• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaji Eksperimental Konversi Biomassa Sampah Menjadi Bahan Bakar Terbarukan Menggunakan Proses Torefaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kaji Eksperimental Konversi Biomassa Sampah Menjadi Bahan Bakar Terbarukan Menggunakan Proses Torefaksi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kaji Eksperimental Konversi Biomassa Sampah Menjadi Bahan Bakar Terbarukan Menggunakan Proses Torefaksi

Experimental Study of Conversion of Waste Biomass into Renewable Fuel Using the Torrefaction Process

Agus Apriyanto

1*

, Muh Tohirin

2

1,2Program studi Teknik Mesin, Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

*Email: agus.apriyanto89@gmail.com

Abstrak

Sumber energi primer nasional saat ini masih bertumpu pada bahan bakar fosil, yakni minyak bumi, gas alam dan batubara. Sementara kebijakan pemerintah menuntut penggunaan energi alternatif mendapat porsi yang lebih besar dimasa yang akan datang. Sampah biomassa berpotensi tinggi sebagai bahan baku bioenergi.

Teknologi peningkatan nilai energinya untuk menghasilkan bahan bakar padat berkalori tinggi adalah melalui proses torefaksi. Penelitian ini bertujuan menginvestigasi karakterisik bahan bakar produk torefaksi dalam skala yang lebih besar sebagai persiapan untuk skala industri. Hasil karakteristik diketahui melalui pengujian nilai kalor, pengujian proksimat dan ultimat. Torefaksi dilakukan pada temperatur 250, 275, 300oC pada tekanan atmosfer tanpa oksigen dengan massa umpan sampah biomassa sebanyak 1 kg waktu tinggal 30 menit dan waktu pendinginan 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses torefaksi sampah biomassa dapat menghasilkan bahan bakar padat dengan nilai kalor tertinggi sebesar 5425 kcal/kg, setara dengan batubara subbituminus B, yang diperoleh pada temperatur 275°C. Bahan bakar padat berkualitas baik memiliki kadar air, kadar zat terbang dan kadar abu yang rendah serta memiliki karbon terikat dan nilai kalor yang tinggi.

Selain itu, dari hasil pengujian proksimat dan ultimat terbukti bahwa kandungan fixed carbon yang semakin tinggi dan turunnya rasio atom O/C akan meningkatkan nilai kalor produk padatan hasil torefaksi.

Kata kunci: Torefaksi, Limbah Biomassa, Analisis Ultimate, Nilai Proksimat dan Kalor

Abstract

Earthquakes are natural vibrational events from the oceans as well as from the earth, after which entering the earth's surface impacting the earth is broken into fragments. Bandar Lampung city and surrounding areas are safe zones, but on Friday, August 02, 2019 at 19.03 WIB a tectonic earthquake of magnitude 7.4 occurred in Banten and surrounding areas the earthquake had the potential for tsunami to be felt in west Java and Bandar Lampung city. Therefore, a case study was conducted on the analysis of the dynamic behavior of the building, the period of shaking, the strength of the building and the shear force. This research was conducted by surveying the location and applying for data to the party who handled the planning of the Lampung Bank Archive Building and then conducted modeling analysis using a computer program, namely Etabs C 19.0.0 while for data analysis using Microsoft Office Excel 2016. From the results of modeling and data analysis obtained Period T = 1.261 The largest rigidity value due to earthquake load X is 2157.14 kN / m while the smallest rigidity value is 1575.02 kN / m. The largest rigidity value of earthquake load Y is 2157.14 kN / m and the smallest rigidity value is 2157.14 kN / m. Shape1 mode experienced x direction translation by 84.62% and Shape Mode 2 experienced y direction translation by 66.18%, Shape Mode experienced z direction rotation by 65.92%. Gaya slide static base V static at 459.84 kN. Gaya sliding dynamic base V dynamic for earthquake direction x and earthquake direction y obtained by 461.02 kN and 459.70 kN respectively.

Keywords: Biomass Waste, Ultimate Analysis, Proximate and Calorific Value

(2)

PENDAHULUAN

Produksi sampah di Indonesia diperkirakan mencapai 45,5 juta ton pertahun yang mencakup sampah rumah tangga, sampah komersial, industri dan sampah diarea umum lainnya. Sampah biomassa berlignoselulosa merupakan sumber energi potensial untuk energi terbarukan[1]. Kebijakan energi Indonesia yang tertuang dalam Laporan Dewan Energi Nasional 2014 menargetkan kontribusi minyak bumi terhadap bauran energi nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 25%, sedangkan untuk gas bumi adalah sebesar 22%, dan batubara sebesar 30%, dan total Energi baru dan Terbarukan (EbT) sebesar 23%. Sedangkan untuk tahun 2050, persentase kontribusi masing-masing jenis energi adalah minyak bumi sebesar 20%, gas bumi sebesar 24%, batubara sebesar 25%, dan total EbT sebesar 31%. Dari total penggunaan EbT, kontribusi sumber energi yang berasal dari biomassa sampah ditetapkan sebesar 5,1% pada tahun 2025 dan 6,4% tahun 2050. Dengan kata lain, penggunaan biomassa sampah sebagai sumber energi terbarukan yang di tahun 2015 baru sebesar 2,0% meningkat 2,6 kali lipat pada tahun 2025 dan 3,2 kali lipat pada tahun 2050 [2][3].

