• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tulisan ini hendak mengkritisi pelaksanaan operasi tangkap tangan atau (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Dalam melakukan OTT ada dua teknik yang digunakan oleh KPK yaitu penyadapan dan penjebakan.1Namun Penyadapan dan penjebakan tidak diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa untuk diketahuinya terjadinya suatu tindak pidana adalah: (1) kedapatan tangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHP), (2) karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP), (3) karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP), (4) diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik ketahui terjadinya delik seperti baca di surat kabar, dengar di radio, dengar orang bercerita dan selanjutnya 2

Setelah diduga adanya tindak pidana maka penyidik akan melaksanakan proses penyidikan. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam uu ini untuk: (1) mencari dan mengumpulkan bukti, (2) yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana, menemukan tersangkanya.3

1 https://www.nyatnyut.com/2017/02/01/operasi-tangkaptangan-oleh-kpk/, diakses pada Tanggal 14 November 2018, Pukul 20.21 WIB.

2 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 122- 123.

3 M Haryanto,Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen satya wacana, Salatiga, 2013, hal.

23.

(2)

2

Hal melaksanakan serangkaian tindakan penyidikan, penyidik dalam keadaan yang memaksa yakni apabila kepentingan masyarakat terganggu, berdasarkan kewenangannya yang berwajib dapat melakukan upaya paksa yang sesungguhnya mengurangi hak asasi seseorang. 4

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dijelaskan secara rinci mengenai pengertian dari upaya paksa.Walaupun tidak diatur secara jelas pengertian upaya paksa namun dapat diartikan sebagai salah satu kewenangan untuk mengambil tindakan yang diberikan oleh undang-undang kepada penegak hukum untuk melakukan perampasan kebebasan.Sehingga Pelaksanaan Penyidikan mulai sejak melakukan penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindak upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro Yustitia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan penyitaan dan sebagainya.5 Terkait upaya paksa Nikolas Simanjuntak mengatakan bahwa :

Upaya paksa adalah serangkaian tindakan penyidik untuk melaksanakan penyidikan, yaitu dalam hal melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Dalam keadaan normal, bilamana tindakan itu dilakukan tanpa dasar ketentuan undang-undang, maka, hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia khususnya tentang hak dan kebebasan pribadi dari orang yang ditindak.6

Upaya paksa yang dikenal dalam KUHAP adalah penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan. Dari keempat upaya paksa yang dikenal dalam

4 Hari Sasangka ,Penyidikan, Penahanan, penuntutan, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal.

45.

5 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.14 PW. 07.03 tahun 1983

6 Nikolas Simanjutak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalla Indonesia,Jakarta,2012, hal. 77.

(3)

3

KUHAP tersebut penulis tertarik untuk menulis tentang Upaya Paksa Penangkapan.

Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidik berupa suatu pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau Terdakwa apabila terdapat bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam UU ini.7Seseorang ditangkap apabila diduga keras melakukan tindak pidana dan adanya dugaan kuat yang didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.8

Cara melakukan penangkapan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: (a) penangkapan dalam hal tangkap tangan, (b) penangkapan dalam hal tidak tangkap tangan.9 Penangkapan dalam hal tangkap tangan yang dimaksudkan diatur dalam Pasal 111 ayat ( 1 - 4) yaitu:

1) Dalam hal tangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan, umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.

2) Menegaskan bahwa setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.

3) Menyatakan bahwa penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai.

4) Menyatakan bahwa pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.

Sama halnya pelaksanaan penangkapan menurut DPM Sitompul dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

7 M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24

8 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Barkti, Bandung 2007, hal. 26.

9 M Haryanto Op.Cit.hal. 25.

(4)

4

a. Penangkapan Tanpa Surat Perintah. pada dasarnya setiap orang dapat melakukan penangkapan dengan syarat dalam keadaan tangkap tangan.

Tangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah tangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana; dengan segera setelah dilakukannya tindak pidana; sesaat setelah masyarakat meneriaki pelaku tindak pidana; dan setelah ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk melakukan tindak pidana, dimana benda tersebut menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau melakukan tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penangkapan tanpa surat perintah, polisi harus memperhatikan hal-hal ketentuan dalam Pasal 111, Pasal 18 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) KUHAP.

b. Penangkapan dengan Surat Perintah. syarat penangkapan dengan surat perintah adalah sebagaimana syarat penangkapan pada umumnya yang dinilai sah apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

Pertama petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat perintah penangkapan. Kedua surat perintah penangkapan merupakan syarat formal yang bersifat imperatif. Hal ini demi kepastian hukum dan menghindari penyalahgunaan jabatan serta menjaga ketertiban masyarakat.Ketiga surat perintah penangkapan harus diperlihatkan kepada orang yang disangka melakukan tindak pidana. Surat tersebut berisi: (a) identitas tersangka, seperti nama, umur, dan tempat tinggal. Apabila identitas dalam surat tersebut tidak sesuai, maka yang bersangkutan berhak menolak sebab surat perintah tersebut dinilai tidak berlaku. (b) alasan penangkapan, misalnya untuk pemeriksaan atas kasus pencurian dan lain sebagainya. (c) uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka, misalnya disangka melakukan kejahatan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. (d) tempat pemeriksaan dilakukan. Salinan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan, pemberitahuan tidak dapat diberikan secara lisan. Apabila salinan surat perintah penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarga, mereka dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan tentang ketidakabsahan penangkapan sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.10

Menurut J.C.T Simorangkir tangkap tangan sama dengan heterdaad.

“kedapatan tengah berbuat, tangkap basah: pada waktu kejahatan tengah dilakukan atau tidak lama sesudah itu di ketahui orang.”11 Penangkapan dalam hal tidak tangkap tangan diatur didalam Pasal 16 ayat (1 dan 2) KUHAP. Untuk kepentingan

10 Sitompul DPM, Polisi dan Penangkapan, Tarsito, Bandung, 1985, hal.10.

11 J.C.T Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 76.

(5)

5

penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Adapun untuk sahnya suatu penangkapan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama, dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu. Kedua, dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Ketiga, surat perintah penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. Keempat, dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan itu kepada keluarga tersangka, segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP).12

Menangkap dalam hal tidak tangkap tangan maka kewenangan menangkap tersangka tidak dapat dilakukan oleh setiap orang.13 Akan Tetapi, menurut Pasal 16 ayat (1) dan (2) KUHAP penangkapan hanya dapat dilakukan oleh: Penyelidik atas perintah penyidik, Penyidik, dan Penyidik pembantu.14 Sedangkan untuk sahnya penangkapan dalam hal tidak tangkap tangan maka sebelum melakukan penangkapan harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan, dan surat penangkapan tersebut harus ditunjukkan dan diberikan kepada tersangka.15

Sistem peradillan pidana mengatur wewenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara korupsi adalah Penyidik dari Kepolisian, Penyidik dari Kejaksaan dan Penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yang

12 H. Rusli Muhammad, Op Cit hal. 27.

13 M Haryanto,Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen satya wacana, Salatiga, 2013,hal 27

14 Ibid

15 Ibid, hal. 27.

(6)

6

kerugian negara diatas 1 Mliyar Rupiah. Kewenangan KPK dalam melakukan Penyidikan diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinyatakan bahwatugas dan wewenang Komisi Pemberatasan Korupsi berkaitan dengan Proses penyelidikan dan penuntutan. KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang tersebut berwenang untuk :

Pertama, melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kedua, memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Ketiga. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Keempat, memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

Kelima, memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. Keenam. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. Ketujuh. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

Kedelepan, meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. Kesembilan, meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.16

Selain Kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi, Pelaksaan operasi tangkap

16 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250)

(7)

7

tangan yang dilakukan oleh KPK sama halnya dengan penangkapan dalam hal tangkap tangan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 19 KUHAP.

Kriterianya adalah :

1. Ditangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana;

2. Dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu di lakukan;

3. Sesaat kemudian diserukan oleh halayak ramai sebagai orang yang melakukannya;

4. Apabila sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah di pergunakan untuk melakukan tindak pidana itu, dimana benda tersebut menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau melakukan tindak pidana tersebut.

