5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Animasi 2D
2.1.1. Pengertian Animasi 2D
Menurut Purnama (2013), dalam jurnalnya yang berjudul “Pengertian, Prinsip-prinsip, dan Perbedaan Animasi”, kata animasi berasal dari bahasa latin,
“anima” yang berarti jiwa, hidup, dan semangat.
Ibiz Fenandez dalam Purnama (2013), mengatakan bahwa, “Animasi adalah proses merekam dan memainkan kembali kumpulan sekuens gambar diam sehingga membuat ilusi gambar bergerak.”
Mengutip dari Purnama (2013), animasi terbagi menjadi dua kategori, yakni:
a. Animasi yang proses pembuatannya dibantu komputer. Animasi 2D adalah yang dimaksud dalam kategori ini.
b. Animasi yang dibuat sepenuhnya menggunakan komputer yaitu animasi 3D yang dibuat dengan bantuan software seperti Maya, 3D Studio MAX, Blender dan lain-lain.
6 2.1.2. Produksi Animasi 2D
Menurut Roberts (2020) dalam bukunya yang berjudul “Introduction to 2D-animation Working”, pada dasarnya animasi 2D adalah serangkaian gambar
yang diambil satu-persatu yang kemudian dimainkan kembali demi mendapatkan hasil ilusi gambar bergerak.
Menurut Salla (2017) dalam bukunya “Mastering the Elements – Basics of 2D Effect Animation”, dalam animasi perlu diperhatikan prisip-prinsip
berikut agar produk yang dihasilkan dapat terlihat lebih menarik. Prinsip- prinsip ini telah diturunkan pada animator dari generasi ke generasi semenjak awal era Disney. Berikut adalah prinsip-prinsip yang dimaksud:
a. Squash and Stretch b. Anticipation c. Staging
d. Straight Ahead Action and Pose to Pose e. Slow In and Slow Out
f. Arcs
g. Secondary Action h. Timing
i. Exaggeration j. Solid Drawings k. Appeal
7 2.1.3. Perancangan tokoh animasi 2D
Menurut Tetali dan Pancharia (2014) dalam jurnalnya yang berjudul Character Design for Animation, karakter adalah bagian terpenting dalam cerita.
Karakter merupakan kunci elemen dalam film dan penonton mengidentifikasi diri mereka dalam diri karakter. Sehingga, sebelum merancang tokoh, perlu memperhatikan “Siapa” dan “Apa” karakter tersebut, juga seluruh informasi tentang karakter tersebut yang didapat dari plot cerita.
Menurut Tetali & Pancharia (2014), proses mendesain karakter dapat dibagi sebagai berikut:
a. Atribut dan proporsi b. Ekspresi
c. Model Sheet d. Pose dan gestur e. Warna
Three-Dimensional Character
Menurut Devina (2018), dalam Character Designing with Visual Approach for Puppet Animation in A Hybrid Short Animation “Ihan”, three-dimensional character
8 adalah pedoman untuk menciptakan latar belakang dalam desain karakter. Tiga prinsip yang berlaku untuk three-dimensional character adalah dari segi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Aspek fisiologis dapat terlihat dari bagaimana karakter tersebut tampil secara fisik di depan penonton. Aspek psikologis adalah perilaku dan sikap karakter tersebut. Sementara aspek sosiologi adalah hubungan karakter dengan latar belakang yang diberikan (hubungan dengan orang terdekat dan latar belakangnya).
2.2.1. Bentuk Tokoh
Mengutip Solarski dalam Ekström (2013), “bentuk memiliki cara berkomunikasi yang universal, dikarenakan konsep benda yang berbentuk melingkar dan segitiga berasal dari alam”. Bentuk-bentuk objek yang bulat dan melingkar membuat mereka yang melihatnya merasa aman, sedangkan objek dengan sudut-sudut runcing membuat seseorang merasa lebih awas (Gambar 2.1). Insting tersebut berasal dari indera sentuhan manusia. Meskipun dalam seni visual manusia tidak benar-benar merasakan sentuhan, penonton seringkali menerapkan pengalaman dunia nyata mereka pada bentuk-bentuk serupa.
Gambar 2.1 Kapas (lingkaran), Batu, dan Tanaman berduri (objek dengan sudut runcing) sumber: How Can a Character's Personality be Conveyed Visually, through Shape, 2013
9 Ekstrom (2013) menyebutkan, pesan visual yang disampaikan melalui desain karakter harus jelas agar efektif tersampaikan. Mengidentifikasi siluet karakter sedini mungkin membantu penonton membaca kondisi karakter tersebut. Bentuk keseluruhan karakter akan memberi pernyataan terhadap personality sang karakter.
2.2.1.1. Lingkaran
Mengutip Solarski dalam Ekström (2013), dikatakan bahwa, “lengkungan dan lingkaran merupakan bentuk paling “ramah” karena mereka tidak memiliki sudut tajam”. Bentuk-bentuk melingkar pada dasarnya cenderung terlihat lembut, jinak, dan gampang disukai. Kebanyakan protagonis populer dirancang dengan dasar bentuk lingkaran.
A B C
Gambar 2.2 Contoh aplikasi visual pada animasi: A. Mario, B. Ralph, C. Don Paolo sumber: How Can a Character's Personality be Conveyed Visually, through Shape, 2013
10 2.2.1.2. Persegi
Objek serupa persegi berhubungan dengan garis horizontal dan vertical yang menyuarakan kekuatan, stabilitas, dan kepercayaan diri (Ekström, 2013). Persegi, atau kotak, dapat memberi kesan menakutkan, besar, ceroboh, dan rasa aman dalam waktu yang bersamaan (Bancroft, 2006). Desainer biasanya menggunakan bentuk kotak untuk karakter superhero dengan sifat tabah atau karakter bertubuh besar.
2.2.1.3. Segitiga
Menurut Ekström (2013), segitiga berhubungan dengan garis diagonal, garis sudut yang kuat, dan merupakan bentuk paling dinamis diantara tiga lainnya. Penjahat seringkali didesain menggunakan bentuk dasar segitiga karena mampu memberi kesan licik, dengki, mengancam, dan berbicara dengan penuh agresi (Bancroft, 2006).
Segitiga adalah musuh utama lingkaran dan maka sebab itu sering dipakai untuk tokoh antagonis.
Gambar 2.3 Bentuk runcing dan lingkaran
sumber:How Can a Character's Personality be Conveyed Visually, through Shape, 2013
11 2.2.2. Warna Tokoh
2.2.2.1. Psikologi warna
Mikellides (2017) dalam jurnalnya yang berjudul Colour Psychology, menjelaskan relasi antara sains dan psikologi warna.
Pertama Mikellides membagi menjadi tiga bagian apa saja yang menentukan bagaimana manusia melihat warna. Faktor pertama adalah hue, kedua adalah value, dan ketiga adalah chroma. Hue merupakan sebutan untuk warna-warna yang ada. Value merujuk pada gelap-terang sebuah warna.
Sementara chroma merujuk pada saturai warna tersebut (Colour Psychology, 2017).
Kemudian, Mikellides menggolongkan warna berdasarkan bagaimana manusia memberi asosiasi warna (bagaimana warna tertentu membangkitkan emosi tertentu). Berikut adalah tabel warna yang dibuat Mikellides (gambar
Gambar 2.4 Tabel warna Mikellides sumber: Colour Design, 2017
12 2.2.2.2. Penerapan psikologi warna
Menurut Fredriksson (2017), teori warna merupakan aspek penting dalam mendesain karakter, diturunkan dari cakram warna. Fredriksson mengutip Feisner (2000) mengatakan bahwa, “Mata kita begitu tertarik pada warna sampai-sampai warna sebuah objek selalu diterima lebih dulu sebelum detail bentuk atau garisnya.”
Fredriksson melanjutkan, bahwa ada 3 warna primer: merah, kuning, dan biru. Ketiga warna tersebut tidak dapat diciptakan dari warna lain, sebaliknya semua warna selain warna primer diciptakan dari campuran merah, kuning, dan biru. Warna sekunder terdiri dari hijau, jingga, ungu, yang semuanya adalah hasil dari mencampur warna primer. Warna tersier terbentuk dari percampuran warna primer dan sekunder (contohnya: biru kehijauan, kuning oranye, biru keunguan).
Fredriksson (2017) melakukan percobaan dengan tujuan untuk mencari apa yang membuat sebuah karakter terlihat sebagai antagonis ataupun protagonist.
13 Percobaan Fredriksson (2017) melibatkan dua karakter (Lihat gambar 2.5) yang dibandingkan bersebelahan dengan variable yang diubah-ubah. Variabel tersebut mencakup warna, pose, dan bentuk. Fredriksson membuat karakter yang merepresentasikan protagonis dan antagonis. Karakter A awalnya dibuat berwarna hangat, bertubuh bulat dan tegap. Sementara karakter B berwarna dingin, tubuh berbentuk segitiga, dan pose bungkuk. Gambar 2.5 merupakan versi pertama dari eksperimen.
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017 Gambar 2.5 Prototype awal Desain Karakter A dan Desain Karakter B
14 Percobaan kedua (Gambar 2.6) mengubah warna karakter A menjadi warna dingin namun pose tetap tegap dan bentuk tubuh tidak berubah dan membuat karakter B memakai warna hangat namun pose dan betuk tetap sama (Fredriksson, 2017).
Gambar 2.6 Versi kedua Desain Karakter A dan Desain Karakter B
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
15 Percobaan ketiga (Gambar 2.7) merubah pose dari karakter A, namun warna tetap hangat dan bentuk tubuh tetap bulat. Sementara karakter B posenya menjadi tegap, namun warna tetap dingin dan bentuk tetap menyerupai segitiga (Fredriksson, 2017).
Gambar 2.7 Versi Ketiga Desain Karakter A dan Desain Karakter B sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
16 Percobaan keempat (Gambar 2.7) mengubah bentuk tubuh karakter A menjadi runcing, sementara karakter B menjadi bulat. Warna karakter A tetap hangat dan berpose tegap, begitu pula karakter B tetap berwana dingin dan berpose membungkuk (Fredriksson, 2017).
Gambar 2.8 Versi kempat Desain Karakter A dan Desain Karakter B
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
17 Percobaan terakhir (Gambar 2.8) mengubah warna karakter A menjadi dingin, semnara karakter B menjadi hangat, dan mengubah bentuk karakter A menjadi runcing, dan karakter B menjadi bulat (Fredriksson, 2017).
Gambar 2.9 Versi kelima Desain Karakter A dan Desain Karakter B sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
18 Kesimpulan yang kemudian diambil Fredriksson (2017) adalah kedua model karakter ini (gambar 2.9) meskipun sudah berubah warna tetap diklasifikasikan sebagai protagonis. Persamaan ciri-cirinya yaitu, berbadan tegap dan tubuh berbentuk bulat.
Gambar 2.10 Perbandingan warna prototype karakter protagonis
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
19 Gambar 2.11 Perbandingan pose prototype karakter antagonis
Kedua model karakter ini (Lihat gambar 2.11) diklasifikasikan sebagai antagonis. Persamaan ciri-cirinya yaitu tubuh berbentuk runcing dan warna gelap (Fredriksson, 2017).
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
20 Setelah diubah bentuk tubuhnya menjadi tokoh yang lain (Gambar 2.12) maka kedua tokoh diklasifikasikan sebagai antagonis dan protagonis dalam waktu yang bersamaan. Diasumsikan bahwa tokoh ini bisa jadi di awal adalah protagonis yang kemudian berubah pikiran menjadi antagonis (Fredriksson, 2017).
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017 Gambar 2.12 Perbandingan karakter protagonis
21 Kemudian pada gambar 2.13, terlihat bahwa perubahan bentuk tubuh, warna dan pose membuat karakter yang awalnya antagonis terlihat sepenuhnya seperti protagonist (Fredriksson, 2017).
2.2.3. Kostum Tokoh
2.2.3.1. Dasar Teori Perancangan Kostum
Crist (2014) mengatakan bahwa, seorang desainer harus menyelidiki bagaimana cara agar mencapai ilusi tertentu. Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan desainer dalam merancang desain kostum. Desainer harus memikirkan naskah cerita, tema, periode waktu, sang karakter, sketsa, peralatan, dan plot kostum. Crist memperjelas bahwa setelah memperhatikan aspek-aspek tersebut, desainer juga harus
Gambar 2.13 Karakter antagonis yang menjadi protagonis
sumber: Combining Shape , Color and Postures for Ambiguous Character Roles, 2017
22 memikirkan aspek penting bagi sang karakter, yaitu mood, kelas, gender, umur, dan kepribadian.
2.2.3.2. Penerapan Perancangan Kostum pada Karakter Chef
Bozzelli (2014) menjabarkan tentang sejarah seragam koki dalam jurnalnya.
Atribut pertama, toque atau topi, berfungsi sebagai tutup kepala untuk mencegah jatuhnya rambut ke dalam makanan. Bozzelli mengatakan bahwa menara berisi angin yang terbentuk pada toque menjaga sirkulasi udara.
Atribut kedua yaitu jaket koki. Keunggulan jaket koki yang meiliki lengan lebar adalah agar bagian yang kotor di ujung dapat disembunyikan dengan dilipat. Seorang koki dapat mengenakan jaket bersih selama dua kali masa penggunaan. Selain itu jaket juga dilengkapi dengan 2 lapisan yang melindungi dari tumpahan, cipratan, uap, dan panas (Bozzelli, 2014).
Atribut ketiga adalah celana panjang koki. Celana Panjang koki memiliki desain kotak-kotak untuk menyamarkan noda yang tumpah. Atribut keempat yaitu apron, yang dipakai menutupi jaket. Atribut kelima yaitu dasi koki yang sekarang berguna untuk formalitas bisnis. Asal muasa dasi ini karena dulu dapur benar-benar panas sehingga seorang koki membutuhkan dasi untuk menyerap keringatnya. Atribut terakhir yaitu sepatu koki (Bozzelli, 2014).
23 Gambar 2.14 Seragam koki
2.2.4. Psikologis Tokoh
2.2.4.1. Sifat dan Perilaku Manusia
Menurut Indian Environment: The Changing Scenario. Understanding Human Behaviour (2017), disebutkan bahwa sebelum mempelajari psikologi
manusia, sebaiknya mengetahui arti dibalik istilah “behaviour” atau terjemahannya dalam bahasa, “perilaku”. Perilaku dapat berarti sebagai respon yang diamati baik secara langsung maupun tak langsung. Pengamatan secara langsung dilakukan dengan mengamati bagaimana respon seseorang dalam lingkungan kerjanya. Sementara pengamatan secara tak langsung dapat
sumber: Proud History of the Chef’s Uniform (2001)
24 dilakukan dengan mengamati bagaimana seseorang mengambil keputusan, dan bagaiman orang-orang sekitarnnya mendeskripsikan perilakunya secara lisan.
Menurut Psychology (2014), dalam jurnalnya yang berjudul Study Material, mengklasifikan sifat manusia dalam 5 kategori besar. Kelima sifat
tersebut adalah keterbukaan terhadap pengalaman baru, kesadaran diri, extraversion, keramahan, dan neuroticism. Berikut adalah penjelasan detailnya:
a. Keterbukaan terhadap pengalaman baru (inventif / ingin tahu vs.
konsisten / hati-hati)
Sifat manusia dilihat dari bagaimana caranya mengapresiasi seni, emosi, petualangan, ide-ide baru, rasa penasaran, dan beragam pengalaman lainnya.
Keterbukaan merefleksikan tingkat kecerdasan intelektual seseorang terhadap rasa ingin tahu, kreativitas, dan
preferensi untuk kebaruan dan variasi. Mereka yang mendapat nilai tinggi dalam keterbukaan lebih menyukai hal baru, sedangkan mereka yang mendapat nilai rendah lebih suka rutinitas.
b. Kesadaran diri (efisien / terorganisir vs. santai / ceroboh)
Sifat ini mengacu pada kecenderungan seseorang terhadap kedisiplinan terhadap diri sendiri, tanggung jawab, kompetensi, perhatian, dan bagaimana seseorang berupaya untuk mencapai seseuatu. Sifat ini berfokus pada seberapa banyak seseorang sengaja memberi niat dan pikiran dalam perilakunya. Individu yang mendapat nilai kesadaran lebih tinggi cenderung
25 berperilaku terencana daripada spontan dan sering terorganisir, pekerja keras, dan dapat diandalkan. Individu yang mendapat skor rendah dalam kesadaran lebih santai dalam mengambil keputusan, spontan, dan mungkin hidup tidak teratur.
c. Extraversion (ramah / energik vs. soliter / pendiam)
Seseorang yang mendapat nilai tinggi extraversion memiliki ciri-ciri lebih berenergi tinggi, emosinya positif, banyak bicara, tegas, mampu bergaul, dan cenderung lebih terstimulasi ketika bersama orang lain.
Mereka yang mendapat nilai rendah extraversion lebih memilih kesendirian dan / atau kelompok yang lebih kecil, menikmati ketenangan, lebih suka aktivitas sendiri, dan sering menghindari situasi sosial yang ramai.
d. Keramahan (ramah / penyayang vs. dingin / tidak baik)
Sifat ini mengukur kecenderungan seseorang untuk menjadi penyayang dan kooperatif daripada curiga berlebihan dan berprilaku antagonis terhadap orang lain. Sifat ini mengukur tingkat kepercayaan seseorang dan bagaimana responnya ketika membantu prang lain. Juga apakah orang tersebut secara umum berwatak baik atau tidak. Orang yang mendapat nilai rendah dalam keramahan cenderung digambarkan sebagai kasar dan tidak kooperatif.
e. Neuroticism (sensitif / gugup vs. aman / percaya diri)
Neuroticism mengacu pada stabilitas emosi dan kontrol impuls seorang individu. Orang yang tinggi neurotisme cenderung mengalami
26 ketidakstabilan emosional dan memiliki ciri-ciri sebagai seseorang yang pemarah, impulsif, dan suka bermusuhan.
2.2.4.2. Pembagian sifat karakter dalam narasi
Menurut Haven (2013) alam sebuah naratif, ada sebuah pembagian peran untuk karakter berupa delapan peran karakter. Delapan karakter adalah peran-peran yang perlu diisi oleh karakter untuk memenuhi celah yang ada dalam cerita agar penonton tidak cepat hilang fokus. Isi dari delapan peran karakter tersebut adalah:
a. Pemeran utama: Disebut juga sebagai protagonist menurut Han (2019), atau hero menurut Tikkanen (2018), ialah yang menjadi sorotan utama. Karakter yang memiliki tujuan serta visi misi yang harus diselesaikan di akhir cerita.
b. Supporter: Adalah karakter pendukung, atau disebut juga mentor. Karakter yang tugasnya adalah membantu tokoh utama dalam mengarahkan mereka mencari jawaban yang benar (Han, 2019).
c. Antagonis: Adalah tokoh dengan pengaruh paling besar kedua dalam plot setelah protagonist. Yang tujuannya adalah untuk menghalangi atau menggagalkan setiap usaha yang dilakukan oleh protagonist dalam mencapai tujuannya.
d. Minions: Karakter pembantu antagonis. Tidak wajib harus ada dalam cerita.
e. Karakter dengan autoritas: Tergantung dengan plot cerita, karena tidak semua cerita bertipe man vs society, menurut Kokemuller (2017). Yang merupakan tipe konflik dimana lawan karakter utama adalah masyarakat, autoritas,
27 pemerintah, dan kepemimpinan. Karakter otoritas ini membantu penonton memahami aturan dan hukum yang berlaku dalam cerita.
f. Karakter Klimaks: Karakter ini tidak harus melulu si protagonist. Bisa jadi karakter lain seperti antagonis atau pemeran pembantu yang menjadi kunci utama dalam klimaks..
g. Viewpoint Character: Pendeknya narrator. Adalah karakter yang melihat cerita dari sudut pandang penonton. Karakter ini menciptakan perspektif bagaimana kita harus melihat cerita. Karakter ini tidak selau melulu harus ada.
h. Karakter Netral: Tidak berpengaruh pada plot cerita. Mereka adalah karakter yang fungsinya sebagai tambahan dalam latar belakang. Seperti pejalan kaki, murid-murid sekolahan pada latar belakang.
i. Trickster: Karakter ini tidak ada dalam jurnal karya Haven (2013), namun penulis memutuskan untuk memasukkannya karena penting untuk diketahui pembaca. Trickster adalah karakter yang dengan sifat-sifat yang menipu dan ambigu menurut Tikkanen (2018). Mereka bisa berakhir sebagai teman atau musuh sang hero.