• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS NON-OPIOID BASED IN PAIN MANAGEMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN KASUS NON-OPIOID BASED IN PAIN MANAGEMENT"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

NON-OPIOID BASED IN PAIN MANAGEMENT

Oleh :

dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS, FIC

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2019

(2)

i

LAPORAN KASUS

NON-OPIOID BASED IN PAIN MANAGEMENT

Oleh :

dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS, FIC

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2019

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “Non-Opioid Based in Pain Management” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Desember 2019

Penulis

(4)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR. ... ii

DAFTAR ISI. ... iii

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

BAB II TINJUAN PUSTAKA... 3

2.1 Definisi Nyeri ... 3

2.2 Klasifikasi Nyeri ... 3

2.3 Patofisiologi Nyeri ... 5

2.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri ... 7

2.5 Pengukuran Intensitas Nyeri ... 9

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Pasca Operasi ... 10

2.7 Penanganan Nyeri Pasca Operasi ... 11

BAB III LAPORAN KASUS ... 19

3.1 Identitas ... 19

3.2 Anamnesis ... 19

3.3 Pemeriksaan Fisik ... 20

3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 20

3.5 Permasalahan dan Simpulan ... 21

3.6 Persiapan Anestesi ... 22

3.6 Manajemen Operasi ... 22

BAB IV PEMBAHASAN ... 24

BAB V SIMPULAN ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

Tugas seorang dokter adalah untuk menjaga dan memulihkan kesehatan pasien dan untuk meminimalkan penderitaan mereka. Untuk mencapai tujuan- tujuan ini, pengetahuan tentang nyeri wajib dimiliki karena nyeri dipahami secara universal sebagai penunjuk penyakit. Rasa sakit dapat berasal dari situasi apa pun, cedera sering menjadi penyebab utama. Persepsi nyeri pada setiap individu adalah kompleks dan dikendalikan oleh berbagai variabel.1 Nyeri selalu subyektif dan setiap individu menggunakan kata ini melalui pengalaman mereka sebelumnya terkait dengan cedera. Seiring waktu, berbagai definisi telah diberikan untuk menggambarkan dan memahami rasa sakit ini dalam literatur medis.2

Fungsi utama sistem sensorik dalam tubuh kita adalah untuk menjaga homeostasis nyeri. Ini dilakukan dengan mengidentifikasi, melokalisasi, dan mengenali proses kerusakan jaringan. Mengingat fakta bahwa penyakit yang berbeda menghasilkan pola kerusakan jaringan yang khas. Lokasi, perjalanan waktu, kualitas memberikan petunjuk penting untuk diagnosis, yang digunakan sebagai salah satu petunjuk terbaik untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan. Setelah informasi dikumpulkan, dokter dapat dengan mudah memberikan penghilang rasa sakit segera dan berhasil kepada pasien.1

Bebas dari nyeri saat ini telah dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia. Meskipun terjadi peningkatan konsumsi analgesik di seluruh dunia, prevalensi nyeri pasca operasi tetap mengkhawatirkan. Salah satu penelitian di Amerika Serikat menyatakan hampir > 80% pasien mengalami nyeri pasca operasi.3-5

Nyeri yang berdasar atas International Association for the Study of Pain (IASP) adalah sensori tidak nyaman dan pengalaman emosional yang sangat berhubungan dengan potensial kerusakan jaringan atau terdapat kerusakan jaringan yang nyata. Nyeri akut sendiri berhubungan dengan kaskade biokimia dan tingkah laku yang dimulai dari kerusakan jaringan. Nyeri ini umumnya menguntungkan dan dapat hilang dengan sendirinya, namun jika respons nyeri tersebut tidak ditekan dengan baik akan menyebabkan perubahan menjadi nyeri kronik.5

(6)

2

Penanganan nyeri akut pasca operasi yang tidak baik akan menyebabkan komplikasi kesehatan seperti pneumonia, deep vein thrombosis, infeksi, nyeri kronik, dan depresi. Banyak tenaga kesehatan profesional masih memercayai bahwa nyeri merupakan sesuatu yang alami, tidak dapat dihindari, dapat diterima, dan merupakan konsekuensi yang tidak berbahaya dari operasi.4,5

Tata laksana nyeri akut pascaoperasi di Perancis dan Australia dinyatakan bahwa pemberian analgesik paling sering dimulai saat pasien masih dalam pengaruh anestesi (63,6%). Penggunaan patient controlled analgesia (PCA) masih lebih jarang (21,4%) bila dibanding dengan penggunaan morfin subcutaneous (35,1%). Penggunaan analgesik non-opioid terbanyak adalah parasetamol (90,3%), ketoprofen (48,5%) dan nefopam (21,4%), sedangkan untuk epidural (1,5%) dan blokade saraf tepi (4,7%) masih jarang digunakan sebagai analgesik pasca operasi.6

(7)

3 BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi rusak atau yang digambarkan seperti adanya kerusakan jaringan.2,7 Menurut Fields et al, nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi di bagian tubuh. Ini sering digambarkan dalam hal proses perusakan jaringan (misal:

menusuk, membakar, memutar, merobek, dan meremas) dan / atau reaksi tubuh atau emosional (misal: mengerikan, membuat mual).1 Menurut Monheim, nyeri adalah pengalaman emosional yang tidak menyenangkan biasanya diprakarsai oleh stimulus berbahaya yang berpotensi merusak jaringan dan ditransmisikan melalui jaringan saraf khusus ke sistem saraf pusat di mana ia ditafsirkan seperti itu.8 Menurut Bell, nyeri adalah persepsi sadar seseorang terhadap impuls nosiseptif termodulasi yang menghasilkan pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.9 Menurut McCaffery dan Pasero, nyeri adalah apa pun yang dikatakan oleh orang yang mengalaminya.10 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).7

2.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan menurut patofisiologi yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor khusus yang merubah rangsangan berbahaya. Nyeri neuropatik adalah hasil dari cedera atau kelainan yang didapat dari struktur saraf perifer atau sentral.

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi11: 1. Nyeri onkologik

2. Nyeri non onkologik

(8)

4

Nyeri juga dapat diklasifikasikan menurut area yang terkena contohya nyeri kepala atau nyeri punggung bawah. Klasifikasi ini berguna dalam pemilihan modalitas pengobatan dan terapi obat.

Berdasarkan durasi timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:7,11 1. Nyeri akut

Nyeri akut sering disebabkan oleh nyeri nosiseptif atau kerusakan jaringan nyata. Nyeri yang memiliki durasi kurang dari 3 bulan. Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Jenis nyeri ini biasanya dikaitkan dengan respons stres neuroendokrin yang sebanding dengan intensitas nyeri. Bentuk yang paling umum termasuk nyeri pasca-trauma, pasca operasi, dan nyeri obstetrik serta nyeri yang terkait dengan penyakit medis akut, seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Sebagian besar bentuk nyeri akut dapat sembuh sendiri atau sembuh dengan pengobatan dalam beberapa hari atau minggu. Ketika rasa sakit gagal untuk disembuhkan karena penyembuhan yang abnormal atau perawatan yang tidak memadai, itu dapat menjadi nyeri kronis. Ada dua jenis nyeri akut yang dibedakan berdasarkan asal dan gambaran yaitu somatik dan visceral.

a. Nyeri somatik, dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai superfisial atau dalam. Nyeri somatik superfisial disebabkan oleh input nosiseptif yang timbul dari kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa.

Karakteristiknya yaitu terlokalisir dan digambarkan sebagai sensasi yang tajam, menusuk, berdenyut, atau terbakar. Nyeri somatik yang dalam timbul dari otot, tendon, sendi, atau tulang. Berbeda dengan nyeri somatik superfisial, biasanya memiliki kualitas nyeri yang tumpul dan kurang terlokalisasi dengan baik. Intensitas dan lamanya stimulus mempengaruhi tingkat lokalisasi. Sebagai contoh, rasa sakit setelah trauma minor singkat pada sendi siku terlokalisir pada siku, tetapi trauma yang parah atau berkelanjutan sering menyebabkan rasa sakit di seluruh lengan.

b. Nyeri Visceral, disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi abnormal yang melibatkan organ internal atau yang menyelubunginya (misalnya pleura parietal, perikardium, atau peritoneum).

(9)

5 2. Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang bertahan setelah nyeri akut atau setelah waktu yang wajar untuk penyembuhan terjadi; periode penyembuhan ini biasanya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronis memiliki durasi lebih dari 3 bulan. Nyeri kronis dapat berupa nosiseptif, neuropatik, atau campuran. Pada nyeri kronis, mekanisme psikologis atau faktor lingkungan sering memainkan peran utama. Bentuk paling umum dari nyeri kronis termasuk yang berhubungan dengan gangguan musculoskeletal (rheumatoid arthritis, osteoarthritis), gangguan visceral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau ganglia akar dorsal (termasuk neuropati diabetik, neuralgia post herpetik), lesi pada sistem saraf pusat (stroke, cedera tulang belakang, dan multiple sklerosis), dan nyeri kanker. Nyeri yang terkait dengan beberapa gangguan, misalnya, kanker dan nyeri punggung kronis (terutama setelah operasi), sering dicampur.

Berdasakan derajat nyeri dikelompokkan menjadi11:

1. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.

2. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur.

3. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

2.3 Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat- zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk- produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.7,11

(10)

6 Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri7

Zat Sumber Menimbulkan

nyeri

Efek pada aferen primer

Kalium Serotonin Bradikinin Histramin Prostaglandin Lekotrien Substansi P

Sel-sel rusak Trombosis

Kininogen plasma Sel-sel mast

Asam arakidonat dan sel rusak Asam arakidonat dan sel rusak Aferen primer

++

++

+++

+

±

±

±

Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Sensitisasi Sensitisasi Sensitisasi

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:2,3

1. Tranduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C.

Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat- serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi

Adalah proses penyaluran impuls nyeri melalui A-delta dan serabut C yang menyusul proses tranduksi. Oleh serabut saraf A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel- sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi

(11)

7

oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, noradrenalin, serotonin) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri.

Sedangkan bila efek sistem inhibisi endogen yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi subyektif yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 2.1. Proses perjalanan nyeri11

(12)

8 2.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri.

Nyeri baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada fungsi setiap organ tubuh seperti:7

1. Sistem kardiovaskuler

Efek kardiovaskular sering menonjol dan termasuk hipertensi, takikardia, peningkatan iritabilitas miokard, dan peningkatan resistensi system vaskular. Output jantung meningkat pada sebagian besar pasien normal tetapi dapat menurun pada pasien dengan fungsi ventrikel yang terganggu.

Karena peningkatan kebutuhan oksigen miokard, nyeri dapat memburuk atau memicu iskemia miokard.

2. Sistem respirasi

Peningkatan total konsumsi oksigen tubuh dan produksi karbon dioksida mengharuskan peningkatan ventilasi secara bersamaan. Nyeri karena insisi pada perut atau dada selanjutnya mengakibatkan terganggunya fungsi paru.

Berkurangnya pergerakan dinding dada mengurangi volume tidal dan kapasitas residual fungsional; ini menyebabkan atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan, yang lebih jarang, hipoventilasi.

3. Sistem gastrointestinal dan urin

Peningkatan aktivitas simpatis meningkatkan tonus sfingter dan mengurangi motilitas usus dan urin, meningkatkan ileus dan retensi urin.

Hipersekresi asam lambung dapat menyebabkan ulserasi dan memperburuk konsekuensi aspirasi paru. Mual, muntah, dan sembelit sering terjadi.

4. Sistem endokrin

Stres meningkatkan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, dan glukagon) dan menurunkan hormon anabolik (insulin dan testosteron).

Pasien mengembangkan keseimbangan nitrogen negatif, intoleransi karbohidrat, dan peningkatan lipolisis. Peningkatan kortisol, renin, angiotensin, aldosteron, dan hormon antidiuretik menghasilkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder ruang ekstraseluler.

(13)

9 5. Efek hematologi

Nyeri menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet.

Peningkatan adesifitas trombosit yang dimediasi oleh stres, mengurangi fibrinolisis, dan hiperkoagulabilitas.

6. Efek imun

Respon stres neuroendokrin menghasilkan leukositosis dan menekan sistem retikuloendotelial. Resiko infeksi pada pasien meningkat. Imunodepresi terkait stres juga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis.

7. Efek psikologis

Kecemasan dan gangguan tidur adalah reaksi umum terhadap nyeri akut.

Dengan durasi rasa sakit yang berkepanjangan, depresi bukanlah hal yang aneh. Beberapa pasien bereaksi dengan frustrasi dan marah yang mungkin ditujukan pada keluarga, teman.

2.5 Pengukuran Intensitas Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.

Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :7,12

1. The Wong-Baker Faces Rating Scale

Metode ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak di atas 3 tahun dan untuk pasien yag sulit berkomunikasi.

Gambar 2.2. Faces Pain Scale12 2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. NRS digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri

(14)

10

yang dirasakannya. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ” 10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.3. Numeric pain intensity scale12 3. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.

Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Metode ini sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.

4. Behavioural Pain Scale (BPS)

BPS adalah prosedur yang valid untuk mengukur rasa sakit pada pasien sadar yang disedasi selama prosedur yang menyakitkan. Penilaian BPS dapat digunakan pada pasien non-komunikatif dan berventilasi mekanis.

BPS berisi 3 sub-skala: ekspresi wajah, gerakan tungkai atas, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanis. Setiap subskala diberi skor dari 1 (tidak ada respons) hingga 4 (respons penuh). Oleh karena itu, skor BPS berkisar dari 3 (tanpa rasa sakit) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS 6 atau lebih tinggi dianggap mencerminkan rasa sakit yang tidak dapat diterima.

(15)

11

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Pasca Operasi

Intensitas, kualitas dan durasi nyeri pasca operasi dipengaruhi terutama oleh:13

• lokasi, jenis, dan durasi prosedur bedah

• jenis dan luas sayatan dan trauma bedah

• keadaan fisik dan mental pasien termasuk pendekatan pribadi pasien kesakitan

• persiapan psikologis dan farmakologis sebelum operasi

• jenis anestesi

• manajemen nyeri sebelum dan sesudah prosedur pembedahan

• kejadian komplikasi bedah

• kualitas perawatan pasca operasi

Dua faktor pertama yang disebutkan mempengaruhi nyeri pasca operasi sebagai berikut:13

• Nyeri hebat yang berlangsung lebih dari 48 jam disebabkan oleh prosedur bedah luas di epigastrium, pembedahan toraks, pembedahan ginjal, hemoroid, dan rektum, pembedahan sendi dan tulang utama kecuali pada pinggul, pembedahan tulang belakang.

• Nyeri hebat yang berlangsung kurang dari 48 jam disebabkan oleh kolesistektomi, prostatektomi, histerektomi abdominal, dan operasi caesar.

• Nyeri sedang yang berlangsung lebih dari 48 jam disebabkan oleh operasi jantung, operasi pinggul, operasi laring dan faring.

• Nyeri sedang dengan durasi lebih pendek disebabkan oleh apendektomi, perbaikan hernia inguinalis, histerektomi vaginal, mastektomi, operasi diskus intervertebralis.

• Nyeri ringan, misalnya, disebabkan oleh prosedur ginekologi minor.

2.7 Penanganan Nyeri Pasca Operasi Terapi non-farmakologis

• Metode psikologis

(16)

12

Dalam literatur tentang manajemen nyeri pasca operasi, penggunaan metode psikologis khusus (gangguan, biofeedback) disebutkan terutama dalam persiapan pra operasi. Ketika digunakan sebagai terapi tambahan, dapat mengurangi kecemasan pasien dan meningkatkan kepuasan pengobatan.

Dalam beberapa penelitian terutama pada histerektomi abdominal, metode ini menyebabkan berkurangnya konsumsi analgesik pasca operasi, atau skor nyeri yang lebih rendah pada hari kedua atau ketiga pasca operasi. Metode psikologis memiliki manfaat potensial pada pasien dengan kebutuhan tinggi untuk kontrol diri dan motivasi, seperti keengganan untuk minum obat.

Keuntungan dari metode ini adalah hampir tidak memiliki kontraindikasi, mudah dipelajari, dan dapat dilakukan oleh pasien di rumah. Namun, tidak cocok untuk pasien yang tidak mau atau tidak bisa bekerja sama.

Kebanyakan pedoman tidak memasukkannya sebagai bagian standar perawatan.13

• Metode Fisik 1. Dingin

Dingin mengurangi pembengkakan lokal dan kejang otot. Ini digunakan untuk jangka waktu terbatas setelah pencabutan gigi, prosedur bedah kecil pada lutut, sayatan ringan, dll. Aplikasi jangka panjang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan trauma. Dengan demikian, signifikansi dingin dalam manajemen nyeri pasca operasi terbatas.13

2. Panas

Panas merilekskan kejang otot dan meningkatkan mobilitas sendi. Ini tidak digunakan dalam pengobatan nyeri pasca operasi akut, karena meningkatkan risiko perdarahan dan pembentukan edema. Panas dapat diterapkan tidak lebih dari 48 jam setelah operasi untuk meningkatkan rehabilitasi dan suplai darah lokal.13

3. Imobilisasi

Meskipun imobilisasi mengurangi rasa sakit, imobilisasi yang berkepanjangan tidak diinginkan karena peningkatan risiko trombosis vena dalam, luka tekan, pengecilan otot, dan sindrom nyeri regional yang

(17)

13

kompleks. Tujuan dari manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk secara efektif menghilangkan rasa sakit selama pergerakan.13

4. Pijat

Pijat sebagai metode adjuvant tidak tergantikan dalam perawatan umum rasa sakit. Pijat secara mekanik meningkatkan suplai darah, drainase limfatik, mengurangi kepekaan jaringan, dan memiliki efek psikologis positif secara keseluruhan. Kontraindikasi meliputi lesi kulit segar yang ditutupi dengan cangkok, hematoma, infeksi, keganasan, efusi pleura, penyakit hati dan ginjal, gagal jantung konektifif, penyakit arteri karotis, dan trombosis vena dalam. Dalam manajemen nyeri pasca operasi akut, pijat termasuk teknik adjuvant yang dihilangkan, atau tidak dievaluasi dalam sebagian besar rekomendasi standar.13

5. Akupunktur

Akupunktur termasuk teknik stimulasi, yang tidak tergantikan dalam terapi nyeri akut dan kronis. Namun, hanya jarang disebutkan sehubungan dengan manajemen nyeri pasca operasi. Pada periode perioperatif, akupunktur telah terbukti mengurangi insiden mual dan muntah pasca operasi, namun laporan efektivitasnya dalam mengurangi rasa sakit pasca operasi masih kontroversial. Secara teori, akupunktur hanya memiliki beberapa efek samping, namun, komplikasi serius yang disebabkan oleh infeksi, jarum akupunktur yang rusak dan "berkeliaran", dan penyisipan jarum yang salah telah dilaporkan. Masalah lain ketika mengevaluasi kemanjurannya adalah akupunktur mencakup berbagai teknik spesifik. Kebanyakan pedoman resmi tidak menyebutkan penggunaan akupunktur pada analgesia pasca operasi atau tidak merekomendasikannya karena kurangnya bukti kemanjurannya.13

6. Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS)

TENS adalah metode yang didasarkan pada teori kontrol gerbang rasa sakit.

Menggunakan elektroda kulit, serabut saraf dirangsang oleh arus listrik yang ditentukan. Selain itu, penggunaan TENS juga memiliki efek plasebo yang signifikan. Carrol tidak melaporkan efek analgesik TENS yang signifikan pada 352 wanita saat melahirkan, namun kebanyakan dari mereka lebih suka

(18)

14

TENS. Dalam manajemen nyeri pasca operasi, TENS telah digunakan sebagai metode adjuvan, yang dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi analgesik setelah operasi, peningkatan rehabilitasi, peningkatan fungsi paru- paru, perfusi darah baik pada dermatom yang terstimulasi maupun yang jauh, dan peningkatan kepuasan pasien dengan perawatan. TENS efektif terutama dalam mengobati nyeri ringan (mis. Setelah perbaikan hernia inguinalis dan kolesistektomi laparoskopi, tetapi tidak setelah kolesistektomi terbuka). Kerugian termasuk kebutuhan untuk membeli perangkat, penggunaan elektroda dan pendidikan pasien.13

Alat pacu jantung jantung buatan merupakan kontraindikasi, meskipun beberapa penulis mengizinkan penggunaannya dalam situasi ini. TENS dirancang terutama untuk perawatan nyeri kronis; pedoman standar tidak merekomendasikannya dalam manajemen nyeri pasca operasi akut, karena rasio manfaat-biaya positif belum terbukti.13

7. Rehabilitasi

Rehabilitasi pasca operasi, mempersingkat waktu pemulihan dan tinggal di rumah sakit dan mencegah sindrom nyeri regional yang kompleks. Di sisi lain, rehabilitasi dapat menyebabkan nyeri prosedural, oleh karena itu disarankan untuk memberikan dosis analgesik terlebih dahulu.13

Terapi Farmakologi

• WHO Three Steps Analgesic Ladder

Pada tahun 1986, WHO mengembangkan model konseptual 3- langkah untuk memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat ini, terdapat konsensus yang menyeluruh mengenai penggunaan terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri. Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri.

Untuk nyeri ringan (sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi

(19)

15

dan waktu tidur. Untuk nyeri berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10), dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.

Tiga langkah tangga analgesic menurut WHO yaitu11,15,16:

a. Penggunaan obat analgesik non opioid (aspirin, parasetamol) b. Penambahan obat opioid lemah misalnya kodein

c. Penggunaan opioid keras yaitu morfin

Untuk menenangkan ketakutan dan kegelisahan, obat tambahan (adjuvant) dapat digunakan. Untuk menjaga kebebasan dari rasa sakit, obat-obatan diberikan setiap 3-6 jam. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Polandia, berkat instruksi WHO, sekitar 85-90% pasien dapat berhasil diobati. Jika obat tidak sepenuhnya efektif maka intervensi bedah pada saraf yang tepat dapat memberikan penghilang rasa sakit lebih lanjut.16

Gambar 2.4. WHO Three Step Analgesic Ladder11

• Analgesik Non-Opioid yaitu:11,13

1. Parasetamol (Acetaminophen) adalah analgesik dan antipiretik yang tidak memiliki sifat anti-inflamasi, dengan tolerabilitas gastrointestinal yang baik, cocok untuk pasien anak dan dewasa. Ini memiliki efek samping minimal. Salah satu keuntungannya adalah

(20)

16

tidak secara signifikan mempengaruhi pembekuan darah, bahkan pada pasien yang menerima antikoagulan oral (dapat digunakan pada penderita hemofilia), dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah. Pada analgesik pasca operasi, parasetamol digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang dan dikombinasikan dengan obat lain (opioid khususnya) untuk mengobati nyeri hebat. Kombinasi parasetamol dan tramadol atau kodein lebih efektif daripada pethidine atau morfin dalam dosis tertentu. Parasetamol tidak memengaruhi kadar asam urat dan ekskresinya dalam urin. Dosis pemberian oral atau rektal pada orang dewasa dan remaja menerima 0,5-1 gram parasetamol sesuai kebutuhan dalam interval minimal 4 jam, dengan dosis maksimum per hari 4 gram. Dalam pengobatan jangka panjang (lebih dari 10 hari), dosis per hari tidak boleh melebihi 2,5 g. Parasetamol dapat diberikan selama kehamilan dan menyusui. Pada anak-anak, dosis total per hari tidak boleh melebihi 50 mg / kg berat badan; itu dibagi menjadi 3-4 dosis individu.

2. NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug), obat ini bekerja dengan inhibisi produksi prostaglandin (zat yang berpotensi hiperalgesik). NSAID dapat berperan sebagai antiinflamasi, analgesic, dan antipeuritik. Pemberian NSAID dapat melalui peroral, intramuskular, intravena, rektal.

Ibuprofen digunakan untuk mengobati rasa sakit pada pasien berusia di atas 3 bulan (berat> 6 kg). Dosis total per hari untuk orang dewasa tidak boleh melebihi 2.400 mg, dibagi menjadi 3-6 dosis. Dosis total per hari untuk anak-anak di bawah usia 12 adalah 20–35 mg / kg berat badan, dibagi menjadi 3-4 dosis.

Ketorolak adalah NSAID yang digunakan untuk pengobatan nyeri jangka pendek (hingga 5 hari) pada orang dewasa dan anak-anak di atas usia 2 tahun. Ini tersedia dalam bentuk oral dan parenteral (pemberian IM atau IV). Disarankan untuk selalu mulai dengan formulasi parenteral (30 mg atau 60 mg IV atau IM, dengan dosis maksimum 120 mg per hari). Peningkatan dosis tidak menghasilkan

(21)

17

efek yang lebih baik. Ketorolak, sering digunakan sebagai obat analgesik pasca pembedahan. Efek analgesik dari ketorolak dimulai sejak 10 menit setelah disuntikkan dan dapat berlangsung 4 hingga 6 jam.

• Analgesik Opioid

Kodein adalah salah satu contoh opioid lemah. Setelah pemberian, kodein sebagian dimetabolisme menjadi morfin. Sekitar 10 hingga 15%

pasien tidak memetabolisme kodein dengan cara ini karena susunan genetik yang berbeda dan karena itu "resisten" terhadap efek analgesiknya. Depresi pernapasan fatal telah dilaporkan pada bayi baru lahir, yang ibunya menggunakan analgesik yang mengandung kodein selama menyusui Komplikasi serupa telah diamati pada pasien anak-anak setelah operasi THT. Sejumlah otoritas internasional mengkontraindikasikan penggunaan kodein pada semua anak di bawah usia 12 dan pada anak di bawah usia 18 tahun setelah adenoidektomi dan / atau tonsilektomi. Dosis pada orang dewasa adalah 1 mg / kg.

Morfin adalah salah satu contoh opioid kuat, yang tetap menjadi standar emas untuk membandingkan semua obat yang memiliki efek analgesik yang kuat. Berbagai rute pemberian tersedia (oral, intramuskuler, subkutan, intravena, epidural, spinal, intra-artikular). Dalam manajemen nyeri pasca operasi, pemberian parenteral lebih disukai. Morfin dimetabolisme menjadi morfin-6-glukuronida, suatu metabolit aktif, yang diekskresikan oleh ginjal. Oleh karena itu, insufisiensi ginjal dapat menyebabkan akumulasi morfin dan efek yang berkepanjangan. Untuk analgesia sistemik, dosisnya 0,1 mg / kg, durasi kerjanya sekitar 4 jam.13

• Obat-obat tambahan (adjuvant) berupa: 11

1. Anti konvulsan, berguna untuk penanganan nyeri neuropatik.

Pemberian obat ini harus diperhatikan pada pasien yang menjalani radioterapi atau kemoterapi.

2. Anti depresan, berguna juga dalam penanganan nyeri neuropatik, dapat dikombinasikan dengan morfin untuk efek analgetik yang lebih kuat.

(22)

18

3. Kortikosteroid, efek yang diberikan obat ini dapat berupa anti inflamasi, anti emetik, mengurangi tekanan intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.

4. Psikostimulan, untuk mengurangi efek samping opioid berupa sedasi.

5. Neuroleptik, dapat digunakan untuk anti cemas, anti emetik, anti konstipasi pada nyeri yang bersifat kronis.

• Analgesik Multimodal

Analgesik opioid telah lama dianggap sebagai standar emas analgesia pasca operasi. Dengan diperkenalkannya obat baru, sejumlah penelitian telah mempertanyakan posisi pribadinya. Penelitian mengkritisi pada dua kelemahan utama opioid: pertama, efek samping analgesik opioid, terutama mual, muntah, retensi urin, dan penghambatan peristaltik usus pasca operasi yang berkepanjangan, dan kedua, fakta bahwa dosis aman meredakan rasa sakit, tetapi hanya sampai tingkat tertentu. Oleh karena itu, analgesik multimodal mulai berkembang - yaitu penggunaan berbagai obat dan berbagai teknik. Konsep ini didasarkan pada gagasan bahwa pemberian analgesik dari kelompok yang berbeda akan memiliki efek aditif pada penekanan nyeri, yang akan mengurangi kebutuhan analgesik opioid dan efek sampingnya. Poin ini sangat penting, karena beberapa penelitian hanya menekankan penurunan penggunaan opioid, tanpa memantau pengurangan kejadian mual, muntah, dan penghambatan peristaltik usus. Penelitian menyatakan bahwa inhibitor selektif COX-2 tertentu atau kombinasi parasetamol dan tramadol lebih efektif dalam pengobatan nyeri daripada pemberian opioid kuat. Menurut Scott S. Reuben, analgesik non-steroid memiliki efek yang baik. Oleh karena itu, dalam praktik klinis, prosedur analgesik spesifik semakin sering digunakan. Pendekatan ini didasarkan pada fakta bahwa karakter dan efek samping dari nyeri pasca operasi akut bervariasi dengan intensitas nyeri dan strategi penanganan harus mencerminkan hal itu.13,14

Secara umum, terapi kombinasi hanya bermakna jika analgesik dari berbagai kelompok digunakan. Dengan demikian, dimungkinkan untuk

(23)

19

menggunakan kombinasi ganda atau tripel dari analgesik non-opioid, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID – inhibitor selektif COX-2), dan analgesik opioid. Sebaliknya, kombinasi analgesik dari kelompok yang sama (terutama berbagai NSAID atau analgesik opioid dengan rute pemberian yang berbeda, misalnya spinal dan sistemik - ini tidak berlaku untuk pasien dengan terapi opioid jangka panjang) adalah tidak direkomendasikan, karena tidak ada potensi analgesik, hanya efek sampingnya. Kelompok analgesik multi-modal ini juga termasuk pemberian analgesik dan adjuvan secara simultan. Sebagian besar perhatian berfokus pada ketamin, yang dalam dosis rendah menunjukkan efek anti-hiperalgesiknya, mempotensiasi analgesik yang diinduksi opioid.13,14

(24)

20 BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

1. Nama : PM

2. No RM : 19052224

3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Umur : 45 tahun

5. Agama : Kristen Protestan 6. Status : Menikah

7. Alamat : Ungasan, Kuta Selatan, Badung

8. Diagnosis : Tumor Mammae Dextra Susp. Malignancy T3N1M0

9. Tanggal MRS : 02/12/2019 10. Tanggal Operasi : 04/12/2019

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Benjolan pada payudara kanan Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien perempuan, 45 tahun, dengan keluhan benjolan pada payudara kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan hanya seukuran kacang, namun makin lama makin membesar. Pasien kemudian memutuskan untuk ke dokter dan direncanakan untuk dilakukan biopsy. Nyeri disangkal. Penurunan berat badan drastis dalam 6 bulan terakhir disangkal. Makan dan minum normal.

BAB dan BAK dalam batas normal.

Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada Riwayat pengobatan : Obat Teosal

Riwayat penyakit dahulu : Asma terakhir kambuh 3 tahun yang lalu, pencetus dingin dan ISPA. Terapi saat kambuh Teosal tablet. Pasien juga memiliki hipertensi terkontrol dengan terapi ramipril 5mg tiap 24 jam, dan amlodipine 5mg tiap 24 jam.

(25)

21

Terakhir makan dan minum : pukul 00.00 WITA tanggal 4 Desember 2019

Riwayat Sosial : Riwayat merokok minum alkohol disangkal pasien.

Riwayat operasi : SC tahun 2009 dengan RA tanpa komplikasi

3.3 Pemeriksaan Fisik

BB 90 kg, TB 152 cm, Suhu aksila : 36,7oC NRS diam: 0/10 NRS bergerak 0/10.

SSP : Kesadaran Compos Mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 3 mm/3 mm, reflex cahaya +

Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2 98% room air

KV : TD 130/80 HR 74 kali/menit, bunyi jantung S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

GIT : Bising usus (+) normal, distensi (-), UG : BAK Spontan

MS : Fleksi defleksi leher baik, Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Mallampati III, Gigi geligi utuh.

Regio mammae sinistra: tumor ukuran 5 x 6 cm, mobile (+), nyeri (-) 3.4 Pemeriksaan Penunjang

• Darah Lengkap (20/11/19)

WBC 14.21 (4.1-11.0) x 103/µL; HGB 12.47 (14.5-17.5) g/dL; HCT 38.53 (36-46) %; PLT 396 (150-440) x 103/µL

• Faal Hemostatis (20/11/19)

PT 13.4 (10.8-14.4) detik; aPTT 31 (24-36) detik; INR 0.96 (0.9-1.1)

• Foto thorax (22/11/2019)

(26)

22

Gambar 3.1 Foto Thorax PA

Pada gambar 3.1 Cor dan pulmo tak tampak kelainan.

• EKG (30/11/2019)

Irama sinus, axis normal, HR: 80 kali/menit, PR interval normal, STT changes (-).

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan Permasalahan Aktual

SSP : Tidak ada

KV : Hipertensi St I terkontrol dengan terapi ramipril 5mg tiap 24 jam, dan amlodipine 5mg tiap 24 jam. Fluktuasi TD di ruangan 120-140 / 80-90 mmHg. Obesitas Gr II dengan BMI 38.95

Respirasi : Riwayat asma, terakhir kambuh 3 tahun yang lalu, pencetus dingin dan ISPA. Terapi saat kambuh Teosal tablet.

GIT : Tidak ada

UG : Tidak ada

MS : Tidak ada

Permasalahan Potensial : Serangan asma, instabilitas hemodinamik

Pembedahan :

Lokasi: mammae dextra Posisi: supine

Durasi: 15-30 menit Manipulasi: tidak ada

(27)

23

Kesimpulan : Status Fisik ASA II

3.6 Persiapan Anestesi

• Evaluasi identitas penderita

• Persiapan psikis

− Anamnesis

− Memberikan penjelasan keluarga tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan

• Persiapan fisik

− Puasa 8 jam

− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi

− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi

− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang

− Memeriksa surat persetujuan operasi

− Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan Ringer Laktat dengan mengganti deficit cairan puasa, yaitu kebutuhan cairan basal dikali lama puasa yaitu 1040cc

Persiapan di Kamar Operasi

• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas

• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi

• Mempersiapkan obat dan alat anestesi

• Menyiapkan obat dan alat resusitasi

• Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi

➢ Teknik Anestesi GA-LMA

Pre medikasi : Midazolam 2 mg IV, Dexametasone 10 mg IV, Difenhidramin 10 mg IV

Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV

Induksi : Propofol titrasi sampai pasien terhipnosis

(28)

24

Maintenance : O2 : Compressed air 2:2 lpm ; Propofol intermitten 50- 150 mcg/kgbb/menit

Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV

➢ Durante operasi

Hemodinamik : Tekanan darah 140-145/89-92 mmHg, Nadi 85-92 x/menit, RR 16x/menit, SpO2 98-99%

Cairan masuk : 200 ml cairan berupa RL

Cairan keluar : Urin spontan, perdarahan 30 ml Lama operasi : 60 menit

➢ Post Operasi Perawatan :

- Analgesik: Ketorolak 30 mg tiap 8 jam IV dan parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO

- Perawatan: Ruangan

(29)

25 BAB IV PEMBAHASAN

Tatalaksana anestesi pada pasien ini dimulai dari proses evaluasi praanestesi, yang terdiri dari anamnesis terhadap pasien dan keluarga pasien , pemeriksaan fisik pada pasien dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologi. Pada anamnesis didapatkan benjolan pada payudara kanan dan riwayat asma membaik dengan obat Teosal. Pada tanda vital pasien didapatkan pasien mengalami hipertensi stage I terkontrol. Pada pemeriksaan umum pasien mengalami Obesitas Gr. II. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan WBC. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pasien memiliki penyakit sistemik ringan yang tidak mempengaruhi aktivitas fisik sehari-hari sehingga disimpulkan dengan status fisik ASA II. Pada pasien dilakukan teknik anestesi dengan anestesi umum (GA) dengan pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA). Operasi pada pasien ini berlangsung selama 60 menit.

Pasca operasi wajar apabila mengalami nyeri, tergolong dalam nyeri akut.

Sesuai dengan teori, nyeri akut sering disebabkan oleh nyeri nosiseptif atau kerusakan jaringan nyata. Nyeri akut memiliki durasi kurang dari 3 bulan. Nyeri timbul mendadak dan berlangsung sementara. Jenis nyeri ini biasanya dikaitkan dengan respons stres neuroendokrin yang sebanding dengan intensitas nyeri.

Penanganan untuk nyeri pasca operasi pada pasien ini yaitu analgesik berupa ketorolak 30 mg tiap 8 jam intravena dan parasetamol 500 mg tiap 6 jam per oral serta perawatan di ruangan. Penanganan ini sudah tepat sesuai dengan teori, yaitu WHO three step analgesic ladder dan penggunaan multimodal analgesik.

Pasien memiliki nyeri ringan (nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur), sehingga penatalaksanaan nyeri ringan ini sudah sesuai teori langkah pertama menurut WHO yaitu penggunaan obat analgesik non opioid, jika dianggap perlu boleh ditambahkan adjuvant. Gagasan bahwa pemberian analgesik multimodal dari kelompok yang berbeda akan memiliki efek aditif pada penekanan nyeri, yang akan mengurangi kebutuhan analgesik opioid dan efek sampingnya. Penelitian mengkritisi dua kelemahan utama opioid yaitu pertama,

(30)

26

efek samping analgesik opioid, terutama mual, muntah, retensi urin, dan penghambatan peristaltik usus pasca operasi yang berkepanjangan, dan kedua, fakta bahwa dosis aman meredakan rasa sakit, tetapi hanya sampai tingkat tertentu.

Secara umum, terapi kombinasi hanya bermakna jika analgesik dari berbagai kelompok digunakan. Dengan demikian, dimungkinkan untuk menggunakan kombinasi ganda atau tripel dari analgesik non-opioid, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID – inhibitor selektif COX-2), dan analgesik opioid. Sebaliknya, kombinasi analgesik dari kelompok yang sama (terutama berbagai NSAID atau analgesik opioid dengan rute pemberian yang berbeda, misalnya spinal dan sistemik - ini tidak berlaku untuk pasien dengan terapi opioid jangka panjang) adalah tidak direkomendasikan, karena tidak ada potensi analgesik, hanya efek sampingnya.

(31)

27 BAB V SIMPULAN

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.

Nyeri dapat diklasifikasikan menurut patofisiologi yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi contohnya artritis atau nyeri kanker. Nyeri juga dapat diklasifikasikan menurut area yang terkena contohya nyeri kepala atau nyeri punggung bawah). Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan kronis. Mekanisme nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang melibatkan 4 proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Berbagai modalitas dapat diterapkan untuk pengobatan nyeri yaitu modalitas fisik, kognitif behavioral, invasive, psikoterapi, farmakoterapi.

Pada kasus ini, pasien perempuan usia 54 tahun dengan keluhan benjolan pada payudara kanan sejak satu tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat asma terakhir kambuh 3 tahun yang lalu, pencetus dingin dan ISPA. Terapi saat kambuh Teosal tablet. Pasien juga memiliki hipertensi terkontrol dengan terapi ramipril 5mg tiap 24 jam, dan amlodipine 5mg tiap 24 jam. Pasien mengalami obesitas. Sehingga dapat disimpulkan pasien memiliki status fisik ASA II. Pada pasien dilakukan teknik anestesi dengan anestesi umum (GA) dengan pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA). Selama operasi terjadi fluktuasi hemodinamik dengan perubahan tekanan darah, nadi, laju nafas dan saturasi oksigen. Operasi pada pasien ini berlangsung selama 60 menit. Penanganan untuk nyeri pasca operasi pada pasien ini yaitu analgesic berupa ketorolak 30 mg tiap 8 jam intravena dan parasetamol 500 mg tiap 6 jam per oral serta perawatan di ruangan.

(32)

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Fields HL, Martin JB. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.

New York: McGraw‐Hill; 2005: 71‐76.

2. Kumar KH, Elavarasi P. Definition of pain and classification of pain disorders. J adv Clin Res Insights 2016; 3:87-90.

3. Biocic M, Vidosevic D, Boric T, Boric T, Giunio L, Fabijanic D, dkk.

Anesthesia and perioperative pain management during cardiac electronic device implantation. J Pain Res. 2017;10:927–32.

4. Garcia JB, Bonilla P, Kraychette DC, Flores FC, Perez de Valtolina ED, Guerrero C. Optimizing post-operative pain management in Latin America.

Rev Bras Anestesiol. 2017; 67 (4):395-403.

5. Meissner W, Coluzzi F, Fletcher D, Huygen F, Morlion B, Neugebauer E, dkk. Improving the management of post-operative acute pain: priorities for change. Curr Med Res Opin. 2015;31(11):2131–43.

6. Eldor J, Kotlovker V, Orkin D. Pain free hospital – availability (24 hours) of anesthesiologists. J Anesthesiol Clin Sci. 2013;2:17. http://dx.doi.

org/10.7243/2049-9752-2-17.

7. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th edition. New York: McGraw-Hill. 2013: 1025-1084 8. Bennett CR. Monheim’s Local Anesthesia and Pain Control in Dental

Practice. 7th ed. St. Louis, MO: C.V. Mosby; 1984.

9. Okeson JP. Bell`s Orofacial Pain. 5th ed. Chicago: Quintessence Publ., Co.;

2013.

10. McCaffery M, Pasero C. Pain: A Clinical Manual. 2nd ed. St. Louis: Mosby, Inc.; 1999.

11. Mangku Gd, Senapathi TGA, Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010: 217- 227.

12. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

13. Málek J., Ševčík P. Postoperative Pain Management. Mladá fronta. 2017; 9:

14-64.

(33)

29

14. Rawal N. Current Issues in Postoperative Pain Management. Eur J Anaesthesiol. 2016; 33: 160-171.

15. Sykes, N., Bennett M.I. &Yuan C.S. (eds.) Clinical Pain Management - Cancer Pain. 2nd Ed. London: Hodder & Stoughton Limited. 2008.

16. Swieboda P, Filip R, Prystupa A, Drozd M. Assessment of pain: types, mechanism and treatment. Ann Agric Environ Med. 2013;1: 2-7.

Gambar

Gambar 2.1. Proses perjalanan nyeri 11
Gambar 2.2. Faces Pain Scale 12 2.  Numerical Rating Scale (NRSs)
Gambar 2.3. Numeric pain intensity scale 12  3.  Visual Analogue Scale (VASs)
Gambar 2.4. WHO Three Step Analgesic Ladder 11
+2

Referensi

Dokumen terkait

Täytyy kuitenkin muistaa, että metallimusiikki on ollut suosittua nuorison keskuudessa 2000-luvulla ja se on näkynyt katukuvassa muun muassa heavy metal- yhtyeiden bändipaitoina

U ovom poglavlju rjeˇsavat ´cemo zadatke vezane uz primjenu linearne funkcije. U prvom zadatku uˇcenici ´ce prepoznati da je funkcijska ovisnost linearna i da se u tom zadatku

Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Militer Tingkat Banding dalam memutus perkara ini tidak mempunyai tujuan untuk mendidik agar para Pemohon Kasasi dapat insyaf dan

MA) berbasis online 5 Akhmad Faisal Husni, 2016 Analisis dan pengembangan sistem informasi akademik pada politeknik Jambi Pemodelan enterprise architecture dengan

Üstelik, boşluktan sonra gelen ve zıtlık bağlacı (but) taşıyan cümle, tools için açıkça olumsuz konuşuyor. O halde, boşlukta tools ismiyle ilgili kolay anlaşılır

dengan MoU antara pihak BUMN Indonesia dengan Pihak Pemerintah Tunisia.Selain itu Indonesia juga mengimpor beberapa produk komponen elektronika dari Tunisia sebagai

&#34;erawatan berkala dapat anda lakukan terhadap bagian bagian rumah untuk menghindari kerusakan besar, perawatan berkala ini mungkin akan memerlukan biaya yang cukup besar, tapi

fungsi perencanaan, fungsi memandang ke depan, fungsi pengembangan.. loyalitas, fungsi pengawasan, fungsi pengambil keputusan dan fungsi memberi motivasi. Fungsi