i
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh
NI WAYAN KUNIAWATI 1102105032
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : NI WAYAN KUNIAWATI
NIM : 1102105032
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menrima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
iii
PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY: MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI
MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH
NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032
TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI
Pembimbing Utama
Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng NIP/NIK 19640411 198903 2 002
Pembimbing Pendamping
iv
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH TERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY : MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK RETARDASI
MENTAL SEDANG DI SDLB C1 NEGERI DENPASAR
Oleh
NI WAYAN KUNIAWATI NIM. 1102105032
TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : RABU
TANGGAL : 10 JUNI 2015
TIM PENGUJI :
1. Ns. Ni Made Aries Minarti S.Kep.M.Ng (Ketua)
2. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd (Sekretaris)
3. N.L.K Sulisnadewi, M. Kep, Ns. Sp. Kep. An (Penguji)
MENGETAHUI
KATA PENGANTAR DEKAN
FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K).,M.Kes NIP. 19530131 1980031 004
KETUA
PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA
v
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengaruh
Terapi Bermain Cooperative Play: Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K). M. Kes., sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
3. Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng., sebagai pembimbing utama yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan ini
tepat waktu.
4. N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd, sebagai pembimbing pendamping
yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan
ini tepat waktu.
5. Kepada SDLB C1 Negeri Denpasar yang telah memberikan kesempatan
penelitian pada instansi yang dipimpin dan para guru yang telah membantu
vi
6. Kedua orang tua saya, keluarga, dan teman-teman angkatan 2011 PSIK A, serta
seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
senpurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan
masukan yang membangun.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015
Penulis
vii N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd
Anak retardasi mental mempunyai fungsi intelektual di bawah rata-rata (70). Anak retardasi mental memiliki keterbatasan dalam kognitif, bahasa, motorik, dan kemampuan sosialisasi. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu faktornya adalah kurangnya stimulasi. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan bermain. Permainan cooperative play: monopoli yang dilakukan secara bersama-sama dan meningkatkan kemampuan sosialisai anak retardasi mental sedang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental (one group pretest dan posttest design). Sampel terdiri dari 20 anak yang diperoleh dengan total sampling sesuai dengan kriteria inklusi.. Semua responden diberikan terapi bermain sebanyak 9 kali selama 20 menit.Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur interaksi sosial sebelum dan setelah bermain monopoli dengan lembar observasi Delphie (2006). Data dianalisis dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil penelitian sebelum diberikan terapi bermain cooperative play : monopoli, terdapat 50% responden yang interaksi sosial kurang, 40% responden interaksi sosial cukup, dan 10% responden interaksi sosial baik. Setelah diberikan terapi bermain cooperative play: monopoli, responden dengan interaksi sosial cukup sebenyak 65% responden, interaksi sosial kurang sebanyak 5% responden dan interaksi sosial baik sebanyak 30% responden. Nilai p = 0,000 yang kurang dari α (0,005) yang artinya terdapat pengaruh terapi bermain cooperative play: monopoli terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Denpasar. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada guru dan orang tua untuk memberikan stimulasi berupa bermain kepada anak retardasi mental sedang untuk meningkatkan interaksi sosialnya.
viii ABSTRACT
Kuniawati, Ni Wayan. 2015. Effect of Cooperative Play Therapy: Monopoly Toward Social Interaction of Child With Moderate Mental Retardation at SDLB C1 Denpasar District .Undergradute Thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ni Made Aries MinartiS.Kep.M.Ng, (2) N.L.P Yunianti Suntari.C.S.Kep,Ns,M.Pd
Children with mental retardation had IQ score less than 70. They had limitations in cognitive skills, verbal skills, motoric skills, and socialization skills. It is affected by several factor, such as the lack of stimulation. Stimulation could be induced by playing game. Cooperative play: monopoly was a game which perfomed together and would increase their social interaction for them. This study aims to determine the effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of children with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Design used in this study was pre exsprerimental (one group pretest posttest) design. The samples were colection by using total sampling method consisted of 20 respondent based on the inclusion criteria. This therapy had 9 session with 20 minutes each duration. Social interaction of children with mental retardation was measured by Delphie (2006) observasion sheet on pretest and posttest. Data was analysed by Wilcoxon Signed Rank Test. Results showed on pretest there were 50% respondent with less social interaction, 40% respondent with enough social interaction, and 10% responden with good social interaction. On posttest, there were 65% respondent with enough social interaction, 30% respondent with good interaction and 5% respondent with less social interaction. The p value was 0,000 and p value < α (0,005). These result showed there was an effect of cooperative play therapy: monopoly toward social interaction of child with moderate mental retardation at SDLB C1 Denpasar district. Based on the result, it is suggested to teachers and parents giving the children with moderate mental retardation stimulation (i.e., playing together) to increase social interaction for them.
ix
LEMBAR PERSETUJUAN ……….….. iii
HALAMAN PENGESAHAN……….. iv
1.3 Tujuan Penelitian……… 6
1.4 Manfaat Penelitian………..……….. 7
1.5 Keaslian Penelitian……… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak Retardasi mental ………..……… 11
2.1.1 Definisi Retardasi Mental...………... 11
2.1.2 Etiologi Retardasi Mental….………..……….... 12
2.1.3 Gejala Klinis Retardasi Mental.……….. 16
2.1.4 Diagnosis Retardasi Mental….………... 17
2.1.5 Klasifikasi Retardasi Mental..………. 18
2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental………... 20
2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak dan Remaja……….. 22
2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental….…………...…... 24
2.1.9 Penatalaksanaan Retardasi Mental……….……... 25
2.2 Interaksi Sosial……….….. 26
2.2.1 Definisi Interaksi Sosial……….…… 26
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial…. 27 2.2.3 Bentuk Interaksi sosial………... 29
2.2.4 Jenis-jenis Interaksi Sosial………...………… 31
2.2.5 Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental………….. 32
2.2.6 Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial……….. 33
2.2.7 Faktor-faktor penghambat Perkembangan Sosialisasi Anak Retardasi Mental.……… 34
2.2.8 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental…..……… 36
2.3 Terapi Bermain………..……….………. 37
x
2.3.2. Fungsi Bermain……….. 38
2.3.3. Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain……... 41
2.3.4. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain… 43 2.3.5. Klasifikasi Bermain………. 44
2.3.6. Permainan Monopoli……….. 49
2.3.7. Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang……… 51
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep……….……….. 55
3.2. Variabel Penelitian………. 57
3.2.1. Variabel Independen/ Variabel Bebas……… 57
3.2.2. Variaebel Denpeden/ Variabel Terikat……….. 57
3.3. Definisi Operasional……… 57
3.4. Hipotesis Penelitian………. 59
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian……….……….. 60
4.2 Kerangka Kerja………. 61
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian……….………. . 62
4.3.1. Tempat Penelitian……….. 62
4.3.2. Waktu Penelitian……… 62
4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian……… 62
4.4.1. Populasi……… 62
4.4.2. Sampel……….. 62
4.4.3. Teknik Sampling………` 63
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data………..………. ... 64
4.5.1. Jenis Data yang Dikumpulkan……… 64
4.5.2. Cara Pengumpulan Data………. 64
4.5.3. Intsrumen Pengumpulan Data……… 67
4.5.4. Etika Penelitian……… 68
4.6 Pengolahan dan Analisa Data ……….. 70
4.6.1. Teknik Pengolahan Data……… 70
4.6.2. Teknik Analisis Data………. 72
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitiian……….……… 73
5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian………. 73
5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian………. 74
5.1.3 Hasil Observasi Terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian ……… 77
5.1.4 Hasil Analisis Data……… 79
5.2 Pembahasan……… 81
xi
5.3 Keterbatasan Penelitian……….. 98
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan………. 99
6.2 Saran……… 100
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Klasifikasi retardasi mental menurut American Assocation
Mental Deficiency (AAMD) dan WHO ... 18
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR Dan AAMR ... 19
Tabel 3 Klasifikasi Retardasi Mental Berdasarkan Pendidikan Dan Bimbingan ... 19
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental ... 22
Tabel 5 Kelebihan Dan Kekurangan Media Monopoli ... 48
Tabel 6 Definisi Operasional Variabel... 54
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 73
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia……… 74
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua……….. 75
Tabel 10 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Sebelum Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 76
Tabel 11 Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Setelah Diberikan Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli………. 77
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian
Lampiran 3 : Surat Persetujuan Mengijinkan Menjadi Responden Lampiran 4 : Standard Operating Procedur Terapi Bermain Lampiran 5 : Lembar Observasi Interaksi Sosial
Lampiran 6 : Rencana Anggaran Dana Lampiran 7 : Master Tabel
Lampiran 8 : Bukti Penelitian
xv
AAMD : American Assocation Mental Deficiency AAMR : American Association on Mental Retardation ANA : American Nurses Association
DSM : Diagnostic and Statistical Manual FAS : Fetal Alcohol Syndrome
HIV : Human Immunodeficiency Virus IUGR : Intrauterine Growth Retardation IQ : Intellegence Quotient
SD : Sekolah Dasar
SDLB : Sekolah Dasar Luar Biasa SSP : Sistem Saraf Pusat
xvi
SKRIPSI
PENGARUH TERAPI BERMAIN
COOPERATIVE PLAY
:
MONOPOLI TERHADAP INTERAKSI SOSIAL ANAK
RETARDASI MENTAL SEDANG DI SDLB
CI NEGERI DENPASAR
OLEH
NI WAYAN KUNIAWATI
1102105032
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
BAB1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Setiap individu merupakan manusia sosial, sehingga setiap individu dituntut
untuk dapat berpartisipasi aktif, kreatif dan berdaya guna dalam lingkungannya.
Sebagai manusia sosial, individu selalu memenuhi tuntutannya secara alamiah
yang diwujudkan dalam perilaku sosial yang sesuai dalam masyarakat. Hal
tersebut juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus terutama anak dengan
retardasi mental (RM) secara hakiki mereka merupakan makhluk sosial. Sejak
dilahirkan anak retardasi mental membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya seperti makan dan minum (Sofinar,
2012). Anak retardasi mental (RM) mempunyai fungsi intelektual dibawah rata–
rata (70) yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif,
ketidakmampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat
perkembangan dan budaya, biasanya terjadi sebelum usia 18 tahun (Wong, 2004).
Hasil penelitian Word Health Organization (WHO) tahun 2009, jumlah anak RM
seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006-2007 terdapat 80.000
lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pesat pada
tahun 2009, dimana terdapat 100,000 penderita. Pada tahun 2009 terjadi
Dinas Sosial Provinsi Bali pada tahun 2014 jumlah anak yang berkebutuhan
khusus di Bali adalah 2.754 anak. Jumlah anak retardasi mental di Kota Denpasar
berjumlah 169 anak, dimana anak laki-laki berjumlah 119 anak dan perempuan 50
anak.
Retardasi mental (RM) memiliki tiga kategori, yaitu RM ringan memiliki rentang
Intelligence Quotient (IQ) 50–55 sampai sekitar 70. RM sedang memiliki tingkat
IQ 35–40 sampai 50–55 mampu mempelajari komunikasi sederhana,
keterampilan tangan yang sederhana, perawatan diri yang mendasar, pada
tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat berfungsi di
dalam lingkungan sosial. Pada RM berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35–
40 ( Lisnawati,Shahib, dan Wijayanegara, 2014).
Efendi (2006) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang adalah anak yang
memiliki kecerdasan yang rendah sehingga tidak mungkin untuk mengikuti
program yang diperuntukkan bagi anak yang mampu untuk didik seperti anak
normal pada umunya. Soetjaningsih dan Rantuh (2014) menyebutkan bahwa anak
retardasi mental tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara
berpikirnya terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian
pula pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Sedangkan Somantri
(2007) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang disebut juga embisil,
yang bisa mencapai perkembangan Mental Age-nya sampai lebih dari tujuh tahun.
3
dengan lingkungan, tidak mampu memikirkan hal yang abstrak dan yang
berbelit-belit. Di sisi lain anak retardasi mental dalam kesehariannya merupakan bagian
dari anggota masyarakat dan selalu dituntut dapat berperilaku sesuai dengan
norma- norma yang berlaku dilingkungannya.
Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu melaksanakan
tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa
mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau
orang lain hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi anak retardasi mental
tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Hal tersebut di pengaruhi oleh
faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu
: (1) Peran aktif anak rendah, (2) tingkat pendidikan orang tua, (3) Stimulasi
kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih
dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya, (4)
Intelegensi rendah (Wardhani, 2012). Fungsi intelektual yang rendah juga
disertai adanya keterbatasan pada dua fungsi atau lebih, yaitu komunikasi,
menolong diri sendiri, keterampilan sosial, mengarahkan diri dan keterampilan
akademik (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014).
Kurangnya kemampuan intelektual dan penyesuaian diri anak retardasi mental
menyebabkan anak kurang mampu bergaul dengan teman sebayanya, sehingga
anak sering dikucilkan dari pergaulan teman-teman seumurnya, akibatnya anak
kegiatannya sampai menarik diri dari pergaulan (Goshali, 2008). Anak retardasi
mental akan mengalami gangguan prilaku adaptasi sosial, yaitu dimana anak
mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, tingkah
laku kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya (Muttaqin, 2008) Hal ini juga
akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni menyebabkan
anak mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang takut serta
keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya (Somantri,
2007). Apabila interaksi sosial anak tidak dapat diatasi maka akan menimbulkan
gangguan perkembangan khususnya pada perkembangan personal sosial,
sehingga anak akan menjadi anak yang terisolasi dan tidak mampu beradaptasi
dengan lingkungannya (Wong, 2004). Adaptasi anak terhadap lingkungan seperti
geografis, adat istiadat, keluarga, sekolah dan teman sebaya dipengaruhi oleh
pengalaman atau stimulasi (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)
Stimulasi merupakan bagian dari kebutuhan dasar anak yaitu asah. Dengan
mengasah kemampuan anak secara terus-menerus, kemampuan anak akan
semakin meningkat. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan latihan dan
bermain (Astuti, 2012). Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan
sosial, belajar saling memberi dan menerima, menerima kritikan, akan terjadi
komunikasi serta belajar perilaku dan sikap yang akan diterima dalam masyarakat
(Wong, 2009). Salah satu bentuk permainan yang bisa diberikan adalah
5
permainan yang dilakukan anak secara bersama-sama, dimana permainan yang
terorganisir dan terancana serta terdapat aturan mainnya (Supartini, 2004). Hasil
penelitian Wardhani (2012) menunjukan adanya peningkatan yang bermakna
dengan cooperative play menggunakan puzzle dalam meningkatkan sosialisasi
anak retardasi mental. Monopoli merupakan salah satu permainan dari
Cooperative Play, pada permainan ini anak bermain secara bersama-sama, dengan
bermain bersama anak akan saling berinteraksi dengan teman lainnya yang akan
meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C1
Negeri Denpasar pada bulan November 2014 dengan melakukan wawancara
kepada Kepala Sekolah SDLB C1 Denpasar terdapat 63 siswa retardasi mental
sedang dan ada sebagian siswa yang tuna ganda. Hasil observasi yang dilakukan
di kelas tiga dan kelas empat secara acak menggunakan lembar observasi Delphie
(2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012) didapatkan dari sembilan
anak retardasi mental yang diobservasi didapatkan empat anak yang interaksi
sosial cukup dan lima anak interaksi sosialnya kurang. Upaya yang dilakukan
sekolah untuk meningkatkan interaksi sosial anak adalah dengan mengadakan
kegiatan pramuka setiap hari sabtu. Namun kegiatan ini tidak berjalan dengan
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap
Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu “ Adakah Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli
Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri
Denpasar tahun 2015 ?”
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli
Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1
Denpasar 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus.
1. Mengidentifikasi interaksi sosial sebelum diberikan intervensi terapi
bermain anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar 2015.
2. Mengidentifikasi interaksi sosial setelah diberikan terapi bermain anak
7
3. Menganalisis pengaruh interaksi sosial sebelum dilakukan terapi bermain
monopoli dengan setelah dilakukan terapi bermain monopoli pada anak
retardasi mental sedang Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu
keperawatan khususnya keperawatan anak dalam pemberian terapi
bermain cooperative play terhadap interaksi sosial anak retardasi mental
sedang.
2. Dapat dijadikan referensi untuk peneliti selanjutnya dalam
mengembangkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang dalam
ilmu keperawatan anak.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Sebagai masukan bagi perawat komunitas agar membina kermitraan
antara PUSKESMAS dengan sekolah dasar berkebutuhan khusus dalam
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan menggunakan terapi bermain
monopoli sebagai salah satu metode terapi untuk menstimulasi
kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.
2. Sebagai masukan bagi orang tua dan tenaga pengajar agar menggunakan
terapi bermain monopoli sebagai salah satu pembelajaran dalam usaha
1.5Keaslian Penelitian
Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan judul
yang sama dengan judul penelitian penulis. Adapun penelitian dimana salah satu
dari variabelnya sama dengan penulis yaitu :
1.5.1 Ferlina (2014) dengan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Bermain :
Cooperativ Play dengan Puzzle Transportasi Terhadap Pekembangan Sosial
Anak Retardasi mental di Yayasan Pendidikan Setia Ayah Bunda Kota
Payakumbuh Tahun 2014”. Penelitian dilakukan di Yayasan Pendidikan
“Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh. Jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak 16 sampel. Penelitian ini menggunakan uji hoptesis t – berpasangan
(paired t – test) dan uji normalitas pada penelitian ini adalah Uji Shapiro Wilk
karena sampel pada penelitian ini kurang dari 50 sampel. Setelah diberikan
terapi bermain puzzle dapat diketahui bahwa dari 16 orang anak tunagrahita,
10 anak dikatakan memiliki perkembangan sosial sedang, dengan persentase
62,5% dan terdapat 6 orang anak memiliki perkembangan sosial yang baik
dengan persentase 37,5%. Hasil uji statistik didapatkan p = 0.00 maka dapat
disimpulkan ada pengaruh terapi bermain puzzle transportasi terhadap
perkembangan sosial anak tunagrahita sedang di Yayasan Pendidikan “Setia
9
1.5.2 Wardhani (2012) dengan penelitian yang berjudul “Terapi Bermain :
Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Anak
Retardasi Mental”. Penelitian ini di lakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Al –
Hidayah, Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan Kabupaten Madium. Jumlah
sampel pada penelitian ini sebanyak 21 sampel. Analisis data ini dilakukan
dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney Test
dengan tingkat kemaknaan α = 0.05. Peningkatan terjadi pada responden (4
responden) yang mengalami perubahan kriteria yang semula dari kriteria
kurang meningkat menjadi kriteria cukup dan 1 responden yang semula dari
kriteria cukup meningkat menjadi kriteria baik. Responden pada awalnya
tidak ada kontak mata, tidak membalas senyuman, tidak mau menjawab
pertanyaan dan cenderung menyendiri. Pada minggu pertama pemberian
terapi bermain: cooperative play dengan puzzle masih banyak responden
belum bisa mengikuti permainan sesuai dengan peraturan. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p = 0,036 maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan
kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan.
1.5.3 Astuti (2011) dengan penelitian berjudul “Peningkatan Interaksi Sosial
dengan Pemberian Stimulasi Bermain Sosialisai pada Murid SDLBN/C1
(Imbesil Sedang) Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Kabupaten Tuban Jawa
Timur”. Penelitian ini dilakukan di SDLBN/C1 Kabupaten Tuban. Jumlah
sampel pada penelitian ini sebanyak 20 sampel. Pengolahan data dan analisi
dan 9 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial berat menjadi sedang.
Pada reponden no 2 dan 4 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial
sedang menjadi baik. Pada responden no 5 mengalami perubahan dua tingkat
yaitu dari kerusakan interaksi sosial sedang menjadi interaksi sosial normal
tetapi pada responden no 7 dan 10 tidak mengalami perubahan yaitu tetap
pada kerusakan interaksi sosial berat. Hasil dari penelitian ini terjadi
peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada
11
2.1. Konsep Anak Retardasi Mental
2.1.1. Definisi Retardasi Mental
Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental
adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang
ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat
kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan
perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri,
menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan
kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa
retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit,
melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan
intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan
retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan
fisik lainnya.
Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental
Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di
bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih,
12
diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan,
dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun
(Soetjiningsih, dan Ranuh, 2014)
2.1.2. Etiologi Retardasi Mental
Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan Ranuh
(2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut :
1. Pranatal
a. Chromosomal Aberration
1) Sindrom Down
95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya
disebabkan oleh transolakasi dari mosaik.
2) Delesi
Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom
5p3
3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi
Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman
(maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12,
terdapat perbedaan fenotif kerena mekanisme imprinting.
b. Disorder with autosomal-dominan inheritance
Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada
tuberus-sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena
risiko kejadian dapat berulang 50% pada setiap kehamilan.
c. Disorder with autosomal-recessive inheritance
Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya
adalah phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak
diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh
Folling pada anak dengan retardasi mental.
d. X-linked mental retardation
Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental,
setelah Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi
Xq27.3.
e. Infeksi Maternal
1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi
organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan
mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan
akibat infeksi rubela berupa retardasi mental, mikrosefali,
gangguan pendengaran, katarak, dan kelainan jantung bawaan.
2) Infeksi sitomegalovirus konginetal dapat menyebabkan
mikrosefali, gangguan pendengaran sensorineural, dan retardasi
14
3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang
terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan
perkembangan psikomotor, mata, dan pendengaran.
4) Human Immunodeficiency Virus (HIV) konginetal dapat
menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali,
kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan
perilaku.
f. Zat-zat Racun
Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang
dapat, menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol
menyebabkan tiga kelainan utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila
terpajan pada tahap organogenesis), (2) Retardasi pertumbuhan
prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf pusat (SSP),
termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik
lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah
alkohol yang dikonsumsi.
g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta
Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya.
Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat
mengakibatkan kelainan pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR
mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan
lainnya.
2. Perinatal
a. Infeksi
Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekuele
perkembangan, misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat
menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang
menyebabkan sepsis dan meningitis dapat mengakibatkan
hidrosefalus.
b. Masalah kelahiran
Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis
pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi
mental.
c. Masalah perinatal lainnya
Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental)
karena pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain
mengakibatkan kebutaan juga dapat mengakibatkan retardasi mental.
Demikian pula, hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ikterus dan
retardasi mental.
3. Pascanatal
16
b. Penyebab pascanatal lainnya
Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada kecelakaan, dan
hampir tenggelam.
c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat
d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang
stimulasi, kemiskinan, dan lainnya.
e. Penyebab tidak diketahui
Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan
tidak diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi
mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah kurangnya
stimulasi dari lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ
bersamaan dengan terjadinya maturasi.
2.1.3. Gejala Klinis Retardasi Mental
Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis yang
sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut :
1. Newborn
Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major.
2. Early infancy (2-4 bulan)
Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau
3. Later infancy (6-12 bukan)
Keterlambatan motorik kasar.
4. Toddlers (2-3 tahun)
Keterlambatan atau kesulitan bicara.
5. Preschool (3-5 tahun)
Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk
kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus:
menggunting, mewarnai, dan menggambar
6. School age (>5 tahun)
Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan,
nakal dan lainnya).
2.1.4. Diagnosis Retardasi Mental
Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak
retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV
– TR) adalah sebagai berikut :
1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa
secara individual
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu
untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari
lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self
18
menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan
akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan
keamanan
3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun
2.1.5. Klasifikasi Retardasi Mental
Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam
klasifikasi retardasi mental yaitu :
1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD)
dan WHO
Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO
Derajat American Association Mental Deficiency
2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) :
a. Retardasi mental tipe klinik
Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena
kalaianan fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya
adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang
maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental tipe klinik ini cepat
mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan pada
anaknya.
b. Retardasi mental tipe sosiobudaya.
Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan
ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak
normal, sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena
begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak
normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial
ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini tidak melihat adanya kelainan
pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari
gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa
kali.
3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)
AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu
retardasi mental ringan dan berat
Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR
DSM-IV-TR AAMR
Ringan (IQ) 55-69 52-75
Sedang (IQ) 40-54
Berat (IQ) 25-39 <50
20
Keterangan :
AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya likelihood dari :
a. Penyebab yang dapat didentifikasikan
b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik
c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal
d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada retardasi mental berat
4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen
Ringan 55-70 Mampu didik Kadang –kadang 0,9-2,7 %
sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan
sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya.
Bimbingan untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat
kemandirian anak.
2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental
Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan
bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim,
2007). Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007)
Anak-anak retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan
intelektual di bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan
terhadap prilaku adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18
tahun. Bidang prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi
meliputi :
1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan,
minum, berpakaian, dan memelihara kesehatan diri.
2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak
3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif
4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,
berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan,
tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu
luang, dan ekspresi emosi
5. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti
pengetahuan tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan
terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran.
6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,
berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan
22
7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara
mengatur pembelanjaan.
8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan
memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan
mencuci.
9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,
memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga
keselamatan lingkungan.
10.Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya,
keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan
menjaga keselamatan kerja
2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak Dan Remaja
Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan pada masa praremaja,
pertumbuhan lebih cepat dari pada masa prasekolah keterampilan dan
intelektual makin berkembang; anak senang bermain berkelompok dengan
teman jenis kelamin saa. Sedangkan pada masa remaja. Anak perempuan dua
tahun lebih cepat memasuk masa remaja bila dibandingkan dengan anak
laki-laki. Masa ini, terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut
Tahap Masa Praremaja (6-12 tahun) :
1. Teman sebaya sangan penting
2. Anak mulai berpikir logis, meskipun masih kongkrit dan operasional
3. Egosentris berkurang
4. Memori dan kemampuan bahasa meningkat
5. Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal.
6. Konsep diri berubah, yang mempengaruhi harga dirinya.
Tahap Masa Remaja (13-20 tahun)
1. Perubahan fisik cepat dan jelas
2. Maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa
3. Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya
4. Kemampuan berpikir asbtrak dan menggunakan alasan yang bersifat
alamiah sudah berkembang
24
2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental
Tingkat
Umur Sekolah: 6-20 tahun Latihan dan Pendidikan
Masa dewasa: 21 tahun atau lebih
Kecukupan Sosial dan Pekerjaan
Berat sekali Retardasi berat: kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan
Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan terus mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas
Perkembangan motorik dan berbicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan
perawatan. Berat Perkembangan motorik
kurang; bicara maksimal;
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan
Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri dibawah pengawasan
penuh; dapat
mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.
Sedang Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; kesadaran sosial kurang; perkembangan motorik cukup; dapat mengurus diri sendiri; dapat diatur dengan pengawasan sedang.
Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; sulit mengalami perkembangan dalam bidang akademik setelah kelas dua SD;dapat mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang ringan
Ringan Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi;
keterbelakangan minimal
dalam bidang
sensomotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia tua
Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur sosial dan pekerjaan yang cukup mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang luar biasa.
2.1.9 Penatalaksanaan
Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi
mental meliputi tiga hal yaitu :
1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet
secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau
substansi hormon ini.
2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental
3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi
Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi
perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi
mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi
perilaku yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan
bermain. Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain:
1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda.
2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak
retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006).
Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak
retardasi mental yaitu:
1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan
26
2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan
gerak.
3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu
menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya
4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan
perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri
5. Pengembangan sosialisasi, anak bermain dengan teman sebaya,
berkelompok, anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran,
setia, jujur, terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu.
6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi
kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas
apa yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.
2.2. Interaksi Sosial
2.2.1. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari interaksi
antar individu dan kelompok, dan antar kelompok akan tumbuh jalinan kerja
sama, saling membutuhkan, dan saling pengertian yang sangat penting dalam
mewujudkan kehidupan bersama yang dinamis. Interaksi sosial adalah bentuk
cara-cara yang berhubungan dengan individu dan kelompok lain (Maryati dan
Suryawati, 2007).
Sunaryo (2004) menyebutkan interaksi sosial mulai apabila dua orang
bertemu, misalnya saling menyapa, saling berjabat tangan, saling
berbincang-bincang, atau mungkin saling berselisih. Suatu tindakan disebut interaksi
sosial apabila individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari
individu lain. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk
tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk
hubungan antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan psikisnya.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial
Murdiyatmoko (2007) menyatakan interaksi sosial bersifat dinamis dan
merupakan dasar bagi proses sosial. Sosiologi menelaah proses sosial, seperti
bagaimana cara anggota masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi
sosial. Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terjadi saling aksi dan reaksi
antara kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak akan terajdi jika manusia
mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak
berpengaruh terhadap system sarafnya sebagai akibat hubungan tersebut.
Interaksi sosial harus terjadi dua arah dan menuntut timbal balik. Proses
interaksi sosial baru akan berlangsung jika suatu aktivitas menciptakan aksi
28
interaksi yang didasari oleh pada berbagai faktor antara lain faktor imitasi,
sugesti, indentifikasi, dan simpati.
1. Imitasi
Imitasi adalah suatu tindakan yang menirukan tindakan, nilai, norma, atau
ilmu pengetahuan orang atau kelompok yang berinteraksi. Faktor imitasi
mempunyai peranan yang sangat panting dalam proses interaksi sosial
yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah dan nilai yang
berlaku
Imitasi mempunyai dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut :
a. Imitasi positif, yaitu apabila mendorong seseorang untuk melakukan
dan memahami kaidah-kaidah yang berlaku.
b. Imitasi negatif, yaitu apabila mengakibatkan terjadinya hal-hal yang
bertentangan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah serta
melemahkan daya kreasi seseorang. Contohnya kebiasaan
minum-minuman keras serta pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.
2. Sugesti
Sugesti timbul apabila seseorang meniru suatu pandangan atau sikap
orang lain secara tidak rasional. Sugesti mungkin terjadi apabila yang
memberi pandangan itu orang yang berwibawa, bersifat otoriter, atau
orang yang memiliki disiplin yang mantap. Contohnya, orang yang sedang
3. Identifikasi
Identifikasi merupakan kecendrungan atau keinginan seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung
dengan sendirinya (tidak sadar) atau disengaja.
4. Simpati
Simpati adalah suatu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik
pada pihak lain. Dalam proses ini, perasaan seseorang memegang peranan
yang sangat penting. Contohnya, seorang siswa ikut bergabung dalam
kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional karena tertarik dan merasa simpati
kepada pelatihnya yang pandai menari.
2.2.3. Bentuk Interaksi Sosial
Soekanto dalam Sunaryo (2004) menyebutkan ada empat bentuk interaksi
sosial , yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (compettion), pertentangan
atau pertikaian (conflict), dan akomodasi atau penyesuaian diri
(accommodation). Untuk jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kerja sama (cooperation)
Kerja sama (cooperation) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial
yang utama. Kerja sama adalah bentuk usaha bersama antara orang
perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama. Timbulnya kerja sama karena adanya kepentingan
30
ancaman bersama. Kerja sama juaga dapat bersifat agresif apabila
kelompok mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas
2. Persaingan (competition)
Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok menusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang
kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum
dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang
telah ada. Tipe persaingan bisa adalah bersifat pribadi (rivalry) dan
bersifat tidak pribadi. Bentuk persaingan, antara lain persaingan ekonomi,
persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta
persaingan ras.
3. Pertentangan atau pertikaian (conflict)
Pertentangan atau pertikaian (conflict) adalah suatu proses sosial di mana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.
Penyebab terjadinya pertentangan, yaitu perbedaan antarindividu,
perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan individu.
Bentuk–bentuk pertentangan, antara lain pertentangan pribadi,
pertentangan rasial, pertentangan antarkelas sosial, pertentangan politik,
4. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation)
Akomodasi berarti adanya suatu keseimbangan (equikebrium), dalam
interaksi antara orang perorangan atau kelompok manusia dalam
kaitannya dengan normal sosial dan nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses, yang menunjukan pada
usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu
usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Secara umum akomodasi adalah suatu
cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan
sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomudasi
adalah mengurangi pertentangan dan mencegah meledaknya pertentangan
secara temporer.
2.2.4. Jenis-Jenis Interaksi Sosial
Raharjo (2004) menyebutkan ada tiga jenis interaksi sosial yaitu :
1. Interaksi antara individu dengan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus
kepada individu lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh
tersebut memberikan reaksi, tanggapan, atau respon. Seperti jabat tangan
32
2. Interaksi antara individu dengan kelompok
Individu yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada
kelompok sosial. Contoh: seorang guru mengajari siswa-siswa di dalam
kelas.
3. Interaksi antara kelompok dengan kelompok
Hubungan interaksi antara kelompok sosial yang memberikan pengaruh,
rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial lainnya. Seperti: satu
kesebelasan sepak bola melawan kesebelasan sepak bola lainnya.
2.2.5. Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang
Pengukuran kemampuan interaksi sosial pada anak retardasi mental
menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh
Wardhani (2012). Indikator dari kemampuan interaksi sosial adalah anak
melakukan kontak mata dengan peneliti dan peneliti pendamping, anak
membalas senyuman peneliti pendamping dan peneliti, anak mampu
menjawab tiga pertanyaan dari peneliti pendamping, anak menunjukkan
barang miliknya kepada orang lain, peneliti dan peneliti pendamping, anak
mampu bermain dengan teman sebaya, anak mengikuti permainan sesuai
peraturan yang telah dibuat, anak tetap bermain dengan temannya walaupun
tidak ada guru/ pengasuh /petugas disaat jam istirahat, anak berpartisipasi
aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, anak mampu bertanya / bertukar
kelompok. Dikatakan kurang apabila skor menunjukkan 0 – 3, cukup jika
skor menunjukkan 4 – 6, dan baik jika skor menunjukkan 7 – 10.
2.2.6. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Soeroso (2008) menyebutkan kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat
terjadinya interaksi sosial
1. Kontak Sosial
Sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti bersinggungan fisik, akan
tetapi berhubungan atau bertatap muka antara individu dengan individu
lainya. Kontak sosial adalah pertemuan antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok yang
memungkinkan terjadinya komunikasi. Kontak sosial dapat dibedakan
menjadi kontak primer dan kontak sekunder. Kontak sosial primer adalah
interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung
atau tanpa menggunakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan
menjadi dua yaitu tatap muka dan gerak tubuh. Kontak sosial sekunder
adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. Sarana yang sering
digunakan berupa orang sebagai perantara, artinya orang tersebut
menjebatani interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
34
adalah menggunakan media masa, baik media elektronik maupun media
cetak juga dapat melalui telepon .
2. Komunikasi
Komunikasi dilihat sebagai bagian dari interaksi sosial. Jika interaksi
sosial sebagai aktivitas, maka komunikasi diberikan pengertian sebagai
proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi
terbagi menjadi dua macam yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang
secara langsung dengan kata-kata yang ada. Penyampain pesan berbicara
secara terstruktur tentang pesan apa yang akan disampaikan kepada
masyarakat. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang
menggunakan tulisan atau gambar seperti spanduk, selebaran iklan atau
pamphlet. Sarana atau saluran media yang digunakan pada masyarakat
sederhana adalah komunikasi verbal, yaitu menggunakan kata-kata oleh
orang yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut.
2.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Sosial Anak Retardasi
Mental
Wardhani (2012) menyebutkan bahwa faktor – faktor penghambat
perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu :
1. Intelegensi rendah yaitu anak retardasi mental mengalami keterbatasan
penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh
kecerdasan, karena tingkat kecerdasan anak retardasi mental berada
dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami
hambatan. Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan
yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal
(Hurlock 2005).
2. Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang
lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan
sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah
khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini
dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan
intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama/berkelompok masih
jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran
aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitar juga kurang. Untuk itu diperlukan stimulasi berupa
kegiatan/permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara
rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam
mengembangkan kemampuan sosialisasinya.
3. Peran aktif anak rendah dimana peran aktif anak juga dapat berpengaruh.
Anak harus memacu dirinya sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa saling
36
adanya kelompok lawan yang memiliki tingkat kemampuan sosialisasi
yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi
dengan permainan.
4. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan
kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, hal ini berdampak pada
minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan
pemenuhan kebutuhan/stimulasi untuk mengembangkan kemampuan
sosialisasinya.
2.2.8. Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut
hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan
kelompok (Mila dan Ida, 2006). Interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan
dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial
dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan,
berbincang-bincang, bahkan berselisih (Tim Mitra Guru, 2006).
Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu
melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu
anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan
anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Untuk
memaksimalkan fungsi interaksi sosial anak retardasi mental maka perlu
diberikan stimulus dengan cara bermain.
2.3 Terapi Bermain
2.3.1. Definisi Bermain
Permainan adalah alat stimulus paling penting untuk anak. Bermain juga
dapat meningkatkan kemampuan fisik anak, pengalaman, dan pengetahuan
serta berkembang keseimbangan mental anak (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)
Bermain merupakan cara ilmiah bagi orang anak untuk mengungkapkan
konplik orang tua dan lingkungan. Dalam hal ini anak sudah mulai
memperluas ruang lingkup pergaulannya (Riyadi dan Sukirman, 2009).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan atau kepuasan (Supartini, 2004). Bermain merupakan bentuk
infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam
pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha
untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam,
Rekawati, dan Utami, 2005). Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah
laku bermasalah, dengan menempatkan anak dalam situasi bermain, baisanya
ada ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak merasa
lebih santai dan anak dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas
38
2.3.2. Fungsi Bermain
Wong et al (2009) menyebutkan fungsi bermain adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan sensimotor
Aktivitas sensimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia
dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan
akitif penting untuk perkembangan otot-otot dan bermanfaat untuk
melepas kelebihan energi. Melalui permainan sensimotor anak mengenali
sifat dunia fisik. Bayi memperoleh kesan tentang diri sendiri dan dunia
mereka melaui stimulasi taktil, auditorius, visual, dan kinestetik. Toddler
dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh utuk mengeksplorasi
segala sesuatu diruangan.
2. Perkembangan Intelektual
Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna,
bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari
fungsi angka-angka dan cara menggunkannya, mereka belajar
menghubungkan kata dengan benda, dan mereka mengembangkan
pemahaman tentang konsep abstrak dan hubungan spasial seperti naik,
turun, bawah dan atas. Ketersediaan materi permianan dan kualitas
keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan
3. Sosialisasi
Sejak masa bayi awal, anak-anak menunjukan minat dan kesenangan
apabila ditemani dengan anak lain. Hubungan sosial pertamanya adalah
dengan pribadi ibu, tetapi melalui bermain dengan anak lain, mereka
belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah yang
terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar untuk saling memberi dan
saling menerima, mereka banyak belajar dari kritikan teman sebayanya
dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak mempelajari yang benar dan
yang salah, standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan
mereka.
4. Kreativitas
Tidak ada situasi lain yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi
kreatif selain bermain. Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka
dalam bermain melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk
bahan-bahan mentah, fantasi, dan eksplorasi. Kreativitas terutama merupakan
hasil dari aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali
ditingkatkan dalam kelompok ketika mendengar ada orang lain yang
merangsang eksplorasi lanjutan dari idenya sendiri. Ketika anak
40
5. Kesadaran diri
Bermula dari eksplorasi aktif tubuh anak dan kesadaran diri bahwa mereka
terpisah dari ibunya, proses identifikasi diri difasilitasi melalui kegiatan
bermain. Anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan di mana
posisi mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka
sendiri, mempelajari kemampuan diri mereka, dan membandingkan
dengan anak yang lain. Melalui bermain anak menguji kemampuan
mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran dan mempelajari
dampak dan perilaku mereka pada orang lain.
6. Manfaat terapeutik
Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermian memberikan
sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres yang dihadapi di
lingkungan. Dalam bermain anak dapat mengekspresikan emosi dan
melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat
diterima masyarakat. Anak-anak banyak menunjukan diri mereka sendiri
dalam bermain. Melalui bermain anak-anak mampu mengomunikasikan
kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak
dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa
mereka. Selama bermain anak perlu penerimaan dan perlu didampingi
oleh orang dewasa untuk membantu mereka mengontrol agresi dan
7. Nilai moral
Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang perilaku yang
dianggap benar dan salah menurut budaya, interaksi dengan sebaya selama
bermain berperan secara bermakna pada pembentukan moral mereka.
Tidak ada tempat yang memberikan penguatan standar moral sekaku
dalam situasi bermain. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota
kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya
(misal, jujur, adil, kontrol diri dan mempertimbangkan orang lain). Anak
segera mempelajari bahwa sebaya mereka kurang toleren terhadap
kekerasan dibandingkan orang dewasa bahwa untuk mempertahankan
tempat dan kelompok bermain mereka harus menyesuikan diri dengan
standar kelompok tersebut.
2.3.3 Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain
Soetijiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan alat permainan yang bervariasi
sehingga bila bosan permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya.
Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain
aktif dan pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif,
kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan