• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi bencana alam di Indonesia termasuk tinggi seperti ancaman tsunami, erupsi gunungapi, gempabumi, longsor, dan banjir. Hal tersebut diperkuat dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2017) yang merilis data statistik bencana Indonesia selama tahun 2017 terhitung hingga bulan April terdapat sebanyak 1.089 kejadian bencana. Bencana tersebut terdiri dari banjir sebanyak 380 kejadian, banjir dan longsor 27 kejadian, abrasi 5 kejadian, gempabumi 6 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 2 kejadian, kecelakaan transportasi 2 kejadian, puting beliung 343 kejadian, dan longsor 324 kejadian. Bencana tersebut diperparah dengan adanya korban dan kerusakan rumah maupun fasilitas umum. BNPB (2017) menyebutkan terdapat korban meninggal dan hilang sebanyak 183 jiwa, luka– luka 359 jiwa, dan korban menderita serta mengungsi sebanyak 1.036.362 jiwa.

Sementara itu, kerusakan rumah 14.117 unit ditambah dengan 165.656 rumah terendam banjir dan kerusakan fasilitas umum sebanyak 453 unit.

Sebagian besar bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologis. Data BNPB (2017) juga menyebutkan bahwa bencana terbanyak didominasi oleh banjir dan longsor sebanyak 731 kejadian. Banyaknya kejadian banjir dan longsor menandakan proses pembentukan lahan yang intensif.

Indonesia yang beriklim tropis dengan dua musim yaitu penghujan dan kemarau juga menyebabkan proses pembentukan lahan semakin intensif terjadi. Menurut Sunarto (2014) bahwa bentuklahan menjadi objek paling utama dalam mempelajari geomorfologi.

Geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang menggambarkan bentuk muka Bumi yang berada di permukaan Bumi, di atas, di bawah air laut, penekanan genesa dan perkembangan selanjutnya serta aspek lingkungan (Verstappen, 1983).

Geomorfologi merupakan bagian dari geologi yang mempelajari karakteristik permukaan Bumi berupa bentang alam dan bentuk permukaan Bumi sehingga

(2)

2 menjadi hal yang penting dalam pengkajian bencana alam. Verstappen (1983) juga menambahkan bahwa kajian proses geomorfologi merupakan aspek yang khusus dan penting dalam rekayasa. Oleh karena itu aspek geomorfologi perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk menurunkan tingkat kerawanan potensi bencana.

Beberapa daerah seperti Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa jenis bencana yang kompleks. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Jepara (2012) bahwa seluruh kecamatan di Kabupaten Jepara masuk dalam peta endemis bencana berdasarkan riwayat pengalaman terjadinya bencana banjir, rob, abrasi, dan tanah longsor di Jepara. Situs berita Tempo Interaktif (2010) menyatakan Kabupaten Jepara memiliki wilayah rawan bencana meliputi 34 desa yang berada di delapan kecamatan dengan jenis kerawanan bencana yaitu banjir dan longsor. Wilayah bencana banjir dan longsor yang begitu banyak menjadikan penelitian ini penting untuk dilakukan. Wilayah kajian penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Keling dengan batas kajian yaitu Sub-DAS Gelis karena terdapat beberapa kali kejadian banjir dan longsor di wilayah tersebut.

Pemetaan geomorfologi dapat digunakan sebagai sumber informasi dan acuan dasar dalam analisis kerawanan bencana banjir dan longsor. Verstappen (1983) menyatakan pemetaan geomorfologi sebagai instrumen penguatan riset murni dan sistematik geomorfologikal karena kekayaan informasi tematik dalam peta gemorfologikal analitikal. Selanjutnya Verstappen (1983) juga menyatakan bahwa pemetaan geomorfologikal untuk tujuan klasifikasi kerawanan bencana membantu pengambilan kebijakan dan perencanaan. Peta administrasi Jepara disajikan dalam Gambar 1.1. serta peta batas Sub-DAS Gelis sebagai wilayah kajian penelitian disajikan dalam Gambar 1.2.

(3)

3 Gambar 1.1. Peta Administrasi

Kabupaten Jepara, Jawa Tengah

Gambar 1.2. Peta Batas Sub-DAS Gelis, Kecamatan Keling, Kabupaten

Jepara

1.2. Rumusan Masalah

Batasan kajian yang digunakan dalam penelitian yaitu Sub-DAS Gelis.

Hulu sub-DAS ini berada di Desa Kunir dengan outlet sub-DAS Gelis di Desa Bumiharjo. Urgensi penelitian ini karena pernah terjadinya banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Kedua desa tersebut berada dalam Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Potensi kerawanan bencana yang terjadi di Sub-DAS Gelis adalah banjir dan longsor.

Menurut Badan Pusat Statistik (2011) dalam data Potensi Desa tahun 2011 selama kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2011 terdapat tiga kejadian longsor di Desa Kunir. Selain itu Kementerian Kesehatan (2015) menyatakan adanya banjir di Desa Keling pada 4 Januari 2015. Kejadian banjir dan longsor tersebut berada di Kecamatan Keling, Jepara. Jumlah kerugian memang tidak tercatatkan, namun berdampak pada adalah rusaknya akses jalan akibat longsor dan lahan pertanian

(4)

4 yang rusak akibat banjir. Selanjutnya Kecamatan Keling dipilih untuk melakukan penelitian mengenai kerawanan banjir dan longsor dengan batas area Sub-DAS Gelis. Hal tersebut dilakukan agar kerawanan bencana banjir dan longsor yang terdapat di Sub-DAS Gelis dapat dipetakan. Terdapat beberapa gambaran kondisi lahan pertanian saat terkena banjir pada tahun 2015. Lahan sawah milik warga yang ditanami padi namun rusak total terkena banjir disajikan dalam Gambar 1.3.

Kemudian beberapa perkebunan hancur dan rusak parah karena terkena terjangan banjir disajikan dalam gambar 1.4.

Gambar 1.3. Lahan Sawah Rusak Terkena Banjir.

Sumber: Dokumentasi Kelurahan Keling, 2014.

Gambar 1.4. Lahan Perkebunan Rusak Terkena Banjir.

Sumber: Dokumentasi Kelurahan Keling, 2014.

Potensi bencana tersebut harus diimbangi dengan upaya pengurangan potensi bencana terkait proses pengelolaan lahan dan pengembangan wilayah.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi geomorfologi dan mengetahui potensi bencana banjir dan longsor yang dapat ditimbulkan.

Selanjutnya area berpotensi bencana banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis dapat dipetakan. Pemetaan yang dilakukan adalah pemetaan multirawan banjir dan longsor. Hasil pemetaan juga diperkuat dengan beberapa hasil pengujian laboratorium untuk sampel permeabilitas dan tekstur tanah. Beberapa permasalahan tersebut kemudian dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di wilayah kajian?

2. Bagaimana potensi kerawanan bencana banjir dan longsor di wilayah kajian?

(5)

5 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di wilayah kajian.

2. Melakukan analisis kerawanan bencana banjir dan longsor di wilayah kajian.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang informasi geomorfologi dan kerawanan bencana di Sub-DAS Gelis. Kemudian dapat digunakan dalam analisis kebijakan atau perencanaan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek geomorfologi, bencana, dan lingkungan sehingga wilayah yang memiliki potensi bencana yang besar dapat dihindari. Hasil digunakan sebagai pedoman dalam mengurangi potensi bencana khusunya banjir dan longsor. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data tambahan dalam studi penelitian yang lain. Selain itu menjadi aset tentang ilmu pengetahuan tentang aspek geomorfologi di wilayah kajian.

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Geomorfologi

Geomorfologi erat kaitannya dengan bentuklahan. Lobeck (1939) menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi tentang bentuklahan. Thornbury (1969) juga menyatakan bahwa geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan tentang bentuklahan. Kemudian Cooke & Doornkamp (1994) juga menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi mengenai bentuklahan dan terutama tentang sifat alami, asal mula, proses perkembangan, dan komposisi material penyusunnya. Klasifikasi bentuklahan berdasarkan genesis menurut Verstappen (1983) yaitu bentuklahan asal proses vulkanik, struktural, fluvial, solusional, denudasional, eolin, marin, glasial, organik, dan antropogenik. Sepuluh bentuklahan berasarkan asal proses kejadiannya memiliki spesifikasi yang berbeda dalam analisis dan perlakuannya.

Selanjutnya, van Zuidam (1983) menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi

(6)

6 yang menguraikan bentuklahan dan proses yang mempengaruhi pembentukannya serta mengkaji hubungan timbal balik antara bentuklahan dengan proses dalam tatanan keruangannya. Lingkup geomorfologi juga mencakup kondisi bentuklahan di bawah laut. Hugget (2011) juga menjelaskan bahwa geomorfologi lebih rinci membahas tentang bentuklahan dan proses masa lalu maupun sekarang yang menyebabkan terbentuknya bentuklahan di permukaan bumi.

Fenomena-fenomena fisik alami yang menjadi bahan kajian geomorfologi adalah litosfer, atmosfer, hidrosfer, dan biosfer (Slaymaker dan Spencer, 1998).

Terdapat 4 aspek utama dalam kajian geomorfologi berupa morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen. Huggett (2011) menyatakan bahwa aspek morfologi dapat dibagi menjadi morfografi dilihat secara kualitatif (visual) dan morfometri yang dilihat secara kuantitatif artinya dapat diukur. Aspek morfogenesa dibagi menjadi morfostruktur aktif seperti tenaga endogen dan morfostruktur pasif seperti litologi. Morfokronologi merupakan urutan berlangsungnya proses. Kemudian morfoaransemen merupakan hubungan saling keterkaitan antara unsur dan proses yang ada.

Peristiwa yang mengakibatkan perubahan fisik dan kimia karena fenomena geomorfologi disebut proses geomorfik. Hal ini juga akan terus menerus terjadi. Menurut Sunarto (2004) tenaga endogen dan eksogen merupakan 2 tenaga geomorfologi pembentuk permukaan Bumi. Tenaga endogen berasal dari dalam Bumi yang bersifat konstruktif (agradasi), sedangkan tenaga eksogen merupakan tenaga dari luar Bumi yang bersifat destruktif (degradasi). Menurut Thornbury (1969) bahwa sumber tenaga penyebab perubahan adalah tenaga endogenik yang berasal dari dalam bumi dan tenaga eksogenik yang berasal dari luar bumi.

1.5.2. Bentuklahan

Landform atau bentuklahan merupakan permukaan Bumi dengan relief yang khas dan terjadi karena pengaruh kuat dari struktur kerak Bumi dan proses alam. Kenampakan permukaan Bumi yang memiliki karakteristik bentuk yang khusus, didominasi oleh proses dan struktur tertentu dalam proses perkembangannya (Savigear, 1960). Klasifikasi dapat dilakukan dengan

(7)

7 menyederhanakan bentuklahan yang kompleks menjadi satuan-satuan yang mempunyai sifat dan perwatakan yang mirip. Menurut Thornbury (1969) konsep pengenalan bentuklahan bahwa proses fisik yang sama serta hukum-hukum yang berlangsung saat ini berlangsung juga sejak dulu sepanjang zaman geologi msekipun dengan adanya perbedaan intensitas. Selain itu struktur geologi merupakan faktor kontrol dominan pada evolusi bentuklahan dalam tingkatan tertentu permukaan bumi memiliki relief yang disebabkan karena adanya proses geomorfik dengan tingkatan yang berbeda. Proses geomorfik yang bekerja akan meninggalkan bekas yang jelas pada bentuklahan dan karakteristik bentuklahannya akan berkembang.

Bentuklahan merupakan kenampakan medan yang terbentuk oleh proses- proses alam dan memiliki komposisi serangkaian karakteristik visual dan fisik dalam julat tertentu di manapun bentuklahan tersebut ditemukan (van Zuidam, 1983). Bentuklahan adalah kenampakan di permukaan bumi yang terbentuk karena proses geomorfologis yang bekerja di permukaan bumi diantaranya yaitu tenaga geomorfologis yang mampu mengubah secara fisik maupun kimia bentukan di permukaan bumi (Sunardi, 1985). Santosa dan Muta’ali (2014) menambahkan bahwa adanya bentukan alam terjadi karena adanya faktor penentu yang membentuk dan mempengaruhinya diantaranya yaitu keadaan dan sifat topografi, litologi, geologi, stratigrafi, dan proses alam.

Secara mendasar adanya variasi bentuklahan memiliki tujuan sama yaitu berusaha menyederhanakan bentukan di permukaan bumi yang bervariasi dan kompleks menjadi satuan-satuan dengan sifat dan karakteristik yang sama Sunardi, 1985). Sunardi (1985) menyebutkan terdapat 3 bentuk sifat dan karakteristik sebagai cerminan persamaan sidat dan karakteristik bentuklahan diantaranya adalah struktur geomorfologis, proses geomorfologis, dan kesan topografik. Struktur geomorfologis menggambarkan asal dan genesa yang membentuk suatu bentuklahan dengan informasi berupa morfologi, morfogenetik, serta sampai informasi morfokronologis. Proses geomorfologis menggambarkan informasi proses pembentukan bentuklahan yang terdiri dari informasi morfografi, morfogenetik, dan morfokronologi. Kesan topografi memberikan informasi

(8)

8 morfometri sesuai gambaran bentuk/ konfigurasi permukaan suatu bentuklahan.

Menurut Sunarto (2004) bentuklahan yang terdapat di Kabupaten Jepara terdiri atas bentuklahan marin, fluvial, dan vulkanik. Bentuklahan marin terdiri dari kompleks beting gisik dan swale, teras pantai terumbu karang, gisik saku, dan rataan pasang surut. Bentuklahan fluvial meliputi satuan-satuan bentuklahan dataran banjir dan rawa belakang. Bentuklahan vulkanik yaitu kerucut gunungapi, lereng gunungapi, kipas aluvial gunungapi, dan lerengkaki gunungapi.

Van Zuidam dan Zuidam Cancelado (1979) menyatakan terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan klasifikasi bentuklahan yaitu tipe relief secara umum, tipe batuan atau sedimen, dan genesa atau proses dan geomorfologi yang bekerja saat ini dan masa lampau. Perkembangan dari berbagai macam bentuklahan memerlukan pengamatan spesifik dan detail. Hal tersebut dilakukan karena perkembangan dari bentuklahan banyak menimbulkan bencana dan menyebabkan kerugian. Interpretasi dan pengamatan yang dilakukan tidak bisa disamakan untuk masing-masing bentuklahan. Proses geomorfologi yang terus berlangsung pada berbagai macam bentuklahan menghasilkan karakteristik lahan yang berbeda-beda.

1.5.3. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai merupakan wilayah ekosistem yang dibatasi topografi yang berfungsi sebagai wilayah pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen serta unsur hara dalam suatu sistem sungai yang keluar melalui satu outlet (titik) tunggal (Asdak, 2010). Menurut Linsley, dkk (1980) bahwa DAS disebut sebagai suatu aliran sungai dalam suatu cekungan yang seluruhnya teraliri sistem sungai yang saling berhubungan dan keluar melaui satu outlet tunggal. Sihite (2001) menyatakan bahwa pengertian dari DAS adalah wilayah yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan menuju ke laut yang dibatasi oleh igir topografi. Kemudian Martopo (1994) menyebutkan bahwa DAS adalah daerah yang dibatasi oleh topografi pemisah air yang terkeringkan oleh sungai atau sistem yang saling berhubungan sehingga semua aliran yang jatuh di dalam akan keluar di satu oulet. DAS merupakan kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara ilmiah,

(9)

9 di mana air akan mengalir melalui sungai yang bersangkutan. Daerah Aliran Sungai (DAS) disebut juga Daerah Tangkapan Air (DTA) dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Catchment Area, Watershed, dan River Basin (Kodoatie, 2002).