Berdasarkan hal pelaksanaan operasi tangkap tangan atau OTT tidak di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP maupun Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga Pelaksaan OTT yang dilakukan KPK mendapat perlawanan lewat upaya Praperadilan yang dinilai bahwa KPK tidak memiliki dasar hukum tentang kewenangan pelaksanaan operasi tangkap tangan. Dalam pendahuluan inipenulis mempelajari putusan Praperadilan Nomor 169/Pid.Prap/2016/PNJkt.Sel tentang sahnya penangkapan dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Atty Suharty.17

Pada tanggal 1 Desember sekitar Pukul 19.00 WIB KPK selaku Termohon dengan sekitar 15 pegawainya mendatangi rumah Pemohon, lalu pada pukul 20:30 ItocTochija, suami dari Atty Suharty mendapat telepon dari Pemohon untuk pulang kerumah atas permintaan Termohon, setelah ItocTochija tiba dirumah pihak

17 Putusan Praperadilan Nomor 169/Pid.Prap/2016/PNJkt.Sel.

(8)

8

Termohon menanyakan kepada Pemohon terkait uang suap yang diberikan oleh pengusaha dalam proyek pembangunan Pasar Atas Cimahi tahap ke II yang akan di lakukan di tahun 2017 dan Pemohon menjawab tidak tahu akan hal itu. Pemohon mempersilahkan Termohon untuk mencari dan menggeledah rumah Pem,ohon.Selanjutnya setelah memberikan kesempatan kepada Termohon untuk mencari dan mengeledah rumah Pemohon namun pihak Termohon tidak melakukan pencarian maupun pengeledahan sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon.

Pemeriksaan dilakukan Termohon terhadap Pemohon dan suami Pemohon berlansung selama 9 jam, Pemeriksaan di dahulukan tanpa adanya berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak Termohon, Setelah melakukan pemeriksaan dirumah Pemohon, suami dari Pemohon dan Pemohon dipersilahkan untuk bersiap-siap ke kantor Termohon di Jakarta untuk di-BAP sebagai saksi.

Namun Pemohon bersihkeras untuk menolak, karena Pemohon merasa tidak ada kaitannya dengan dugaan yang dimaksudkan oleh Termohon kepada Pemohon, Akan tetapi pegawai dari Termohon menyampaikan agar sebaiknya Pemohon bertindak koopereratif agar Termohon dengan mudah melakukan pemeriksaan.

Lalu dengan mempertimbangkan segala hal Pemohon memutuskan untuk berangkat menemani suaminya ke Jakarta dan menyiapkan segala keperluan di Jakarta, untuk keperluan selama ke Jakarta maka Pemohon membawa uang sebesar Rp.15 juta dan Rp 1 Juta didalam dompet.

Setelah Pemohon tiba dikantor Termohon di Jakarta, Pemohon disuruh untuk menandatangani berita acara tangkap tangan yang dimana didalam BAP tersebut telah adanya pernyataan uang sita sebesar Rp.16 juta, Uang tersebut disita

(9)

9

di kantor Termohon bukan dirumah Pemohon. Uang 16 juta yang di sita oleh Termohon bukanlah uang dari hasil suap yang dimaksudkan oleh Termohon, Melainkan uang yang dibawah oleh Pemohon untuk membiayai segala keperluan suami Pemohon dan Pemohon selama berada di Jakarta.Setelah melakukan hal itu Termohon melakukan press conference. Bahwa telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Pemohon dengan bukti berita cara tangkap tangan yang telah ditandatangani di rumah Pemohon (faktaya ditandatangani di kantor Termohon) dan dengan bukti fotocopy bekas penarikan uang sebesar Rp.500 Juta dari rekening Pemohon tanpa Pemohon sendiri tidak pernah mengetahui bukti fisik uang 500 juta yang dijadikan bukti oleh Termohon tersebut. Setelah melakukan press conference tersebut status Pemohon yang awalnya diperiksa sebagai saksi BAP dinaikkan menjadi status tersangka.