Sampah biomassa mengandung material yang berpotensi diolah menjadi sumber energi yang tersimpan dalam bentuk ikatan kimia antara karbon, hidrogen dan oksigen[4]. Jika ikatan kimia itu dirusak, bahan organik akan melepas energi kimia dalam fase gas, cair dan padat[5]. Namun di dalam aplikasinya, penggunaan sampah secara langsung sebagai bahan bakar masih banyak memiliki kendala, di antaranya nilai kalor dan densitas energi yang rendah, kandungan air yang tinggi dan komponen yang heterogen serta sifatnya higroskopiknya[6]. Selain itu sampah biomassa juga memiliki potensi sumber penyakit dan bau yang busuk[7]. Akan tetapi apabila dalam pegolahan sampah digunakan

metode yang tepat maka dapat diperoleh bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil. Salah satu teknologi pengolahan sampah yang dapat menghasilkan bahan bakar dengan kualitas setara batubara adalah proses torefaksi[8]. Torefaksi merupakan proses pirolisis ringan pada temperatur 200- 300C pada tekanan atmosfer tanpa oksigen[9]. Keunggulan torefaksi adalah proses yang berlangsung pada temperatur dan tekanan yang relatif rendah serta efisiensi konversi energi yang cukup tinggi yaitu sekitar 90%[10]. Keunggulan lain dari torefaksi biomassa adalah menghasilkan produk yang lebih rapuh, memiliki densitas energi yang lebih tinggi dan bersifat hidrofobik dan lebih tahan terhadap serangan jamur dibandingkan dengan biomassa mentah, sehingga lebih mudah dalam transportasi, penanganan, dan penyimpanan. Selain itu, torefaksi meningkatkan hasil energi biomassa produk torefaksi karena peningkatan kandungan karbon[11]. Karena sifat-sifat yang ditingkatkan ini, nilai dalam hal kandungan karbon dan nilai kalor dari biomassa yang dikeringkan sebagai bahan bakar secara signifikan lebih tinggi daripada biomassa mentah[12].

Penelitian torefaksi yang dilakukan oleh penulis dan tim terhadap biomassa sampah mengggunakan reaktor kontinu skala lab diharapkan mendapatkan arang yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat berkualitas setara dengan batubara.

Karakteristik produk torefaksi akan dieveluasi menggunakan uji nilai kalor, hasil pengujian proksimat dan ultimat, serta perolehan massa dan energi (mass and energy yield).

METODE PENELITIAN

Tahapan penelitian meliputi, persiapan bahan dan proses torefaksi dengan tiga variasi temperatur dan pengujian arang hasil torefaksi. Diagram penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Penentuan sampel

(3)

diperoleh dengan cara mensimulasikan komposisi yang lazim untuk sampah perkotaan terutama di kawasan umum. Pada kawasan umum biasanya mengandung sedikit sampah sisa makanan yang terdiri dari nasi, kulit jeruk dan kulit pisang dan didominasi oleh daun-daun yang berserakan akibat pohon-pohon yang ada di ruang terbuka hijau (RTH) tata kota.

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Persiapan Sampel

Komponen sampah biomassa yang dipilih sebagai sampel adalah daun, ranting, nasi, kulit jeruk dan kulit pisang. Daun mewakili komponen sampah yang berasal dari kelompok daun-daunan termasuk sisa makanan dari jenis sayur-sayuran. Ranting pohon mewakili komponen sampah yang mengandung sifat kayu- kayuan. Nasi mewakili sisa makanan yang berasal dari komponen makanan pokok. Sementara kulit pisang dan kulit jeruk mewakili komponen sampah dari kulit buah-buahan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Komposisi sampah untuk eksperimen torefaksi ditentukan masing – masing nasi sebesar 19%, dari total massa, kulit jeruk 10,5%, kulit pisang 10,5

%, daun 46% dan ranting 14%. Kelima sampel tersebut kemudian dicampur menjadi satu sehingga homogen selanjutnya dilakukan pencacahan menggunakan mesin pencacah untuk menghasilkan ukuran partikel yang seragam.

Ukuran partikel ± 1-3 cm dan dikeringkan hingga kadar air ± 8-10%

kemudian dipindahkan ke dalam wadah

kedap udara sampai eksperimen torrefaksi dilakukan. Kandungan lignoselulosa sampel mentah masing-masing diuji terlebih dahulu menggunakan Standar SNI 14-1304-1989 untuk uji hemiselulosa, SNI 0492-2008 untuk lignin dan in house method untuk total selulosa dan hasilnya adalah kulit pisang memiliki komposisi 10,03% hemiselulosa, 34,32% selulosa dan 24,32% lignin. Kulit jeruk memiliki komposisi 19,53%

hemiselulosa, 45,32% selulosa dan 14,16%

lignin. Daun memiliki komposisi 10,15%

hemiselulosa, 29,33% selulosa dan 35,14%

lignin. Ranting memiliki komposisi 14,54%

hemiselulosa, 51,59 % selulosa dan 39,66%

lignin.

Eksperimen Torefaksi

Peralatan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah reaktor torefaksi kontinu skala lab, dapat dilihat pada Gambar 2. Torefaksi sampah biomassa dilakukan pada temperatur 250, 275 dan 300°C, dengan masa umpan sebanyak 1 kg, waktu tinggal selama 30 menit dan waktu pedinginan 5 menit. Laju peningkatan temperatur 5 -6°C/menit dan membutuhkan waktu selama 30-45 menit untuk sampai pada temperatur torefaksi.

Sifat-sifat bahan bakar produk torefaksi kemudian ditentukan melalui pengujian nilai kalor, serta analisis proksimat dan ultimat.

Gambar 2. Reaktor torefaksi kontinu [4]

Analisa dan Pengujian

Analisis proksimat dilakukan pada bahan baku dan arang hasil proses torefaksi, dilakukan untuk mengetahui komponen

(4)

penyusun bahan bakar padat seperti kandungan Moisture Content/MC (ASTM D–1762-84), Ash Content (ASTM D–3174- 93), Volatile Matter/VM (ASTM D–1762- 84), dan Fixed Carbon/FC (ASTM D– 1762- 84). Uji ultimat dilakukan untuk mengetahui komposisi hidrokarbon bahan bakar yang dinyatakan dalam unsur elemen dasar yaitu C, H, N, O, S.

Nilai kalor ditentukan dengan menggunakan Bomb Calorimeter dan dinyatakan dalam kilo kalori per kilogram (Kkal/kg). Sebanyak satu gram sampel dimasukan ke tempat sampel (crubicle).

Sampel dihubungkan dengan ujung sehelai benang sepanjang 8 cm (nilai kalor 67.716 kal). Benang tersebut diikatkan pada sepotong kawat besi sepanjang 10 cm (nilai kalor 3.183 kal) yang kedua ujungnya terhubung pada batang penyangga crubicle di dalam bomb. Bomb ditutup dan diisi dengan gas oksigen hingga mencapai tekanan 25 atm. Bejana kalorimeter diisi air sebanyak ± 1 L dan disisipkan termometer.

Bomb yang berisi sampel dimasukkan ke dalam bejana kalorimeter dan dihubungkan dengan arus listrik. Pembacaan suhu termometer dilakukan setiap 1 menit selama

5–8 menit.

𝑦𝑚 = 𝑚𝑏𝑖𝑜𝑐ℎ𝑎𝑟

𝑚𝑓𝑒𝑒𝑑𝑠𝑡𝑜𝑐𝑘 x 100%

Perolehan massa (mass yield) dan energy (energy yield) masing-masing dihitung dengan persamaan (1) dan persamaan (2) [5]. Hasil perhitungan ini menunjukan seberapa jauh proses torefaksi dapat meningkatkan kualitas sifat-sifat pembakaran dari sampah biomassa.

𝑦𝑚 = 𝑚𝑏𝑖𝑜𝑐ℎ𝑎𝑟

𝑚𝑓𝑒𝑒𝑑𝑠𝑡𝑜𝑐𝑘× 100% (1) 𝑦𝑒 = 𝐻𝐻𝑉𝑏𝑖𝑜𝑐ℎ𝑎𝑟

𝐻𝐻𝑉𝑓𝑒𝑒𝑑𝑠𝑡𝑡𝑜𝑐𝑘× 100% (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian sampel dilakukan pada kondisi kering. Perubahan struktur kimia komponen sampah biomassa akibat dekomposisi termal selama proses torefaksi menghasilkan produk dengan sifat-sifat yang baru. Hasil analisa karakteristik produk torefaksi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Kalor, Proximat, Ultimat Bahan Baku Dan Produk Torefaksi

Penurunan massa padatan

Hasil pengujian torefaksi menunjukan prediksi perubahan hasil produk dengan berubahnya temperatur torefaksi selama waktu tinggal 30 menit. Dengan kondisi parameter proses yang divariasikan dalam penelitian ini, kenaikan temperatur reaktor menurunkan hasil produk padatan, seperti ditunjukkan oleh Gambar 3. Efek tersebut konsisten dengan teori bahwa meningkatnya

temperatur proses torefaksi akan menyebabkan devolatilisasi produk padatan yang lebih ekstensif dan dengan demikian menghasilkan produk padatan yang rendah.

Moisture Content Abu Volatile Matter Fixed Carbon C H N S O

Non Torefaksi 4.758,08 8,46 4,95 74,00 21,05 42,60 6,31 1,67 0,16 44,78 1,05 0,15 T250 5.026,16 3,19 5,85 71,81 22,34 49,34 6,10 1,49 0,10 37,31 0,76 0,12 T275 5.424,60 4,07 7,42 59,98 32,60 53,26 5,63 1,75 0,09 32,04 0,60 0,11 T300 5.151,29 7,52 9,32 59,05 31,63 49,21 5,46 1,52 0,08 35,35 0,72 0,11

O/C H/C

Temperatur (°C) HHV (kcal/kg) Analisis Proksimat (adb) (%) Analisis Ultimat (adb) (%)

(5)

Gambar 3. Grafik penurunan masa padatan

Massa padatan yang tersisa pada temperatur 300 oC paling sedikit yaitu 527 gram, sedangkan massa padatan paling banyak dihasilkan pada temperatur 250 oC yaitu sebanyak 764 gram. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi maka akan menyebabkan semakin banyaknya kandungan lignoselulosa pada komponen penyusun sampah biomassa yang terdekomposisi.

Penyebab utama kehilangan massa pada proses torefaksi biomassa adalah terdekomposisinya fraksi hemiselulosa, yakni terjadi pelepasan uap air, gas CO, dan CO2 serta zat terbang yang memiliki nilai kalor rendah. Untuk itu, walaupun selama proses torefaksi terjadi kehilangan massa yang cukup besar pada bahan baku, tetapi kandungan energi pada produk padatan yang dihasilkan tidak banyak berkurang. Selain itu, semakin banyaknya massa yang terdekomposisi akan menyebabkan perbandingan O/C akan semakin kecil.

Dimana dengan perbandingan O/C yang semakin kecil akan meningkatkan intensitas energi yang terkandung dalam komponen sampah biomassa.

Temperatur yang tinggi melebihi temperatur torefaksi (lebih dari 300 oC) tidak direkomendasikan karena akan meningkatkan laju dekomposisi yang

mengakibatkan komponen lignoselulosa banyak dikonversikan ke dalam bentuk gas dan cairan, sehingga produk padatan yang dihasilkan pada proses torefaksi menjadi berkurang signifikan. Penurunan massa paling banyak terjadi dari temperatur 250 oC ke 275 oC dibandingkan dengan penurunan massa pada temperatur lainnya akibat terjadinya karbonisasi secara menyeluruh pada fraksi hemiselulosa dan terdekomposisinya sebagian struktur polimer pada lignin serta mulai pecahnya struktur polimer pada selulosa.

Perubahan sifat fisik. Hasil pengujian torefaksi menunjukan perubahan sifat fisik sampah biomassa. Perubahan yang terjadi pada produk padatan hasil torefaksi dapat di lihat secara langsung dari warnanya seperti terlihat pada Gambar 4. Produk padatan hasil torefaksi berubah warna menjadi kecoklatan sampai kehitaman seperti arang, dan produk setelah dilakukan preparasi 40- 60 mesh dapat dilihat pada Gambar 5.

Perubahan yang lain yang terlihat dalam kekerasan dan keuletan, sampah hasil torefakasi mejadi lebih lunak dan getas. Pada temperatur torefaksi 250 oC produk padatan yang dihasilkan masih berwarna kecoklatan, akan tetapi sedikit lebih getas dan lunak, pada temperatur tersebut terjadi reaksi eksotermik dan mulai terdekomposisinya fraksi hemiselulosa.

1000

764

584 527

0 200 400 600 800 1000 1200

Massa (gr)

Temperatur (oC)

(6)

Gambar 4. Produk Torefaksi Sebelum Preparasi

Gambar 5. Produk Torefaksi Setelah Preparasi

Proses dekomposisi yang terjadi pada fraksi hemiselulosa ini menyebabkan perubahan warna pada produk torefaksi diiringi dengan lepasnya kandungan air, CO2, asam asetat, fenol dan volatie matter

lainnya.

Berbeda dengan produk padatan yang dihasilkan pada temperatur 275 oC dan 300

oC, dimana warnanya berubah menjadi kehitaman, serta lebih getas dan lunak. Hal ini mengindikasikan bahwa pada temperatur proses yang diberikan keseluruhan proses menjadi eksotermik dan terjadi dekomposisi pada semua komponen lignoselulosa yang akan meningatkan produksi CO2, fenol, asam asetat, dan hidrokarbon lainnya.

Produk padatan yang dihasilkan memiliki struktur polimer yang lebih sederhana dan rantai hidrokarbon yang lebih pendek sehingga lebih lunak dan getas dibandingkan sebelum torefaksi.

Analisis Proksimat Bahan Baku

Sifat bahan baku dapat diketahui melalui analisis proksimat. Hasil Analisis tercantum pada Tabel 2.

Tabel. 2. Analsis Proksimat Bahan Baku

Kadar air (moisture conten) adalah faktor penting dalam pemanfaatan biomasa sebagai energi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar air kering udara biomassa sampah berupa campuran nasi, ranting, kulit jeruk, kulit pisang dan dedaunan sebesar 8.46 %. Komponen nasi berpengaruh nyata terhadap kadar air, diprediksi nasi memiliki kadar air yang tinggi dibandingkan dengan komponen yang lainnya, karena nasi termasuk jenis polisakarida yang tidak mengandung lignoselulosa. Zat utama nasi adalah amilosa.

Zat terbang (volatile matter) merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil

Moisture Content Abu Volatile Matter Fixed Carbon Biomassa Sampah

(Bahan Baku;

Campuran nasi, ranting, kulit jeruk, kulit pisang, dedaunan)

8,46

4,95 74,00 21,05 Temperatur (°C) Analisis Proksimat (adb) (%)

Non

Torefaksi T250°C

T275°C T300°C

Non

Torefaksi T250°C

T275°C T300°C

(7)

dekomposisi senyawa-senyawa di dalam suatu bahan selain air. Hasil pengujian proksimat bahan menunjukkan kadar zat terbang pada campuran nasi, ranting, kulit jeruk, kulit pisang dan dedaunan sebesar 74

%. Zat terbang komponen kulit pisang diprediksi lebih tinggi dari zat terbang komponen yang lain, pada umumnya bahan dengan zat terbang yang tinggi memiliki kandungan karbon terikat (fixed karbon) yang rendah.

Pengukuran kadar abu sangat penting dilakukan karena sisa hasil pembakaran berupa abu cenderung membentuk kerak pada alat pembakaran yang mengganggu kinerja alat pembakar. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar abu bahan baku campuran nasi, ranting, kulit jeruk, kulit pisang dan dedaunan sebesar 4,95 %.

Tingginya kadar abu pada biomassa disebabkan oleh kandungan komponen anorganik yang tinggi.

Kualitas Arang (Produk Torefaksi) Hasil uji proksimat pada basis kering dengan metode pengujian ASTM D 1762-84 terhadap komponen sampah biomassa campuran menunjukan bahwa kandungan komponen sampah didominasi oleh volatile matter (VM) dan Fixed Carbon (FC), seperti ditunjukkan oleh Gambar 6.

Gambar 6. Hasil Analisis Proksimat

Kadar Air

Kadar air bahan bakar yang tinggi akan

menurunkan net energy pembakaran. Kadar air arang dapat dilihat pada Gambar 6.

Torefaksi diharapkan menurunkan kadar air biomasa. Kadar air arang tertinggi (7,32%) diperoleh dari torefaksi pada temperatur 250

°C, sedangkan kadar air terendah (3,19%) diperoleh dari torefaksi pada temperatur 300

°C. Peningkatan temperature torefaksi menurunkan kadar air arang. Rendahnya kadar air pada suhu pengarangan yang semakin meningkat dapat disebabkan oleh menguapnya air [6]. Selain itu degradasi hemiselulosa juga secara tidak langsung dapat menurunan kadar air arang [7].

Torefaksi menghasilkan arang dengan kadar air jauh lebih rendah dibandingkan dengan kadar air bahan bakunya (Tabel 2). Arang yang dihasilkan memenuhi standar SNI 01–

1683–1989 yang mensyaratkan kadar air arang kurang dari sama dengan 7% [8].

Kadar Zat Terbang

Torefaksi menurunkan kadar zat terbang bahan (Tabel 2). Kadar zat terbang arang disajikan dalam Gambar 6. Kadar zat terbang tertinggi (71,81%) ditemukan pada arang biomassa sampah hasil torefaksi pada suhu 250 °C dan kadar zat terbang terendah (59,05%) juga ditemukan pada hasil torefaksi pada temperatur 300 °C.

Menurunnya kadar zat terbang biomasa setelah dilakukan proses torefaksi karena selama torefaksi terjadi proses dehidrasi dan karbonisasi ringan sehingga air dan zat terbang menguap [9]. Setelah dilakukan torefaksi, zat terbang yang sebagian besar terdiri dari hidrogen dan oksigen menguap dan menyisakan karbon. SNI 01– 1683–

1989 mensyaratkan kadar zat terbang arang maksimal 30% [8]. Arang yang dihasilkan dari torefaksi pada suhu 250,275 dan 300 °C dalam penelitian ini masih belum memenuhi persyaratan standar.

Kadar Abu

Hasil perhitungan kadar abu arang dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar abu arang

T. 250 °C T. 275 °C T. 300 °C

Volatie Matter 71,81 59,98 59,05

Fixed Carbon 22,34 32,60 31,63

Abu 5,85 7,42 9,32

Moisture Content 7,52 4,07 3,19

- 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00

Kandungan (%)

(8)

tertinggi (9,32%) diperoleh dari torefaksi pada temperatur 300 °C. Kadar abu arang terendah (5,85%) diperoleh dari torefaksi pada temperatur 250 °C. Kadar abu meningkat dengan meningkatnya temperatur torefaksi, tingginya kadar abu arang berkaitan dengan hilangannya masa bahan selama proses torefaksi dan menunjukkan bahwa komponen–komponen yang sulit terbakar masih terperangkap dalam biomasa.

SNI 01–1683–1989 mensyaratkan kadar abu arang Gambar 6 Kadar abu arang kurang atau sama dengan 4% [8], sehingga arang hasil torefaksi belum memenuhi standar tersebut.

Fixed Carbon

Fixed Carbon atau karbon terikat merupakan komponen fraksi karbon (C) yang terdapat di dalam bahan selain air, abu, dan zat terbang. Kadar karbon terikat arang disajikan dalam Gambar 6. Karbon terikat paling tinggi terdapat pada arang hasil torefaksi pada suhu 275 °C. Meningkatnya karbon terikat karena proses dehidrasi dan karbonisasi bahan selama torefaksi [9].

Biomasa hasil torefaksi memiliki proporsi karbon terikat lebih tinggi dari karbon terikat bahan tanpa torefaksi. Hal tersebut mengindikasikan perlakuan torefaksi memberikan dampak positif pada biomasa, terutama pada nilai kalor dan keberlanjutan dalam pembakarannya [10]. karena semakin tinggi karbon terikat cenderung meningkatkan nilai kalor [11].

Nilai Kalor Produk

Hasil analisis nilai kalor produk torefaksi biomasssa sampah bervariasi antara 4747 kcal/kg sampai dengan 5425 kcal/kg . Nilai kalor yang diukur adalah untuk masing masing variasi temperatur proses dengan waktu tinggal 30 menit.

Gambar 7 menunjukan hasil pengujian terlihat bahwa produk torefaksi sampah biomassa mengahasilkan nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan sampah mentah.

Perlakuan torefaksi terbukti dapat meningkatkan nilai kalor bahan. Nilai kalor tertinggi terjadi pada temperatur proses 275°C yakni sebesar 5425 kcal/kg, namun pada temperatur 300°C hasil pengujian menunjukan nilai kalor yang lebih rendah.

Nilai kalor hasil torefaksi secara umum sesuai dengan teori yang ada, hemiselulosa biomassa sampah terdekomposisi dalam jumlah yang besar, dimana air dalam bahan sudah menguap. Temperatur torefaksi yang tinggi menyebabkan hilangnya air dan zat terbang sehingga karbon terikatnya meningkat. Peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai dehidrasi. Pada proses dehidrasi dan dekarbonilasi rasio O/C dan H/C menurun. Menurunnya rasio O/C berkontribusi terhadap peningkatan nilai kalor [12].

Gambar 7. Hasil Analsis Nilai Kalor

Sesuai standar ISO 18125 tentang biomasa hasil torefaksi, arang hasil torefaksi yang baik adalah jika memiliki nilai kalor

>19 MJ/Kg atau 4538.07 kkal/kg [13].

Standar SNI 01–6235–2000 menyaratkan minimal nilai kalor arang 5000 kkal/kg [14].

Berdasar kedua standar tersebut, nilai kalor dari semua arang yang dihasilkan dengan berbagai suhu torefaksi memenuhi standar.

Analisis Ultimat. Hasil uji ultimat pada basis kering menunjukan bahwa konsentrasi atom berturut-turut adalah C > O > H > N >

S. Kandungan kimia produk torefaksi dapta dilihat pada Gambar 8. Hasil pengujian

4.747,08 5.026,16 5.424,60 5.151,29

Mentah T. 250 °C T. 275 °C T. 300 °C

Dry Basic

(9)

menunjukan bahwa pengaruh kondisi operasi temperature torefaksi terhadap kandungan atom dari biomassa sampah sangat jelas terlihat. Kandungan carbon semakin tinggi tempratur sisa atom carbon semakin besar. Sampah mentah memiliki kandungan carbon sebesar 42.6% , setelah dilakukan proses torefaksi naik hingga komposisinya mencapai 53.69% seiring dengan naiknya temperature proses.

Sebaliknya kandungan oksigen yang tersimpan pada sampah mentah sebesar 44.78% setelah dilakukan proses torefaksi diperoleh residu oksigen turun hingga 27 %.

Seperi halnya dengan penurunan kandungan hidrogen dan sulfur. Kandungan unsur carbon sebanding dengan Nilai Kalor. Unsur C terdapat dalam fixed carbon dan volatile matter, sementara unsur H dan O berasal dari kandungan hidrokarbon dan air yang terdapat dalam produk torefaksi.

Gambar 8. Hasil Analisis Ultimat

Perolehan Masa dan Energi

Hasil perolehan massa (mass yield) dan energi (energy yield) untuk kondisi kering dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil perolehan massa dan energi

Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa kandungan energi yang tersimpan dalam produk torefaksi masih tersisa sekitar 57% sampai 81% dan perolehan massanya sebesar 52% sampai 76%. Semakin tinggi temperatur proses torefaksi perolehan massa produk torefaksi semakin kecil. Ketika temperatur proses meningkat dari 250°C sampai 300°C perolehan massa menurun secara drastis mencapai 30% fraksi massa.

Dekomposisi hemiselulosa melepaskan uap air, gas CO dan CO2 serta berbagai jenis zat terbang yang memilki nilai kalor rendah.

Namun demikian, meskipun selama proses torefaksi kandungan biomassa sampah produk torefaksi kehilangan massa cukup besar, namun kandungan energinya tidak banyak berkurang.

KESIMPULAN

Kualitas arang hasil penelitian dapat dilihat dari beberapa parameter yang diuji.

Arang hasil torefaksi dengan suhu 275 °C adalah arang dengan kualitas yang baik karena memiliki kadar air dan kadar zat terbang yang rendah, serta memiliki kadar karbon terikat dan nilai kalor yang paling tinggi. Hasil uji nilai kalor produk torefaksi biomassa sampah pada temperature tersebut mencapai 5424.60 kcal/kg atau setara dengan batubara subbiominous B.

Analisis yang lain menunjukan bahwa hasil massa dan energi menurun dengan meningkatnya temperature.

Sampah

Mentah T. 250 °C T. 275 °C T. 300 °C

Sulfur 0,160 0,100 0,090 0,080

Carbon 42,600 49,340 53,260 49,210

Hidrogen 6,310 6,100 5,630 5,460

Nitrogen 1,670 1,490 1,750 1,520

Oksigen 44,780 37,310 32,040 35,350

0,000 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000

Kandungan (%)

1,000

0,764

0,584

0,527 1,000

0,809

0,667

0,572

1,000 1,059 1,143

1,085

0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200

Mentah T. 250 °C T. 275 °C T. 300 °C

Massa Yield Energi Yield Densitas Energi

(10)

Perubahan fisik produk torefaksi secara visual berbada, semakin tinggi temperatur, warna produk torefaksi semakin kehitaman dan tingkat keuletan produk semakin getas atau rapuh.

Persentase berat isi C dalam produk torefaksi meningkat tetapi persentase berat kandungan H dan O menunjukkan tren sebaliknya. Hal ini menghasilkan kecenderungan penurunan rasio molar H/C dan O/C untuk produk torefaksi. Analisis proksimat menunjukkan pola menurun untuk abu dan FC tetapi HHV cenderung meningkat ketika suhu torefaksi meningkat.

Hasil perolehan massa mencapai 76%

dan energi yang terkandung dalam produk torefaksi sebesar 81%. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses torefaksi sebagai metode untuk meningkatkan kualitas bahan bakar padat dari biomassa sampah dengan memiliki rasio O/C rendah dan peningkatan HHV yang cocok untuk digunakan sebagai bahan bakar.

DAFTAR PUSTAKA

[1] S. Wulandari, S. Sumanto, and S.

Saefudin, “Plant Biomass Management in Plantations Bioindustry Supporting Bioenergy Development,” Perspektif, vol. 18, no.

2, pp. 135–149, 2020.

[2] A. S. Pramudiyanto and S. W. A.

Suedy, “Energi Bersih dan Ramah Lingkungan dari Biomassa untuk Mengurangi Efek Gas Rumah Kaca dan Perubahan Iklim yang Ekstrim,” J.

Energi Baru dan Terbarukan, vol. 1, no. 3, pp. 92–105, 2020.

[3] J. S. Setyono, F. H. Mardiansjah, and M. F. K. Astuti, “Potensi Pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan di Kota Semarang,” J. Riptek, vol. 13, no. 2, pp. 177–186, 2019.

[4] A. Amrul, A. Apriyanto, I. Sanjaya, and A. Amrizal, “Experimental Study on Waste Biomass Torrefaction Using a Continuous Tubular Reactor,” 2018.

[5] R. Fachria, H. Ramdan, and I. N. P.

Aryantha, “Efektivitas pengolahan limbah cair industri penyamakan kulit Sukaregang Garut dengan adsorben karbon aktif dan ijuk,” J. Pengelolaan Lingkung. Berkelanjutan (Journal Environ. Sustain. Manag., pp. 379–

388, 2019.

[6] A. Apriyanto, J. I. B. No, and J. S. B.

No, “Rancang Bangun Dan Analisis Unjuk Kerja Reaktor Torefaksi Kontinu Tipe Tubular Dengan Sistem Pemanas Oil Jacket,” J. Tesis Progr.

Pasca Sarj. Tek. Mesin Unversitas Negeri Lampung. Hal, pp. 22–23, 2018.

[7] M. Mashur, “Produksi kokon dan biomassa cacing tanah Eisenia foetida pada berbagai media budidaya limbah peternakan,” Biosci. J. Ilm. Biol., vol.

8, no. 1, pp. 48–57, 2020.

[8] A. Yansen, D. I. Satya, T. D. L. Doaly, and D. M. Situmorang, “Limbah Ampas Kopi Sebagai Alternatif Bahan Bakar Industri Untuk Menggantikan Penggunaan Batubara,” in Prosiding Seminar Nasional TREnD, 2021, vol.

1, no. 1.

[9] R. Wahyudi, A. Amrul, and M. Irsyad,

“Karakteristik Bahan Bakar Padat Produk Torefaksi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Reaktor Torefaksi Kontinu Tipe Tubular,” INVOTEK J. Inov.

Vokasional dan Teknol., vol. 20, no. 2, pp. 1–8, 2020.

[10] A. Haryanto, S. Suharyatun, W.

Rahmawati, and S. Triyono, “Energi Terbarukan dari Jerami Padi: Review Potensi dan Tantangan Bagi Indonesia,” J. Keteknikan Pertan., vol.

7, no. 2, pp. 137–146, 2019.

[11] R. Alamsyah, N. C. Siregar, and F.

(11)

Hasanah, “Peningkatan Nilai Kalor Pellet Biomassa Cocopeat sebagai Bahan Bakar Terbarukan dengan Aplikasi Torefaksi,” War. Ind. Has.

Pertan., vol. 33, no. 01, pp. 17–23, 2018.

[12] T. Rubiyanti, W. Hidayat, I. G.

Febryano, and S. Bakri, “Karakterisasi Pelet Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Hasil Torefaksi dengan Menggunakan Reaktor Counter-Flow Multi Baffle (COMB)(Characterization of Rubberwood (Hevea brasiliensis) Pellets Torrefied with Counter-Flow Multi Baffle (COMB) Reactor),” J.

Sylva Lestari, vol. 7, no. 3, pp. 321–

331, 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengetahui sifat fisika tanah dari analisa awal, dan di buat neraca, maka akan menentukan berapa banyak kebutuhaan air yang diperlukan oleh tanaman setiap saat, Untuk

P roduk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah (1) aplikasi pembelajaran Mathematic Mobile Learning Application, (2) aplikasi kuis yang disebut dengan Mathematic

karena itu, dalam suatu buku teks harus memiliki kesesuaian dari segi isi, bahasa, penyajian dan kegrafikan yang baik agar penyampaian Kompetensi inti dan kompetensi dasar

Nilai organoleptik yang tepat untuk kenampakan sosis ikan cakalang berdasarkan tingkat kesukaan panelis untuk kategori kenampakan, rata-rata panelis memberikan penilaian

Adanya kecenderungan jumlah populasi bakteri asam laktat yang lebih besar pada sosis fermentasi daging sapi kemungkinan disebabkan oleh kultur yang digunakan diisolasi dari

Permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan atas Objek Pajak yang terkena bencana alam,hama tanaman dan sebab lain yang luar biasa dan bersifat massal,diajukan secara tertulis

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani, Edison, & Nazar pada tahun 2015 yang meneliti mengenai hubungan antara

Apakah anda puas dengan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang diberikan perawat gigi apabila dokter gigi tidak ada?. Apakah anda puas dengan perhatian perawat gigi ketika