LAPORAN
SITUASI HAK ASASI PETANI DI INDONESIA
TAHUN 2014
SERIKAT PETANI INDONESIA
PENGANTAR
Kemiskinan masih menjadi masalah utama di pedesaan, para penduduk di pedesaan yang memproduksi pangan justru merupakan pihak yang banyak menderita kelaparan dan kemiskinan. Dari 28,28 juta jiwa jumlah penduduk miskin, sebesar 17,77 juta jiwa atau 62,8 persen berada di pedesaan1. Setidaknya terdapat 26,14 juta rumah tangga petani di pedesaan, dimana 17,73 juta rumah tangga diantaranya adalah petani tanaman pangan2 yang memproduksi pangan bagi 250 juta penduduk Indonesia.
Peran penting petani tersebut sangat berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan dan pelayanan publik yang dapat diakses, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak‐hak mendasar bagi petani. Hal ini menjadi pemicu berkurangnya jumlah petani secara mengejutkan, mencapai 5,09 juta keluarga petani dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Artinya setiap tahun rata‐rata terdapat 509 ribu keluarga petani yang meninggalkan lahan pertanian, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir ini setiap satu jam jumlah petani berkurang 58 keluarga petani. Hal ini merupakan peringatan keras bagi segenap elemen bangsa terhadap ancaman kecukupan pangan nasional. Gejala tersebut sudah muncul seiring laju berkurangnya jumlah petani dalam satu dekade terakhir yang ditandai dengan meningkatnya impor pangan.
Tingginya angka penurunan jumlah petani tersebut setidaknya dikarenakan dua alasan, pertama
profesi petani dianggap tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain. Kedua, petani terpaksa meninggalkan profesi petani dikarenakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk digarap. Kedua alasan tersebut memiliki akar permasalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap petani. Untuk mendorong perlindungan terhadap petani, Serikat Petani Indonesia bersama dengan organisasi rakyat lainnya telah menginisiasi dan merumuskan Deklarasi Hak Asasi Petani pada tahun 2001 di Cibubur, serta didukung oleh KomnasHAM. Deklarasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong negara merumuskan perundang‐undangan yang melindungi hak‐hak asasi petani sebagai soko guru kedaulatan pangan nasional. Naskah deklarasi tersebut telah diserahkan ke berbagai lembaga pemerintah untuk ditindaklanjuti, namun kurang memperoleh respon yang positif. Upaya tersebut terus berlanjut dengan mendorong rumusan Deklarasi Hak Asasi Petani tersebut untuk menjadi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani, yang dimulai pada tahun 2008. Upaya tersebut memperoleh respon positif dengan disetujuinya resolusi bernomor A/HRC/21/L.23 oleh Dewan HAM PBB pada September 20123. Resolusi tersebut memutuskan untuk membentuk kelompok kerja antar pemerintah untuk menyiapkan rancangan deklarasi hak asasi petani. Deklarasi tersebut nantinya diharapkan akan menjadi sebuah instrumen baru yang akan dikembangkan oleh Dewan HAM PBB sebagai Deklarasi Tentang Hak Asasi Petani yang serupa dengan Deklarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat.
1
Laporan BPS, Maret 2014 2
Sensus Pertanian Tahun 2013 3
Disamping upaya tersebut, Serikat Petani Indonesia bersama organisasi tani lain mendorong lahirnya undang‐undang yang melindungi petani tanpa menunggu adanya Deklarasi Hak Asasi Petani Perserikatan Bangsa Bangsa. Upaya tersebut berhasil melahirkan Undang‐undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Meski masih banyak terdapat kekurangan untuk dijadikan payung hukum yang melindungi hak asasi petani, setidaknya langkah ini menjadi titik awal untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi petani.
Sebagai Organisasi Massa yang memperjuangkan kepentingan dan hak‐hak petani, Serikat Petani Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memastikan terpenuhinya hak‐hak petani, mendorong lahirnya instrumen hukum Hak Asasi Petani, serta melakukan pemantauan terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Petani. Laporan ini merupakan upaya untuk membangun kesadaran publik terhadap kondisi petani serta pentingnya perlindungan terhadap hak‐hak petani.
LAPORAN SITUASI HAK ASASI PETANI DI INDONESIA
TAHUN 2014
I. PENDAHULUAN
Situasi Hak Asasi Petani sepanjang tahun 2014 tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Berbagai konflik agraria masih terus berlangsung tanpa adanya kemajuan langkah dalam tahap penyelesaian. Sepanjang tahun ini telah terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik terbuka tersebut melibatkan berbagai pihak, dengan korban tewas sebanyak 2 orang di pihak petani, 90 orang mengalami kekerasan, ribuan orang terusir dari lahan pertaniannya, serta 89 orang ditahan.
Konflik yang menjadi sorotan kami pada tahun ini adalah konflik antara Suku Anak Dalam dan PT. Asiatic Persada di Mentilingan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi. Pada bulan Maret terjadi bentrokan antara petani Suku Anak Dalam dan melibatkan oknum aparat TNI beserta Brimob, yang mengakibatkan seorang petani tewas dalam penganiayaan dengan kondisi tangan diborgol dan penuh dengan luka senjata tajam, satu orang luka tembak, serta lima orang luka akibat senjata tajam. Tindak kekerasan dan pengusiran paksa terhadap petani yang dilakukan oleh 7.000 personel Brimob di pertengahan tahun 2014 juga menjadi sorotan publik. Pengusiran paksa tersebut dilakukan menjelang dilangsungkannya pemilihan presiden pada Juli yang lalu. Ratusan petani di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat tersebut harus menghadapi ribuan Brimob bersenjata lengkap. Satu orang petani tertembak peluru karet, puluhan petani mengalami tindak kekerasan, dan 13 petani ditangkap oleh kepolisian.
Selain menghadapi konflik agraria, Hak Asasi Petani atas sarana produksi pertanian juga terabaikan. Yang menjadi sorotan utama sepanjang tahun 2014 adalah soal kelangkaan pupuk bersubsidi. Pada bulan Mei, pemerintah sudah mengajukan anggaran tambahan untuk pengadaan pupuk bersubsidi ke DPR‐RI. Pemerintah menyatakan pengadaan pupuk bersubsidi hanya cukup sampai bulan Oktober, sementara di berbagai wilayah bulan Nopember dan Desember mulai memasuki masa tanam. Namun pada bulan Mei para petani di Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTB telah mengeluhkan sulitnya memperoleh pupuk bersubsidi di pasaran. Hingga Desember ini, petani di Aceh dan Sumut juga mengeluhkan kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi.
