-Dhari<’ah yang berdasarkan dugaan kuat akan

membawa kepada mafsadah. Misalnya menjual buah

aAnggur kepada orang yang biasa memproduksi minuman

keras. Terhadap Sadd al-Dhari<’ah semacam ini, para ahli

ushul fiqh juga telah bersepakat menetapkan

keharamannya.

c. Sadd al-Dhari<’ah yang jarang atau kecil kemungkinan

kepada mafsadah, seperti menanam dan membudidayakan

tanaman Anggur. Terhadap Sadd al-Dhari<’ah semacam

ini , para ahli ushul fiqh telah bersepakat menetapkan

kebolehannya.

d. Sadd al-Dhari<’ah yang berdasarkan asumsi biasa (bukan

dugaan kuat) akan membawa kepada mafsadah

(kerusakan). Misalnya, transaksi jual beli secara kredit.

Berdasarkan asumsi biasa, transaksi demikian akan

membawa kepada mafsadah terutama bagi debitur.

Mengenai Sadd al-Dhari<’ah semacam ini. Para ulama

berbeda pendapat. Ada yang berpendapat perbuatan harus

dilarang atau menjadi haram atas dasar Sadd al-Dhari<’ah,

dan ada juga yang berpendapat sebaliknya.

Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang

(39)

a. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung

kerusakan.

b. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemash}lahatan

c. Perbuatan yang diperbolehkan syara’ mengandung lebih

banyak unsur kemafsadatannya.

B. Jual Beli Pesanan (Istisna>’)

1. Pengertian Pesanan (Istisna>’)

Dalam fiqih dikenal dengan namaal-istisna>/ al-sala<m

atau salaf. Secara harfiah, kedua kata memiliki makna yang

sama, mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan barang.

Bedanya al-istisna>/ al-sala<mBedanya al-sala<m/istisna>’

digunakan oleh orang-orang hijaz, sedangkan al-salaf

digunakan oleh orang-orang Irak. Bukti bahwa kedua kata ini

bermakna sama adalah digunakannya kedua kata ini dalam

hadis Nabi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ketika

membicarakan akad bai’sala<m/bai’istisna>’. Sehingga kedua

kata tersebut merupakan kata yang sinonim (dua kata bermakna

sama tetapi berlainan bentuk).19

Ada beberapa pengertiantentang jual beli pesanan. Secara

terminologi,definisi jual beli pesanan sebagai berikut:

Sejalan dengan mazhab Syafi’i mazhab Hanafi pun

memberikan pengertian yang sama, bahwa jual beli pesanan

adalah suatu perjanjian dimana penjual membeli barang setelah

19

(40)

membayar kontan atas barang yang telah dibelinya. Definisi

tentang jual beli pesanan yang diberikan oleh Malikiyah adalah

penguat dari definisi yang diberikan oleh mazhab Syafi’i dan

mazhab Hanafi. Akad Akad al-sala<m atau al-salaf adalah

salah satu bentuk jual beli di mana uang harga barang

dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum

ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan

pada waktu perjanjian dibuat.20

Berangkat dari hal itu semua, Islam bersikap lebih

longgar dalam masalah hukum pada muamalah. Hukum Islam

memberikan ketentuan bahwa pada dasarnya hukum dalam

bermuamalah itu mubah, hingga ada dalil atau nash yang

mengharamkannya.21Berbeda dengan ibadah adalah haram,

kecuali ada perintah atau tuntunan yang menganjurkan

perbuatan ibadah tersebut.

Sementara definisi dari jual beli akad istisna>’ itu

sendiri adalah: suatu pengembangan prinsip bai’as-sala<m,

dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudian hari,

sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau

ditangguhkan.22 Jual beli sala<m dan istisna>’ sebenarnya jual

beli yang serupa, perbedaannya terletak pada cara

pembayarannya yang sedikit berbeda. Pembayaran pada

20

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), 243. 21

Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Darul Fikr: Damsyiq, 1986), 88. 22

(41)

sala<m dilakukan dimuka,23 sementara istisna>’ bisa di depan,

dipertengahan atau bahkan ketika penyerahan barangnya atau

juga pembeyaran bisa berupa cicilan. Jual beli sistem pesanan

merupakan teknik jual beli yang sering terjadi dalam kehidupan

sehari-hari.

Bai’istisna>’ merupakan kontak penjualan antara

penjual dan pembeli. Pembuat barang lalu berusaha

membuatkan barang yang telah disepakati dan juga bersepakat

atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran

dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai

waktu pada masa yang akan datang.24

Dalam fatwa DSN No. 06/DSN/MUI/IV/2000

dijelaskan bahwa jual beli istisna>’ adalah akad jual beli dalam

bentuk pemesanan pembuat barang tertentu dengan kriteria dan

persyaratan tertentu disepakati antara pemesan

(pembeli/mustasni’) dan penerima pesanan (penjual/ sani’).25

Secara teknis, istisna>’ bisa diartikan akad bersama

produsen untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan,

atau jual beli suatu barang yang akan dibuat oleh produsen

yang juga menyediakan bahan bakunya. Sedangkan jika bahan

23

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam: dan Kedudukannya dalam Tata Hukum, (Jakarta: Pt. Pustaka Utama Grafiti, 1999), 68.

24Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: dari Teori ke Praktik

, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 113.

25

(42)

bakunya dari pemesan, maka akad itu akan menjadi akad

ijara>h(sewa), pemesan hanya menyewa jasa produsen untuk

membuat barang.26

Maka dari berbagai definisi dan pemaparan di atas,

sudah jelas bahwa jual beli istisna>’ adalah akad antara penjual

dan pembeli dimana penyerahan barangnya tergantung pada

waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak serta proses

pembayarannya bisa dimuka, cicilan atau bahkan pada waktu

penyerahan barang itu berlangsung.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

bai’istisna>’ adalah akad jual beli antara pemesan (mustasni’)

dengan penerima pesanan (sani’) atas sebuah barang dengan

spesifikasi tertentu (masnu’). Spesifikasi dan harga barang

pesanan haruslah sudah disepakati pada awal akad, sedangkan

pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan atau

ditangguhkan sampai waktu pada masa yang akan datang ketika

barang itu sudah jadi.

2. Dasar Hukum Jual Beli Pesanan

Islam adalah agama yang rahmatan lil „alamin.Tentu saja

mengatur berbagai macam tindak-tanduk manusia, terutama

dalam masalah jual beli.Seperti dalam masalah jual beli sistem

26

(43)

pesanan bai’Sala<m, tentu juga mempunyai landasan hukum

yang jelas dalam al-Qur’an, al-Hadis maupun ijma’

ulama.Maka landasan hukum (al- Qur’an dan al-Hadis) dari

jual beli sistem pesanan di sini, semuanya mengacu pada

landasan hukum pada bai’Sala<m, kecuali pada landasan

ijma’nya.

a. Al-Quran

Al- Qur’an memberikan gambaran secara global, termasuk juga dalam masalah jual beli dengan pesanan. Dalam surat al-Baqara>h ayat 282 Allah berfirman:

  

   

 

 

   

  

  

 

   



 



(44)

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis

enggan menuliskannya sebagaimana Allah

mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah: 282)27

b. Hadis

Selain dalam al-Qur’an, hadis juga merupakan

sumber hukum di dalam agama Islam yang

kedudukannya merupakan sumber hukum kedua setelah

al-Qur’an yang masih bersifat umum. Maka untuk

membantu menjelaskan ayat al- Qur’an yang masih

bersifat umum, penulis juga merasa penting untuk

27

(45)

mengutip beberapa hadis yang berkaitan dengan

masalah jual beli sistem pesanan di atas.

ِْ ِ َك ُ ْبُ ا َُ َ ََ ا َ

Ishak dari seorang Najrani dari Ibnu Umar, “bahwa

sesungguhnya ada seseorang yang melakukan akad salaf/sala<m (istisna>’) dengan orang lain pada kurma akan tetapi kurma tersebut tidak nampak buahnya selama satu tahun. Kemudian mereka berdua mengadu kepada Nabi, Nabi bertanya

“bagaimana proses transaksi barang tersebut?

Kembalikan barang tersebut! Kemudian Rasulullah

bersabda “janganlah kalian melakukan akad

salaf/sala<m (istisna>’) pada kurma samapai orang-orang sedang melakukan akad istisna>’ pada kurma selama 1-2 tahun. Kemudian beliau

bersabda “barang siapa melakukan akad istisna>’ pada kurma hendaknya harus dengan takaran tertentu dan timbangannya diketahui

(dalam satu riwayat pada waktu tertentu)”. (HR.

Bukhari Muslim)29

28

Abi Dawud Sulaiman ibn al-As’asy al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abi Da>wud, Juz. 3,

(Kairo: Dar al Hadis, 1993), 1476. 29

(46)

c. Ijma’

Menurut madzhab Hanafi, bai’istisna>’termasuk

akad yang dilarang karena secara qiyasi (prosedur

analogi) bertentangan dengan semangat bai’ (jual beli)

dan juga termasuk bai’ma’dum (jual beli barang yang

masih belum ada). Dalam bai’, pokok kontrak penjualan

harus ada dan dimiliki oleh penjual. Sementara dalam

istisna>’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak

dimiliki penjual. Meskipun demukian, mazhab Hanafi

menyetujui kontrak istisna>’ atas dasar istisa>n

(menganggapnya baik karena alasan berikut) ini:

a. Masyarakat telah mempraktikkan bai’istisna>’

secara luas dan terus menerus tanpa ada

keberatan sama sekali. Hal inilah yang melatar

belakangi perbedaan ulama dalam menghukumi

bai’istisna>’.

b. Di dalam syariah, dimungkinkan adanya

penyimpangan terhadap qiyas, dan hal ini telah

menjadi konsensus ulama (sudah ijma’).

c. Keberadaan bai’istisna>’ didasarkan atas

kebutuhan masyarakat. Banyak orang

memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar,

(47)

sehingga mereka cenderung melakukan kontrak

agar orang lain membuatkan barang yang

diperlukan tersebut.

d. Bai’istisna>’ sah sesuai dengan aturan umum

mengenai kebolehann kontrak selama tidak

bertentangan dengan nas}h atau aturan syaraiah.

Sebagian pakar fiqh kontemporer berpendapat,

bahwa bai’istisna>’ hukumnya sah atas dasar qiyas

aturan umum syariah sebab istisna>’ termasuk jual

beli biasa, yakni: penjual memilikikemampuan

menyediakan barang pada saat penyerahan. Juga,

kemungkinan terjadi perselisihan mengenai jenis

kualitas barang dapat diminimalisir apabila

dicantumkan kriteria, ukuran-ukuran, serta bahan

material pembuatan barang tersbut ini.30

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam

Ahmad, bai’istisna>’ sah atas dasar sala<m dimana

landasan hukumnya serta syarat dan rukunnya

mengacu pada bai’sala<m.31

3. Perbedaan Antara Jual Beli al-Sala<m dan Istisna>

Akad al-sala<m mempunyai beberapa kesamaan dan

perbedaan dengan akad istisnā’. Maka untuk lebih memperjelas

30

Nur Dumairi, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2007), 63. 31

(48)

perbedaan tersebut, penulis akan memaparkan beberapa

perbedaan-perbedaan antara akad antara sala<mdan istisnā’.

Berikut beberapa perbedaannya:

a. Barang yang dijual dalam sala<m berupa dain

(tanggungan), sedangkan dalam istisnā’ berupaain (benda/

barang).

b. Dalam sala<m, kebanyakan ulama mensyaratkan harus ada

jangka waktu antara akad dan penerimaan barang yang

dipesan, kecuali menurut Madzhab Syafi’i, sementara di

dalam istisnā’ tidak boleh ada jangka waktu.

c. Akad al-sala<m berkonsekwensi lazim (tidak boleh

menggagalkan akad), sedangkan didalam istisnā’

diperbolehkan khiyar, kecuali pendapat Abu Yusuf yang

menyatakan tidak boleh ada khiyar dengan alasan dapat

merugikan sani’ jika diperbolehkankhiyar.32

d. Dalam sala<m, ra’sal-māl (pembayaran) harus diserahkan

seluruhnya di waktu terjadinya transaksi, sementara di

dalam istisnā’ boleh menyerahkan ra’s al-māl sebagian

atau tidak sama sekali di waktu terjadinya akad, dan inilah

perbedaan yang paling mencolok antara al-sala<m dan

istisnā’.

32

(49)

e. Akad sala<m boleh menggunakan sesuatu yang biasa

dibuat transaksi atau tidak biasa dibuat transaksi, sedangkan

di dalam istisnā’ hanya tertentu pada sesuatu yang biasa

dibuat transaksi.

4. Rukun dan Syarat Jual Beli Pesanan

Dalam Islam, semua masalah baik itu masalah ubudiyah,

mu’malah, munakahat serta semua yang diatur didalam Islam

mempunyai satuan-satuan yang harus dipenuhi di dalamnya.

Kemudian unsur-unsur tersebut biasanya dalam istilah fiqih

disebut dengan rukun, dimana setiap rukun itu harus

dipenuhi.Jika salah satu rukun tidak dipenuhi, maka pekerjaan

tersebut menjadi batal (tidak sah).

Dalam masalah jual beli dengan sistem pesanan, di

dalamnya terdapatbeberapa rukun yang harus dipenuhi, yakni:

a. Pemesan/ pembeli (mustasni’)

b. Penjual/ pembuat (sani’)

c. Barang/ objek yang dipesan (masnu’)

d. Harga/ modal yang dibayarkan (ra’s al- māl)

e. Sighat Ijab Qabul

Istisna>’ menyerupai sala<m termasuk bai’ al-ma’dum

(jual beli barang yang tidak ada), juga karena barang yang

dibuat melekat pada waktu akad pada tanggungan pembuat atau

penjual. Tetapi istisna>’ berdbeda dengan sala<m dalam hal

(50)

tidak ada penjelasan waktu pembuatan dan penyerahan, serta

adanya barang seperti di pasar. Istisna>’ juga bisa berubah

menjadi akad ijara>h jika bahan baku disediakan oleh

pemesan.

