Analisis Risiko Deviasi Komponen Hasil Riksa Uji Passenger Elevator Menggunakan Metode Failure Mode And Effect Analysis (FMEA)
Lukky Setya Wibowo 1*, Edy Prasetyo Hidayat 2, dan Mades Darul Khairansyah 3
1,2,3Program Studi Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya 60111
*E-mail: lukkysetya@student.ppns.ac.id Abstrak
Riksa uji elevator dilakukan untuk menguji kelayakan elevator guna memastikan keselamatan penumpang saat elevator beroperasi. Riksa uji elevator dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No. 6 Tahun 2017 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator. Pada penelitian ini riksa uji elevator dilakukan pada 2 elevator bertipe duplex atau 2 elevator dengan 1 Landing Operation Panel (LOP). Dari hasil riksa uji tersebut ditemukan 16 komponen yang tidak sesuai dengan standar, dimana terdapat komponen yang rusak dan komponen yang tidak terpasang. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan elevator akibat dari kegagalan fungsi komponen diperlukan identifikasi risiko guna menganalisis penyebab dan efek yang dapat ditimbulkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan yang tepat dan efektif sesuai dengan prioritas. Metode identifikasi yang digunakan adalah metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) yaitu dengan menganalisis komponen elevator yang rusak atau tidak terpasang untuk mendapatkan nilai Risk Priority Number (RPN). Berdasarkan hasil analisis didapatkan 1 komponen dengan tingkat risiko intolerable risk, 13 komponen dengan tingkat risiko tolerable risk dan 2 komponen dengan tingkat risiko acceptable risk.
Penentuan prioritas rekomendasi perbaikan diurutkan berdasarkan nilai risk priority number (RPN) tertinggi menuju terendah. Mengacu pada katalog elevator OTIS rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan yaitu 11 perbaikan jangka pendek, 6 perbaikan jangka menengah dan 1 perbaikan jangka panjang.
Kata Kunci: FMEA, Inspection, Maintenance, Passenger Elevator, Risk Priority Number Abstract
Elevator test checks are carried out to test the feasibility of the elevator to ensure the safety of passengers when the elevator is operating. The elevator test check is carried out in accordance with the Regulation of the Minister of Manpower of the Republic of Indonesia No. 6 of 2017 concerning Occupational Safety and Health of Elevators and Escalators. In this study, the elevator test was carried out on 2 duplex type elevators or 2 elevators with 1 Landing Operation Panel (LOP). From the results of the examination, 16 components were found that were not in accordance with the standard, where there were damaged components and components that were not installed. To avoid elevator accidents as a result of component malfunctions, it is necessary to identify risks in order to analyze the causes and effects that can be caused, so that appropriate and effective repairs can be made according to priorities.
The identification method used is the Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) method, namely by analyzing damaged or not installed elevator components to get the Risk Priority Number (RPN) value.
Based on the analysis results obtained 1 component with an intolerable risk level, 13 components with a tolerable risk level and 2 components with an acceptable risk level. The determination of the priority of improvement recommendations is ordered based on the highest to lowest risk priority number (RPN).
Referring to the OTIS elevator catalog, recommendations for improvements that need to be made are 11 short-term repairs, 6 medium-term repairs and 1 long-term repair.
Keywords: FMEA, Inspection, Maintenance, Passenger Elevator, Risk Priority Number
1. PENDAHULUAN
Elevator atau lift merupakan salah satu alat transportasi untuk memindahkan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain dalam posisi vertikal. Dalam pengoperasiannya elevator berjalan otomatis berdasarkan perintah penumpang dengan cara menekan tombol pada Car Operation Panel (COP) atau Landing Operation Panel (LOP) untuk menentukan lantai yang akan dituju. Sistem kerja elevator yaitu gerak naik turun sangkar dan counterweight yang digantungkan pada wire rope dan ditarik naik turun menggunakan puli. Sumber penggerak puli berasal dari motor listrik dan akan dihentikan oleh rem. Pemberhentian elevator diatur oleh sensor proximity dimana terpasang pada setiap lantai, sehingga elevator dapat berhenti sesuai dengan posisi lantai yang diinginkan. Dilihat dari sistem kerja elevator, kelayakan setiap komponen dan peralatan keselamatan menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan apabila terdapat komponen lift yang tidak berfungsi maka lift dapat berpotensi jatuh dan menyebabkan fatality. Kecelakaan elevator elevator tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang besar setiap tahun, tetapi juga mengakibatkan kematian ribuan orang, yang menuntut persyaratan elevator yang lebih tinggi untuk pencegahan resiko kecelakaan. Dengan demikian analisis risiko keamanan elevator dan penelitian tindakan pencegahan dapat menjadi sangat penting (Wang, Feng dkk. 2013).
Untuk mencegah adanya kesalahan instalasi dan ketidaklayakan komponen yang terpasang maka diperlukan riksa uji elevator yang dilakukan setiap 1 tahun sekali. Pada penelitian yang dilakukan riksa uji lift dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 tahun 2017 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator. Sedangkan identifikasi penilaian risiko digunakan metode Fault Mode and Effect Analysis (FMEA). FMEA digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dan penyebab dari suatu masalah kualitas (Idham, 2014). Dari hasil identifikasi risiko didapatkan data yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan perbaikan dengan mengacu pada nilai Risk Priority Number (RPN). Prioritas rekomendasi diurutkan berdasarkan nilai RPN tertinggi sampai terendah. Dengan demikian diharapkan perbaikan yang akan dilakukan dapat tepat sasaran dan dapat mengurai potensi terjadinya kecelakaan pada lift.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana hasil riksa uji passenger elevator berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 tahun 2017?
2. Bagaimana melakukan identifikasi bahaya dan penilaian resiko pada passenger elevator dengan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)?
3. Apa saja rekomendasi perbaikan yang dapat dari hasil riksa uji passenger elevator?
2. METODOLOGI
Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tahap Identifikasi Awal
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap hasil temuan yang didapatkan pada proses riksa uji elevator. Hasil temuan tersebut yaitu ditemukan banyak kerusakan komponen dan ketidak tersediaan dan ketidaklayakan komponen-komponen yang terpasang.
2. Tahap Studi Literatur dan Studi Lapangan
Kegiatan riksa uji elevator dilakukan dengan mengikuti standar dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No 6 Tahun 2017 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator. Selain peraturan tersebut diperlukan standar metode identifikasi risiko yaitu Failure Mode Effect Analysis (FMEA). Data hasil pengujian dan dokumentasi didapatkan dengan wawancara dengan teknisi atau surveyor dan mengikuti langsung kegiatan riksa uji elevator.
3. Tahap Pengumpulan Data
Pada penelitian ini terdapat dua jenis data yang dibutuhkan yaitu data primer dan sekunder. Data primer dari survey dan wawancara kepada surveyor PJK3 dan pengawas dari pihak kontraktor elevator. Sedangkan data sekunder didapatkan dari data perusahaan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yaitu hasil riksa uji elevator, spesifikasi elevator dan modul teknik riksa uji elevator.
4. Identifikasi kelayakan Elevator dan Penilaian Risiko menggunakan FMEA
Tahap ini merupakan tahap riksa uji elevator dan analisis data dari hasil riksa uji elevator. Temuan komponen yang tidak sesuai dengan peraturan selanjutnya akan diidentifikasi menggunakan FMEA. Dari hasil identifikasi risiko didapatkan nilai Risk Priority Number (RPN) dari hasil kuesioner. Suwankanit (2019) nilai severity, occurrence dan detection dari hasil kuesioner akan dianalisis untuk mendapatkan nilai mediannya. Selanjutnya nilai median akan dievaluasi tingkatan resikonya berdasarkan ISO 14971. Temuan yang masuk kedalam kategori acceptable risk masih dapat dinyatakan bahwa komponen masih aman untuk digunakan. Pada penelitian panduan analisis FMEA mengacu pada buku “The Basics of FMEA 2nd Edition”.
5. Tahap Penentuan Prioritas Perbaikan
Pada tahap ini penentuan prioritas rekomendasi dilakukan berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN). Semakin tinggi nilai RPN maka rekomendasi perbaikan akan semakin diprioritaskan.
6. Kesimpulan dan Saran
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penelitian, dimana penulis memberikan kesimpulan sesuai dengan perumusan masalah yang ada dan memberikan saran dan rekomendasi bagi perusahaan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Kelayakan Elevator
Berdasarkan hasil riksa uji elevator didapatkan 2 (dua) jenis temuan yang tidak sesuai dengan peraturan yaitu komponen yang tidak terpasang dan komponen yang rusak atau tidak layak digunakan. Data dari hasil riksa uji selanjutnya akan dianalisis dengan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk mendapatkan nilai risk priority number. Untuk menentukan tingkat risiko yang dapat ditimbulkan maka digunakan ISO 14971 untuk menentukan tingkat kategori temuan. Tingkat risiko dibagi menjadi tiga kategori yaitu intolerable risk, tolerable risk dan acceptable risk. Dari hasil identifikasi diperoleh satu komponen dengan kategori risiko yang intolerable risk, 13 komponen dalam kategori risiko tolerable risk, dan 2 komponen dalam kategori acceptable risk.
Terdapat 16 komponen yang tidak sesuai dengan peraturan dimana 8 komponen merupakan komponen yang rusak atau tidak layak digunakan dan 8 komponen lainya tidak terpasang pada elevator. Berikut komponen yang rusak atau tidak layak digunakan yaitu: ruang luncur, penerangan pada pit, wire rope, kondisi pit, guide shoe, sangkar, pintu sangkar dan landing door. Sedangkan komponen yang tidak terpasang yaitu: penerangan pada overhead, sekat pada pit, switch safety buffer dan sangkar, APAR, ARD, top car emergency exit switch, sensor gempa dan switch safety landing door. Berikut Tabel 1 menunjukkan komponen-komponen elevator yang tidak sesuai dengan peraturan.
Tabel 1. Komponen-komponen Elevator yang Tidak Sesuai dengan Peraturan
No Bagian Komponen Deviasi Keterangan
1 Ruang luncur (hoistway)
Ruang luncur
Lubang pada ruang luncur Pasal 13 ayat (1)
Terdapat material selain komponen lift di ruang luncur
Pasal 14 ayat 1
Penerangan pada overhead Tidak ada lampu pada overhead
Pasal 14 ayat 2
Penerangan pada pit dan top car
Penerangan pada:
Pit elevator 1 : 43 lux
Pit elevator 2 : 40 lux
Atas sangkar elevator 2 : 54 lux
Pasal 14 ayat 2
Sekat pit Tidak ada sekat pada pit Pasal 15 ayat 6
Switch safety buffer untuk sangkar dan counterweight
Tidak tersedia switch safety
Pasal 29 ayat 5
Wire rope Sudah berkarat Pasal 10 ayat
1
Pit Banjir dan terdapat
tumpahan oli
Pasal 14 ayat 1
Guide rail Guide rail aus dan tidak rata
Pasal 28 ayat 2
2 Ruang mesin (engine room)
Alat Pemadam Api Ringan
(APAR) Tidak ada APAR Pasal 9 ayat 1
(k) Sumber tenaga cadangan
(ARD) Tidak tersedia ARD Pasal 20 ayat
1
3 Sangkar (car)
Top car emergency exit door
Pintu di sekrup Pasal 21 ayat 2 (a)
Tidak ada engsel pintu emergency exit
Pasal 21 ayat 3 (a)
Tidak ada switch safety Pasal 21 ayat 2 (a)
Sangkar
Elevasi sangkar dan landing door lebih dari 10 mm
Pasal 16 ayat 3
Earthquake sensor Tidak terdapat earthquake sensor
Pasal 34 ayat 1
Switch safety landing door Tidak ada switch safety untuk pintu lift
Pasal 16 ayat 2 (a)
Pintu sangkar Celah pintu sangkar lebar Pasal 16 ayat 1
4 Landing door Celah antara landing door dan pintu sangkar
Celah antara sangkar dan
landing door > 32 mm Pasal 19 ayat 2 (c)
Sumber: Data primer yang diolah, 2021
2. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Metode FMEA digunakan untuk mengidentifikasi efek, penyebab dan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan. Identifikasi menggunakan FMEA membutuhkan 3 parameter yaitu tingkat dampak yang dapat terjadi (severity), frekuensi terjadinya kerusakan (occurance) dan deteksi (detection). Penentuan 3 parameter tersebut diperoleh dari pengisian kuesioner oleh 2 surveyor dan 5 teknisi dimana dari hasil kuesioner tersebut dihitung nilai median pada setiap komponen dan parameter. Selanjutnya untuk menentukan tingkat risiko dari hasil identifikasi digunakan matriks kriteria penerimaan risiko (risk acceptance criteria) sesuai ISO14971. Penentuan kriteria dilakukan dengan menentukan persimpangan dari nilai severity, occurance dan detection dalam matriks kriteria penerimaan risiko sehingga didapatkan tingkat risiko dari setiap komponen. Berikut Tabel 2. menunjukkan hasil analisis tingkat risiko dari hasil identifikasi Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
Tabel 2. Hasil Evaluasi Risiko Line Component and
Function Potential Failure Mode RPN Tingkat
Risiko
1 Ruang luncur
Banyak lubang pada ruang luncur 63 Tolerable Risk Terdapat material selain komponen lift dan
pipa hydrant di ruang luncur 6 Acceptable
Risk 2 Penerangan pada
overhead Tidak ada penerangan 35 Acceptable
Risk
3 Penerangan pada pit dan top car
Intensitas cahaya pada:
Pit elevator 1: 43 lux Pit elevator 2: 40 lux
Atas sangkar elevator 2 : 54 lux
70 Tolerable Risk
4 Sekat pit Tidak ada sekat pada pit 48 Tolerable
Risk 5 Switch safety buffer Tidak tersedia switch safety 180 Tolerable
Risk
6 Wire rope Sudah berkarat 350 Intolerable
Risk
7 Pit Banjir dan terdapat tumpahan oli 20 Acceptable
Risk
8 Guide shoe Guide rel aus dan tidak rata 105 Tolerable
Risk 9 Alat Pemadam Api
Ringan (APAR) Tidak ada APAR 10 Acceptable
Risk 10 Sumber tenaga
cadangan (ARD) Tidak terdapat sumber tenaga cadangan 120 Tolerable Risk
11 Top car door emergency exit
Pintu Emergency exit di sekrup
Tidak ada engsel pintu emergency exit
24 Tolerable Risk Tidak ada switch safety emergency exit
manway 168 Tolerable
Risk 12 Sangkar Elevasi sangkar dan landing door lebih dari
10 mm 60 Tolerable
Risk
13 Earthquake sensor
Tidak terdapat earthquake sensor atau seismic detection
(lift ketinggian > 10 lantai atau ketinggian hoistway>40 m wajib memiliki earthquake sensor)
216 Tolerable Risk
14 Switch safety landing
door Tidak ada switch safety untuk pintu lift 140 Tolerable Risk
15 Pintu sangkar Celah pintu sangkar lebar 72 Tolerable
Risk 16
Celah antara landing door dan pintu sangkar
Celah pintu sangkar dan landing door lebih
dari 35 mm 90 Tolerable
Risk Sumber: Data primer yang diolah, 2021
Setelah dilakukan penilaian risiko menggunakan FMEA dan ISO 14971 selanjutnya dilakukan penentuan prioritas perbaikan yang diurutkan berdasarkan nilai risk priority number (RPN) dari yang tertinggi ke yang terkecil. Tetapi terdapat kondisi dimana beberapa komponen harus segera dilakukan perbaikan lebih awal karena memiliki fungsi yang sangat penting dan harus dalam kondisi optimal setiap elevator dijalankan. Selain itu efek kerusakan komponen yang memiliki efek domino atau dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada komponen lain juga harus segera diperbaiki untuk menghindari terjadinya kerusakan sejenis. Berikut Tabel 3. menunjukkan prioritas rekomendasi perbaikan elevator.
Tabel 3. Prioritas Rekomendasi Perbaikan
No Rekomendasi RPN Keterangan
1 Ganti wire rope yang sudah berkarat
350 Perbaikan jangka pendek 2 Pasang baterai atau Auto Rescue Device (ARD) dan lakukan catu
daya setiap maintenance, agar performa baterai tetap maksimal 120* Perbaikan jangka pendek 3 Tutup lubang pada hoistway
63* Perbaikan jangka pendek 4 Pasang sensor gempa pada lift, sehingga lift tidak akan bisa
digunakan pada saat terjadi gempa 216 Perbaikan
jangka pendek 5 Pasang switch buffer
180 Perbaikan jangka pendek 6 Pasang switch safety manway
168 Perbaikan jangka pendek 7 Pasang switch safety landing door
140 Perbaikan jangka pendek 8 Lakukan setting guide shoe, karena sangkar mulai goyang dan
berisik. Tambahkan pelumas pada rail dan pasang box pelumas pada kedua guide shoe
105 Perbaikan jangka panjang 9 Setting jamb karena celah pintu sangkar dan landing door (sill)
terlalu lebar 90
Perbaikan jangka menengah 10 Periksa door motor dan periksa setelan pegas pada pintu lift
72
Perbaikan jangka menengah 11 Ganti lampu pada pit dan atas sangkar
70
Perbaikan jangka menengah 12 Periksa posisi proximity sensor dan lakukan kalibrasi sensor setiap
maintenance rutin 60
Perbaikan jangka menengah 13 Tambahkan sekat pada pit dan top car
48 Perbaikan jangka pendek 14 Pasang lampu pada overhead elevator 1 dan ganti lampu pada
elevator 2 agar intensitas cahaya dapat lebih dari 100 lux 35 Perbaikan jangka pendek 15 Pasang engsel pada emergency exit car. Pastikan pintu tersebut
dapat dibuka dan terpasang switch dimana elevator harus berhenti ketika pintu emergency exit dapat terbuka
24 Perbaikan jangka pendek 16 Bersihkan genangan air dan tumpahan oli pada pit untuk
menghindari terjadinya korosi pada komponen komponen 20
Perbaikan jangka menengah 17 Pasang APAR
10 Perbaikan jangka pendek 18 Pindahkan material yang bukan komponen lift dari luar ruang
luncur 6
Perbaikan jangka menengah Sumber: Data primer yang diolah, 2021
Sesuai dengan urutan prioritas perbaikan pada Tabel 3. diatas, terdapat perubahan rekomendasi prioritas perbaikan yaitu pemasangan automatic rescue device (ARD) dan menutup lubang pada hoistway. Hal ini dikarenakan komponen ARD memiliki fungsi yang sangat penting, dan akan berdampak sangat berbahaya jika tidak dipasang. Peran ARD adalah sebagai sumber listrik cadangan bagi elevator untuk pindah ke lantai terdekat jika listrik padam. Sehingga hal tersebut dapat menghilangkan potensi penumpang terjebak jika terjadi pemadaman listrik atau bencana. Pada rekomendasi penutupan lubang hoistway ditempatkan pada prioritas nomor 3, karena lubang pada hoistway memiliki efek domino dan akan menimbulkan kerusakan pada komponen lainnya.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis permasalahan terkait identifikasi risiko penyimpangan komponen passenger elevator, maka diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil uji kelayakan lift berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 tahun 2017 ditemukan 16 komponen yang tidak sesuai dengan peraturan. Dimana didapatkan 8 komponen rusak atau tidak layak pakai, dan 8 komponen tidak terpasang.
2. Berdasarkan hasil identifikasi risiko menggunakan FMEA dan ISO 14971 didapatkan kriteria risiko pada 16 komponen yaitu 1 komponen tingkat risiko intolerable risk, 13 komponen tingkat risiko tolerable risk dan 2 komponen tingkat risiko acceptable risk.
3. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rekomendasi perbaikan yang dapat diajukan adalah 11 perbaikan jangka pendek, 6 perbaikan jangka menengah dan 1 perbaikan jangka panjang.
5. DAFTAR PUSTAKA
Idham, Ibnu. 2014. Analisis Penyebab Cacat Produk menggunakan Metode Failure Mode and Effect Analysis (Fmea). Program Studi D3 Teknik Mesin, Politeknik Negeri Bandung. Bandung.
McDermott, Robin, dkk. 2008. The Basics of Fmea 2nd Edition. Boca Raton: Taylor & Francis Group, LLC.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator.
Suwankanit, Tawan. 2019. The Identification of Failure Modes in the Elevator Installation Process of A Case Company in Thailand by Fmea. London Journal of Engineering Research, Volume 19(4), hal. 21-28
Wang, Feng dkk. 2014. Elevator Safety Risk and Countermeasures Based Fta-Tfn. Bussiness School of Sichuan University, Chengdu and Inspection Institute of Fujian Special Equipment. Fujian.