Tidak mengherankan jika pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP) selama tahun 2014 hanya bergerak sebanyak 0,42 saja, yakni dari NTP pada bulan Januari sebesar 101,95 hingga Desember menjadi 102,37. Hal ini menunjukkan sepanjang tahun 2014 tidak banyak terjadi perubahan terhadap tingkat kesejahteraan petani, terlebih lagi dengan kenaikan harga BBM yang efeknya akan menyentuh petani dalam 3 bulan kedepan.
Berikut uraian tentang situasi Hak Asasi Petani di Indonesia sepanjang tahun 2014 ;
II. HAK ASASI PETANI TERHADAP SUMBER‐SUMBER AGRARIA
Pada tahun 2013, KPA dan SPI mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah korban tewas 21 orang, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik sekurang‐ kurangnya 3.512 Ha. Data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia.
Sedangkan sepanjang tahun 2014 Serikat Petani Indonesia telah mencatat setidaknya terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat, diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik agraria yang muncul kepermukaan di sepanjang tahun politik ini relatif berkurang, adapun korban jiwa sebanyak dua orang petani tewas masing‐ masing terjadi pada konflik antara Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi dengan PT. Asiatik Persada pada Maret 2014 dan kasus di Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng dengan PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) pada Juni 2014. Sementara korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan.
JUMLAH KONFLIK AGRARIA DAN JUMLAH KORBAN TAHUN 2014
JUMLAH KONFLIK
KORBAN TEWAS
KORBAN KEKERASAN
KORBAN KRIMINALISASI 143 Konflik 2 Orang 90 Orang 89 Orang
Dari berbagai sumber, diolah SPI
Serikat Petani Indonesia mencatat sebaran luas lahan setiap pulau di Indonesia yang menjadi sumber konflik agraria selama tahun 2014, yaitu sebagai berikut :
TABEL LUAS LAHAN SETIAP PULAU YANG MENGALAMI KONFLIK AGRARIA TAHUN 2014
PULAU LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%)
Bali 280 0,043
Jawa 39.841,25 6,130
NTB 5.171 0,796
NTT 998 0,154
Papua 2.800 0,431
Sulawesi 44.307 6,817
Sumatera 545.967,463 83,998
Total 649.973,043 100%
Dari berbagai sumber, diolah SPI
Berdasarkan tebel diatas, konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai luas sekitar 649.973,043 ha. Pulau Sumatera yang merupakan sentra dari perkebunan menjadi paling dominan yaitu sebesar 83% dari total persentase nasional untuk konflik agraria pada tahun 2014. Selanjutnya diikuti oleh Sulawesi dan Jawa yang memiliki persentase lebih dari 6%. Kalimantan menempati posisi keempat dalam sebaran konflik agraria sebesar 1,6%. Sedangkan pulau lainnya seperti Bali, NTB, NTT, dan papua persentasenya dibawah dari 1%. Dari pernyataan diatas menjelaskan bahwa konflik agraria terkonsestrasi penuh di pulau Sumatera. Walaupun demikian tidak juga untuk menyampingkan penyelesaian konflik agraria pulau‐pulau lainnya. Lahan‐lahan tersebut berupa lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Mekarnya industrialisasi perkebunan di Sumatera diduga akan terus memiliki dampak konflik agraria yang berkepanjangan. Maka dari pada itu, pemerataan distribusi tanah harus berpihak pada prinsip keadilan. Sehingga rakyat khususnya petani merasakan betul adanya keberpihakan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Pada hakikatnya angka tersebut belum dapat merangkumkan kejadian sesungguhnya mengenai sebaran luas lahan yang menjadi persengketaan selama ini. Akan tetapi data ini setidaknya dapat mencerminkan kronisnya konflik agraria di negeri ini.
Konflik agraria yang terjadi selalu melibatkan berbagai pihak. Kerumitan penyelesaian konflik menjadi kendala utama untuk menarik benang kusut yang sudah terpelihara sejak lama. Bahkan dalam beberapa kasus dianggap menjadi laten dan sudah diwariskan kepada keturunannya. Pihak‐pihak yang terlibat antara lain yaitu, pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta nasional maupun asing, tuan tanah, aparat hukum, dan petani. Dalam kebanyakan kasus, petani selalu disudutkan dan menjadi kambing hitam ketika konflik agraria mencuat dipermukaan. Seolah‐olah pihak lain lupa akan konstitusi negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Keberpihakan kepada petani semakin semu dengan perputaran uang yang sistematis diantara pemegang kepentingan ketika konflik berlangsung. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan petani selalu menjadi “orang‐orang yang kalah” dalam pertikaian konflik agraria. Pada tahun 2014, pihak yang terlibat dalam konflik agraria dengan petani digolongkan menjadi dua. Yaitu pemerintah dan perusahaan swasta nasional/asing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus‐kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014, 58% nya terjadi antara petani dengan swasta. Lalu 42% terjadi antara pemerintah dengan petani. Hal tersebut menerangkan bahwa antara pemerintah melalui BUMN atau lembaga pemerintah lainnya memiliki potensi kekuatan yang hampir sama dengan perusahaan asing/nasional untuk merebut tanah yang seharusnya didistribusikan kepada petani. Kondisi ini diperparah dengan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kedua kekuatan yang memegang kendali konflik agraria selama ini. Sehingga pada kenyataannya, petani seolah sendiri dalam menghadapi konflik agraria yang terus terjadi. Potensi konflik agraria akan terus meningkat jika keberpihakan negara melalui pemerintahnya tidak bergeser menjadi pembela rakyat khusunya petani. Karena petani membutuhkan pemerintah sebagai perlindungan dengan menjadi ‘kawan’ bukan persinggungan sebagai ‘lawan’. Sesungguhnya musuh utama dari konflik agraria adalah neo‐liberalisme yang terus mengakar. Terlebih jika negara membiarkan atau bahkan memberikan jalan kepada ‘mereka’ untuk tumbuh dan menguras seluruh sumber kekayaan agraria Indonesia.
Data‐data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia. Pada tahun 2014, SPI mencatat terdapat beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Petani yang perlu di soroti, antara lain :
i. Kasus di Sesepan, Kab.Indramayu, Jawa Barat pada Januari 2014 yang melibatkan petani dan penyidik/pengadilan negeri Bandung. Konflik ini menyebabkan 1 orang petani dikriminalisasi kemudian lainnya diintimidasi & dipukuli agar tidak kembali berorganisasi. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 12 (Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan).
ii. Kasus di Desa Dongi – dongi dan Desa Kamanora, Kec.Palolo, Kab.Sigi, Sulawesi Tenggara. Pada Januari 2014, 13 orang petani diculik karena berselisih dengan Polhutan, Poisi dan TNI. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
iii. Kasus Kab.Indramayu, Jawa Barat. Pada Februaui 2014, 1 orang petani di vonis 7 bulan penjara dan denda Rp. 500.000.‐ (dikriminalisasi) oleh Perhutani. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan).
iv. Kasus Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi. Pada Maret 2014, Perselisihan antara PT. Asiatik Persada dan aparat dengan Suku Anak Dalam berimbas pada hancurnya 700 rumah, 3000 jiwa terusir dari tanahnya, 1 orang diculik, 5 orang luka‐luka karena senjata tajam dan 1 orang tewas. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
v. Kasus di Kec. Teluk Jambe, Kab.Karawang, Jawa Barat. Pada bulan Maret 2014, 1 orang petani dikriminalisasi dan ratusan diintimidasi oleh 500 preman. Selanjutnya petaka kembali terulang pada bulan Juni 2014, 9 orang petani & 4 buruh ditangkap, 10 buruh, 5 petani, 1 mahasiswa luka‐luka yang diiantaranya 1 orang petani mengalami luka tembak. Peristiwa itu disebabkan konflik antara PT. Sumber Air Mas Pratama dengan petani karena persengketaan lahan seluas 350 ha. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
vi. Kasus Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah. Pada bulan Maret 2014, terjadi penangkapan 3 orang petani oleh Polres Sragen. Diduga hal tersebut karena adanya laporan dari PTPN IX mengenai perselisihan lahan seluas 425 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
vii. Kasus Dusun Simbar Lor, Desa Plosokidul, Kec. Plosok laten, Kab. Kediri, Jawa Timur. Pada Maret 2014, Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Margomulyo melakukan pengrusakan terhadap tanaman yang ditanam oleh petani berupa nanas, ketela, dan tebu. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konflik agraria seluas 170 ha. Kejadian ini merupakan pelanggaran atas Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). viii. Kasus Masyarakat Adat Batu Daya, Kec. Simpang Dua, Kab. Ketapang, Kalbar. Pada
Maret 2014, 5 orang petani ditangkap dan 2 orang dipenjara atas laporan PT. Swadaya Mukti Prakarsa karena persengketaan lahan seluas 1088,33 ha yang sebetulnya merupakan hutan adat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
ix. Kasus Desa Tegal dowo, Kec. Gunem, Kab.Rembang, Jawa Tengah. Pada Juni 2014, 11 Orang petani ditangkap dan lainnya luka‐luka karena mempertahankan dan menolak berdirinya PT. Semen Indonesia seluas 21,13 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
x. Kasus Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng. Juni 2014, 1 Orang Tewas Tertembak karena berselisih dengan PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) mengenai lahan. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xii. Kasus Desa Gadungan dan Desa Sumberagun, Blitar, Jawa Timur. Pada bulan Mei dan Agustus 2014, 2 orang petani dikriminalisasi dan tanaman yang ditanami petani rusak. Kejadian itu karena persengketaan lahan seluas 557 ha dengan PT. Rotorejo Kruwuk. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xiii. Kasus Masyarakat Adat Dangku, Kab. Muba, Sumsel. Pada kurun waktu September sampai Oktober 2014, 6 petani dikriminalisasi dan 10 rumah dirobohkan oleh BKSDA SUMSEL, Dishut dan Aparat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xiv. Kasus Desa Bukit Krikil, Kec.Bukit Batu, Kab.Bangkalis, Riau. Sepanjang tahun 2007 sampai 2014, konflik panjang antara warga dengan PT. Arara Abadi berakibat pada 12 orang yang dikriminalisasi. Perselisihan ini terawat karena kasus agraria dengan luas sekitar 6.000 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xv. Kasus Kab.Tulungagung, Jawa Timur. Pada November 2014, Warga dan Perum Perhutani KPH Tulungagung terlibat perselisihan lahan seluas 148 ha. Kejadian itu menyebabkan 3 orang petani ditangkap. Kejadian tersebut melanggar Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap ke adilan).
xvi. Kasus di Tapung Hilir, Kampar, Riau. Pada November 2014 Terjadi perselisihan antara PT Sekar Bumi Alam Lestari (SBAL) dengan petani. Akibatnya 5 orang petani mengalami luka di bagian kepala, punggung dan kaki. Selain itu, 40 ha kebun sawit petani juga ikut dihancurkan. Peristiwa itu melanggar Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). Kasus – kasus tersebut belum termasuk kasus gizi buruk yang semakin melanda republik ini. Pada tahun 2014 sampai pada tanggal 3 desember Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan RI mencatat sekitar 402 kasus gizi buruk yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Adapun angka kematian akibat gizi buruk pada kurun waktu 2014 berjumlah 3 orang.
Lebih detail mengenai catatan konflik agraria sepanjanga tahun 2014 dapat dilihat di dalam lampiran dokumen ini.
III.
HAK ASASI PETANITERHADAP MODAL DAN SARANA PRODUKSI PERTANIAN
Berdasarkan Permentan 122/Permentan/SR.130/11/2013, kebutuhan pupuk bersubsidi untuk tahun anggaran 2014 adalah sebagai berikut :
NO JENIS PUPUK JUMLAH (Ton)
1 Urea 3.418.000
2 SP‐36 760.000
3 ZA 800.000
4 NPK 2.000.000
5 ORGANIK 800.000
Sumber: Kementan, diolah SPI
Dalam APBN 2014 secara keseluruhan jumlah subsidi pupuk berjumlah 21 trilliun rupiah. Namun, realisasinya pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi telah menyusut sejak bulan Oktober. Untuk bulan Nopember dan Desember diperkirakan Kementan tidak ada lagi distribusi pupuk bersubsidi, padahal di beberapa wilayah sudah memasuki masa tanam. Bahkan di Ponorogo, Jawa Timur serta Sumbawa, NTB sejak bulan agustus sudah mengalami kelangkaan pupuk. Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang memasuki musim tanam sejak awal Desember petani telah kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi. Pada akhir Nopember, kelangkaan juga terjadi di Ngawi dan Pamekasan Jawa Timur, serta di Aceh Barat yang disertai melonjaknya harga pupuk. Bukan hanya pupuk bersubsidi, untuk mendapat pupuk urea non subsidi pun kesulitan, selain harga yang melonjak tinggi pupuk non subsidi juga tidak tersedia di pasaran. Data Kementerian Pertanian tahun 2014, luas areal irigasi di Indonesia mencapai 7.145.168 ha. Dari seluruh total tersebut, terbagi dalam tiga kewenangan yakni, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Total irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat ada seluas 2.374.521 ha. Saat ini dari luasan tersebut ada sekitar 734.820 ha jaringan irigasi tersier yang rusak. Sementara peningkatan luas areal irigasi sejak tahun 2009 rata‐rata per tahun hanya 88.000 Ha. Jika dibandingkan dengan kebutuhan irigasi untuk areal persawahan, saat ini terdapat 8,13 juta ha sawah non irigasi (mengandalkan tadah hujan), dan hanya 4,42 juta ha sawah yang teraliri air irigasi. Sementara di lapangan sangat banyak ditemukan saluran irigasi yang tidak mendapat perawatan sama sekali selama belasan tahun dan jaringan irigasi yang telah rusak.
IV. HAK ASASI PETANI TERHADAP AKSES PASAR DAN HARGA JUAL YANG LAYAK
Keputusan Menteri Perdagangan untuk menerbitkan Surat Persetujuan Impor sepanjang tahun 2014 turut memperpuruk nasib petani. Sepanjang tahun ini, kementerian perdagangan masih mengeluarkan izin impor terhadap beras, jagung, kacang tanah, ubi kayu, gula serta garam, selain bahan pangan yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri seperti gandum dan kedelai. Dari Januari hingga Oktober 2014, data Kementerian Pertanian menunjukkan telah terjadi impor beras sejumlah 405 ribu ton, gandum sebanyak 6,49 juta ton, kedelai sebanyak 5,02 juta ton, jagung sebanyak 2,62 juta ton, kacang tanah 224.492 ton, serta ubi kayu sebanyak 273.294 ton. Khusus impor gula dan garam menjadi sorotan karena mempengaruhi harga jual petani tebu dan petani garam. Berikut merupakan tabel impor pangan periode Januari hingga Desember 2014.
IMPOR PANGAN JANUARI‐OKTOBER 2014
NO KOMODITAS JUMLAH (Ton) NILAI (US$)
1 Beras 405.000 179.070.779
2 Jagung 2.617.918 691.693.148
3 Gandum 6.496.555 2.169.866.409
4 Kedelai 5.019.148 2.988.689.081
5 Kacang Tanah 224.492 255.499.437
6 Ubi Kayu 273.295 120.098.094
Sumber : Kementan, diolah SPI
Impor Beras
Berdasarkan hasil laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), catatan importasi bahan pangan utama sepanjang 2004 sampai 2014 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2004, impor beras sebanyak 236 ribu ton, kemudian jumlah impor beras naik menjadi 438 ribu ton pada tahun 2006 dan mencapai 1,4 juta ton pada 2007. Walupun volume impor beras sempat menurun selama dua tahun antara tahun 2008 dan 2009, tren impor beras kembali naik ditahun 2010, 2011, dan 2012 menjadi masing‐masing sebesar 687 ribu ton, 2,7 juta ton serta 1,9 juta ton. Selanjutnya pada tahun 2013, produksi beras Indonesia diberitakan surplus namun konsistensi impor negara ini tetap berlanjut dengan mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar sebanyak 472 ribu ton ditahun tersebut (BPS).
Pada tahun 2014 sejak Januari sampai Oktober, volume impor beras mencapai 405.000 ton, angka ini belum termasuk ekspansi 425.000 ton beras Vietnam dan Thailand sampai dengan akhir tahun ini. Hal tersebut dilegalkan oleh kontrak pembelian Kementerian Perdagangan yang sudah diteken sejak bulan september yang lalu. Hal tersebut jelas meresahkan bagi petani padi di Indonesia, karena dengan adanya beras asing maka beras lokal menjadi terancam akan eksistensinya di pasar nasional.
Impor Gandum
Negara eksportir gandum yang menjadi langganan republik ini adalah Australia sebagai pemasok 50% kuota impor nasional. Kemudian selebihnya berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Tiongkok dan beberapa negara lainnya. Miris mungkin kata yang dapat diungkapkan bersamaan dengan fakta tersebut. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka ketergantungan kita terhadap gandum akan semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan beberapa ekonom memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara importir gandum terbesar didunia pada tahun 2019. Disisi lain dengan peningkatan tersebut, petani pangan kita semakin terdesak dan hilang kemampuannya untuk memproduksi pangan lokal yang sudah menjadi budaya. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan peralihan pola konsumsi secara nasional untuk mengganti gandum dengan pangan lokal seperti sorgum, singkong, ubi dan lainnya, agar Indonesia dapat berdaulat pangan secara utuh dan petani menjadi sejahtera.
Impor Jagung
Jagung merupakan pangan strategis bagi masyarakat Indoesia. Namun Indonesia sampai saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan jagung secara nasional. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya industri pakan ternak yang semakin berkembang. Impor jagung tahun 2014 sampai bulan Oktober mencapai 2,6 juta ton (deptan). Angka ini diprediksi akan terus meningkat sampai akhir tahun dan semakin menegaskan bahwa setiap tahunnya impor jagung semakin meningkat. Jagung tersebut sebagian besar berasal dari India, Argentina dan Brasil. Selain karena tumbuhnya industri ternak, minimnya Sistem Resi Gudang (SRG) komoditi jagung juga menjadi kendala. SRG diperuntukan agar jagung lokal lebih berkualitas dan dapat disimpan lebih lama sehingga dapat diserap oleh pasar.
Tanpa adanya peningkatan produksi maupun kualitas jagung dalam negeri, impor jagung akan semakin superior dan secara sistemik dapat mengkhawatirkan bagi kesejahteraan para petani jagung. Maka dari pada itu, hentikan solusi sesaat dengan melakukan impor komoditi pangan dalam volume besar agar hasil produksi pertanian dalam negeri dapat kembali mendapatkan tempat yang prioritas.
Impor Kedelai
kedelai yang berkualitas dan produktivitasnya optimal. Sedangkan di Indonesia, keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai belum terlihat secara jelas. Besarnya impor kedelai tersebut disertai dengan abainya pemerintah untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap petani kedelai, sehingga minat petani untuk menanam kedelai berkurang. Masalah ini harus segera diatasi dengan berbagai solusi seperti perluasan lahan, keterjaminan pasar, pengendalian hama & penyakit agar kemandirian terhadap pemenuhan kebutuhan nasional akan kedelai dapat diwujudkan. Serta menciptakan kembali kegairahan para petani untuk menanam kedelai.
Impor Daging Sapi
Kebutuhan akan daging sapi di Indonesia merupakan hal yang penting. Karena hingga detik ini kita belum dapat memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Pemerintah seolah belum percaya pada potensi pengembangan ternak khususnya sapi dalam negeri sehingga menurut data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, volume impor sapi bakalan dan siap potong selama Januari ‐ Juli 2014 mencapai 381.212 ekor atau setara dengan 76 ribu ton daging. Sedangkan impor daging sapi pada periode yang sama sebanyak 57.139 ton. Dengan demikian, total daging impor yang sudah masuk Indonesia mencapai 133.139 ton atau 23,16% dari kebutuhan daging nasional 2014 sebesar 757.088 ton. Angka ini akan terus bertambah hingga akhir tahun 2014.
Ketercukupan pangan khusunya daging menjadi polemik yang tak berujung, pemerintah seharusnya lebih berpihak untuk mensubsidi peternak lokal dibanding menjalankan solusi instan berupa impor sapi siap potong dan daging sapi dari Australia dan Selandia Baru. Selain itu, kebijakan mengenai ketersediaan pangan ini harus bersifat jangka panjang dan strategis. Sebab jika impor dalam waktu yang singkat terlalu ditekan maka akan terjadi pengurasan populasi sapi dalam negeri. Sedangkan jika pemerintah membuka keran impor terlalu besar, maka yang tertekan adalah peternak karena imbasnya harga daging akan jatuh dipasar.
Impor Gula
Impor gula sepanjang tahun 2014 telah ditentukan kuotanya sebanyak 2,8 juta ton dari jumlah awal yang dijinkan sebesar 3 juta ton. Pengurangan kuota tersebut merupakan sanksi yang diberikan akibat merembesnya gula rafinasi ke pasar. Pada akhir Nopember kemarin, importir gula mengajukan tambahan kembali kuota impor di penghujung tahun 2014 dengan dalih persediaan gula tidak mencukupi kebutuhan industri hingga akhir tahun. Meningkatnya jumlah impor gula diprotes oleh petani tebu yang merasakan dampak anjloknya harga jual tebu ketika panen raya serta temuan gula rafinasi di pasar lokal. Tuntutan petani gula untuk mematok HPP gula sebesar Rp 9.500, tidak dipenuhi. Pemerintah mematok HPP Gula untuk tahun 2014 sebesar Rp. 8.500,‐. Anjloknya harga jual tersebut mengakibatkan petani tebu selalu merugi dan berhutang setiap panen raya.
Impor Garam
Petani garam menghadapi persoalan yang tidak jauh berbeda dengan petani tebu. Setiap tahun impor garam industri rata‐rata sebesar 1,9 juta ton sampai 2,1 juta ton. Sementara produksi garam nasional tiap tahun mencapai 2,1 juta ton dengan angka konsumsi garam sebesar 1,7 juta ton. Yang menjadi persoalan adalah dugaan masuknya garam konsumsi impor pada Januari hingga Februari 2014 lalu sebesar 135 ribu ton, yang dinyatakan oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Maret 2014. Untuk membedakan garam industri dan garam konsumsi dapat dilakukan dengan mengecek bea masuk yang dikenakan, 10% untuk garam industri dan 0% untuk garam konsumsi. Masuknya impor garam konsumsi secara diam‐diam tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak‐hak petani garam atas harga yang layak, dimana produksi petani garam masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
V. HAK ATAS KEHIDUPAN YANG LAYAK
Sepanjang tahun 2014, Nilai Tukar Petani tidak banyak berubah. Pada bulan Januari Nilai Tukar Petani berada pada 101,95. Pada bulan Nopember lalu Nilai Tukar Petani berada pada angka 102,37.
VI. HAK ASASI PETANI TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab bersama agar pelestraian lingkungan tetap terjaga. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong industri modern berpijak diseluruh bidang, pada waktu yang bersamaan kelestarian mengenai keanekaragaman hayati semakin terancam. Tak terkecuali pada bidang pertanian, rekayasa genetika semakin gencar dikampanyekan dan bahkan dilegalisasi oleh pemerintah guna keuntungan kaum pemodal dan korporasi. Di Indonesia hal tersebut ditandai dengan adanya Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang membuat industri perbenihan pangan dan hortikultura satu langkah lebih dekat untuk memasarkan benih biotek (genetically modified organism/GMO). Perpres ini hadir untuk menyempurnakan Peraturan Presiden No. 39/2010. Peraturan ini berisi tentang aturan main dan struktur organisasi Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) yang akan diisi oleh elemen pemerintah, akademisi dan komunitas masyarakat. Dengan adanya peraturan ini, maka selangkah lagi benih biotek akan hadir di pasar Indonesia. Kekhawatiran mengenai GMO semakin dipertegas dengan pernyataan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati, yang menunggu hadirnya kepperes tentang GMO.
Berdasarkan pernyataan tersebut, diperkirakan kedepannya industri benih baik berbasis modal asing maupun dalam negeri, sudah bisa mulai memasarkan produk GMO. Menurut SPI, pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Selanjutnya, kelompok petani penangkar akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun‐laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian maka hilanglah satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Kemudian sistem perbenihan rakyat akan mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO benar‐benar direalisasikan.
Prinsip kehati‐hatian (precautionary) dalam keamanan pangan harus benar – benar diutamakan karena pemerintah sudah mengimplemtasikan Convention on Biological Diversity dan Protokol Cartagena, yang selanjutnya diadopsi dalam UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga UU Pangan No.18/2012 terkhusus mengenai label dan iklan, serta PP No.69/1999 yang di dalamnya mengatur pelabelan pada pangan hasil rekayasa genetika. Seyogyanya pemerintah mendukung penuh upaya para ahli teknologi pertanian untuk memanfaatkan dan mengembangkan benih lokal dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, bukan malah menghibahkan keanekaragaman hayati melalui GMO yang bukan diperuntukan bagi kepentingan dan keadilan rakyat secara utuh.
Peraturan Perundang‐undangan terkait GMO :
1. Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
2. Peraturan Presiden No. 39/2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 44,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489).
5. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
VII. HAK ATAS KEBEBASAN BERORGANISASI
Hak kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi untuk petani merupakan bunyi dari pasal XII Deklarasi Hak Asasi Petani. Hak ini menyatakan bahwa petani tidak boleh dipandang sebelah mata dan harus kembali ditempatkan menjadi soko guru bangsa ini. Kemerdekaan berkumpul atau berorganisasi bagi petani acapkali tidak difasilitasi dan bahkan dianggap mengancam dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Sebagai manusia, petani memiliki pendapat yang harus dipertimbangkan dan didengar oleh para pengambil kebijakan agar nantinya kebijakan yang dikeluarkan dapat diterima dan dipergunakan untuk kemajuan bersama. Namun, beberapa hal yang sering terjadi antara lain seperti pelemahan terhadap organisasi petani secara terus‐menerus, mempersoalkan keabsahan organisasi dan perannya dalam masyarakat serta menabrakkannya dengan kepentingan organisasi lain. Sehingga stigma melanggar hukum disematkan pada setiap gerakan yang dilakukan petani.
Seperti misalnya pada kasus di Sesepan, Kab. Indramayu, Jawa Barat pada bulan Januari 2014, satu orang petani yang dikriminalisasi yang tak lain merupakan pimpinan dari organisasi tani di daerah itu. Untuk menuntut keadilan, maka anggota dari organisasi tersebut melakukan unjuk rasa untuk mengungkapkan pendapatnya saat prosesi persidangan berlangsung. Kemudian beberapa oknum mengintimidasi dengan memukuli para petani tersebut lalu mengancam untuk tidak kembali berorganisasi. Pada kasus tersebut secara jelas memuat pelanggaran hak asasi petani dalam konteks kemerdekaan berkumpul.
Selain pada kejadian‐kejadian yang kasuistik, ancaman tentang kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi untuk petani datang dari segi regulasi hukum. Pelemahan hak petani dikhawatirkan akan semakin meluas dan sistematis melalui aturan perundang‐undangan. Misalnya pada UU No.19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pasal 59 mengenai ‘sewa tanah’, pasal 70 (1) mengenai ‘kelembagaan petani’ dan pasal 71 mengenai kata ‘berkewajiban dalam kelembagaan pertanian’. Ketiga pasal tersebut berdasarkan hasil kajian SPI bertentangan dengan UUD 1945.
Berangkat dari pada itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama organisasi sipil lainnya mengajukan Judisial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akhirnya pada 5 November 2014, MK memenangkan gugatan yang diajukan dengan nomor putusan No.87/PUU‐XI/2013. Secara ringkas putusan itu menyatakan, pertama frasa ‘hak sewa’ dalam pasal 59 UU No.19 tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena hubungan sewa menyewa tanah yang dilakukan oleh negara merupakan praktik feodal dimasa kolonial hindia belanda dan sudah semestinya dihentikan.
Kedua, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani’. Dengan demikian, tidak hanya Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui. Ketiga, pasal 71 tentang kata ‘berkewajiban’ juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi pasal tersebut kemudian selengkapnya menjadi ‘petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimkasud dalam pasal 70 ayat 1’. Oleh karena itu, petani tidak berkewajiban untuk ikut dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani, dan boleh menjadi anggota organisasi tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani sendiri. Kemenangan tersebut bukanlah suatu akhir dari penegakan hak asasi petani, melainkan suatu semangat untuk melangkah menuju masyarakat adil dan makmur yang benar‐benar dirasakan oleh petani.
Undang – Undang Terkait :
1. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
2. Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani.
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Hak Asasi Petani terhadap sumber‐sumber agraria semakin dikesampingkan. Serikat Petani Indonesia mencatat setidaknya terjadi 143 konflik sepanjang tahun 2014, diantaranya 29 konflik agraria yang muncul ke permukaan dan menjadi sorotan publik kemudian 114 kasus masih berkecamuk di akar rumput. Korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi secara hukum. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan. Sebaran konflik agraria sepanjang 2014 terkonsentrasi di pulau sumatera yaitu sebesar 83% dari sekitar 649.973,043 ha lahan diperebutkan. Data tersebut menerangkan bahwa pulau sumatera yang menjadi sentra perkebunan nasional menjadi titik balik dari konflik agraria yang terus terjadi. Sebanyak 58% konflik agraria yang terjadi ditahun 2014 diperankan oleh pihak swasta baik nasional/asing. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan UU Perkebunan No 18 tahun 2004, telah memperkuat pihak perusahaan untuk merampas dan mempertahankan tanah‐tanah yang dikuasainya dengan menggunakan pasal‐pasal yang terkandung pada pasal 20, 21, dan 47, dimana perusahaan‐perusahaan tersebut dapat melakukan pengamanan usaha perkebunan dan dikordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat disekitarnya. UU ini juga menjadi dasar untuk kriminalisasi petani dan masyarakat adat setiap kali memperjuangkan tanahnya yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan.
2. Kondisi penegakan Hak Asasi Petani juga mendapatkan tantangan yang pelik karena berhadapan dengan pemerintah. Sebanyak 42% atau 60 kasus konflik agraria selama 2014 terjadi dengan pemerintah. Selain itu hampir keseluruhan kasus baik yang diperankan oleh pemerintah maupun swasta selalu melibatkan aparat penegak hukum dilapangan. Sehingga bentrokan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap petani tak dapat dihindarkan.
3. Hak Asasi Petani terhadap modal dan sarana produksi pertanian pada tahun 2014 mengalami tantangan yang berat dengan kelangkaan pupuk yang disertai melonjaknya harga pupuk di pasar. Selain itu, kekeringan yang terjadi di 86 Kota/Kabipaten di indonesia semakin menghantui petani. Kondisi ini semakin menjadi‐jadi ketika irigasi rusak dan tak terurus dengan baik. Sehingga sarana produksi yang seharusnya menjadi hak bagi petani seolah diabaikan.
4. Hak Asasi Petani terhadap akses pasar dan harga jual yang layak pada tahun 2014 dibenturkan dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor komoditas pangan melalui peraturan‐peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian perdagangan. Impor yang menjadi sorotan bagi SPI yaitu pada 7 komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, kedelai, daging sapi, gula dan garam. Pada impor gula dan garam, SPI memandang pemerintah gagal dalam memenuhi hak petani untuk mendapatkan harga jual yang layak. Karena impor dilakukan ketika musim panen berlangsung dan bahkan ketika ketersediaan nasional masih mencukupi kebutuhan. Sedangkan untuk beras, gandum, jagung, kedelai, dan daging sapi. Kebijakan impor menghambat akses pasar terhadap produk dalam negeri sehingga jelas merugikan para petani dan peternak.
5. Hak petani atas kehidupan yang layak sepanjang tahun 2014 tidak bergerak secara signifikan. Indikatornya yaitu Nilai Tukat Petani (NTP) pada bulan Januari sebesar 101,95 dan pada bulan Nopember berada pada angka 102,37. Selanjutnya data dari BPS menunjukan rata‐rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian hanya sebesar 12,41 juta rupiah per tahun atau sekitar 1 juta rupiah per bulan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kesejahteraan bagi petani belum terjamin disamping luas lahan yang digarap semakin menyempit. Kehidupan yang layak sebagai hak petani sangat jauh panggang dari pada api jika kita kaitkan dengan kenyataan tersebut.
7. Hak atas kebebasan dalam berorganisasi bagi petani diperkuat dengan dikabulkannya gugatan UU. No. 19 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan No.87/PUU‐XI/2013 tersebut secara singkat merubah frasa ‘hak sewa’ pada pasal 59, mengakui organisasi yang didirikan oleh petani pada pasal 70 (1) dan membebaskan petani untuk berorganisasi. Akan tetapi pada pelaksanaannya regulasi tersebut tidak berjalan mulus sesuai harapan yang disematkan kepadanya. Misalnya pada kasus konflik agraria di tahun 2014, petani selalu menjadi objek dari tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun preman. Utamanya ancaman dilakukan agar petani tidak kembali berorganisasi dan menghimpun kekuatan. Hal tersebut jelas membatasi hak petani untuk berorganisasi.
Rekomendasi
Palanggaran terhadap Hak Asasi Petani di Indonesia masih terus terjadi tanpa adanya langkah yang signifikan untuk menegakan keadilan petani. Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia menekankan pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria sejati untuk kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan agar petani dapat merasakan kehidupan yang adil dan makmur. Langkah‐langkah yang Serikat Petani Indonesia usulkan adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan Undang‐Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria sebagai undang‐undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
2. Mengeluarkan kebijakan‐kebijakan tentang pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945.
3. Membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai‐nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tujuan menyelesaikan konflik‐konflik agraria yang terjadi.
4. Memberikan perlindungan dan memenuhi seluruh Hak Asasi Petani terhadap : i. Kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak;
ii. Tanah dan teritori;
iii. Benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional; iv. Permodalan dan sarana produksi pertanian;
v. Informasi dan teknologi pertanian;
vi. Kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian; vii. Perlindungan nilai‐nilai pertanian;
viii. Keanekaragaman hayati; ix. Pelestarian lingkungan;
x. Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi dan xi. Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.
5. Mencabut dan/atau merevisi produk hukum yang merugikan dan melanggar hak asasi petani seperti UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 7/2004 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, UU No. 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No. 4 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian, UU No. 25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU No. 38/2008 Tentang Ratifikasi Piagam ASEAN, UU No. 4/2009 Tentang Pertambangan dan Mineral Batu Bara, UU No. 18/2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, Permentan No. 67 Tahun 2013 Tentang Pedoman Subsidi Benih, Perpres No. 39 Tahun 2014 Tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang modal dan Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
6. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri.
7. Menyusun Visi Pembangunan Pertanian Indonesia yang menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian Indonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi tanah, pertanian dan pangan seperti food estate dan program MP3EI yang sedang berlangsung saat ini.
8. Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha‐usaha rakyat untuk mandiri dan berkembang. Capaian usaha‐usaha tersebut nantinya dapat memberikan lapangan kerja baru dan langkah antisipasi dari ancaman pangan impor.
9. Menempatkan koperasi‐koperasi petani, usaha‐usaha keluarga petani, dan usaha‐usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk‐produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar.
10. Meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksanakan kembali program Go organik 2010 untuk masa‐masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip‐prinsip agroekologis.
11. Menolak paket Bali (WTO) 2013 yang menarik subsidi pemerintah kepada petani dan adanya pembebasan tarif bea masuk impor untuk produk pertanian ke Indonesia. Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan.
12. Menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik antara BPS, Kementerian perdagangan dan Kementerian Pertanian agar tidak mengeluarkan kebijakan‐ kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum.
PENUTUP
Laporan situasi Hak Asasi Petani di Indonesia Tahun 2014 ini merupakan gambaran umum yang seluruh data dan informasinya mampu dijangkau oleh Serikat Petani Indonesia. Masih banyak pelanggaran terhadap Hak Asasi Petani diberbagai pelosok desa terpencil yang tidak terakses informasinya. Merupakan kewajiban segenap warga negara Indonesia untuk menyuarakan Hak Asasi Petani yang menjadi penyedia pangan untuk keberlangsungan kehidupan penduduk Indonesia. Namun kewajiban utama untuk melindungi Hak Asasi Petani berada di tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Negara harus memastikan Hak‐hak dasar petani dilindungi oleh hukum, dan sepenuhnya dijalankan dan dipenuhi oleh negara, demi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan masa depan bangsa.
JAKARTA, 10 DESEMBER 2014
LAMPIRAN
A. DAFTAR KONFLIK AGRARIA TAHUN 2014
NO. LOKASI KASUS WAKTU BERKONFLIK
DENGAN
KORBAN/LUAS LAHAN
DEKLARASI HAK ASASI PETANI 1 Sesepan,
Kab.Indramayu, Jawa Barat
Jan‐14 Penyidik dan Pengadilan 2 Desa Dongi – dongi
dan Desa Kamanora, Kec.Palolo, Kab.Sigi, Sulawesi Tenggara
Jan‐14 Polhutan, Polisi dan TNI 3 Kab.Indramayu, Jawa
Barat
Feb‐14 Perum Perhutani 4 Suku Anak Dalam
Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi
Mar‐14 PT. Asiatik Persada dan
5 Kec. Teluk Jambe, Kab.Karawang, Jawa Barat
6 Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah
Mar‐14 PTPN IX Penangkapan 3 orang petani 7 Dusun Simbar Lor,
Desa Plosokidul, Kec. Plosok laten, Kab. Kediri, JawaTimur
Mar‐14 Perusahaan Daerah 8 Desa Sukarame,
Kecamatan Kualuh hulu, Kab. Labura Sumut
Februari – Maret 2014
PT.Sei Perlak 938 ha
9 Desa Sei Apung, Kec. Kualuh Hilir, Kab. Labura, Sumut.
Jul‐05 Perorangan (Robert Paloco)
400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 10 Masyarakat Adat
Batu Daya, Kec. Simpang Dua, Kab. Ketapang, Kalbar
May‐14 PT. Swadaya Mukti Prakarsa 11 Desa Tegal dowo, Kec.
Gunem, Kab. Rembang, Jawa Tengah
Jun‐14 PT. Semen Indonesia 12 Kec.Teluk Jambe,
Karawang, Jawa Barat
Jun‐14 PT. Sumber Air Mas Pratama
13 Kec. Keera, kab. Wajo Sulawesi Selatan
14 Sungai Pinang Km 7, Desa Birandang, Kec. Kampar Timur, Kab. Kampar, Riau
Jun‐14 Wakil Ketua DPRD dan 15 Warga Adat Pamona,
Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel
Jun‐14 PT. SINDOKA 57 orang luka‐ luka dan 20 16 Desa Penyang, Kec.
Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng
Jun‐14 PT. Agro Bukit (Agro
17 Warga Adat Marga
Tungkal Ulu Desa Simpang Tungkal, Kab. Musi Banyuasin, Sumsel
Jun‐14 Kehutanan/BKS DA 18 Kelurahan Sukodadi,
Kec. Sukarami, Palembang, Sumsel
Jun‐14 TNI Angkatan Udara (Lanud) Palembang
5 Luka Tembak Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 19 Desa Gadungan dan
Desa Sumberagun, 20 Masyarakat Adat
Dangku, Kab. Musi 21 Desa Bukit Krikil,
Kec.Bukit Batu, Kab.Bangkalis, Riau
Hingga 2014
PT. Arara Abadi 6.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 22 Kab.Mamuju,
Sulawesi Barat
Oct‐14 PT. Unggul Widya
Teknologi 23 Kab.Tulungagung,
Jawa Timur
Nov‐14 Perum
Perhutani KPH 24 Kab. Lamongan, Jawa
Timur
Nov‐14 Perum
Perhutani KPH 25 Dusun II dan Rumah
II, Kec. Tapung Hilir, Kab. Kampar, Riau
Nov‐14 PT Sekar Bumi Alam Lestari
26 Kab.Probolinggo, Jawa Timur
Nov‐14 Perum
Perhutani KPH 27 Desa Pacet Selatan,
Kec.Pacet,
Kab.Mojokerto, Jawa Timur
Nov‐14 Perum
Perhutani KPH 28 Batang, Jawa Tengah Dec‐14 PLTU dan
29 Papua dan Papua Barat.
1982 ‐ 2014 Perkebunan Kelapa Sawit
30 Desa Suka Makmur, Kec. Bp Mandoge,
285 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 31 Desa Pamah, Kec.
Silindak, Kab. Serdang Bedagai, Sumut.
Hingga 2014
PT. Cinta Raja 280 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 32 Desa Kelapa
Sebatang, Kec. Kualuh
400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 33 Desa Simandulang,
Kec.Kualuh Ledong, Kab.Labura, Sumut.
Hingga 2014
Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
34 Logas, Kab. Kuantang Singingi, Riau.
Hingga 2014
PT Hutani Sola Lestari (HSL)
55.600 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 35 Kec. Bunga Raya, Kab.
Siak, Riau.
Hingga 2014
PT. Teguh Karya 9.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 36 Desa Beringin, Kec.
Pinggir, Kab.
7.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 37 Kec. Langgam, Kab.
Pelalawan, Riau.
4.600 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 38 Kab. Rokan Hilir, Riau. Hingga
2014
PT. Arara Aabadi / HTI
2.300 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 39 Kec. Kandis, Kab. Siak,
Riau.
Hingga 2014
PT. RSL / HTI 1.650 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 40 Kab. Tanjung Jabung
Barat, Jambi.
Hingga 2014
PT. IIS 1.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 41 Kec. Sei Belam, Kab.
Muaro Jambi, Jambi.
Hingga 2014
42 Tanjung Mandiri,
4.800 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 43 Kec. Mandiangin, Kab.
Sarolangun, Jambi.
Hingga 2014
PT. ASS / WN 22.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 44 Kab.Tebo, Jambi. Hingga
2014
PT. LAJ 62.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 45 Kab. Tanjung Jabung
Timu, Jambi.
Hingga 2014
PT. Kasurati Unggul II
13.430 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 46 Kab. Merangin, Jambi. Hingga
2014
Kehutanan 49.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 47 Desa Sei Rengas I dan
II, Kab. Ogan Ilir,
2353,463 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 48 Desa Lubuk Bandung
Kab. Ogan Ilir, Sumsel.
Hingga 2014
PTPN VII Cinta Manis
1.395 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 49 Desa Betung Kec.
Lubuk Keliat Kab.
1.253 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 50 Desa Sunur Kec.
Rambang Kuang Kab.
yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 51 Desa Tamansari, Kec.
Pugung, Kab.
Tanggamus, Lampung.
Hingga 2014
Kehutanan ±900 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 52 Desa Wiyono Kec.
Gedongtataan Kab. Pesawaran, Lampung.
Hingga 2014
Kehutanan ±350 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 53 Desa Ketapang Kec.
Limau Kab.
Tanggamus, Lampung.
Hingga 2014
Kehutanan ±200 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 54 Desa Antar Brak Kec.
Limau Kab.
Tanggamus, Lampung.
Hingga 2014
Kehutanan ±300 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 55 Jawa Tengah Hingga
2014
PT. Japfa Comfeed Indonesia
20 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 56 Desa Wiyono, Kec.
Gedongtataan, Kab.
17 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 57 Desa Mawon, kec.
Pujut, Lombok Tengah
Hingga 2014
PT. Aratika 600 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 58 Desa Rhee,
Kabupaten Sumbawa
Hingga 2014
PT. Mina Multi Merta Sari
59 Desa Penyaring, Kec.
200 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 60 Desa Kukin,
Sumbawa, Kec.
1.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 61 Desa Penyaring, Kec.
Moyo Utara, Kab.
32 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 62 Kec Plampang, Kab.
Sumbawa, NTB
Hingga 2014
Tanah UNRAM 400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 63 Desa Penyaring, Kab.
Sumbawa, NTB
Hingga 2014
Tanah Tanjung Menangis
97 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 64 Desa Pernek, Kec.
Moyohlu, Kab. Sumbawa, NTB
Hingga 2014
Olat Maras 400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 65 Desa Damak Maliho,
Kec. Bangun Purba,
198 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 66 Sei Kopas, Kab.
Asahan, Sumut
Hingga 2014
67 Sei Litur Tasik,
757 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 68 Desa aek korsik, Kec.
Aek Kuasan Asahan, Kab. Asahan, Sumut
Hingga 2014
PT. Scofindo. 390 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 69 Desa UPT Batahan III,
Kab. Madina, Sumut
Hingga 2014
PT. Palmaris Raya
900 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 70 Desa Malum, Kec.
Sitelu Tali,Kab. Pakpak Bharat, Urang Jehe, Sumut
Hingga 2014
Pemkab 20.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 71 Desa Salahaji dan
Desa pematang Jaya,
360 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 72 Desa Tenggi, Desa
Teluk Lalang, dan
2.600 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 73 Desa Nagari Tanjung
Pauh, Kec. Pangkalan,
950 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 74 Jorong Koto Gadang
Jaya, Kab. Pasaman