NASKAH PUBLIKASI
SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN
TESISOLEH:
JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU 097005075
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh:
JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU 097005075
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA PERTAMBANGAN
Nama Mahasiswa : JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU Nomor Pokok : 097005075
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
K e t u a
(Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH)
A n g g o t a
(Prof. Dr. Sumarni, SH. M.Hum)
A n g g o t a
(Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum)
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
NIP. 196207131988031003 (Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH)
Dekan
NIP. 19561110 198503 1 022 (Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.)
Telah diuji pada
Tanggal 20 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Sumarni, SH. M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum
RIWAYAT HIDUP
Nama : JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU
Tempat / Tgl. Lahir : Muara Bungo, 20 Juli 1986 Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Lorong Hikmah RT 005/002
Sungai Pinang, Bungo Dani - Jambi Pendidikan :
- SD Negeri 286 Muara Bungo Jambi, Lulus Tahun 1998
- SMP Negeri 4 Muara Bungo Jambi, Lulus Tahun 2001
- SMA Negeri 1 Muara Bungo Jambi, Lulus Tahun 2004
- S-1 Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Lulus Tahun 2008
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan,
Lulus Tahun 2014
ABSTRAK
Bidang usaha pertambangan merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang berdasarkan UU Pasal 33 1945 dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga harus dikelola secara maksimal untuk memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah kekuasaan yang besar dalam mengelola daerahnya termasuk dalam bidang usaha pertambangan. Sektor Pertambangan yang berlansung di berbagai pemerintahan daerah berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan, apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. . Metode penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normative yang bersifat kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan cara penelitian studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.
Melalui pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan daerah penghasil tambang telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Walaupun demikian daerah-daerah penghasil tambang di Indonesia beberapa kali mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap Dana Bagi Hasil karena dirasa sangat diskriminatif, dan tidak adil bagi pemerintah daerah yang mendapatkan porsi penerimaan pertambangan yang lebih kecil dibandingkan pemerintah pusat kendati sebagai wilayah penghasil, begitu juga akan ketidakjelasan pembagian hasil dan waktu pendistribusian hasil dari Negara atas eksplorasi tambang di daerah. Keluhan tersebut datang dari pemerintah daerah yang merasa bahwa pembagian hasil dirasa kurang bagi daerah hal ini disebabkan dana bagi hasil (DBH) perimbangan keuangan pusat (pemerintah pusat) dan daerah (pemda) atas hasil pertambangan bukan hanya masalah manajemen pembagiannya, juga bukan sekadar soal kebijakan pilihan bidang pertambangan yang dibagihasilkan dan persentase pembagiannya, melainkan amat
Disarankan agar dilakukan perumusan kembali/ulang atau revisi terhadap Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal alokasi dana perimbangan yang dirasa tidak adil bagi daerah penghasil tambang. Sehingga tersalurkannya Dana Bagi Hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang adil untuk mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah karena pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonomi termasuk sumber pendapatan dalam bidang usaha pertambangan. Substansi dari otonomi daerah menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional, kemanfaatan, untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan pertambangan yang baik.
Kata Kunci : Bagi Hasil, Pertambangan
ABSTRACT
Businesses mining is natural resources strategic non renewable that based on constitution 33 1945 controlled by the state and is vital commodities that dominate his life the people and had an important role in the national economy so that should be managed optimally to provide prosperity and the people's welfare. System change of government from centralization to decentralization give to local government great dominion in managing its territory included in businesses mining. The Mining sector was conducted in various governance areas impacted positively in increasing the acceptance of the original Regional Revenue (PAD) through the Fund for the results (DBH). This research mean to get picture of contribution of execution in system profit sharing central government and regional government in other businesses mining, government role central and regional realize in funding for the results on society and implementation funding for results.
The method of this research is conducted by the method of normative legal research is qualitative. Qualitative analysis of secondary data (legal materials) that was collected by using the means of research studies library.
The result showed that since reformation era, idea of regional autonomy, continue thus causing the occurrence of paradigm shift.The paradigm is sentralistik or top-down and just focused on economic growth paradigm shift to development which based on the basic principles of democracy, equality, and justice in the form of autonomous region. Through the distribution and allocation of funds for intermediate results-producing mines and the Centre has been set up in positive law in Indonesia, namely Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization, law No. 32 of 2004. However the mine-producing regions in Indonesia several times expressed their dissatisfaction against funds for the results because both feel very discriminatory and unfair to local governments that get a portion of the revenues of the smaller mining although the Central Government as compared to regions, so too will the obscurity of Division results and time distribution of the results of the country's top mining exploration in the area. The complaints came from the local government who feel that the division's results proved less for area this is due to funding for the results (DBH) Equalization Financial Center (Central Government) and regional (regional government) of the result mining Management Division is not only a problem, nor is it merely a question of policy options the been distributed and mining Division, but the percentage is related to the substance of the mining management policies in relation to the parties of the Central Government and local governments.
It is recommended that do back/formulation or revision of Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization between the Central Government and local
Center-region since the implementation of regional autonomy, local governments must have adequate financial resources to finance the implementation of autonomy including the income source in the field of mining enterprises. The substance of the autonomous region is using a new policy direction that accommodate mining principles of national interest, the benefit, to the community, the guarantee sought, decentralized management of mining which is good.
Keyword : For the Result, Mining
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara.
Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : “Analisis Hukum Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang Usaha Pertambangan”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K) selaku Rektor Universitas Sumatra Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahmat Matondang, M.S.I.E. selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi
4. Ibu Prof Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian, dan dukungan yang tiada henti- hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.
6. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji.
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji 8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pasca Sarjana USU yang telah banyak
memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan bermanfaat dikemudian hari.
9. Orangtuaku tercinta, Ayahanda T. Dolok Saribu dan Ibunda R. Butar-Butar yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus- putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya dan Saudara-Saudariku serta segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini
10. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Reguler Program Studi Ilmu Hukum USU Angkatan Tahun 2009, atas dukungan dan kebersamaanya.
11. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum USU atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya.
Akhirnya Penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai “Analisis Hukum Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang Usaha Pertambangan”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin
Medan, Agustus 2014 Penulis
Juliandi Hasudungan Dolok Saribu
DAFTAR ISI
Halaman RIWAYAT HIDUP
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Keaslian Penelitian ... 5
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 5
1. Kerangka Teori ... 6
2. Landasan Konsepsional ... 8
G. Metode Penelitian ... 8
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 9
2. Sumber Data ... 10
3. Teknik Pengumpulan Data ... 11
4. Analisis Data ... 12
BAB II ALASAN – ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN ... 14
A. Penguasaan Negara atas Kekayaan Alam yang Terkandung di bawah Tanah ... 14
1.Pengertian dan Konsep Penguasaan Negara ... 14
2.Tujuan Penguasaan Negara ... 15
3. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Penguasaan Negara 15
B. Alasan dari Segi Hukum Pertimbangan Bagi HasilAntara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan ... 16
C. Alasan lain Pentingnya Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan ... 16
1. Pertimbangan Politik ... 17
2.Pertimbangan Ekonomi ... 17
3.Pertimbangan Sosiologi ... 17
BAB III SISTEM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BERDASARKAN PERUNDANG-
UNDANGAN ... 19
A. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah Daerah ... 19
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ... 19
2. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ... 19
B. Pengaturan Usaha Pertambangan di Indonesia ... 20
1. Landasan Konstitusi ... 20
2. Asas Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara ... 21
3. Peraturan Perundang-undangan ... 21
a. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah ... 22
b. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara ... 22
c. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan ... 22
C. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan ... 22
1. Ruang Lingkup Bagi Hasil ... 22
2. Penataan Bagi Hasil ... 23
3. Sistem Bagi Hasil ... 24
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN ... 26
A. Hambatan Dari Segi Hukum ... 26
B. Hambatan Dari Luar Hukum ... 26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 28
A. Kesimpulan ... 28
B. Saran ... 32
DAFTARPUSTAKA ... 34
ABSTRAK
Bidang usaha pertambangan merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang berdasarkan UU Pasal 33 1945 dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga harus dikelola secara maksimal untuk memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah kekuasaan yang besar dalam mengelola daerahnya termasuk dalam bidang usaha pertambangan. Sektor Pertambangan yang berlansung di berbagai pemerintahan daerah berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan, apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. . Metode penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normative yang bersifat kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan cara penelitian studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.
Melalui pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan daerah penghasil tambang telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Walaupun demikian daerah-daerah penghasil tambang di Indonesia beberapa kali mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap Dana Bagi Hasil karena dirasa sangat diskriminatif, dan tidak adil bagi pemerintah daerah yang mendapatkan porsi penerimaan pertambangan yang lebih kecil dibandingkan pemerintah pusat kendati sebagai wilayah penghasil, begitu juga akan ketidakjelasan pembagian hasil dan waktu pendistribusian hasil dari Negara atas eksplorasi tambang di daerah. Keluhan tersebut datang dari pemerintah daerah yang merasa bahwa pembagian hasil dirasa kurang bagi daerah hal ini disebabkan dana bagi hasil (DBH) perimbangan keuangan pusat (pemerintah pusat) dan daerah (pemda) atas hasil pertambangan bukan hanya masalah manajemen pembagiannya, juga bukan sekadar soal kebijakan pilihan bidang pertambangan yang dibagihasilkan dan persentase pembagiannya, melainkan amat terkait dengan substansi kebijakan pengelolaan pertambangan dalam hubungannya dengan para pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Disarankan agar dilakukan perumusan kembali/ulang atau revisi terhadap Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal alokasi dana perimbangan yang dirasa tidak adil bagi daerah penghasil tambang. Sehingga tersalurkannya Dana Bagi Hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang adil untuk mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah karena pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonomi termasuk sumber pendapatan dalam bidang usaha pertambangan. Substansi dari otonomi daerah menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional, kemanfaatan, untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan pertambangan yang baik.
Kata Kunci : Bagi Hasil, Pertambangan
ABSTRACT
Businesses mining is natural resources strategic non renewable that based on constitution 33 1945 controlled by the state and is vital commodities that dominate his life the people and had an important role in the national economy so that should be managed optimally to provide prosperity and the people's welfare. System change of government from centralization to decentralization give to local government great dominion in managing its territory included in businesses mining. The Mining sector was conducted in various governance areas impacted positively in increasing the acceptance of the original Regional Revenue (PAD) through the Fund for the results (DBH). This research mean to get picture of contribution of execution in system profit sharing central government and regional government in other businesses mining, government role central and regional realize in funding for the results on society and implementation funding for results.
The method of this research is conducted by the method of normative legal research is qualitative. Qualitative analysis of secondary data (legal materials) that was collected by using the means of research studies library.
The result showed that since reformation era, idea of regional autonomy, continue thus causing the occurrence of paradigm shift.The paradigm is sentralistik or top-down and just focused on economic growth paradigm shift to development which based on the basic principles of democracy, equality, and justice in the form of autonomous region. Through the distribution and allocation of funds for intermediate results-producing mines and the Centre has been set up in positive law in Indonesia, namely Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization, law No. 32 of 2004. However the mine-producing regions in Indonesia several times expressed their dissatisfaction against funds for the results because both feel very discriminatory and unfair to local governments that get a portion of the revenues of the smaller mining although the Central Government as compared to regions, so too will the obscurity of Division results and time distribution of the results of the country's top mining exploration in the area. The complaints came from the local government who feel that the division's results proved less for area this is due to funding for the results (DBH) Equalization Financial Center (Central Government) and regional (regional government) of the result mining Management Division is not only a problem, nor is it merely a question of policy options the been distributed and mining Division, but the percentage is related to the substance of the mining management policies in relation to the parties of the Central Government and local governments.
It is recommended that do back/formulation or revision of Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization between the Central Government and local governments, in terms of the allocation of equalization funds which is considered unfair to the producers mine. So the channeled funds for the result between the Central Government and local governments that are fair to reduce fiscal disparities
Center-region since the implementation of regional autonomy, local governments must have adequate financial resources to finance the implementation of autonomy including the income source in the field of mining enterprises. The substance of the autonomous region is using a new policy direction that accommodate mining principles of national interest, the benefit, to the community, the guarantee sought, decentralized management of mining which is good.