Dalam kegiatan jual beli pesanan sala<m, ada lima

unsur yang sangat pokok sebagai satuan-satuan dari kegiatan

tersebut, misalnya adanya penjual dan pembeli. Kedua pihak ini

sangat penting dan bahkan tidak boleh tidak harus ada dalam

kegiatan tersebut.Kemudian juga adanya barang yang

diperjual-belikan.Dalam artian, barang itu harus jelas spesifikasinya atau

kriteria barangnya harus benar-benar jelas dan transparan.Juga

masalah uang pembayarannya atau ra’s al-māl. Ra’s al-māl di

dalam akad istisna>’ bisa diserahkan sebagian atau tidak sama

sekali di waktu terjadinya akad sesuai dengan kesepakatan.

Terakhir adalah bentuk akad, yaitu perjanjian yang

sudah disepakati oleh kedua belah pihak dan dapat dijadikan

acuan dari kegiatan tersebut baik waktu penyerahan barangnya,

serta akad pembayarannya.

Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya

transaksi jual beli pesananal-sala<m adalah:

a. Adanya kejelasan jenis, ukuran, macam dan sifat barang

karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui

(51)

b. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku

dalam hubungan antar manusia. Dalam arti, barang tersebut

bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan

manusia, seperti barang property, barang industry dan

lainnya.

c. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka

waktu peyerahan barang ditetapkan, maka kontrak ini akan

berubah menjadi akad sala<m, menurut pandangan Abu

Hanifah.33

C. Utang (Qard})

Qard} merupakan suatu kegiatan muamalah yang biasa

dilakukan oleh masyarakat. Dalam hal ini antar seama manusia

saling membutuhkan, antara pemberi utang dan yang berutang

sama-sama bekerjasama dalam melaksanakan qard{.

Qard} adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat

ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan

tanpa mengharapkan imbalan.34 Dengan kata lain qard} dapat

diartikan sebagai transaksi utang piutang atau pinjam meminjm

harta atau barang yang akan dikembalikan atau ditagih pada waktu

yang telah disepakati antara pihak yang berhutang dan pemberi

utang.

1. Pengertian utang (Qard})

33

Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia: Implementasi dan Aspek Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), 201.

34Syafi’i Antonio,

(52)

Secara bahasa qard} adalah al-qat}’u

(memotong).Dinamakan demikian karena pemberi utang

(muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya

kepada pengutang (muqtarid). Adapun definisi secara syara’

adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil

manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikannya.35 Selain

pengertian di atas para ulama fiqh mengemukakan pendapatnya

tentang makna al-qard}antara lain sebagai berikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah

Qard}adalah harta yang diserahkan kepada orang

lain untuk diganti dengan harta yang sama. Atau dalam

artian qard} merupakan suatu transaksi yang dimaksudkan

untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan

kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan

dengan itu.36

b. Menurut ulama Malikiyah

Qard} adalah penyerahan harta kepada oran lain

yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam

pengembaliannya.37

c. Menurut ulama Sha>fi’iyah

Qard} adalah penyerahan sesuatu untuk

dikembalikan dengan sesuatu yang sejenis atau sepadan.38

35

Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 410. 36

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatubu, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 509.

37

Referensi

Dokumen terkait

5 Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data pada proses kegiatan belajar mengajar berlangsung

Oleh karena itu kepiting yang ditemukan pada bagian timur memiliki nilai dominansi rendah, sehingga kepiting yang diperoleh memiliki nilai indeks keanekaragaman

Majelis taklim sebagai modal sosial dapat memerankan dirinya secara lebih aktif dalam mengartikulasikan Islam yang bukan hanya menjadi spirit dan etik aqidah,

Ya Bapa yang mahamurah, dengan rendah hati kami mohon demi Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami: Sudilah menerima dan memberkati † pemberian ini, persembahan ini, kurban kudus yang

Kesimpulan, berdasarkan uraian singkat kami tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 tentang Panitia Urusan Piutang

Ditinjau dari fungsinya, Taman Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) membutuhkan tatanan sirkulasi ruang luar, pengolahan sirkulasi ruang luar, keberadaan fasilitas khusus,

Kriteria minimum dalam membangun kapal Tol Laut dibagi menjadi lima faktor utama yaitu pertama adalah fasilitas sarana penggalang, kedua adalah fasilitas

Meskipun kemampuan pustakawan dalam mengelola media dalam bentuk tercetak maupun elektronik mempengaruhi pelayanan di Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh hanya sebesar