Berdasarkan hal itu diatas Pemohon mengajukan Petitumnya yang Menyatakan Berita Acara Tangkap Tangan, tanggal 2 Desember 2016 atas diri Pemohon tidak sah, cacat hukum dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat, menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah, cacat hukum dan tidak berdasar atas hukum.Oleh karenanya penyidikan

(10)

10

a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan Oleh karena itu agar

diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan sesuai Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprint. Dik- 91 /01/12/2016 tanggal 2 Desember 2016.

Hakim berpandangan bahwa bukti P 7 berupa berita acara pemeriksaan tersangka pada tanggal 2 desember 2016, atas nama Atty Suharti tentang laporan kejadian tindak pidana korupsi Nomor LKTKP-51/KPK/12/2016, serta Surat Perintah penyidikan KPK RI Nomor Sprint. Dik- 91 /01/12/2016, tanggal 2 Desember 2016 dan bukti T 11 tentang berita acara permintaan keterangan (BAPK) atas nama Triswara Dhanu Brata alias Ade pada tanggal 02 Desember 2016 merupakan dasar di lakukan proses penyelidikan oleh Termohon, setelah penyelidik Termohon mendapatkan bukti permulaan yang cukup, penyelidik Termohon juga telah menyampaikan laporan penyelidikan kepada pimpinan Termohon (Vide Pasal 44 Ayat 1 UU KPK). Oleh karena itu proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon telah berdasarkan bukti permulaan yang cukup yang didapatkan pada saat proses penyelidikan sebagaimana bukti yang telah disampaikan di atas.

Berdasarkan hal itu maka pertimbangan hukum dalam putusan tersebut diatas terlihat bahwa operasi tangkap tangan yang didalilkan oleh Pemohon tidak di atur dalam Hukum Pidana Indonesia melainkan sebaliknya tindakan tangkap tangan yang dilakukan oleh Termohon yang didasarkan oleh bukti permulaan yang cukup yang telah diatur dalam Hukum Pidana Indonesia

Oleh karena alasan-alasan yang telah dikemukan diatas maka penulis terdorong untuk melakukan analisis yuridis yang dituangkan dalam bentuk tesis

(11)

11

yang berjudul “Mengkonsepsi Operasi Tangkap Tangan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana sudah penulis kemukakan di atas maka, yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1) Bagaimanakah dasar hukum Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1) Tujuan:

Untuk mengetahui dan menganilisis dasar hukum terkait kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan Operasi Tangkap Tangan ?

2) Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: Manfaat teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum pidana. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cara berpikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.

D. Kerangka Teori

(12)

12

Mengenai persoalan pelaksanaan operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, akan penulis dekati dengan mengunakan Teori Kepastian Hukum, teori sistem peradilan pidana, teori tujuan hukum, dan teori hak asasi manusia

1. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar.Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.18

Menurut Jan Michiel Otto Kepastian Hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu :

Pertama, tersedia aturan -aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh, diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.Kedua, instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya. Ketiga, warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut. Keempat, hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum. Kelima, keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.19

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu : Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan Hukum bagi individu ‘dari kesewenangan pemerintah

18 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang

Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm.59.

19 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 19

(13)

13

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis- Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum Yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.20

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.21

2. Teori Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana22. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.

Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat. Sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu:

Pertama, pendekatan normatif, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi

20 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999, hal.23.

21 Asikin zainal,Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hal. 17

22 Mardjono Reksodipoetro,"Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan Pengabidan Hukum 1994, hal. 47.

(14)

14

pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang beraku, sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Kedua, pendekatan administrasi, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai suatu management yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun hubungan yang bersifat vertikal sesuai struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Ketiga, pendekatan sosial, memandang memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, hal ini memberi pengertian bahwa seluruh masyarakat ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau tidak terlaksananya tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut.23

3. Teori Tujuan Hukum

Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazime legalisasi praktek - praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek – praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara

23 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice, System Perspektif,

Eksistensialisme, dan Abolisinisme), Alumni, Bandung, 1996, hal. 17.

(15)

15

keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.24

Tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban.Tanpa keteraturan dan ketertiban kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin, seseorang tidak dapat mengembangkan bakatnya tanpa adanya kepastian dan keteraturan Memandang hukum secara abstrak atau formal memang demikian benarnya.25

4. Teori Hak Asasi Manusia

Hak-hak yang paling fundamental itu adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri.Kemanusiaan setiap manusia merupakan ide yang luhur dari Sang Pencipta yang menginginkan setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaan sebagai manusia.Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.Pengembangan diri ini dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, yang adalah asal dan tujuan hidup manusia.Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi manusia dan merupakan konsekuensi hakiki dari kodratnya.Itulah sebabnya mengapa HAM bersifat universal.Di mana ada manusia di situ ada HAM yang harus dihargai dan dijunjung tinggi.26

24 Mohamad Aunurrohim : diakses pada website : http://www.acAdemia.edu/10691642/

Keadilan Kepastian dan Kemanfaatan_Hukum di Indonesia Disusun guna memenuhi tugas ujian mata kuliah Perspektif Global

25 Mochtar Kumaatmadja, pengantar ilmu hukum : Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Hal 49

26 Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasilal, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal 75.

(16)

16

Secara harafiah yang dimaksud dengan HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaanya merupakan suatu keharusan (cinditio sine qua non), tidak dapat diganggu gugat.Bahkan, harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dar segala macam ancaman, hambatan dan gangguan dari sesamanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Arief Budiman27 menyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilakirkan, langsung HAM itu melekat pada dirinya sebagai manusia.Dalam hal ini, HAM berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara hak warga negara dengan HAM.28

Sejalan dengan hal tersebut, Ramdlon Naning menyatakan HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Ilahi. Berarti HAM merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dipisahkan dari hakikatnya, karena itu HAM bersifat luhur dan suci.29

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Wolhoff menyatakan : HAM adalah sejumlah hak yang berakar dalam tabiat kodrati setiap oknum pribadi manusia. Justru karena kemanusiaannya, HAM tidak dapat dicabut oleh siapapun juga, karena jika dicabut hilanglah kemanusiaannya itu. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengertian sejumlah hak mengandung arti lebih dar satu hak dan tentu saja merupakan hak-hak yang pokok atu yang mendasar.Misalnya, hak hidup yang merupakan hak yang kodrati, melekat dan berakar pada diri manusia.Sebgai konsekuensi dari hak itu, manusia berhak memenuhi kebutuhan hidupnya itu yang juga merupakan hak asasi.30

Anton Baker memberi batasan HAM sebagai hak yang ditemukan dalam hakikat manusia dan demi kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapapun.Bahkan, tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hal itu bukan sekadar hak milik saja, tetapi lebih

27 Sosiolog Universitas Kristen Satya Wacana.

28 Harian Suara Merdeka, tanggal 21 Desember 1992.

29 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1983, hal. 12.

30 Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RI, Timun Mas, Jakarta, 1960, hal. 13.

(17)

17

luas dari itu.Manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas dan berkesadaran moral) dan merupakan makhluk ciptaan tertinggi.31

OC Kaligis berpendapat bahwa : Pengakuan hak hidup sebagai hak asasi, berarti perampasan kemerdekaan seseorang itu seandainya pun dilakukan, pada hakikatnya merupakan suatu pengecualian. Hukum Pidana formal secara rinci mengatur bagaimana prosedur dan dengan alasan-alasan apa saja seseorang dapat dirampas kemerdekaannya. Perlindungan HAM juga dilakukan oleh sejumlah peraturan materiel di luar KUHAP.32

Selanjutnya OC Kaligis juga menambahkan bahwa : Mengacu pada deskripsi pemikiran di atas, segala bentuk upaya paksa, perlakuan yang tidak adil dan tidak berdasarkan hukum seperti pengekangan, perampasan, penghinaan, pelecehan dan lain sebagainya, pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM. Dalam konteks Hukum Pidana, pelanggaran HAM terjadi apabila salah satu prasyarat telah dipenuhi, yaitu bahwa pelanggaran tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.Pandangan ini sesuai dengan asas Nullum delictum nulla poenaa sine praevia lege poenali atau asas legalitas, sebagaimama diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.33 Atas legalitas ini merupakan salah satu asas yang fundamental untuk melindungi hak kemerdekaan dan kebebasan seseorang.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

31 Jurnal Filsafat Seri 2, Mei 1990. HAM telah dikenal tatkala Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya, terutama ketika Allah menciptakan manusia pertama, yaitu Adam.Allah berfirman bahwa manusia diberi hak untuk hidup dan hak untuk menguasai dan mengelola bumi. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Alkitab, Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 26 sebagai berikut: “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia …, supaya mereka berkuasa atas … seluruh bumi …’.”Selanjutnya, dalam Kitab Kejadian Pasal 2 ayat 15 ditegaskan bahwa “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Ayat 16 dan 17 menyatakan:

“lalu Tuhan Allah member perintah ini kepada manusia: “semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Oleh karena itu Tuhan Allah memberi kebebasan kepada mereka untuk memakan atau tidak buah pohon di taman Eden itu, maka pada akhirnya mereka (Adam dan Hawa) memilih untuk memakan buah itu. Kutipan sebagai firman Allah tersebut menunjukkan bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia sekaligus dengan hak asasi untuk hidup dan hak asasi untuk memiliki (menguasai bumi), termasuk hak asasi berupa kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Ketika buah terlarang dimakan, menetang kehendak Allah, menuruti kemauan sendiri, disitulah hukuman Allah berlaku bagi Adam dan Hawa. Dikutip dari “Alkitab”, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 9-10.

32 OC Kaligis, Perlindungan Hukum atas tersangka, terdakwah dan terpidana, Alumni ,Bandung, 2006 hal. 148

33 Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.

(18)

18

Penelitian ini akan disusun dengan mengunakan tipe penelitian yuridis normatif,yaitu penelitian yang di fokuskan untuk mengkaji penerapan norma- norma dalam hukum positif.34

Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan mejelaskan norma yang berkaitan dengan sumber tindakan penanganan perkara pidana.

2. Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang- undangan (statute approach).Penulis Meneliti Pelaksanaan operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan korupsi. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan perundang-undangan yang terkait dengan Operasi Tangkap Tangan. Jenis pendekatan lain yang digunakan adalah Pendekatan konseptual (conceptual Aprproach). Pendekatan ini beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Penulis berkeinginan meneliti Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

3. Bahan Hukum

a). Bahan Hukum Primer

Dalam penelitian ini ,penulis mengambil bahan hukum yang mempunyai kaitan dengan operasi tangkap tangan yaitu: KUHAP, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang

34 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodelogi Peneltian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hal. 295.

(19)

19

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Putusan Praperadilan Nomor 169/Pid.Prap/2016/PN Jkt.Sel.

b). Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku,Jurnal-jurnal Penelitian,pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.

c). Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukun primer dan bahan hukum sekunder.

Referensi

Dokumen terkait

a) Mahasiswa dapat mencari judul-judul yang sudah pernah diajukan oleh mahasiswa lain sehingga dapat mengurangi tingkat plagiarisme atau sebagai referensi dalam

Dalam mukaddimah ini juga sebagaimana dijelaskan oleh al-nasyir kitab al-Mizan, bahwa manhaj yang dipergunakan oleh Tabataba’i dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada Varietas Anjasmoro maupun Detam 1 tidak bisa menduga vigor daya simpan benih kedelai yang

Hasil analisis terhadap pretest dan posttest dengan wilcoxontest menunjukkan bahwa Z = 1,445 dan Sig (2-tailed) bernilai 0,148 > 0,05, maka dapat disimpulkan

Kedua, Kepada institusi sekolah di- sarankan untuk: (1) menyebarluaskan metode pembelajaran kooperatif model make a match kepada guru-guru mata pelajaran lainnya,

To convert cassava stems into glucose, there are two main step processwere done in this research: Swelling of cassava stemsby using acid solvent as

Tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kemasaman (pH) 5-6 tidak lebih tinggi dari 7 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada kedalaman 1

Gerakan sholat yang benar dapat memberikan pengaruh terhadap ketahanan extensor otot pungung bawah, dengan penekanan utama pada daerah otot extensor punggung bawah yang