• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

i

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

NI WAYAN KUNIAWATI 1102105032

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : NI WAYAN KUNIAWATI

NIM : 1102105032

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menrima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,

(3)

iii

PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY: MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI

MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH

NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng NIP/NIK 19640411 198903 2 002

Pembimbing Pendamping

(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN

PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY : MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI

MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR

Oleh

NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032

TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : RABU

TANGGAL : 10 JUNI 2015

TIM PENGUJI :

1. Ns. Ni Made Aries Minarti S.Kep.M.Ng (Ketua)

2. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd (Sekretaris)

3. N.L.K Sulisnadewi, M. Kep, Ns. Sp. Kep. An (Penguji)

MENGETAHUI

KATA PENGANTAR DEKAN

FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K).,M.Kes NIP. 19530131 1980031 004

KETUA

PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

(5)

v

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengaruh

Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan

kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K). M. Kes., sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng., sebagai pembimbing utama yang

telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan ini

tepat waktu.

4. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd, sebagai pembimbing pendamping

yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan

ini tepat waktu.

5. Kepada SDLB C1 Negeri Denpasar yang telah memberikan kesempatan

penelitian pada instansi yang dipimpin dan para guru yang telah membantu

(6)

vi

6. Kedua orang tua saya, keluarga, dan teman-teman angkatan 2011 PSIK A, serta

seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari

senpurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan

masukan yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015

Penulis

(7)

vii N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd

Anak retardasi mental mempunyai fungsi intelektual di bawah rata-rata (70). Anak retardasi mental memiliki keterbatasan dalam kognitif, bahasa, motorik, dan kemampuan sosialisasi. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu faktornya adalah kurangnya stimulasi. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan bermain. Permainan cooperative play: monopoli yang dilakukan secara bersama-sama dan meningkatkan kemampuan sosialisai anak retardasi mental sedang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental (one group pretest dan posttest design). Sampel terdiri dari 20 anak yang diperoleh dengan total sampling sesuai dengan kriteria inklusi.. Semua responden diberikan terapi bermain sebanyak 9 kali selama 20 menit.Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur interaksi sosial sebelum dan setelah bermain monopoli dengan lembar observasi Delphie (2006). Data dianalisis dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil penelitian sebelum diberikan terapi bermain cooperative play : monopoli, terdapat 50% responden yang interaksi sosial kurang, 40% responden interaksi sosial cukup, dan 10% responden interaksi sosial baik. Setelah diberikan terapi bermain cooperative play: monopoli, responden dengan interaksi sosial cukup sebenyak 65% responden, interaksi sosial kurang sebanyak 5% responden dan interaksi sosial baik sebanyak 30% responden. Nilai p = 0,000 yang kurang dari α (0,005) yang artinya terdapat pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Denpasar. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada guru dan orang tua untuk memberikan stimulasi berupa bermain kepada anak retardasi mental sedang untuk meningkatkan interaksi sosialnya.

(8)

viii ABSTRACT

Kuniawati, Ni Wayan. 2015. Effect of Cooperative Play Therapy: Monopoly Toward Social Interaction of Child With Moderate Mental Retardation at SDLB C1 Denpasar District .Undergradute Thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng, (2) N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd

Children with mental retardation had IQ score less than 70. They had limitations in cognitive skills, verbal skills, motoric skills, and socialization skills. It is affected by several factor, such as the lack of stimulation. Stimulation could be induced by playing game. Cooperative play: monopoly was a game which perfomed together and would increase their social interaction for them. This study aims to determine the effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of children with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Design used in this study was pre exsprerimental (one group pretest posttest) design. The samples were colection by using total sampling method consisted of 20 respondent based on the inclusion criteria. This therapy had 9 session with 20 minutes each duration. Social interaction of children with mental retardation was measured by Delphie (2006) observasion sheet on pretest and posttest. Data was analysed by Wilcoxon Signed Rank Test. Results showed on pretest there were 50% respondent with less social interaction, 40% respondent with enough social interaction, and 10% responden with good social interaction. On posttest, there were 65% respondent with enough social interaction, 30% respondent with good interaction and 5% respondent with less social interaction. The p value was 0,000 and p value < α (0,005). These result showed there was an effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of child with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Based on the result, it is suggested to teachers and parents giving the children with moderate mental retardation stimulation (i.e., playing together) to increase social interaction for them.

(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN ……….….. iii

HALAMAN PENGESAHAN……….. iv

1.3 Tujuan Penelitian……… 6

1.4 Manfaat Penelitian………..……….. 7

1.5 Keaslian Penelitian……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak Retardasi mental ………..……… 11

2.1.1 Definisi Retardasi Mental...………... 11

2.1.2 Etiologi Retardasi Mental….………..……….... 12

2.1.3 Gejala Klinis Retardasi Mental.……….. 16

2.1.4 Diagnosis Retardasi Mental….………... 17

2.1.5 Klasifikasi Retardasi Mental..………. 18

2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental………... 20

2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak dan Remaja……….. 22

2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental….…………...…... 24

2.1.9 Penatalaksanaan Retardasi Mental……….……... 25

2.2 Interaksi Sosial……….….. 26

2.2.1 Definisi Interaksi Sosial……….…… 26

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial…. 27 2.2.3 Bentuk Interaksi sosial………... 29

2.2.4 Jenis-jenis Interaksi Sosial………...………… 31

2.2.5 Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental………….. 32

2.2.6 Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial……….. 33

2.2.7 Faktor-faktor penghambat Perkembangan Sosialisasi Anak Retardasi Mental.……… 34

2.2.8 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental…..……… 36

2.3 Terapi Bermain………..……….………. 37

(10)

x

2.3.2. Fungsi Bermain……….. 38

2.3.3. Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain……... 41

2.3.4. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain… 43 2.3.5. Klasifikasi Bermain………. 44

2.3.6. Permainan Monopoli……….. 49

2.3.7. Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang……… 51

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep……….……….. 55

3.2. Variabel Penelitian………. 57

3.2.1. Variabel Independen/ Variabel Bebas……… 57

3.2.2. Variaebel Denpeden/ Variabel Terikat……….. 57

3.3. Definisi Operasional……… 57

3.4. Hipotesis Penelitian………. 59

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian……….……….. 60

4.2 Kerangka Kerja………. 61

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian……….………. . 62

4.3.1. Tempat Penelitian……….. 62

4.3.2. Waktu Penelitian……… 62

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian……… 62

4.4.1. Populasi……… 62

4.4.2. Sampel……….. 62

4.4.3. Teknik Sampling………` 63

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data………..………. ... 64

4.5.1. Jenis Data yang Dikumpulkan……… 64

4.5.2. Cara Pengumpulan Data………. 64

4.5.3. Intsrumen Pengumpulan Data……… 67

4.5.4. Etika Penelitian……… 68

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ……….. 70

4.6.1. Teknik Pengolahan Data……… 70

4.6.2. Teknik Analisis Data………. 72

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitiian……….……… 73

5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian………. 73

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian………. 74

5.1.3 Hasil Observasi Terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian ……… 77

5.1.4 Hasil Analisis Data……… 79

5.2 Pembahasan……… 81

(11)

xi

5.3 Keterbatasan Penelitian……….. 98

BAB VI PENUTUP

6.1 Simpulan………. 99

6.2 Saran……… 100

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Klasifikasi retardasi mental menurut American Assocation

Mental Deficiency (AAMD) dan WHO ... 18

Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR Dan AAMR ... 19

Tabel 3 Klasifikasi Retardasi Mental Berdasarkan Pendidikan Dan Bimbingan ... 19

Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental ... 22

Tabel 5 Kelebihan Dan Kekurangan Media Monopoli ... 48

Tabel 6 Definisi Operasional Variabel... 54

Tabel 7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 73

Tabel 8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia……… 74

Tabel 9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua……….. 75

Tabel 10 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Sebelum Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 76

Tabel 11 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Setelah Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 77

(13)

xiii

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 3 : Surat Persetujuan Mengijinkan Menjadi Responden Lampiran 4 : Standard Operating Procedur Terapi Bermain Lampiran 5 : Lembar Observasi Interaksi Sosial

Lampiran 6 : Rencana Anggaran Dana Lampiran 7 : Master Tabel

Lampiran 8 : Bukti Penelitian

(15)

xv

AAMD : American Assocation Mental Deficiency AAMR : American Association on Mental Retardation ANA : American Nurses Association

DSM : Diagnostic and Statistical Manual FAS : Fetal Alcohol Syndrome

HIV : Human Immunodeficiency Virus IUGR : Intrauterine Growth Retardation IQ : Intellegence Quotient

SD : Sekolah Dasar

SDLB : Sekolah Dasar Luar Biasa SSP : Sistem Saraf Pusat

(16)

xvi

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI BERMAIN

COOPERATIVE PLAY

:

MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK

RETARDASI MENTAL SEDANG DI SDLB

CI NEGERI DENPASAR

OLEH

NI WAYAN KUNIAWATI

1102105032

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

(17)
(18)

1

BAB1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Setiap individu merupakan manusia sosial, sehingga setiap individu dituntut

untuk dapat berpartisipasi aktif, kreatif dan berdaya guna dalam lingkungannya.

Sebagai manusia sosial, individu selalu memenuhi tuntutannya secara alamiah

yang diwujudkan dalam perilaku sosial yang sesuai dalam masyarakat. Hal

tersebut juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus terutama anak dengan

retardasi mental (RM) secara hakiki mereka merupakan makhluk sosial. Sejak

dilahirkan anak retardasi mental membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain

untuk memenuhi kebutuhan biologisnya seperti makan dan minum (Sofinar,

2012). Anak retardasi mental (RM) mempunyai fungsi intelektual dibawah rata–

rata (70) yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif,

ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat

perkembangan dan budaya, biasanya terjadi sebelum usia 18 tahun (Wong, 2004).

Hasil penelitian Word Health Organization (WHO) tahun 2009, jumlah anak RM

seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006-2007 terdapat 80.000

lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pesat pada

tahun 2009, dimana terdapat 100,000 penderita. Pada tahun 2009 terjadi

(19)

Dinas Sosial Provinsi Bali pada tahun 2014 jumlah anak yang berkebutuhan

khusus di Bali adalah 2.754 anak. Jumlah anak retardasi mental di Kota Denpasar

berjumlah 169 anak, dimana anak laki-laki berjumlah 119 anak dan perempuan 50

anak.

Retardasi mental (RM) memiliki tiga kategori, yaitu RM ringan memiliki rentang

Intelligence Quotient (IQ) 50–55 sampai sekitar 70. RM sedang memiliki tingkat

IQ 35–40 sampai 50–55 mampu mempelajari komunikasi sederhana,

keterampilan tangan yang sederhana, perawatan diri yang mendasar, pada

tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat berfungsi di

dalam lingkungan sosial. Pada RM berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35–

40 ( Lisnawati,Shahib, dan Wijayanegara, 2014).

Efendi (2006) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang adalah anak yang

memiliki kecerdasan yang rendah sehingga tidak mungkin untuk mengikuti

program yang diperuntukkan bagi anak yang mampu untuk didik seperti anak

normal pada umunya. Soetjaningsih dan Rantuh (2014) menyebutkan bahwa anak

retardasi mental tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara

berpikirnya terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian

pula pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Sedangkan Somantri

(2007) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang disebut juga embisil,

yang bisa mencapai perkembangan Mental Age-nya sampai lebih dari tujuh tahun.

(20)

3

dengan lingkungan, tidak mampu memikirkan hal yang abstrak dan yang

berbelit-belit. Di sisi lain anak retardasi mental dalam kesehariannya merupakan bagian

dari anggota masyarakat dan selalu dituntut dapat berperilaku sesuai dengan

norma- norma yang berlaku dilingkungannya.

Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu melaksanakan

tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa

mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau

orang lain hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi anak retardasi mental

tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Hal tersebut di pengaruhi oleh

faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu

: (1) Peran aktif anak rendah, (2) tingkat pendidikan orang tua, (3) Stimulasi

kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih

dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya, (4)

Intelegensi rendah (Wardhani, 2012). Fungsi intelektual yang rendah juga

disertai adanya keterbatasan pada dua fungsi atau lebih, yaitu komunikasi,

menolong diri sendiri, keterampilan sosial, mengarahkan diri dan keterampilan

akademik (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014).

Kurangnya kemampuan intelektual dan penyesuaian diri anak retardasi mental

menyebabkan anak kurang mampu bergaul dengan teman sebayanya, sehingga

anak sering dikucilkan dari pergaulan teman-teman seumurnya, akibatnya anak

(21)

kegiatannya sampai menarik diri dari pergaulan (Goshali, 2008). Anak retardasi

mental akan mengalami gangguan prilaku adaptasi sosial, yaitu dimana anak

mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, tingkah

laku kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya (Muttaqin, 2008) Hal ini juga

akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni menyebabkan

anak mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang takut serta

keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya (Somantri,

2007). Apabila interaksi sosial anak tidak dapat diatasi maka akan menimbulkan

gangguan perkembangan khususnya pada perkembangan personal sosial,

sehingga anak akan menjadi anak yang terisolasi dan tidak mampu beradaptasi

dengan lingkungannya (Wong, 2004). Adaptasi anak terhadap lingkungan seperti

geografis, adat istiadat, keluarga, sekolah dan teman sebaya dipengaruhi oleh

pengalaman atau stimulasi (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)

Stimulasi merupakan bagian dari kebutuhan dasar anak yaitu asah. Dengan

mengasah kemampuan anak secara terus-menerus, kemampuan anak akan

semakin meningkat. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan latihan dan

bermain (Astuti, 2012). Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan

sosial, belajar saling memberi dan menerima, menerima kritikan, akan terjadi

komunikasi serta belajar perilaku dan sikap yang akan diterima dalam masyarakat

(Wong, 2009). Salah satu bentuk permainan yang bisa diberikan adalah

(22)

5

permainan yang dilakukan anak secara bersama-sama, dimana permainan yang

terorganisir dan terancana serta terdapat aturan mainnya (Supartini, 2004). Hasil

penelitian Wardhani (2012) menunjukan adanya peningkatan yang bermakna

dengan cooperative play menggunakan puzzle dalam meningkatkan sosialisasi

anak retardasi mental. Monopoli merupakan salah satu permainan dari

Cooperative Play, pada permainan ini anak bermain secara bersama-sama, dengan

bermain bersama anak akan saling berinteraksi dengan teman lainnya yang akan

meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C1

Negeri Denpasar pada bulan November 2014 dengan melakukan wawancara

kepada Kepala Sekolah SDLB C1 Denpasar terdapat 63 siswa retardasi mental

sedang dan ada sebagian siswa yang tuna ganda. Hasil observasi yang dilakukan

di kelas tiga dan kelas empat secara acak menggunakan lembar observasi Delphie

(2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012) didapatkan dari sembilan

anak retardasi mental yang diobservasi didapatkan empat anak yang interaksi

sosial cukup dan lima anak interaksi sosialnya kurang. Upaya yang dilakukan

sekolah untuk meningkatkan interaksi sosial anak adalah dengan mengadakan

kegiatan pramuka setiap hari sabtu. Namun kegiatan ini tidak berjalan dengan

(23)

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap

Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah

penelitian yaitu “ Adakah Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli

Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri

Denpasar tahun 2015 ?”

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli

Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1

Denpasar 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus.

1. Mengidentifikasi interaksi sosial sebelum diberikan intervensi terapi

bermain anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar 2015.

2. Mengidentifikasi interaksi sosial setelah diberikan terapi bermain anak

(24)

7

3. Menganalisis pengaruh interaksi sosial sebelum dilakukan terapi bermain

monopoli dengan setelah dilakukan terapi bermain monopoli pada anak

retardasi mental sedang Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu

keperawatan khususnya keperawatan anak dalam pemberian terapi

bermain cooperative play terhadap interaksi sosial anak retardasi mental

sedang.

2. Dapat dijadikan referensi untuk peneliti selanjutnya dalam

mengembangkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang dalam

ilmu keperawatan anak.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Sebagai masukan bagi perawat komunitas agar membina kermitraan

antara PUSKESMAS dengan sekolah dasar berkebutuhan khusus dalam

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan menggunakan terapi bermain

monopoli sebagai salah satu metode terapi untuk menstimulasi

kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.

2. Sebagai masukan bagi orang tua dan tenaga pengajar agar menggunakan

terapi bermain monopoli sebagai salah satu pembelajaran dalam usaha

(25)

1.5Keaslian Penelitian

Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan judul

yang sama dengan judul penelitian penulis. Adapun penelitian dimana salah satu

dari variabelnya sama dengan penulis yaitu :

1.5.1 Ferlina (2014) dengan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Bermain :

Cooperativ Play dengan Puzzle Transportasi Terhadap Pekembangan Sosial

Anak Retardasi mental di Yayasan Pendidikan Setia Ayah Bunda Kota

Payakumbuh Tahun 2014”. Penelitian dilakukan di Yayasan Pendidikan

“Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh. Jumlah sampel pada penelitian ini

sebanyak 16 sampel. Penelitian ini menggunakan uji hoptesis t – berpasangan

(paired t – test) dan uji normalitas pada penelitian ini adalah Uji Shapiro Wilk

karena sampel pada penelitian ini kurang dari 50 sampel. Setelah diberikan

terapi bermain puzzle dapat diketahui bahwa dari 16 orang anak tunagrahita,

10 anak dikatakan memiliki perkembangan sosial sedang, dengan persentase

62,5% dan terdapat 6 orang anak memiliki perkembangan sosial yang baik

dengan persentase 37,5%. Hasil uji statistik didapatkan p = 0.00 maka dapat

disimpulkan ada pengaruh terapi bermain puzzle transportasi terhadap

perkembangan sosial anak tunagrahita sedang di Yayasan Pendidikan “Setia

(26)

9

1.5.2 Wardhani (2012) dengan penelitian yang berjudul “Terapi Bermain :

Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Anak

Retardasi Mental”. Penelitian ini di lakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Al –

Hidayah, Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan Kabupaten Madium. Jumlah

sampel pada penelitian ini sebanyak 21 sampel. Analisis data ini dilakukan

dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney Test

dengan tingkat kemaknaan α = 0.05. Peningkatan terjadi pada responden (4

responden) yang mengalami perubahan kriteria yang semula dari kriteria

kurang meningkat menjadi kriteria cukup dan 1 responden yang semula dari

kriteria cukup meningkat menjadi kriteria baik. Responden pada awalnya

tidak ada kontak mata, tidak membalas senyuman, tidak mau menjawab

pertanyaan dan cenderung menyendiri. Pada minggu pertama pemberian

terapi bermain: cooperative play dengan puzzle masih banyak responden

belum bisa mengikuti permainan sesuai dengan peraturan. Hasil uji statistik

didapatkan nilai p = 0,036 maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan

kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan.

1.5.3 Astuti (2011) dengan penelitian berjudul “Peningkatan Interaksi Sosial

dengan Pemberian Stimulasi Bermain Sosialisai pada Murid SDLBN/C1

(Imbesil Sedang) Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Kabupaten Tuban Jawa

Timur”. Penelitian ini dilakukan di SDLBN/C1 Kabupaten Tuban. Jumlah

sampel pada penelitian ini sebanyak 20 sampel. Pengolahan data dan analisi

(27)

dan 9 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial berat menjadi sedang.

Pada reponden no 2 dan 4 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial

sedang menjadi baik. Pada responden no 5 mengalami perubahan dua tingkat

yaitu dari kerusakan interaksi sosial sedang menjadi interaksi sosial normal

tetapi pada responden no 7 dan 10 tidak mengalami perubahan yaitu tetap

pada kerusakan interaksi sosial berat. Hasil dari penelitian ini terjadi

peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada

(28)
(29)

11

2.1. Konsep Anak Retardasi Mental

2.1.1. Definisi Retardasi Mental

Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental

adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang

ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat

kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan

perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri,

menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan

kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa

retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit,

melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan

intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan

retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan

fisik lainnya.

Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental

Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di

bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih,

(30)

12

diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan,

dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun

(Soetjiningsih, dan Ranuh, 2014)

2.1.2. Etiologi Retardasi Mental

Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan Ranuh

(2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut :

1. Pranatal

a. Chromosomal Aberration

1) Sindrom Down

95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya

disebabkan oleh transolakasi dari mosaik.

2) Delesi

Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom

5p3

3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi

Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman

(maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12,

terdapat perbedaan fenotif kerena mekanisme imprinting.

b. Disorder with autosomal-dominan inheritance

Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada

(31)

tuberus-sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena

risiko kejadian dapat berulang 50% pada setiap kehamilan.

c. Disorder with autosomal-recessive inheritance

Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya

adalah phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak

diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh

Folling pada anak dengan retardasi mental.

d. X-linked mental retardation

Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental,

setelah Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi

Xq27.3.

e. Infeksi Maternal

1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi

organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan

mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan

akibat infeksi rubela berupa retardasi mental, mikrosefali,

gangguan pendengaran, katarak, dan kelainan jantung bawaan.

2) Infeksi sitomegalovirus konginetal dapat menyebabkan

mikrosefali, gangguan pendengaran sensorineural, dan retardasi

(32)

14

3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang

terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan

perkembangan psikomotor, mata, dan pendengaran.

4) Human Immunodeficiency Virus (HIV) konginetal dapat

menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali,

kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan

perilaku.

f. Zat-zat Racun

Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang

dapat, menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol

menyebabkan tiga kelainan utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila

terpajan pada tahap organogenesis), (2) Retardasi pertumbuhan

prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf pusat (SSP),

termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik

lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah

alkohol yang dikonsumsi.

g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta

Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya.

Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat

mengakibatkan kelainan pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR

(33)

mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan

lainnya.

2. Perinatal

a. Infeksi

Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekuele

perkembangan, misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat

menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang

menyebabkan sepsis dan meningitis dapat mengakibatkan

hidrosefalus.

b. Masalah kelahiran

Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis

pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi

mental.

c. Masalah perinatal lainnya

Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental)

karena pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain

mengakibatkan kebutaan juga dapat mengakibatkan retardasi mental.

Demikian pula, hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ikterus dan

retardasi mental.

3. Pascanatal

(34)

16

b. Penyebab pascanatal lainnya

Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada kecelakaan, dan

hampir tenggelam.

c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat

d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang

stimulasi, kemiskinan, dan lainnya.

e. Penyebab tidak diketahui

Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan

tidak diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi

mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah kurangnya

stimulasi dari lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ

bersamaan dengan terjadinya maturasi.

2.1.3. Gejala Klinis Retardasi Mental

Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis yang

sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut :

1. Newborn

Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major.

2. Early infancy (2-4 bulan)

Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau

(35)

3. Later infancy (6-12 bukan)

Keterlambatan motorik kasar.

4. Toddlers (2-3 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan bicara.

5. Preschool (3-5 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk

kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus:

menggunting, mewarnai, dan menggambar

6. School age (>5 tahun)

Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan,

nakal dan lainnya).

2.1.4. Diagnosis Retardasi Mental

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak

retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV

– TR) adalah sebagai berikut :

1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa

secara individual

2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu

untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari

lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self

(36)

18

menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan

akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan

keamanan

3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun

2.1.5. Klasifikasi Retardasi Mental

Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam

klasifikasi retardasi mental yaitu :

1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD)

dan WHO

Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO

Derajat American Association Mental Deficiency

2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) :

a. Retardasi mental tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena

kalaianan fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya

adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang

(37)

maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental tipe klinik ini cepat

mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan pada

anaknya.

b. Retardasi mental tipe sosiobudaya.

Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan

ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak

normal, sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena

begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak

normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial

ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini tidak melihat adanya kelainan

pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari

gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa

kali.

3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)

AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu

retardasi mental ringan dan berat

Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR

DSM-IV-TR AAMR

Ringan (IQ) 55-69 52-75

Sedang (IQ) 40-54

Berat (IQ) 25-39 <50

(38)

20

Keterangan :

AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya likelihood dari :

a. Penyebab yang dapat didentifikasikan

b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik

c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal

d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada retardasi mental berat

4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen

Ringan 55-70 Mampu didik Kadang –kadang 0,9-2,7 %

sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan

sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya.

Bimbingan untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat

kemandirian anak.

2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental

Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa yang

terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan

(39)

bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim,

2007). Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007)

Anak-anak retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan

intelektual di bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan

terhadap prilaku adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18

tahun. Bidang prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi

meliputi :

1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan,

minum, berpakaian, dan memelihara kesehatan diri.

2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak

3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif

4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,

berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan,

tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu

luang, dan ekspresi emosi

5. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti

pengetahuan tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan

terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran.

6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,

berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan

(40)

22

7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara

mengatur pembelanjaan.

8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan

memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan

mencuci.

9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,

memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga

keselamatan lingkungan.

10.Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya,

keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan

menjaga keselamatan kerja

2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak Dan Remaja

Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan pada masa praremaja,

pertumbuhan lebih cepat dari pada masa prasekolah keterampilan dan

intelektual makin berkembang; anak senang bermain berkelompok dengan

teman jenis kelamin saa. Sedangkan pada masa remaja. Anak perempuan dua

tahun lebih cepat memasuk masa remaja bila dibandingkan dengan anak

laki-laki. Masa ini, terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut

(41)

Tahap Masa Praremaja (6-12 tahun) :

1. Teman sebaya sangan penting

2. Anak mulai berpikir logis, meskipun masih kongkrit dan operasional

3. Egosentris berkurang

4. Memori dan kemampuan bahasa meningkat

5. Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal.

6. Konsep diri berubah, yang mempengaruhi harga dirinya.

Tahap Masa Remaja (13-20 tahun)

1. Perubahan fisik cepat dan jelas

2. Maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa

3. Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya

4. Kemampuan berpikir asbtrak dan menggunakan alasan yang bersifat

alamiah sudah berkembang

(42)

24

2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental

Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental

Tingkat

Umur Sekolah: 6-20 tahun Latihan dan Pendidikan

Masa dewasa: 21 tahun atau lebih

Kecukupan Sosial dan Pekerjaan

Berat sekali Retardasi berat: kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan

Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan terus mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas

Perkembangan motorik dan berbicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan

perawatan. Berat Perkembangan motorik

kurang; bicara maksimal;

Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan

Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri dibawah pengawasan

penuh; dapat

mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.

Sedang Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; kesadaran sosial kurang; perkembangan motorik cukup; dapat mengurus diri sendiri; dapat diatur dengan pengawasan sedang.

Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; sulit mengalami perkembangan dalam bidang akademik setelah kelas dua SD;dapat mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang ringan

Ringan Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi;

keterbelakangan minimal

dalam bidang

sensomotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia tua

Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur sosial dan pekerjaan yang cukup mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang luar biasa.

(43)

2.1.9 Penatalaksanaan

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi

mental meliputi tiga hal yaitu :

1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet

secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau

substansi hormon ini.

2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental

3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi

Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi

perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi

mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi

perilaku yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan

bermain. Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain:

1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda.

2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak

retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006).

Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak

retardasi mental yaitu:

1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan

(44)

26

2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman

penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan

gerak.

3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu

menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya

4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan

perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri

5. Pengembangan sosialisasi, anak bermain dengan teman sebaya,

berkelompok, anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran,

setia, jujur, terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu.

6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi

kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas

apa yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.

2.2. Interaksi Sosial

2.2.1. Definisi Interaksi Sosial

Interaksi sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari interaksi

antar individu dan kelompok, dan antar kelompok akan tumbuh jalinan kerja

sama, saling membutuhkan, dan saling pengertian yang sangat penting dalam

mewujudkan kehidupan bersama yang dinamis. Interaksi sosial adalah bentuk

(45)

cara-cara yang berhubungan dengan individu dan kelompok lain (Maryati dan

Suryawati, 2007).

Sunaryo (2004) menyebutkan interaksi sosial mulai apabila dua orang

bertemu, misalnya saling menyapa, saling berjabat tangan, saling

berbincang-bincang, atau mungkin saling berselisih. Suatu tindakan disebut interaksi

sosial apabila individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari

individu lain. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk

tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk

hubungan antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan psikisnya.

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial

Murdiyatmoko (2007) menyatakan interaksi sosial bersifat dinamis dan

merupakan dasar bagi proses sosial. Sosiologi menelaah proses sosial, seperti

bagaimana cara anggota masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi

sosial. Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terjadi saling aksi dan reaksi

antara kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak akan terajdi jika manusia

mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak

berpengaruh terhadap system sarafnya sebagai akibat hubungan tersebut.

Interaksi sosial harus terjadi dua arah dan menuntut timbal balik. Proses

interaksi sosial baru akan berlangsung jika suatu aktivitas menciptakan aksi

(46)

28

interaksi yang didasari oleh pada berbagai faktor antara lain faktor imitasi,

sugesti, indentifikasi, dan simpati.

1. Imitasi

Imitasi adalah suatu tindakan yang menirukan tindakan, nilai, norma, atau

ilmu pengetahuan orang atau kelompok yang berinteraksi. Faktor imitasi

mempunyai peranan yang sangat panting dalam proses interaksi sosial

yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah dan nilai yang

berlaku

Imitasi mempunyai dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut :

a. Imitasi positif, yaitu apabila mendorong seseorang untuk melakukan

dan memahami kaidah-kaidah yang berlaku.

b. Imitasi negatif, yaitu apabila mengakibatkan terjadinya hal-hal yang

bertentangan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah serta

melemahkan daya kreasi seseorang. Contohnya kebiasaan

minum-minuman keras serta pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.

2. Sugesti

Sugesti timbul apabila seseorang meniru suatu pandangan atau sikap

orang lain secara tidak rasional. Sugesti mungkin terjadi apabila yang

memberi pandangan itu orang yang berwibawa, bersifat otoriter, atau

orang yang memiliki disiplin yang mantap. Contohnya, orang yang sedang

(47)

3. Identifikasi

Identifikasi merupakan kecendrungan atau keinginan seseorang untuk

menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung

dengan sendirinya (tidak sadar) atau disengaja.

4. Simpati

Simpati adalah suatu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik

pada pihak lain. Dalam proses ini, perasaan seseorang memegang peranan

yang sangat penting. Contohnya, seorang siswa ikut bergabung dalam

kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional karena tertarik dan merasa simpati

kepada pelatihnya yang pandai menari.

2.2.3. Bentuk Interaksi Sosial

Soekanto dalam Sunaryo (2004) menyebutkan ada empat bentuk interaksi

sosial , yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (compettion), pertentangan

atau pertikaian (conflict), dan akomodasi atau penyesuaian diri

(accommodation). Untuk jelas dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kerja sama (cooperation)

Kerja sama (cooperation) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial

yang utama. Kerja sama adalah bentuk usaha bersama antara orang

perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa

tujuan bersama. Timbulnya kerja sama karena adanya kepentingan

(48)

30

ancaman bersama. Kerja sama juaga dapat bersifat agresif apabila

kelompok mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas

2. Persaingan (competition)

Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial dimana individu atau

kelompok menusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang

kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum

dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang

telah ada. Tipe persaingan bisa adalah bersifat pribadi (rivalry) dan

bersifat tidak pribadi. Bentuk persaingan, antara lain persaingan ekonomi,

persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta

persaingan ras.

3. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

Pertentangan atau pertikaian (conflict) adalah suatu proses sosial di mana

individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.

Penyebab terjadinya pertentangan, yaitu perbedaan antarindividu,

perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan individu.

Bentuk–bentuk pertentangan, antara lain pertentangan pribadi,

pertentangan rasial, pertentangan antarkelas sosial, pertentangan politik,

(49)

4. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation)

Akomodasi berarti adanya suatu keseimbangan (equikebrium), dalam

interaksi antara orang perorangan atau kelompok manusia dalam

kaitannya dengan normal sosial dan nilai sosial yang berlaku dalam

masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses, yang menunjukan pada

usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu

usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Secara umum akomodasi adalah suatu

cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan

sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomudasi

adalah mengurangi pertentangan dan mencegah meledaknya pertentangan

secara temporer.

2.2.4. Jenis-Jenis Interaksi Sosial

Raharjo (2004) menyebutkan ada tiga jenis interaksi sosial yaitu :

1. Interaksi antara individu dengan individu

Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus

kepada individu lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh

tersebut memberikan reaksi, tanggapan, atau respon. Seperti jabat tangan

(50)

32

2. Interaksi antara individu dengan kelompok

Individu yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada

kelompok sosial. Contoh: seorang guru mengajari siswa-siswa di dalam

kelas.

3. Interaksi antara kelompok dengan kelompok

Hubungan interaksi antara kelompok sosial yang memberikan pengaruh,

rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial lainnya. Seperti: satu

kesebelasan sepak bola melawan kesebelasan sepak bola lainnya.

2.2.5. Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang

Pengukuran kemampuan interaksi sosial pada anak retardasi mental

menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh

Wardhani (2012). Indikator dari kemampuan interaksi sosial adalah anak

melakukan kontak mata dengan peneliti dan peneliti pendamping, anak

membalas senyuman peneliti pendamping dan peneliti, anak mampu

menjawab tiga pertanyaan dari peneliti pendamping, anak menunjukkan

barang miliknya kepada orang lain, peneliti dan peneliti pendamping, anak

mampu bermain dengan teman sebaya, anak mengikuti permainan sesuai

peraturan yang telah dibuat, anak tetap bermain dengan temannya walaupun

tidak ada guru/ pengasuh /petugas disaat jam istirahat, anak berpartisipasi

aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, anak mampu bertanya / bertukar

(51)

kelompok. Dikatakan kurang apabila skor menunjukkan 0 – 3, cukup jika

skor menunjukkan 4 – 6, dan baik jika skor menunjukkan 7 – 10.

2.2.6. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Soeroso (2008) menyebutkan kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat

terjadinya interaksi sosial

1. Kontak Sosial

Sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti bersinggungan fisik, akan

tetapi berhubungan atau bertatap muka antara individu dengan individu

lainya. Kontak sosial adalah pertemuan antara individu dengan individu,

individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok yang

memungkinkan terjadinya komunikasi. Kontak sosial dapat dibedakan

menjadi kontak primer dan kontak sekunder. Kontak sosial primer adalah

interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung

atau tanpa menggunakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan

menjadi dua yaitu tatap muka dan gerak tubuh. Kontak sosial sekunder

adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. Sarana yang sering

digunakan berupa orang sebagai perantara, artinya orang tersebut

menjebatani interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

(52)

34

adalah menggunakan media masa, baik media elektronik maupun media

cetak juga dapat melalui telepon .

2. Komunikasi

Komunikasi dilihat sebagai bagian dari interaksi sosial. Jika interaksi

sosial sebagai aktivitas, maka komunikasi diberikan pengertian sebagai

proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi

terbagi menjadi dua macam yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang

secara langsung dengan kata-kata yang ada. Penyampain pesan berbicara

secara terstruktur tentang pesan apa yang akan disampaikan kepada

masyarakat. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang

menggunakan tulisan atau gambar seperti spanduk, selebaran iklan atau

pamphlet. Sarana atau saluran media yang digunakan pada masyarakat

sederhana adalah komunikasi verbal, yaitu menggunakan kata-kata oleh

orang yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut.

2.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Sosial Anak Retardasi

Mental

Wardhani (2012) menyebutkan bahwa faktor – faktor penghambat

perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu :

1. Intelegensi rendah yaitu anak retardasi mental mengalami keterbatasan

(53)

penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh

kecerdasan, karena tingkat kecerdasan anak retardasi mental berada

dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami

hambatan. Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan

yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal

(Hurlock 2005).

2. Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang

lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan

sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah

khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini

dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan

intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama/berkelompok masih

jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran

aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan

sekitar juga kurang. Untuk itu diperlukan stimulasi berupa

kegiatan/permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara

rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam

mengembangkan kemampuan sosialisasinya.

3. Peran aktif anak rendah dimana peran aktif anak juga dapat berpengaruh.

Anak harus memacu dirinya sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan

sekitarnya. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa saling

(54)

36

adanya kelompok lawan yang memiliki tingkat kemampuan sosialisasi

yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi

dengan permainan.

4. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan

kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, hal ini berdampak pada

minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan

pemenuhan kebutuhan/stimulasi untuk mengembangkan kemampuan

sosialisasinya.

2.2.8. Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut

hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan

kelompok (Mila dan Ida, 2006). Interaksi sosial merupakan

hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan

dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial

dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan,

berbincang-bincang, bahkan berselisih (Tim Mitra Guru, 2006).

Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu

melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu

anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan

(55)

anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Untuk

memaksimalkan fungsi interaksi sosial anak retardasi mental maka perlu

diberikan stimulus dengan cara bermain.

2.3 Terapi Bermain

2.3.1. Definisi Bermain

Permainan adalah alat stimulus paling penting untuk anak. Bermain juga

dapat meningkatkan kemampuan fisik anak, pengalaman, dan pengetahuan

serta berkembang keseimbangan mental anak (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)

Bermain merupakan cara ilmiah bagi orang anak untuk mengungkapkan

konplik orang tua dan lingkungan. Dalam hal ini anak sudah mulai

memperluas ruang lingkup pergaulannya (Riyadi dan Sukirman, 2009).

Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh

kesenangan atau kepuasan (Supartini, 2004). Bermain merupakan bentuk

infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam

pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha

untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam,

Rekawati, dan Utami, 2005). Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah

laku bermasalah, dengan menempatkan anak dalam situasi bermain, baisanya

ada ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak merasa

lebih santai dan anak dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas

(56)

38

2.3.2. Fungsi Bermain

Wong et al (2009) menyebutkan fungsi bermain adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan sensimotor

Aktivitas sensimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia

dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan

akitif penting untuk perkembangan otot-otot dan bermanfaat untuk

melepas kelebihan energi. Melalui permainan sensimotor anak mengenali

sifat dunia fisik. Bayi memperoleh kesan tentang diri sendiri dan dunia

mereka melaui stimulasi taktil, auditorius, visual, dan kinestetik. Toddler

dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh utuk mengeksplorasi

segala sesuatu diruangan.

2. Perkembangan Intelektual

Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna,

bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari

fungsi angka-angka dan cara menggunkannya, mereka belajar

menghubungkan kata dengan benda, dan mereka mengembangkan

pemahaman tentang konsep abstrak dan hubungan spasial seperti naik,

turun, bawah dan atas. Ketersediaan materi permianan dan kualitas

keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan

(57)

3. Sosialisasi

Sejak masa bayi awal, anak-anak menunjukan minat dan kesenangan

apabila ditemani dengan anak lain. Hubungan sosial pertamanya adalah

dengan pribadi ibu, tetapi melalui bermain dengan anak lain, mereka

belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah yang

terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar untuk saling memberi dan

saling menerima, mereka banyak belajar dari kritikan teman sebayanya

dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak mempelajari yang benar dan

yang salah, standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan

mereka.

4. Kreativitas

Tidak ada situasi lain yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi

kreatif selain bermain. Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka

dalam bermain melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk

bahan-bahan mentah, fantasi, dan eksplorasi. Kreativitas terutama merupakan

hasil dari aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali

ditingkatkan dalam kelompok ketika mendengar ada orang lain yang

merangsang eksplorasi lanjutan dari idenya sendiri. Ketika anak

(58)

40

5. Kesadaran diri

Bermula dari eksplorasi aktif tubuh anak dan kesadaran diri bahwa mereka

terpisah dari ibunya, proses identifikasi diri difasilitasi melalui kegiatan

bermain. Anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan di mana

posisi mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka

sendiri, mempelajari kemampuan diri mereka, dan membandingkan

dengan anak yang lain. Melalui bermain anak menguji kemampuan

mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran dan mempelajari

dampak dan perilaku mereka pada orang lain.

6. Manfaat terapeutik

Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermian memberikan

sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres yang dihadapi di

lingkungan. Dalam bermain anak dapat mengekspresikan emosi dan

melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat

diterima masyarakat. Anak-anak banyak menunjukan diri mereka sendiri

dalam bermain. Melalui bermain anak-anak mampu mengomunikasikan

kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak

dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa

mereka. Selama bermain anak perlu penerimaan dan perlu didampingi

oleh orang dewasa untuk membantu mereka mengontrol agresi dan

(59)

7. Nilai moral

Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang perilaku yang

dianggap benar dan salah menurut budaya, interaksi dengan sebaya selama

bermain berperan secara bermakna pada pembentukan moral mereka.

Tidak ada tempat yang memberikan penguatan standar moral sekaku

dalam situasi bermain. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota

kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya

(misal, jujur, adil, kontrol diri dan mempertimbangkan orang lain). Anak

segera mempelajari bahwa sebaya mereka kurang toleren terhadap

kekerasan dibandingkan orang dewasa bahwa untuk mempertahankan

tempat dan kelompok bermain mereka harus menyesuikan diri dengan

standar kelompok tersebut.

2.3.3 Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain

Soetijiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan alat permainan yang bervariasi

sehingga bila bosan permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya.

Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain

aktif dan pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif,

kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR
Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental
+2

Referensi

Dokumen terkait