DAS dalam tinjauan ekosistem dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebegai daerah konservasi dan DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. Kemudian DAS bagian hulu memiliki kegunaan sebagai perlindungan fungsi tata air karena setiap adanya kegiatan di wilayah hulu akan menimbulkan dampak di hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Ekosistem DAS di bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Pengelolaan DAS bagian hulu sering menjadi fokus perhatian karena pada suatu DAS bagian hulu dan hilir memiliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Kodoatie, 2002).

Menurut Soewarno (1991) apabila ditinjau dari segi hidrologi, sungai berfungsi sebagai penampung curah hujan serta penyalur alamiah aliran air dan material yang terbawa dari hulu menuju hilir, di mana suatu kesatuan unit wilayah tempat air hujan mengumpul ke sungai menjadi suatu aliran yang disebut sebagai Daerah Aliran Sungai. Sihite (2001) juga menambahkan bahwa di dalam suatu DAS terdapat unsur utama meliputi tanah, vegetasi, air, dan manusia yang membentuk ekosistem yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Adanya interaksi yang terjadi adalah suatu proses kesetimbangan antara masukan, proses, dan keluaran.

1.5.4. Pemetaan Geomorfologi

Menurut Verstappen (2014) peta geomorfologi memiliki penekanan pada representasi yang benar dari bentuk lahan baik dalam bidang atau relief dengan garis kontur dan atau bayangan bukit. Gustavsson et al (2006) menyatakan informasi yang terdapat pada peta geomorfologi berkaitan dengan informasi material, morfogenesi, morfodinamik, morfologi, morfometri, topografi, batas administrasi, jalan, dan lainnya yang tentunya disesuaikan dengan skala pemetaan.

Informasi lapangan disajikan dalam bentuk simbolisasi dengan simbologi warna, garis, titik, dan poligon yang mewakili semua informasi geomorfologi di lapangan.

(10)

10 Peta geomorfologi berperan dalam memberikan informasi kondisi fisik dan proses alami yang bekerja pada suatu bentanglahan. Peta geomorfologi memiliki karakteristik informasi yang berkaitan dengan morfologi, genesis, dan umur. Informasi morfologi, genesis, dan umur memiliki karakteristik informasi yang berbeda–beda. Informasi morfologi menjelasakan tentang deskripsi terkait dengan kondisi morfometri Bumi, kondisi relief relief Bumi yang berhubungan dengan kondisi batuan penyusun Bumi serta proses pembentuknya. Informasi batuan penyusun dilengkapi informasi umur atau yang berhubungan dengan morfokronologinya (Demek dan Embleton, 1978).

Lebih lanjut Verstappen (2014) menyatakan bahwa peta geomorfologi tematik memberikan informasi tematik dasar bagi peta geologi. Demek dan Embleton (1978) mengemukakan bahwa peta geomorfologi mampu menunjukkan pemodelan gambar berskala mulai dari relief Bumi yang mengandung informasi tentang geomorfologi hingga umur relief. Selanjutnya dinyatakan bahwa peta geomorfologi merupakan penggambaran bentuklahan, genesa, beserta proses yang mempengaruhinya. Church (2012) menyatakan teknik pengumpulan data untuk pemetaan geomorfologi dilakukan dengan pengukuran langsung serta penginderaan jauh menggunakan foto udara, radar, atau citra satelit.

Verstappen (2014) mengemukakan bahwa pemetaan geomorfologi dilakukan dengan melakukan interpretasi bentuklahan, genesa, dan proses kemudian melakukan survei pemetaan menurut informasi yang telah diterima melalui citra agar hasil pemetaan akurat. Smith et al. (2011) menyatakan bahwa peta geomorfologi dapat digunakan untuk melakukan analisis terhadap bahaya alam dan potensi pada suatu wilayah. Van Zuidam (1983) menyatakan tingkat kedetailan informasi dalam pemetaan geomorfologi sebanding dengan informasi yang disajikan. Semakin besar skala pemetaan yang digunakan maka informasi yang disajikan semakin detail demikian pula sebaliknya, sehingga skala peta berpengaruh pada kedetailan informasi dalam peta geomorfologi. Tabel 1.1.

menyajikan pembagian informasi peta geomorfologi menurut van Zuidam (1983).

(11)

11 Tabel 1.1. Tingkat Kedetailan Peta Geomorfologi

Jenis Peta Peruntukan Peta Keterangan

Peta Skala Detail (besar)

dan Medium

Skala Detail 1:10.000 dan >1:10.000

Dasar Perencanaan pembangunan dan

perencanaan lainnya Peta diperoleh dengan cek lapangan keseluruhan 1:10.000 1:25.000 Peta Dasar

Semi Detail

1:25.000 1:100.000 Peta sinoptik skala besar

Peta diperoleh dengan lapangan secara general dengan ekstrapolasi dan beberapa generalisasi 1:100.000 1:250.000 Peta sinoptik skala

medium

Peta Skala

Kecil

Kategori Normal Peta

Skala Kecil

1:250.000 1:1.000.000

Peta sinoptik skala kecil

Peta memiliki karakteristik degan tingkat generalisasi yang tingga dan banyak ekstrapolasi

1:500.000 1:5.000.000 Peta kota

Peta Reconnaissance

1:500.000 1:5.000.000

Peta untuk skala

Negara Peta diperoleh dengan

banyak ekstrapolasi serta hanya beberapa kunci untuk cek lapangan 1:5.000.000

1:30.000.000

Peta untuk skala Negara

1:30.000.000

1:<30.000.000 Peta untuk skala Dunia

Sumber: van Zuidam, 1983.