Keyword : For the Result, Mining
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan di dalam air. Di dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau dibawah bumi. Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair (sungai, danau, laut dan rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk permukaan bumi yang ada di bawah air.1
1 Deddy Supriadi Bratakusumah, Kompetensi Aparatur Dalam Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Jurnal Administrasi Publik Studi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002), hal. 40
Di dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria telah disebutkan bahwa pelaksanaan penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah turut serta menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara atas bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama mengenai makna dikuasakan. Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah perubahan dalam UU No. 4 Tahun 2009.
2
substansi UU No.4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies).
Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point yang maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausula yang masih membutuhkan klarifikasi. Sejak berlakunya pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota secara luas telah dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara. Tugas- tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan, sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang dapat diserahkan kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal, artinya mempunyai nilai yang bersifat kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan tidak menyangkut kepentingan nasional.2
Hal yang perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian otonomi kepada daerah tidak mengalami distorsi tujuan. Otonomi tidak semata-mata hanya dipersepsikan sebagai kewenangan saja tetapi juga tanggung jawab yang harus dijalankan. Untuk itu penataan kelembagaan dan kinerja lembaga (structure) dalam
3
pemerintahan daerah, pembenahan regulasi (substance) termaksud juga di bidang usaha pertambangan, sebaiknya dilakukan secara terpadu (integrated) walaupun bertahap (incremental). Di samping itu pemahaman HPN terhadap pertambangan perlu dijadikan referensi untuk meluruskan permasalahan yang sering terjadi di lapangan antara masyrakat melawan pemerintah atau juga kepada pengelola usaha pertambangan seperti masalah primordialisme terhadap masyarakat sekitar tempat usaha tambang di laksanakan, corporate social responsibility perseroan, masalah analisis dampak lingkungan atau amdal sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial dan konflik deprivasi relatif atau rasa kehilangan memiliki oleh kelompok masyrakat lama terhadap munculnya kelompok baru yaitu pengelola usaha tambang, maka perlu di jaga dan di tumbuhkan budaya hukum (legal culture) antara pemerintah pusat dan daerah juga kepada pengelola usaha tambang dan masyrakat sekitar usaha tambang berlangsung yang mencerminkan NKRI.3
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya ilmiah dengan fokus judul adalah “Analisis Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut, bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana cara bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan dan yang menjadi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan.
3 Anonimous, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta:Erlanga, 2005), hal.50
4
Hukum Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang Usaha Pertambangan”
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan?
2. Bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan?
3. Apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari perlunya sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan.
2. Untuk mengetahui pengaturan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan
5
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalampelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam mengambil suatu kebijakan dalam pengelolaan perusahaan, serta diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang hukum bisnis terutama dalam perkembangan hukum pertambangan.
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukkan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan kebijakan dalam pengelolaan perusahaan pertambangan dan bagi hasil dari pendapatan perusahaan pertambangan.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengetahui pengaturan mengenai kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan dan pengelolaanpertambangan.
c. Sebagai bahan referensi atau rujukan untuk dikaji kembali bagi para peneliti lebih lanjut untuk menambah wawasan hukum bisnis terutama yang membahas tentang bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah dalam usaha pertambangan dengan mengambil poin-poin tertentu.
6
d. Sebagai informasi untuk membuka inspirasi bagi pelaku bisnis pertambangan bahkan investor agar mampu memahami ruang lingkup perusahaan pertambangan.
E. Keaslian Penelitian
Kerangka Teori dan Konsepsional
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penelitian di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) diketahui bahwa penelitian mengenai “ Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Usaha Pertambangan ”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama sebelumnya, walaupun ada beberapa topik penelitian ilmiah ini dilakukan sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran- saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.
1. Kerangka Teori
Untuk mengkaji mengenai Sistem Bagi Hasil Pusat dan Daerah di Bidang Usaha Pertambangan, terdapat beberapa teori antara lain :
1. Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
7
dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang biasa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.4
B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi.5
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.6
4 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, (Bandung : Makalah Falsafah Sains, 2002), hal.10.
5 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hal.20
6 Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta:PT Rineka Ripta,1990), hal. 55
8
2. Keadilan
Keadilan merupakan tujuan hidup manusia, tanpa terkecuali mereka yang menganut agama tertentu, bahkan di orang yang tidak beragama pun mengharapkan keadilan yang sesungguhnya. Di seluruh di Negara manapun telah sedang mempunyai persoalan yang sama, yaitu keadilan Sosial. Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).7
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum.
9
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional atau kontruksi secara internal pada pembaca berguna untuk mendapat stimulasi atau dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan. Kerangka konsepsional dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul dalam penelitian sebagai berikut :
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.8
2. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.9
3. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan
8 Konsep Pemisahan Menurut UUPT (Poinetrs For Discussion), disampaikan pada acara
“Sosialisasi UU tentang PT” yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI), 22 Agustus 2007 di Jakarta, hal.10
9 Ibid. hal.12
10
administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional.10
4. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.11
5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.12
6. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.13
7. Dana Bagi Hasil selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dan pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.14
F. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan.
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja.
yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti cara sistematis dan cara
10 http://peranap. riaucoding. com/2009/07/reformasi-rasionalisasi-restrukturisasi. html
11 http://id. wikipedia.org/wiki/Perseroan_Terbatas
11
terpikir secara baik untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaedah - kaedah penelitian sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitan hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutkan metode penelitian tersebut juga sebagian penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.15
a. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan Dalam menggunakan penelitian hukum normatif dalam penyusunan tesis ini akan difokuskan kepada penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Untuk itu yang menjadi alasan adalah sebagai berikut:
b. Data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.16
15 Ronal Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Febuari 2003, hal. 1.
16 Ibid, hal. 11.
12
2. Sumber Data
Sumber data digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terlebih dahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
Sebagai penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada penelitian kepustakaan dan berdasarkan data sekunder, maka bahan kepustakaan yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik dalam bentuk perundang- undangan ataupun peraturan perundang-undangan lainnya dalam hal ini antara lain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer berupa buku-buku, makalah-makalah seminar, majalah, surat kabar dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berisikan pendapatt praktisi hukum dalam hal ini yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan juga putusan pengadilan tentang masalah yang diteliti.
13
c. Bahan hukum tertier, yaitu hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia dan berbagai kamus lain yang relevan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh data sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka (library reseach) untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku pustaka, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan yang ada didalam media cetak dan dokumen- dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal (di dalam UU Perseroan Terbatas, UU Pemerintahan Daerah, UU Pertambangan) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini dapat dijawab.17
4. Analisis Data
Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan terlebih dahulu diadakan pengumuman data, kemudian dianalisis secara
17 Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
14
kualitatif dan ditafsirkan secar logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan produser dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas yang berlaku umum dalam perundang-undangan.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan-bahan hukum pada hakekat adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan dalam penelitian, kegiatan yang dimaksud dalam hal ini diantaranya memilih bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang berisi peraturan perundang-undangan serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha pertambangan serta menemukan prinsip-prinsip hukum lainnya secara sistematis, sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang terbagi atasa penyebab terjadi bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha pertambangan, proses pelaksanaan bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu perusahaan pertambangan, dan akibat hukum dari bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kemudian menemukan dan mengarahkan hubungan antara prinsip-prinsip hukum dan klasifikasi dengan menggunakan kerangka teoritis yang ada sebagai analisis. Selanjutnya menarik kesimpulan dari hasi penelitian yang diperoleh dengan menggunakan logika berpikir deduktif dan induktif.
BAB II
ALASAN – ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
BIDANG USAHA PERTAMBANGAN
A. Penguasaan Negara Atas Kekayaan Alam yang Terkandung di Bawah Tanah
1. Pengertian dan Konsep Penguasaan Negara
Konsep penguasaan negara atau lebih dikenal dengan asas domein mengandung pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad).18
Dari ketentuan UUD 1945 terdapat kerancuan istilah dikuasai oleh negara antara Pasal 33 ayat (2) dengan Pasal 33 ayat (3). Menurut Pasal 33 ayat (2) bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Istilah dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan dikelola oleh negara secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN.
Sementara makna dikuasai oleh negara dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan oleh Pasal 2 UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, sebagai hak menguasai negara, yang sesuai dengan penjelasan umum UU pokok agraria, istilah dikuasai dalam pasal ini tidak berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu. Akibat dari kerancuan makna dikuasai oleh negara seperti dimuat dalam UUD 1945 dan UU Pokok Agraria itu, sering timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang
18Adiproj, Fungsi dan Peran Pemerintah Daerah, (Jakarta:PT.Madju jaya, 2011), hal.28
16
memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang diurus oleh badan usaha milik negara, yakni diartikan sebagai milik negara, yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara.19
2. Tujuan Penguasaan Negara
Penguasaan sumber daya alam oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Otoritas negara dalam penguasaan sumber daya alam bersumber dari Undang- undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat.
Negara atau Pemerintah harus memiliki sense of public service, sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public obedience.20
3. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Penguasaan Negara
Dalam konsep otonomi daerah, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan negara. Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi
19Astuti Sri Wahyuni, Dampak Pemasaran Jasa Rumah Sakit Terhadap Nilai, Kepuasan Dan
17
pemerintahan dari pusat ke daerah. Sebagai daerah otonom, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, menggerakkan partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.21
B. Alasan dari Segi Hukum Pentingnya bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Usaha Pertambangan
Dengan demikian, otonomi daerah mengkonsepkan daerah mempunyai keleluasan untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Substansi UU No.4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies).
Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.22
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan.
Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi
21 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung: Nuansa: 2009), hlm. 12.
22 F.Due, John, Rudi Sitompul, Government Finance, (Jakarta: Erlangga, 2001), hal.17
18
dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009.
C. Alasan Lain Pentingnya Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan
1. Pertimbangan Politik
Mengingat bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu luas dan dibagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya menganut asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas perbantuan, maka pembagian kewenangan tersebut dilakukan demi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan dimaksudkan untuk memberi peluang yang lebih besar bagi daerah-daerah untuk berkembang lebih cepat dan mandiri dalam mencapai pemakmuran rakyat.23
2. Pertimbangan Ekonomi
Salah satu tujuan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45 adalah : “memajukan kesejahteraan umum”, yang merupakan landasan yuridis bagi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintahan negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia agar terlepas dari belenggu kemiskinan setelah dijajah selama 350 tahun. Dalam rangka mewujudkan
19
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat maka pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang khususnya bidang ekonomi.
3. Pertimbangan Sosiologis
Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang- undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat.
Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dapat dikaji menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.24
24Sirait, Industri Pertambangan Indonesia, Papua dan PT Freeport Indonesia ,(Jakarta:Radjawali Press, 2000), hal. 21
BAB III
SISTEM, BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN BERDASARKANPERUNDANG – UNDANGA
NA. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah pusat selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Aim Abdul Karim pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 angka 5 memberikan definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah hak, wewenang kewajiban daerah otonom. Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 25
21
2. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada dasarnya substansi hubungan Pusat-Daerah akan dibekali dengan berbagai konsep, teori dan praktik hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang meliputi hubungan dalam bidang kewenangan, keorganisasian, keuangan, pelayanan publik, penyelenggaraan pembangunan, dan dalam bidang pengawasan. Pengertian dan Model-Model Hubungan Pusat-Daerah
a. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Kewenangan b. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Kelembagaan c. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Keuangan d. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Pengawasan 26
B. Pengaturan Usaha Pertambangan Di Indonesia 1. Landasan Konstitusi
Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi. Oleh karena itu perumusan peraturan yang, baik dalam bentuk Undang-Undang haruslah mengacu kepada konsep pemerintahan konstitusional (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945) sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena memang sudah menjadi aspirasi dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Begitu juga pengaturan dalam bidang usaha pertambangan,
26Ibid, hal.42.
22
adapun landasan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertambangan (migas dan tambang umum) di Negara kita adalah Konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 2. Pasal 33 ayat 3 menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sedangkan ayat 2 menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Frase kunci dari kedua ayat ini dalam hal sistem pengelolaan pertambangan adalah “dikuasai oleh Negara”
dan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
2. Asas-asas Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara
Dalam pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara telah ditentukan asas-asas hukum pertambangan mineral dan batubara. Ada tujuh asas hukum pertambangan mineral dan batubara. Ketujuh asas itu meliputi :
1) Manfaat 2) Keadilan 3) Keseimbangan
4) Keberpihakan kepada kepentingan bangsa 5) Partisipatif
6) Transparansi 7) Akuntabilitas
23
3. Peraturan Perundang - Undangan
a. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terdapat pada Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian.
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnyadan c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
d. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainn yang menjadi kewenangan daerah.
e. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah dan Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.27
b. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
c. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
27 Ibid, hal.49.
24
Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara baru ada setelah Menteri ESDM menetapkan WP, WUP, dan WIUP seperti diatur dalam UU Minerba jo PP No. 22 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 (PP 22/2010) tentang Wilayah Pertambangan telah ditetapkan pada tanggal 1 Februari 2010 sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 12, 19, 25, 33 dan 89.28
C. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Pertambangan
1. Ruang Lingkup Bagi Hasil
Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan:
a. Golongan bahan galian strategis.
b. Golongan bahan galian vital.
c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b. 29
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
Menurut Pasal 128 UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, membagi jenis pendapatan Negara dan daerah dari sektor pertambangan mineral dan batubara adalah sebagai berikut :
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
25
a. Pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan
b. Bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Iuran Tetap b. Iuran eksplorasi c. Iuran Produksi
d. Kompensasi Data Informasi 2. Penataan Bagi Hasil
Penyaluran dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas bumi ke daerah harus dievaluasi kembali untuk memberikan keadilan kepada daerah penghasil. Bila perlu, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) juga ikut terlibat dalam evaluasi tersebut.Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo mengungkapkan selama ini belum ada transparansi pembagian DBH migas ke daerah, sehingga menimbulkan berbagai persoalan dan kecemburuan di tingkat daerah. Dia menuturkan dana bagi hasil migas untuk pemerintah itu sangat besar, yakni 85% dan kontraktornya 15%, tetapi kenyataan daerah penghasil selalu mengeluhkan karena mendapat bagian yang dinilai sedikit.
Harus ada evaluasi dan transparansi penyaluran DBH ini, sehingga jelas duitnya kemana aja. Selain itu pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi ke pemerintah daerah seharusnya tidak hanya sampai di tingkat kabupaten, tetapi juga dialokasikan ke tingkat kecamatan.Berdasarkan Undang-undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dana bagi
26
hasil minyak bumi kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% dan pemerintah pusat sebesar 84,5%. Sementara itu, dana bagi hasil gas bumi untuk pemerintah daerah 30,5% dan pemerintah pusat 69,5%.
3. Sistem Bagi Hasil
Sebenarnya masalah pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan daerah penghasil migas telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan (selanjutnya disebut UU Perimbangan Keuangan. Selain itu di dalam Pasal 20 ayat (2) ditetapkan pembagian lain ke daerah yaitu sebanyak 0,5 % dari hasil pertambangan migas dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dari keterangan di atas terlihat bahwa ketentuan yang mengatur jumlah alokasi dana bagi hasil yang menjadi hak daerah penghasil migas dan waktu pendistribusiannya sebenarnya telah ada, namun belum dapat dijalankan sebagaimana mestinya.30
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
BIDANG USAHA PERTAMBANGAN
A. Hambatan Dari Segi Hukum
Walaupun pada dasarnya kontrak pertambangan harus dihormati, namun dalam suasana reformasi dan otonomi daerah sekarang ini aspirasi masyarakat tentang perlu adanya perubahan isi kontrak pertambangan, bahkan peraturan di bidang energi dan sumber daya mineral perlu pula mendapat perhatian. Semua hal tersebut dapat diwacanakan melalui koridor yang benar dan komunikasi intensif dari para stakeholders. Dengan demikian permasalahan tersebut dapat dipecahkan berdasarkan
makna kepastian hukum secara adil, baik dan benar. Termasuk dalam kontek ini adalah pemecahan masalah pertambangan tanpa izin (PETI) baik secara hukum maupun sosial-ekonomi.31
Pemerintah daerah, masyarakat kabupaten /kota, masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tambang migas merupakan pihak yang potensial menerima dampak langsung atau tidak langsung dari kegiatan operasi industri ekstraktif migas yang berada di wilayahnya. Kegiatan operasi industri ekstraktif Migas tentu diharapkan akan membawa dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi masyarakat di daerah, baik berupa peningkatan penerimaan, penciptaan lapangan B. Hambatan di Luar Hukum
31 Dhakidae, Profil Daerah Kabupaten dan Kota, (Jakarta: Kompas Group,2001), hal.3.
28
kerja, peningkatan kegiatan ekonomi daerah, maupun peningkatan kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dan sebagainya. Namun demikian, lingkungan (baik lingkungan sosial maupun hayati) juga menerima dampak eksternalitas yang tidak sedikit. Sebut saja misalnya alih fungsi lahan pertanian yang dapat berimbas pada beralihnya mata pencaharian sebagian masyarakat, kerusakan jalan yang sering dikeluhkan warga karena penggunaan alat angkut berat industri, maupun perubahan rona lingkungan (baik secara fisika maupun biologis) serta resiko kejadian kecelakaan Migas seperti gas kick, tumpahan minyak, kebakaran pipa ataupun mud flow seperti kasus lumpur Lapindo. Sering kali berbagai dampak baik positif maupun negatif tersebut kurang dapat dikelola dengan baik. Dampak positif seperti naiknya penerimaan daerah dan peningkatan kegiatan ekonomi lokal, tidak dianggap sebagai dampak ketika masyarakat tidak mengetahui berapa besar penerimaan tersebut dan digunakan untuk apa bagi pembangunan di daerah.
Sehingga, masyarakat (terutama masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tambang) hanya akan melihat bahwa kegiatan tersebut berdampak pada rusaknya jalan di pemukiman akibat alat angkut kendaraan berat. Di lain sisi, perusahaan terkadang merasa bahwa dengan mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR/
Comdev, dianggap telah menyelesaikan masalah- tanpa harus berkoordinasi dengan
Pemerintah Daerah. Sebaliknya jika di sebuah desa telah mendapat alokasi dana CSR/Comdev dari perusahaan, Pemda cenderung menyerahkan Kepentingan Daerah dalam Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. 32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan Pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Alasan dari segi hukum pertimbangan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. Substansi UU No. 4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam
terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi. Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No. 4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini.
Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No. 32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No. 4 tahun 2009.Sektor pertambangan yang
30
berlangsung di berbagai daerah di Indonesia berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Potensi sumberdaya alam yang dimiliki yaitu kandungan bahan galian tambangnya diharapkan memberikan kontribusi optimal bagi penerimaan asli daerah, namun kontribusi sektor pertambangan kepada daerah belum optimal. Hal ini disebabkan jenis pajak dan retribusi yang menjadi kewenangan daerah terbatas, penerimaan daerah seperti pajak dan retribusi yang berpotensi menghasilkan Pendapatan Asli Daerah kurang maksimal, mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi hukuman terhadap subjek pajak belum berjalan. Aktivitas pertambangan yang beroperasi tersebut seharusnya berpotensi besar sebagai penyumbang penerimaan daerah dari tambang mineral dan batubara tersebut oleh karena itu, dibutuhkan suatu analisis untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan kedalam pendapatan asli daerah yang harus melibatkan berbagai stakeholder yang dianggap berperan yaitu Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD), Dinas Pertambangan, Badan Perencana Daerah (Bappeda), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengusaha pertambangan, dan akademisi. Acuan dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah dimasa yang akan datang sebagai usaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat
31
memperhatikan kepentingan daerah. Menurut pakar Hukum Tata Negara Prof Saldi Isra menilai Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan lorong gelap yang merugikan daerah penghasil minyak dan gas bumi.Kerugian itu disebabkan adanya frasa pungutan lainnya dalam pasal itu sebelum dilakukan pembagian dengan daerah penghasil pertambangan migas.
Frasa pungutan lain dapat saja digunakan sebagai cara untuk mengurangi pembagian daerah yang telah diatur dengan angka atau prosentase yang sangat kecil, sangat masuk akal jika Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahunn 2004 dikatakan bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan pemanfaatan sumber daya alam diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras. “Sulit dibantah jika Pasal 14 huruf e dan f tidak bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945. Karena itu, Pasal 14 huruf e dan f itu juga bertentangan dengan 18 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena terjadi perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan diskriminatif terhadap sejumlah daerah penghasil sumber daya alam (migas, red) kaya atau melimpah.
2. Bagi hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang usaha Pertambangan menghadapi berupa hambatan yaitu :
1) Hambatan dari Segi Hukum.
Hambatan regulasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana dalam Pasal 37 izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah