• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PENANGANAN KONFLIK AGRARIA DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA. Desy Kasiyani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MANAJEMEN PENANGANAN KONFLIK AGRARIA DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA. Desy Kasiyani"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020 MANAJEMEN PENANGANAN KONFLIK AGRARIA

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA Desy Kasiyani

Email: desykasiyani223@gmail.com Fadel Muhamad Ardhan Email: fadelardhan@gmail.com

Abstract

In this study using Fisher's conflict management theory which has dimensions of prevention, resolution, management, handling and transformation of conflicts with descriptive qualitative methods with an inductive approach to describe the object of research based on facts in the field. Data collection techniques used by the authors carried out by observation, interviews, and documentation. The results of this great study showed that management of agrarian conflict management in the southern konawe district was still not good. Factors that hinder the handling of agraia conflicts consist of internal factors (and external factors. The advice given by the author is to establish an Integrated Team, increase the budget, immediately conduct direct socialization to the village community, which is sustainable related to handling agrarian conflicts

Keywords: Agrarian Conflict; Conflict management; Local Government.

PENDAHULUAN

Ketika membincangkan aIam Indonesia .berarti membahas kebutuhan/

masyarakat akan hasiI sumber daya. aIam, karena mampu memberikan keuntungan dan manfaat kepada masyarakat. Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam tentunya harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dalam hal ini tanah menjadi hal yang sangat penting karena memiliki jumlah yang terbatas tetapi jumlah pengguna yang tidak terbatas (Fauzi, 2000).

Oleh karena itu tanah selalu menjadi pembicaraan yang tidak ada habisnya, dikarenakan jumlahnya terbatas tetapi penduduk dan kebutuhan tak terbatas, begitu pentingnya tanah dalam seluruh aspek aktivitas kehidupan manusia.

Perjalanan Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak pernah sepi dari berbagai konflik, sebagai negara agraris tidak jarang konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik dalam hal memperebutkan tanah sebagai salah satu lahan produksi yang menunjang kehidupan manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat didalam suatu negara. Masyarakat pada umumnya berinteraksi untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis, tetapi dengan begitu banyaknya kepentingan dan perbedaan tujuan sehingga berujung pada konflik yang terjadi.

(2)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

Konflik agraria sendiri adalah pertikaian atau pertentangan yang timbul karena adanya hak yang dilanggar pada hak penguasaan atau kepemilikan lahan atau sumber daya alam yang dilakukan oleh dua Pihak atau lebih. Biasanya konflik Agraria ini dialami oleh Masyarakat adat atau petani yang mempertahankan lahannya dengan Perusahaan yang mengklim lahan tersebut.

Konflik agraria sangat menarik untuk diteliti karena dalam perkembangannya mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu pada tahun 2015 sebanyak 250 konflik, pada tahun 2016 sebanyak 450 dan pada tahun 2017 sebanyak 659 konflik dan pada tahun 2018 kembali menurun pada angka 410 konflik dan diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun selanjutnya (databooks, 2020).

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 410 konflik agraria selama 2018. Secara akumulatif, selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, telah terjadi sedikitnya 1.769 konflik agraria. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun lalu mencakup luas wilayah 807.177,6 hektare (ha) dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflik agraria disumbang oleh pembangunan disektor perkebunan dengan jumlah 208 kasus atau 35% (katadata.co.id, 2020).

Dari 410 kasus konflik lahan diatas dapat digambarkan berdasarkan wilayah provinsi pada tabel 1 di bawah ini :

No (1) Provinsi

(2) Jumlah

(3)

1 Riau 42

2 Jawa Timur 35

3 Sumatera Selatan 28

4 Jawa Barat 28

5 Lampung 26

6 Sumatera Utara 23

7 Banten 22

8 Kalsel 21

9 Kalteng 20

10 Maluku 17

11 Sulsel 16

12 Sultra 14

13 NTB 11

14 DKI Jakarta 9

Sumber : www.kpa.or.id ,Tahun 2017

Konflik agraria paling banyak tersebar di provinsi Riau, yakni sebanyak 42 kasus, faktor utama yang membuat konflik agraria paling banyak terjadi di Riau akibat maraknya perkebunan kelapa sawit dan perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Posisi Riau kemudian disusul Jawa Timur 35 kasus, Sumatera Selatan 28 kasus, Jawa Barat 28 kasus, Lampung 26 kasus, Sumatera Utara 23 kasus, Banten 22 kasus, Kalsel 21 kasus, Kalimantan Tengah 20 kasus, dan maluku 17 kasus.

(3)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

Sulawesi Tenggara berada diurutan 12 dengan 14 kasus konflik lahan yang terjadi, mengapa Sulawesi tenggara menjadi lokus pemilihan wilayah karena jumlah konflik yang terjadi berdasarkan laporan KPA tahun 2017-2018 terjadi ledakan frekuensi yang meningkat tiap dua bulan dimana konflik terjadi dan belum ada upaya yang dilakukan untuk menangani hal tersebut.

Berdasarkan gambar dibawah ini yaitu frekuensi jumlah konflik agraria per- bulan provinsi Sulawesi tenggara tahun 2018 :

Gambar 1

Grafik Frekuensi Konflik

Sumber : www.kpa.or.id ,Tahun 2017

Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk provinsi yang memiliki potensi peningkatan konflik tiap bulan dan tahunnya sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Konflik akan terus terjadi jika tidak ada penyelesaian serius dari elemen-elemen pemerintah daerah yang bersinergi untuk berkontribusi dalam pencarian solusi konflik lahan.

Kabupaten Konawe Selatan adalah daerah yang memiliki wilayah perusahaan perkebunan terluas di Sulawei Tenggara yakni seluas 567.354 ha lahan dan terdapat sembilan perusahaan perkebunan yang melaksanakan pembangunan. Konflik yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan adalah konflik lahan yang melibatkan perusahaan perkebunan dan masyarakat yang sangat penting untuk diteliti karena berdasarkan data jumlah konflik agraria yang terjadi, sektor perkebunan menempati urutan tertinggi sebagaimana dalam tabel berikut:

Gambar 2

Jumlah Konflik Agraria Tiap Sektor

0 1 2 3 4 5 6

BULAN

MARET-APRIL MARET-APRIL MEI-JUNI

JULI-AGUSTUS SEPTEMBER-OKTOBER NOVEMBER-DESEMBER

(4)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020 Sumber : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) 2018.

Persoalan tanah telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai dengan pasal ini jelaslah bahwa masalah pemanfaatan tanah, penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanah dapat memberikan sebesar besarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Permasalahan tanah telah ada sejak dulu sampai sekarang masih menjadi permasalahan bagi bangsa indonesia, dimanapun itu tidak terlepas dari persoalan kepentingan manusia. Dibentuknya undang undang pokok agraria tahun 1960 menjadi salah satu landasan dan pedoman dalam pemanfaatan tanah oleh masyarakat Indonesia.

Konflik yang terjadi merupakan dampak dari pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia, karena selama pelaksanaanya dirasa belum maksimal. masih banyak permasalahan tanah yang berakhir pada konflik tanpa solusi atau penyelesaian akhir.

sehingga untuk menciptakan tata kelola agraria yang lebih baik diperlukan penanganan terhadap konflik yang terjadi seperti yang tertuang dalam pasal pasal 1 ayat (4) Undang Undang No 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial dijelaskan bahwa Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik.

Kepala Badan Pertanahan Nasional pusat mengatakan bahwa konflik yang terjadi disebabkan karena 1) administrasi tanah yang tidak jelas; 2) distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata; 3) legalitas kepemilikan tanah yang didasarkan bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah karena tanah

(5)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

merupakan hak setiap warga negara oleh karena itu tanah jangan dijadikan sebagai sarana monopoli dalam upaya mencari keuntungan yang lebih.

Sedangkan Komnas HAM menyebutkan, penyebab konflik agraria antara lain, pertama, ketidakpastian dan diskriminasi hukum karena penanganan kasus konflik di pengadilan lamban, proses legalisasi pertanahan terhambat di BPN, political will pemerintah/pemda dalam redistribusi atau ganti rugi lahan rendah. Kedua, perampasan lahan sewenang-wenang antara lain oleh korporasi, pemerintah atau pemda, TNI/Polri. Ketiga, konflik tapal batas, seperti konsesi, administrasi pemerintahan, wilayah adat/suku/etnis. Keempat, tumpang tindih regulasi, tata ruang izin konsesi antara daerah dan pusat, skema tata ruang agraria tidak sinkron, dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Dalam undang undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 5 Konflik dapat bersumber dari: a. permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; b. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis; c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi; d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Berdasarkan pejelasan diatas konflik yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan merupakan konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan mengenai kegiatan perusahaan yang melakukan pengolahan perkebunan diatas tanah masyarakat sehingga peneliti tertarik untuk meneliti bagaiamana penaganan konflik agraria di Kabupaten Konawe Selatan agar tercipta tata kelola agraria yang bebas dari konflik.

Kabupaten Konawe Selatan adalah wilayah dengan jumlah perusahaan perkebunan tertinggi yaitu sebanyak 9 perusahaan. Konflik ini berkenaan dengan perizinan pemasangan patok dan penggunaan lahan yang masuk dalam Hak Guna Usaha ( HGU) Perusahaan tetapi diklaim oleh masyarakat masuk dalam wilayah sertifikat hak milik tanah masyarakat. Sedangkan menurut perusahaan wilayah tersebut sudah dijual oleh pemilik tanah dilengkapi dengan foto bukti penjualan dan penerimaan uang (konawepos, 2018).

Pada tahun 1980-an pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan yang pada saat itu masih masuk wilayah kabupaten kendari melaksanakan program penghijauan (Reboisasi) yaitu program penanaman pohon atau penghijauan kembali pada lahan masyarakat. Pada saat itu pemerintah daerah hanya menyampaikan program penanaman pohon pada wilayah 1 km batas pemukiman masyarakat tanpa mengambil atau meminjam tanah masyarakat. Desa Desa di Kabupaten Konawe Selatan bukan kawasan hutan tetapi daerah pertanian masyarakat yang sudah sejak dulu diolah oleh masyarakat. Sesuai dengan pendapat warga masyarakat Kabupaten Konawe Selatan Bapak Hasminto mengatakan bahwa:

“Dinas kehutanan hanya mengatakan program reboisasi atau penghijauan berupa penanaman pohon tanpa perubahan status tanah, tetapi seiring berjalannya waktu sejak munculnya keputusan bupati nomor 15 tahun 2012 tentang pengalihan status lahan

(6)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

bahwa seluruh lahan penghijauan atau tanah negara dikembalikan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.”

Setelah penanaman pohon bertahun-tahun muncul keputusan bupati Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penurunan Status Lahan yang Dikuasai Negara. Dalam keputusan bupati tersebut pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa penurunan status lahan merupakan perubahan terhadap status lahan yang dikuasai negara termasuk reboisasi dan penghijauan menjadi lahan perkebunan, dengan berlakunya aturan tersebut banyak perusahaan yang mulai beraktifitas di lahan-lahan yang masuk kawasan tanah negara dan reboisasi termasuk tanah hak milik masyarakat yang memiliki sertifikat asli yang terdaftardi Badan Pertanahan Nasional (villagerspost, 2020). Sejak dari zaman nenek moyang memang lahan itu tempat masyarakat bertahan hidup dengan cara berkebun, bertani, dan beraktifitas memenuhi kebutuhan hidup tetapi justru kenyataan sekarang lahan itu masuk dalam HGU dari perusahaan. Dan pada saat perusahaan melakukan pematokan sepanjang 37,6 Km yang berlokasi di kecamatan Tinanggea dan 14,23 Km di Palangga, tidak meyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai pemilik lahan. Serta pada saat pelaksanaan pematokan perusahaan membawa aparat TNI/Polri untuk melindungi mereka sehingga menyebabkan masyarakat marah dan membuat suasana panas. Mestinya aparat TNI/Polri menjadi pelindung masyarakat atau Penengah Konflik tetapi justru melindungi aktivitas perusahaan (liputan6.com, 2020). Sebelum pelaksanaan pematokan tidak dilakukannya rapat terbuka umum dengan masyarakat sehingga membuat masyarakat geram dan marah. Semenjak kejadian tersebut telah dilaksanakan rapat bersama tapi tidak menemukan solusi sehingga lahan itu masih dalam konflik dan melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat. Pada kenyataannya untuk kecamatan Tinanggea sebanyak 3.251 pohon yang dirusak oleh perusahaan tetapi belum dihanti rugi oleh perusahaan, sedangkan di kecamatan Andoolo sebanyak 2.469 tanaman yang dirusak (kumparan.com, 2020).

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan pendekatan induktif. Menurut Moleong (2013:11) penelitian deskriptif dimana data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambaran, dan bukan angka-angka.

Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang yang diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisikan kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan laporan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah pendekatan induktif, dimana pendekatan induktif ini diawali dengan kegiatan observasi nyata dan spesifik untuk mengidentifikasikan prinsip-prinsip umum yang dikaitkan dengan objek yang diamati dan dikaji. Sehingga dalam kegiatan penelitian

(7)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

ini penulis lebih menekankan pada pengungkapan fakta. Teknik penentuan informan dilakukan secara dengan teknik Purposive Sampling. Hal ini dikarenakan informan memiliki pengetahuan dan pemahaman serta berhubungan langsung dengan masalah di lapangan.

HASIL PENELITIAN

Manajemen Penanganan Konflik Agraria di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara

Dalam sejarah perkembangan kabupaten Konawe Selatan sejak bedirinya kabupaten konawe selatan pada tahun 2004 sampai dengan sekarang, perusahaan perkebunan yang mengelola lahan kehutan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada telah mengalami perkembangan. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel perusahaan PT Klilau Indah Cemerlang dan PT Tiram dimana kedua perusahaan adalah perusahaan yang bersaudara atau anak perusahaan dari perusahaan besar PT Indofood Indonesia serta kedua perusaahan ini memiliki luas areal perkebunan terluas di kabupaten konawe selatan dan memiliki konflik terbanyak dengan masyarakat. Kedua perusahaan ini Adalah perusahaan perkebunan terpadu yang sangat luas di kabupaten konawe selatan yang terletak di kecamatan Tinannggea, Andoolo, Benua, Ranomeeto dengan luas 650 Hektar yang ditanami kopi, tebu, pisang, kakao kacang kedelai dan jagung.

Perusahaan ini mulai beroperasi di kabupaten Konawe selatan pada tahun 2011 dibawah perusahaan besar PT Indofood. Areal Perkebunan PT Kilau Indah Cemerlang yang berada di Kecamatan Tinanggea adalah seluas 4.436.53 ha dengan luas area tanam + 3.890.99 Ha, dengan luas areal pabrik pengolahan + 0.98 Ha dimana produk utama dari perusahaan ini adalah penghasil bahan baku industry makanan pada perusahaan PT Indofood Indonesia.

Pada awalnya setiap perusahaan yang melakukan pengolaan di Kabupaten Konawe Selatan masuk tanpa melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mengetahui proses kegiatan itu berlangsung hal ini dikarenakan perusahaan yang masuk melakukan pengolaan telah mendapat izin dari pemerintah daerah berupa surat izin lokasi dan surat keterangan Hak Guna Usaha (HGU).

Selanjutnya kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan secara serentak oleh perusahaan, masyarakat merasa dirugikan karena tanah dan tanaman-tanaman mereka digusur ditambah lagi kekecewaan masyarakat karena pemerintah daerah tidak memberikan informasi secara umum kepada masyarakat sebelum perusahaan masuk mengola lahan.

Setelah kegiatan tersebut masyarakat menjadi geram dan menutup akses jalan masuk perusahaan, terjadi tragedi perkelahian karyawan perusahaan dan masyarakat tetapi tidak menimbulkan korban jiwa, pembakaran gubuk dan alat berat milik perusahaan. Hal itulah yang mendorong terjadinya konflik antara perusahaan dan mayarakat yang menyebabkan situasi menjadi panas dan tidak nyaman sehingga

(8)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

membutuhkan penyelesaian konflik untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan terjadi.

Penyelesaian Konflik a. Pendekatan

Pendekatan merupakan langkah yang dilakukan untuk lebih memahami dan membicarakan penyelesaian secara baik baik konflik yang sedang terjadi. Menurut Bapak Irsan Halim mangidi selaku bapak kepala bagian pemerintahan umum pada tanggal 15 Januari 2020 menyatakan bahwa :

“Pemerintah Daerah kabupaten konawe selatan sudah melakukan pendekatan melalui camat tinanggea jadi kami sudah sampaikan ke kecamatan, laporan kemarin yang diterima memang kondisinya agak buruk .”

Dari pernyataan diatas penulis mengamati bahwa pendekatan yang dilakukan hanya pada level pejabat pemerintahan saja belum dilakukan pendekatan kepada masyarakat secara langsung Hal ini didukung dengan pernyataan bapak camat tinanggea pada tanggal 16 Januari 2020 menyatakan bahwa :

“kemarin sudah dilakukan sosialisasi dan komunikasi di kantor bupati kami juga sudah menyampaikantindak pendekatan dengan kepala kepala desa agar menyampaikan kepada masyarakat melalui komunikasi secara intens.”

Penulis melihat bahwa pendekatan yang dilakukan hanya sekedar pendekatan dari camat ke kepala desa bukan secara umum atau perorangan bagi masyarakat yang memiliki lahan yang sedang konflik. Penghambat utama dalam proses pendekatan yang dilakukan oleh camat kecamatan tinanggea menurut wawancara dengan bapak camat tinanggea adalah faktor jarak karena desa yang bersangkutan cukup jauh serta membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ketempat tujuan. Belum lagi Jalan yang rusak menjadi penghambat yang selanjutnya. Kemudian anggran yang sedikit untuk proses kegiatan tersebut dan ego antara masyarakat dan perusahaan sangat mempengaruhi jalanya proses pendekatan yang dilakukan sehingga butuh waktu yang lama untuk mengatasinya. Berdasarkan Pernyataan informan diatas bahwa faktor yang menghambat dalam proses pendekatan terhadap masyarakat yaitu ada pada persoalan jarak yang jauh dari ibukota peemrintah kabupaten konawe selatan menuju ke lokasi konflik dan keterbatasan anggaran dalam proses penyelesaian.

b. Kerjasama dan Kesepakatan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Irsan Halim Mangidi sebagai kepala bagian pemerintahan umum pada tanggal 15 Januari 2020 menyatakan bahwa :

“pada sosialisasi belum ada kesepakatan bersama antara perusahaan dan masyarakat sehingga pemerintah daerah mengambil keputusan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaan sambil menunggu sosialisasi rapat berikutnya.”

(9)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

Karena tidak ada kesepakatan yang terjadi masyarakat akhirnya menunggu rapat sosialisasi selanjutnya sejak September 2019 sampai dengan januari 2020 belum dilakukan lagi oleh pemerintah daerah terkait sosialiasi lanjutan. Hal inilah yang semakin membuat masyarakat geram dan tidak percaya dengan pemerintah karena mengatakan hanya memebri janji palsu yang katanya akan dilakukan sosialisasi lanjutan dalam waktu dekat tetapi sampai dengan januari tidak ada langkah yang diambil oleh pemerintah daerah. Bahkan masyarakat akan melakukan aksi demo apabila hal ini tidak segera diambil langkah kedepannya oleh pemerintah daerah.

Dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan yang terjadi, yang ada adalah keputusan dari pemerintah kabuapten yang hanya bersifat sementara dan belum menyelesaikan konflik yang terjadi. Setelah sosialisasi pertama dilakukan di kantor bupati konawe selatan masyarakat dan perusahaan masih menunggu sosialisasi penanganan konflik selanjutnya oleh pemerintah daerah yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik.

Faktor Penghambat dalam Penanganan Konflik Agraria di Kabupaten Konawe Selatan

Dalam Kegiatan Manajemen Penanganan Konflik Agraria di Kabupaten Konawe selatan terdapat beberapa hambatan yang menyebabkan lambatnya proses penyelesaian konflik. Berdasarkan Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, dokumentasi dan observasi yang penulis kumpulkan, hambatan yang mempengaruhi proses penanganan konflik agraria di kabupaten Konawe Selatan berupa faktor eksternal dan internal.

a. Faktor Internal

Belum adanya regulasi atau kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria menjadi penghambat. Seharusnya ada regulasi yang digunakan atau kebijakan yang dibentuk khusus untuk penanaganan konflik agrarian ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Asisten I sekda konsel pada tanggal 15 Januari 2020 menyatakan bahwa :

“kalau soal faktor penghambat itu memang ada banyak faktor penghambat seperti anggaran yang kurang, masyarakat juga kalau dikasih tau tidak mengerti, belum lagi memang kita masih kurang dari segi kebijakan atau aturan untuk mengatur proses penyelesaian konflik, soalnya keluar masuk rana pengadilan repot juga kita gagal juga sebagai pemerintah”

Berdasarkan hasil wawancara diatas bahwa memang masih banyak hambatan dalam penyelesaian konflik salah satunya yaitu masih belum adanya regulasi atau kebijakan untuk mengatur langkah atau proses penyelesaian konflik secara komperhensif.

Anggaran yang kurang menyebabkan penanganan konflik hingga tercapainya kesepakatan dan solusi memerlukan beberapa tahap dan anggaran dan belum tentu

(10)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

dapat terlaksana dengan sekali jalan. Hal ini sesuai dengan hasil wawncara dengan bapak kepala Badan Kesbangpol pada tanggal 17 Januari 2020 menyatakan bahwa:

“sudah ada dek kalua dibentuk tim, tapi masalahnya anggaran tidak ada, kami juga kalau konflik konflik kecil biaa kami tangani, tapi kalua konflik besar begini, harus ada bantuan dari keamanan dan instansi lain”

Dari hari wawancara diatas dapat kita pahami memang dalam upaya penanganan konflik masih terkendala masalah anggaran, mungkin karena itu sebabnya jadi rencana sosialiasi lanjutan belum terlaksana. Selain itu, terdapat juga Pemahaman masyarakat mengenai penanganan konflik masih kurang ini dibuktikan dengan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosialisasi serta seringnya masyarakat menggunakan cara-cara tradisional dalam penyelesaian masalah.

b. Faktor Eksternal

Kurangnya koordinasi antar Lembaga, Hal ini dibuktikan dengan pembentukan tim yang mendadak dimana anggota tim tersebut merupakan lembaga/OPD yang berlainan Fungsi seperti Tim penyelesai perkara yaitu Kesbangpol dan dinas kehutanan tanpa melibatkan Badan Pertanahan Kabupaten. Dapat kita pahami bahwa rendahnya koordinasi dan kerjasama antar instansi menjadi penghambat dalam proses penyelesaian konflik. Selain itu, Kondisi jalan yang rusak sangat menghambat dalam proses penyelesaian konflik, jalan ini menghubungkan antar desa dalam kecamatan, belum lagi lokasi desa yang masuk kedalam hutan tentu sangat menyulitkan pemerintah untuk masuk ke lokasi titik konflik.

PENUTUP

Penyelesian konflik dilakukan melalui pendekatan kepada masyarakat, membangun kerjasama dan kesepakatan. Ketidakpercayaan antar masing-masing komponen menyebabkan sulitnya kerjasama dalam menyelesaikan konflik ini. Belum ada kerjasama antara perusahaan dan masyarakat dalam upaya menangani konflik ini hingga belum adanya kesepakatan yang dicapai antara masyarakat dan perusahaan yang ada hanyalah keputusan pemerintah untuk memberhentikan sementara proses pengolahan lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Akhsan, Nasution. 2011. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Aliyah, Nur. Manajemen Konflik, Makassar: Alauddin University Press, 2015.

Arikunto,Suharsimi.2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak.

Jakarta:The British Council.

(11)

Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah Volume XII, Edisi Spesial (1) Desember 2020

Creswell, John W.2014. Research Resign :Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approachses. California: Sage Publications

Hamidi. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press.

James A.F Stoner, Management, Prentice/ Hall International, Inc., Englewood Cliffs, New York, 1982, halaman 8

Jamil, Mukhsin dkk. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai: TEORI, STRATEGI, dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo Mediation Center.

Malindas. 2002. Manajemen SDM Lewat Konsep A.K.U (Ambisi, Kenyataan, dan Usaha). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Maria SW. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 109-111.

Moh Nazir, 2011. Metode Penelitian. Cetakan 6. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Moleong,J Lexy. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. 2011. Metode Penelitian Kualitatif.2013. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya .

Murad, Rusmadi. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung:Alumni Neuman,W.Lawrence.2011.Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches. Amerika:Pearson New International Edition

Pruitt Dean G, Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Silalahi, Ulber.2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama

Sulistiyono, Djoko. Solusi Konflik Pertanahan dalam Suara Merdeka. Semarang edisi Kamis,17 September 2015.

Sugeng Bayu Wahyono, dkk. 2004. Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi.

Yogyakarta: Institut Pengembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (INPEDHAM).

Sugiyono.2012.Memahami Penelitian Kualitatif”.2014.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta.

Ulber Silalahi.2012.Metode Penelitian Sosial. 2009. Metode Penelitian sosial.Bandung: PT. Refika Aditama

Winardi, 2011, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).

Bandung: CV. Mandar Maju.

Wirawan. 2013. Konflik dan Menejemen Konflik (Teori Aplikasi dan Penelitian).

Jakarta: Salemba Humanika.

W.Gulo. 2010.Metodologi Penelitian, Jakarta : Grasindo.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses menangani masalah konflik agraria tersebut, hal yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Siak adalah dengan melakukan mediasi dengan

Lainea pada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Konawe Selatan Tahun Anggaran 2017, maka dengan ini perusahaan tersebut diatas diundang untuk mengikuti

Konawe Selatan tahun anggaran 2014, maka dengan ini perusahaan tersebut diatas diundang untuk mengikuti tahap pembuktian kualifikasi yang akan di laksanakan

Penelitian perhitungan neraca air ini ber- tujuan untuk menganalisis kebutuhan air pada tanaman kedelai lahan kering di kabupaten Konawe Selatan, sekaligus menekan kendala

Meskipun tingkat kinerja penyuluh pertanian masih tergolong sedang, namun upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Konawe dalam pemberdayaan penyuluh pertanian sudah cukup

Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat desa Ikhwan Kecamatan Dumoga Barat Kabupaten Bolaang Mongondow tergolong pada konflik horizontal yakni konflik yang terjadi

Terkait dengan penetapan visi sebagai Kabupaten Minapolitan, maka tujuan pembangunan Kabupaten Konawe Selatan tidak terlepas dari tujuan kawasan Minapolitan yang diatur

Karakteristik Wilayah, Demografi, dan Motivasi Pemeliharaan Ayam Ras Petelur Di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara Regional Characteristics, Demography, and Motivation of