1.5.5. Kerawanan Bencana

Bencana merupakan peristiwa yang telah terjadi yang mengancam dan mengganggu perikehidupan manusia sehingga menimbulkan kerugian (Peraturan BNPB nomor 13 tahun 2008). Selanjutnya Sudibyakto (2011) juga menyatakan bahwa bencana merupakan suatu kejadian yang merugikan bagi manusia, menyebabkan kerusakan lingkungan serta dapat menimbulkan gangguan terhadap masyarakat. Bencana yang terjadi dapat berbentuk bencana alam, non alam, dan sosial.

Schneiderbauer dan Ehrlich (2004) menyatakan bahwa kerawanan (susceptibility) merupakan fase sebelum terjadinya bencana (pre-event phase) dan sebagian besar didominasi oleh ciri-ciri dari aspek fisik atau karakteristik fisik yang pasti dari sebuah kondisi di wilayah yang rentan terhadap bencana. El Fahchouch, dkk. (2010) menyatakan bahwa kerawanan merupakan probabilitas keruangan dari terjadinya fenomena dalam suatu area untuk kondisi lingkungan lokal yang berbeda. Kemudian diasumsikan bahwa seluruh fenomena diidentifikasi dan masuk dalam klasifikasi, terulang kembali dalam geologikal, geomorfologikal, hidrologikal, dan fenomena iklim yang sama.

(12)

12 Sementara itu kerentanan (vulnerability) merupakan tingkat kerugian yang dihasilkan dalam elemen tertentu atau kelompok elemen terkena risiko akibat fenomena alam dari intensitas tertentu (Pascale, dkk, 2010). Menurut UNDRO (1991) bahwa kerentanan merupakan tingkat kerugian yang diberikan oleh elemen beresiko atau kumpulan elemen berisiko yang dihasilkan oleh kemunculan dari fenomena alam dengan kekuatan tertentu dan ditunjukkan pada skala mulai dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total).

1.5.6. Banjir

Banjir menurut Setiawan dkk. (2014) adalah proses meluapnya volume air di luar saluran air. Van Westen, dkk (2011) menyatakan bahwa banjir adalah meluapnya air sungai yang menggenangi daerah lebih rendah yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehilangan jiwa. Kemudian Sunarto, dkk (2010) mengatakan bahwa banjir merupakan aliran sungai yang meluap akibat air melebihi kapasitas tampungan sungai, sehingga air meluap dan menggenangi dataran atau daerah yang lebih rendah di sekitarnya. Lebih lanjut Setiawan dkk.

(2014) membagi banjir dalam 4 jenis yaitu banjir luapan sungai (riverine flood), banjir bandang (flash flood), genang pasang, dan banjir kota. Van Westen, dkk (2011) menambahkan bahwa banjir luapan sungai merupakan kejadian yang pada umumnya terjadi di dataran banjir dan area hilir sungai, dan faktor terjadinya banjir salah satunya adalah tingginya intensitas curah hujan.

Maryono (2005) dan National Weather Services (2012) membagi kategori banjir dmenjadi 3 yaitu banjir kecil (minor), banjir menengah (moderate), dan banjir besar (major). Banjir kecil biasanya ditandai dengan genangan air di berbagai tempat seperti jalan serta kerusakan terhadap peorperti hampir tidak ada atau minimal. Banjir menengah ditandai dengan meluapnya sungai, menggenangi daerah bantaran sungai, persawahan, dan permukiman, serta terdapat evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Banjir besar ditandai dengan rusaknya berbagai fasilitas umum, permukiman, jebolnya tanggul pengaman, dan terputusnya jalan – jalan utama, serta terdapat evakuasi yang signifikan.

(13)

13 Maryono (2005) menjelaskan perbedaan banjir berdasarkan waktu kejadian banjir. Kenaikan tinggi muka air yang berlangsung secara bertahap dan relatif lama sampai mencapai puncak banjir kemudian secara bertahap surut disebut banjir normal atau banjir biasa. Sementara itu, banjir yang kenaikan muka air berlangsung secara cepat hingga mencapai maksimal dan turun lagi secara cepat mencapai kondisi normal kurang dari 25 menit disebut banjir bandang.

Banjir luapan sungai menurut Yusuf (2005) berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai dan cenderung memiliki sifat negatif. Banjir dapat terjadi karena faktor alam dan manusia. Beberapa faktor alam yang penyebab banjir adalah curah hujan, kemiringan lereng, infiltrasi tanah, penggunaan lahan, bentuklahan, dan kerapatan aliran. Hasil pemetaan geomorfologi digunakan untuk analisis dan identifikasi potensi bencana banjir.

ADPC (2005) mengelompokkan faktor – faktor penyebab banjir yaitu faktor meteorologi, hidrologi, dan antropogenik. Faktor meteorologi seperti hujan intensif, topan, badai, dan pasang surut menyebabkan keruskan banjir yang merupakan hasil dari kejadian banjir ekstrim intens yang berlangsung dalam waktu yang lama. Faktor hidrologi karena mencairnya es atau salju, permeabilitas tanah yang buruk, lahan cepat jenuh air, rendahnya kecepatan infiltrasi, dan erosi mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menjadi banjir. Faktor antropogenik berupa aktivitas manusia yang menyebabkan banjir adalah peningkatan populasi, petanian intensif, aktivitas pengembangan sosial ekonomi, urbanisasi, dan perubahan iklim.

Menurut FAO dan CIFOR (2005) bahwa hendaknya banjir tidak sepenuhnya dicegah karena yang diperlukan adalah mengurangi dampak negatif banjir. Banjir merupakan hal penting untuk memelihara keanekaragaman hayati, ketersediaan pasokan ikan, dan kesuburan tanah pada dataran limpasan banjir.

Maka dari itu, terdapat banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif banjir. Hal tersebut membutuhkan pengetahuan lebih dalam interaksi antara banjir dengan kegiatan manusia, keterbatasan pengelolaan daerah tangkapan air serta peran dataran limpasan banjir atau pengelolaan DAS dalam mengurangi dampak negatif banjir.

(14)

14 1.5.7. Longsor

Longsor merupakan pergerakan dari massa batuan atau tanah yang jatuh menuruni lereng (Cruden dan Varnes, 1996). Sutikno (1994) menyatakan bahwa longsor merupakan gerakan massa tanah atau batuan sebagai suatu proses gerakan dari massa material hancuran tanah atau batuan menuruni lereng di bawah pengaruh langsung gaya gravitasi. Longsor merupakan gerakan tanah, batuan, dan material organik menuruni lereng karena pengaruh gravitasi (Highland dan Bobrowsky, 2008). Menurut Cornforth, D. H. (2005) bahwa longsor adalah gerakan material tanah yang menyusun lereng menuju lokasi yang lebih rendah akibat faktor-faktor yang memicu terjadi adanya pergerakan. Sementara itu longsor menurut Panizza (1996) adalah salah satu bencana geomorfologi akibat dari adnya geomorfologi yang tidak stabil di ruang dan dalam waktu tertentu. Longsor sebagai gerakan massa tanah yang menuju daerah rendah adalah suatu proes dalam mencapau stabilitas dan keseimbangan lereng (Schaetszl dan Anderson, 2005).

Setiawan dkk. (2014) menyatakan longsor diakibatkan oleh struktur tanah lemah akibat kurangnya vegetasi yang dapat mempertahankan struktur tanah.

Varnes, 1978 dalam Setiawan (2014) menyatakan bahwa longsorlahan merupakan proses perpindahan material bumi seperti tanah dan juga material batuan yang diakibatkan oleh pengaruh gaya gravitasi menuruni lereng.

Highland (2004) mengklasifikasikan jenis longsor menjadi tujuh jenis yang terdiri dari jatuhan (falls), robohan (topples), berputar (rotational), translational, lateral spreads, aliran (flows), dan kompleks. Jenis-jenis longsor tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.5 sebagai berikut.

(15)

15 Gambar 1.5. Jenis-jenis Longsor (A. Longsor Rotational, B. Longsor Translational, C. Longsor Blok, D. Jatuhan, E. Robohan, F. Longsor Aliran,

G. Debris Avalanche, H. Earthflow, I. Creep, dan J. Lateral Spread).

Sumber: Highland, 2004.

Kejadian longsor sering menimbulkan kerugian harta benda maupun korban jiwa. Selain itu, kerusakan sarana prasarana publik seperti putusnya jembatan, rusaknya jalan, dan transportasi juga kerap terjadi. Faktor yang dapat menyebabkan longsor di antaranya seperti kemiringan lereng, ketebalan tanah, pelapukan batuan, adanya rembesan air, dan penggunaan lahan. Selain itu faktor dari aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, pengelolaan tanah secara masif di wilayah lereng, maupun pemotongan lereng juga dapat menjadi faktor pemicu longsor (Sadisan, 2005).

(16)

16 1.6. Kerangka Penelitian

Hasil interpretasi karakteristik geomorfologi yang diturunkan untuk kajian bencana khususnya banjir dan longsor sudah banyak dilakukan dalam penelitian.

Meskipun demikian, kajian bencana banjir dan longsor yang fokus pada Sub-DAS Gelis belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di Sub-DAS Gelis serta menganalisis kerawanan bencana longsor dan banjir berdasarkan variabel yang telah ditentukan.

Hasil dari penelitian ini adalah pemetaan geomorfologi skala semi detail 1:50.000 dengan variasi bentuklahan. Selain itu tersedianya peta multirawan yang merupakan proyeksi dari peta geomorfologi dan hasil analisis kerawanan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan kajian berbasis geomorfologi dan bencana diantaranya terdapat pada Tabel 1.2.

sebagai berikut.

(17)

17 Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan.

No. Penulis Judul Tujuan Metode Hasil/ Kesimpulan

1. C.J. Van Westen, N.

Rengers, dan R.

Soeters

Use of Geomorphological Information in Indirect Landslide Susceptibility Assessment (Journal Natural Hazard, 2003)

Evaluasi pentingnya pengetahuan geomorfologi untuk pemetaan kerawanan longsor menggunakan GIS dan analisis spasial

Metode weight of evidence dengan variasi input aspek geomorfologi.

Peta kerawanan banjir yang dikualifikasikan dalam tiga kelas. Analisis yang didapat menggunakan informasi geomorfologi yang menjadikan informasi kearawanan lebih akurat.

2. Mina Arianpour dan Ali Akbar Jamali

Flood Hazard Zonation using Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) in GIS (Case Study: Omidieh- Khuzestan) (European Online Journal of Natural and Social Sciences, 2015)

Mengetahui penyebab risiko banjir dan area rawan banjir.

Metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) dan GIS. Analisis dilakukan dengan pembobotan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP) dan perangkat ILWIS.

Potensial risiko banjir yang tinggi terdapat di bagian Timur Laut dan Barat Laut.

Upaya mengontrol dan mengurangi kerugian dari banjir, pemerintah harus mengambil tindakan yang spesifik.

3. George Gaprindashvili

Landslide Hazard Assessment in Georgia (ITC Publication, 2011)

Membuat indeks risiko longsor yang memungkinkan untuk fokus pada area berisiko tinggi untuk studi lanjut yang lebih detail.

Seleksi peta indikator yang dijadikan struktur standarisasi dan metode pembobotan. Model yang digunakan adalah Multi Criteria Evaluation (SMCE) dari Geographic Information System yang berintegrasi dengan Land and Water Information System (ILWIS- GIS).

Litologi dan lereng lebih berpengaruh dari penutup lahan pada peta kerawanan longsor. Peta kerawanan longsor bisa bervariasi dari waktu ke waktu sehingga harus ada update.

4. Hans Kienholz, Guy Schneider, Marcus Bichsel, Martin Grunder dan Pradeep Moll

Mapping of Mountain Hazards and Slope Stability

(Journal Mountain Research and Development, 1984)

Pemetaan bahaya dan kestabilan lereng di Pegunungan Kathmadu- Kakani, Nepal dalam skala detail

Survei lapangan dan pengamatan penginderaan jauh dengan menggunakan data sekunder dari peta geomorfologi, dan penggunaan lahan.

Peta bahaya dan kestabilan lereng di Pegunungan Kathmandu-Kakani, Nepal skala 1:10.000

5. Enliang Guo, Jiquan Zhang, Xuehui Ren, Qi Zhang, dan Zhongyi Sun

Integrater Risk Assessment of Flood Disaster Based on Improved Set Pair Analysis and the Variable Fuzzy Set Theory in Central Liaoning, China (Journal Springer Science, Natural Hazards, 2016)

Pemetaan risiko bencana banjir berbasis GIS dan mitigasi bencana yang akan dilakukan.

Basis GIS dan teknologi dari manajemen bencana alam. Dengan rumus dan VFS (Variable Fuzzy Set)

Peta Risiko Banjir dengan bagian Barat Daya Liaoning dan pusat memiliki risiko banjir yang tinggi sedangkan Barat Laut dan Timur Laut Liaoning memiliki risiko banjir yang rendah sehingga mitigasi bencana diutamakan untuk risiko tinggi.

(18)

18 Lanjutan Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan.

No. Penulis Judul Tujuan Metode Hasil/ Kesimpulan

6. Martin Haigh dan J.S. Rawat

Landslide Disasters: Seeking Causes- A Case Study from Uttarakhand, India (Journal Management of Mountain Watersheds, 2012)

Mengetahui faktor dan besar longsor yang terjadi di Almora Lower Mall.

Monitoring waktu perubahan pola longsor, survei lapangan, analisis GIS, dan pengukuran longsor.

Longsor di daerah kajian sulit diprediksi, merusak banyak fasilitas serta bangunan, longsor juga diperparah dengan hujan deras. Masyarakat setempat harus dapat melakukan mitigasi.

7. Yayu Indriati Arifin dan Muh. Kasim

Penentuan Zonasi Daerah Tingkat Kerawanan Banjir di Kota Gorontaloo Provinsi Gorontalo untuk Mtitigasi Bencana

(Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 2012)

Zonasi daerah tingkat kerawanan banjir Gorontalo menggunakan SIG dan mitigasi yang tepat berdasarkan jenis/ tipe banjirnya.

Analisis spasial, analisis data sekunder, dan survei lapangan.

Peta Geomorfologi Kota Gorontalo skala 1:

20.000 dan peta zonasi banjir Kota Gorontalo skala 1: 20.000.

8. Harma Arief

Kurniawan

Kajian Geomorfologi terhadap Daerah Rawan Longsor di Kawasan Perbukitan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman

(Skripsi, 2010)

Mengetahui geomorfologi daerah kajian dan tingkat kerawanan longsor dan tipe longsor kawasan perbukitan di Kecamatan Prambanan.

Survei lapangan, interpretasi foto udara, data sekunder, dan pengambilan data dengan purposive sampling.

Pemetaan geomorfologi dan pemetaan kerawanan longsor. Kondisi geomorfologi berupa bentuklahan asal proses struktural dan fluvial. Dominasi longsor berupa rockfall.

9. Guruh Krisnantara Analisis Spasio-Temporal Banjir Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Wilayah Kepesisiran Kabupaten Jepara: Kasus Kec.

Kedung, Tahunan, dan Jepara.

(Skripsi, 2015)

Menganalisis kenaikan muka air laut di Wilayah Jepara, luasan genangan tahun 2020- 2060, dan luasan penggunaan lahan tergenang tahun 2020- 2060.

Survei lapangan, pengolahan data primer dan sekunder, interpretasi citra, dan penerapan ILWIS.

Proyeksi kenaikan muka air laut pada tahun 2020 = 15 cm,, 2030 = 34 cm, 2040 = 53 cm, 2050 = 72 cm , dan 2060 = 91 cm.

Prediksi luas genangan di Kec. Kedung = 753, 99 ha. Luas penggunaan lahan tergenang tahun 2060 adalah pasir pantai dan empang.

10. Ayu Dyah Rahma Kajian Potensi Kerawanan Bencana Banjir dan Longsor Berbasis Karakteristik Geomorfologi di Sub- DAS Gelis, Keling, Jepara,

(Skripsi, 2017)

Mengetahui geomorfologi dan bentuklahan, pemetaan geomorfologi dan pemetaan kerawanan bencana banjir dan longsor, rekomendasi pengurangan potensi bencana.

Metode analisis spasial, intepretasi citra, survei lapangan, serta penerapan AHP, ILWIS, dan SMCE untuk kerawanan banjir dan longsor.

Pemetaan geomorfologi dengan variasi bentuklahan yang kompleks, pemetaan multirawan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis dengan tingkat multirawan tinggi di lereng tengah Gunungapi Muria dan dataran kaki Gunungapi Muria.

(19)

19 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa belum adanya analisis kerawanan bencana banjir dan longsor yang fokus pada Sub-DAS Gelis, Jepara. Selain itu karakteristik bentuklahan di Sub-DAS Gelis juga belum dipetakan, sehingga perlu adanya pemetaan geomorfologi di wilayah kajian. Kajian banjir dan longsor pada studi kasus di Sub-DAS Gelis ini merupakan sistem yang saling terkait, namun belum terdapat pemetaan kerawanan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Beberapa hal tersebut kemudian menjadi kebaruan dalam penelitian ini dibanding dengan beberapa penelitian sebelumnya.

1.7. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari dasar tentang geomorfologi dan bentuklahan di wilayah kajian. Kemudian bentuklahan dijabarkankan lagi berdasarkan material/ stuktur, relief, dan proses yang menyertainya. Setelah diidentifikasi dan dideskripsikan kemudian dihasilkan karakteristik lahan dari Sub- DAS Gelis. Selanjutnya dilakukan pemetaan geomorfologi secara analitik. Setelah itu dilakukan identifikasi kerawanan bencana di Sub-DAS Gelis dalam hal ini adalah banjir dan longsor. Identifikasi dilakukan dengan adanya validasi dan survei di lapangan. Karakteristik fisik yang pilih dalam survei ditentukan sesuai dengan parameter fisik yang akan diolah dalam membuat pemetaan kerawanan.

Hasil survei digunakan untuk validasi pemetaan geomorfologi dan untuk kelengkapan data kerawanan. Kemudian pengolahan data spasial dilakukan dengan software ILWIS menggunakan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE).

Hasilnya distribusi banjir dan longsor dapat diketahui beserta tingkat kerawanan banjir dan longsornya. Hasil akhir kerawanan banjir dan longsor dijadikan dalam satu output berupa peta multirawan banjir dan longsor Sub-DAS Gelis. Pemetaan multirawan banjir dan longsor tersebut diperkuat dengah hasil uji laboratorium untuk pemeabilitas tanah dan tekstur agar hasil yang dipemetaan sesuai dengan kondisi fisik di lapangan. Diagram alir yang berisi kerangka pemikiran dalam penelitian ditunjukkan dalam Gambar 1.3.

(20)

20 Gambar 1.6. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

1.8. Batasan Istilah

Beberapa batasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Banjir: proses meluapnya air di luar saluran air (Setiawan dkk, 2014).

b. Bencana: peristiwa telah terjadi mengancam dan mengganggu perikehidupan manusia, sehingga menimbulkan kerugian (Peraturan BNPB nomor 13 tahun 2008).

Geomorfologi

Bentuklahan

Material/ struktur Relief Proses

Karakteristik Lahan

Pemetaan Geomorfologi

Kerawanan Bencana Longsor Banjir

Parameter fisik

Pemodelan ILWIS dan SMCE

Tingkat kerawanan banjir dan longsor

Peta multirawan banjir dan longsor

(21)

21 c. Bentuklahan (landform): kenampakan permukaan Bumi yang memiliki karakteristik bentuk yang khusus, didominasi oleh proses dan struktur tertentu dalam proses perkembangannya (Savigear, 1960).

d. Daerah Aliran Sungai (DAS): wilayah ekosistem dibatasi topografi dan berfungsi sebagai wilayah pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen serta unsur hara pada sistem sungai yang keluar melalui satu outlet tunggal (Asdak, 2010).

e. Geomorfologi: studi mengenai bentuklahan dan terutama tentang sifat alami, asal mula, proses perkembangan, dan komposisi material penyusunnya (Cooke & Doornkamp, 1994).

f. Kerawanan (susceptibility): fase sebelum terjadinya bencana (pre-event phase) yang didominasi oleh ciri-ciri dari aspek fisik yang pasti dari kondisi di wilayah yang rentan bencana (Schneiderbauer dan Ehrlich, 2004).

g. Longsor: gerakan tanah, batuan, dan material organik menuruni lereng karena pengaruh gravitasi (Highland dan Bobrowsky, 2008).

h. Pemetaan geomorfologi: pemodelan gambar berskala mulai dari relief Bumi yang mengandung informasi tentang geomorfologi hingga umur relief (Demek dan Embleton, 1978).

Gambar

Gambar 1.2. Peta Batas Sub-DAS  Gelis, Kecamatan Keling, Kabupaten
Gambar 1.4. Lahan Perkebunan  Rusak Terkena Banjir.

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembuatan jamu yang dilakukan oleh ketiga penjual jamu di wilayah Ngawen dapat dikatakan sebagian besar prosedur pembuatannya telah sesuai dengan Cara Pembuatan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

3.1 Proses perumusan konsep didasari dengan latar belakang kota Surakarta yang dijadikan pusat dari pengembangan pariwisata Solo Raya karena memiliki potensi

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and

Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah mengarahkan penulis dalam menjalani

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan