• Tidak ada hasil yang ditemukan

Post Puritanisme Muhammadiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Post Puritanisme Muhammadiyah"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Post Puritanisme Muhammadiyah

Oleh: Mu'arif

Sebagai salah satu dari organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah telah mengeyam usia yang cukup matang. Kenyataan ini didukung dengan semakin kokohnya gerakan keagamaan ini dalam blantika pergerakan Islam di Indonesia. Organisasi Muhammadiyah telah mampu menciptakan sebuah kultur intelektual yang ikut serta membangun bangsa ini, maka tidak heran jika kemudian Muhammadiyah sering disebut-sebut sebagai Gerakan Modernis Islam di Indonesia. Dalam usia yang telah matang itu, Muhammadiyah sendiri ternyata harus banyak belajar dari pengalaman dengan semakin mempertinggi kualitas ljtihad yang selama ini menjadi identitas gerakan. Dalam hal ini ternyata problem yang dihadapi Muhammadiyah semakin rumit. Jika awalnya Muhammadiyah datang sebagai gerakan pembaharuan (dalam bidang pemikiran), terlebih lagi dengan adanya Majelis Tarjih yang secara khusus mewadahi pemikiran-pemikiran pembaharuan itu ternyata harus menjadi bumerang bagi gerakan ini. Kenyataan telah memperlihatkan bahwa keterbukaan melalui semangat ljtihad itu telah ditutup kembali dengan Ijtihad Baru. Artinya bahwa Majelis Tarjih yang selama ini dianggap sakral oleh pengikut setia Muhammadiyah harus menjadi batu sandungan dari semangat ljtihad itu. Akhirnya yang terjadi ialah pensakralan putusan-putusan Tarjih yang awalnya sebatas ljtihad menjadi dogma-dogma baru. Wajar saja ketika DR. Munir Mulkhan SU dalam bukunya Menggugat Muhammadiyah (2000:7) menilai bahwa dalam tubuh Majelis Tarjih hanya berisi himpunan-himpunan pemikiran yang fiqihistik. Artinya bahwa hasil ijtihad yang berawal dari Ijtihad pula harus ditutup kembali dengan Ijtihad. Karena fenomena seperti ini sudah nampak dengan jelas, lantas apakah status Muhammadiyah sebagai gerakan modernis itu masih cukup relevan untuk saat ini?

(2)

Arabisasi akibat pemahaman Islam saklek itu. Jadi yang diraih oleh umat Islam bukannya ajaran Islam yang sesungguhnya melalui proses Islamisasi, akan tetapi hanya sebatas kultur Arab melalui proses Arabisasi.

Dari dua contoh diatas sebenarnya penulis bermaksud mengkritik nalar pembaharuan (purifikasi) yang selama ini dipakai oleh Muhammadiyah. Paradigma tajdid dan tanzih yang selama ini dipakai dalam menjalankan gerakan ternyata kurang begitu santun atau kurang ramah dengan kebudayaan lokal. Akibatnya image yang dibangun oleh umat yang masih awam dengan ajaran Islam itu akan mengatakan bahwa, "Muhammadiyah sedikit-sedikit mengatakan haram" Apa-apa dinilai haram sehingga wajib ditinggalkan, padahal yang harus ditinggalkan itu adalah kebudayaan lokal (pribumi) yang telah lama melekat dalam kehidupan umat. Jelas metode dakwah yang seperti ini kurang begitu diminati oleh kalangan awam, hanya orang-orang tertentu saja yang bias memahami dan menerima konsep purifikasi itu. Dan kenyataan ini telah menciptakan elitisme di kalangan Muhammadiyah. Kenyataan ini juga pernah disindir oleh Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan (Islam) "tanpa kebudayaan".

Walaupun beberapa persoalan ditubuh Muhammadiyah masih perlu ditengok kembali, akan tetapi mengenai nalar purifikasi inilah penulis sangat sepakat untuk segera dikoreksi kembali. Setidak-tidaknya Muhammadiyah kedepan harus bisa menampilkan penyegaran dalam pemahaman Islam agar terkesan lebih santun, ramah dan tidak menafikan sama sekali budaya-budaya lokal.

Sebenarnya memang sudah terdapat indikasi perubahan yang khusus menyoroti persoalan nalar purifikasi ini yakni dengan mencuatnya wacana dakwah kultural di tubuh Muhammadiyah. Namun wacana ini sempat diganjal dari sana-sini akibat ketidak sesuaian pola pikir antara kaum progresif dan stagnan atau golongan muda dan golongan tua. Akibatnya wacana ini masih menjadi "PR" bersama berkaitan dengan tingkat rasionalitas dari orang-orang Muhammadiyah itu sendiri. Penulis sendiri termasuk mendukung gerakan dakwah kultural yang cenderung lebih santun menghadapi kebudayaan-kebudayaan lokal. Bukan berarti hendak mentolerir kemusyrikan, takhayul, bid' ah maupun khurafat, akan tetapi dakwah kultural itu adalah proses yang kontinyu untuk menarik suatu kebudayaan agar menjadi lebih Islami. Jadi eksistensi kebudayaan lokal tidak dibabat habis, tetapi diubah sedikit-demi sedikit.

(3)

menyusahkan, akan tetapi merupakan kedamaian (silm) dan kemudahan (yasr), yang membawa pada keselamatan hidup dunia dan akhirat.

Penulis adalah aktifis lkatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Pada 1 detik pertama, belitan fasa a di- energize sehingga gigi 1 dan gigi 5 rotor akan berhadap-hadapan dengan kutub-kutub fasa a atau rotor bergerak dari posisi 10

Yang diharapkan dengan diketahui volume penjualan adalah bagaimana pihak perusahaan di dalam membuat program promosi termasuk menetapkan biaya promosi, sehingga eksistensi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) tingkat kepercayaan diri para siswa-siswi kelas XI SMA BOPKRI 2 Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012, dan (2) memberikan

38 Efektivitas dari antiseptik dapat dilihat dengan melakukan metode swab tangan setelah melakukan cuci tangan menggunakan produk antiseptik yang akan diuji dan dikultur

Meski hukuman sebagai apresiasi yang negatif, tetapi bila dilakukan dengan tepat dan bijak akan berfungsi sebagai alat motivasi yang baik dan efektif. Hukuman merupakan

To him, being here meant he was trying to show he belonged, even in front of somebody like Jimmy Dolan, who’d said, “Wait a second—the brain is going to try out for football ?”

private javax.swing.JButton jButton2; private javax.swing.JButton jButton3; private javax.swing.JButton jButton4; private javax.swing.JButton jButton5;