• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat. Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat. Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan dan permasalahan dalam menangani kasus penyandang psikotik (gangguan jiwa) adalah adanya persoalan bahwa penderita gangguan kejiwaan atau mental masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan kejiwaan. Masyarakat Indonesia beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat disembuhka’n sehingga bagi penderitanya layak dikucilkan. Minimnya pengetahuan te’ntang gangguan kesehatan mental atau kejiwaan membuat masyarakat Indonesia’ memberikan penilaian bahwa penderita gangguan jiwa berbeda dengan p’ara penderita sakit fisik yang dapat disembuhkan maupun sulit disembuh’kan. Sehingga labeling penderita gangguan kejiwaan adalah

‘orang aneh’.

Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau kejiwaan (termasuk psikososial) kepada masyarakat maka secara bertahap stigma orang aneh yang harus dikucilkan akan sedikit demi sedikit berkurang, dan bagi keluarga yang anggotanya memiliki gangguan kejiwaan akan langsung memberikan pengobatan di tempat yang sesuai, selain itu dengan terbukanya pikiran masyarakat maka secara berkala profesi pekerja sosial dalam bidang medis khususnya akan ikut terangkat. Banyaknya masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap penyandang gangguan psikotik sangat

(2)

2

menghambat kesembuhan penyandang gangguan psikotik dalam proses merehablitasi. Padahal peran serta masyarakat dalam bentuk partisipatif sangat dibutuhkan.

Menurut MacDonald P, bahwa adanya penyebab yang multifaktor ini maka gangguan jiwa yang muncul sangat bervariasi mulai dari gangguan jiwa yang ringan sampai dengan gangguan jiwa berat. Secara umum gangguan jiwa dibagi menjadi 2 yaitu gangguan jiwa psikotik dan gangguan jiwa non psikotik.

Pasien yang mengalami gangguan jiwa psikotik ini akan kehilangan hubungan dengan dunia nyata, kemampuan berpikir, merasa, mencerap dan mengolah informasi eksternal akan sangat terganggu, pasien mengalami perubahan dalam pola pikir, emosi, dan kebiasaan. Sedangkan pada gangguan jiwa non psikotik ini merupakan pengalaman yang umum pada kebanyakan orang yang bisa berbentuk fobia, depresi, gangguan pola makan, gejala-gejala fisik termasuk kelelahan atau rasa sakit, serta gangguan kejiwaan obsesif-kompulsif.

Meskipun gejala gangguan jiwa non psikotik ini terkadang tidak diketahui oleh orang lain, namun hal ini bisa menyebabkan tekanan kejiwaan dalam diri pasien (Rohmah S, 2010:3).

Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa menyebabkan penderita kerap kali mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dari masyarakat bahkan dari keluarganya sendiri. Salah satunya di Indonesia perlakuan yang di dapatkan oleh penderita gangguan jiwa seperti diskriminasi, terisolasi, dikucilkan bahkan hingga di pasung. Gangguan jiwa ini merupakan suatu penyakit yang dapat menyerang seseorang kapan saja dan

(3)

3

dapat disembuhkan dengan mendapatkan penanganan yang tepat. Dalam hal tersebut, peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu penderita dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dengan cara mengetahui bagaimana harus bersikap terhadap orang dengan gangguan jiwa dengan tidak memandang sebelah mata. Peran pekerja sosial dalam menangani permasalahan ini adalah membantu masyarakat serta keluarga penderita gangguan jiwa sebagai educator, motivator, dan sebagai konselor.

Gangguan jiwa dapat timbul dan hilang dalam rentang kehidupan seseorang, sebagian orang ada yang hanya sekali mengalami gangguan jiwa dan berhasil sembuh sepenuhnya, dan tidak sedikit juga yang harus menanggung penyakit ini seumur hidupnya. Banyak teori yang mencoba untuk mengungkapkan faktor-faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa antara lain adalah : Dimensi biologi, dimensi psikologi, dimensi sosial budaya dan dimensi lingkungan. Gangguan jiwa bisa dialami oleh semua orang yang prevalensi gangguan jiwa mencapai 20% dari penduduk dewasa di Indonesia atau kurang lebih sebanyak 2 juta orang. Kini bahkan WHO telah mencetuskan bahwa masalah gangguan jiwa di seluruh dunia telah menjadi masalah yang sangat serius karena lebih dari 500 juta orang sedunia menderita gangguan jiwa ini (Rohmah S, 2010:01).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, penduduk Jawa Timur menduduki peringkat nomor 2 terbesar di Indonesia yaitu sebesar 38.052.950.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di Jawa Timur menunjukan prevalensi gangguan jiwa berat sebanyak 0,22% atau 58.602 orang. Secara nasional

(4)

4

prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Timur menduduki peringkat ke empat.

Data gangguan mental emosional juga dilaporkan dalam Riskesdes 2013 di Jawa Timur sebesar 6% atau sebesar 1.598.224 orang. Selain itu juga dilaporkan dalam Riskesdas 2013 data penderita gangguan jiwa berat yang pernah dipasung sebesar 14,3% atau sebanyak 8.380 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013).

Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Jawa Timur sampai dengan periode bulan November 2014 ditemukan 1033 kasus pasung yang tersebar di 38 Kabupaten/kota, dirujuk ke RSJ/RSU/UPT Dinas Sosial sebanyak 81 kasus, di lepas dirumah sebanyak 608 kasus. Provinsi Jawa Timur memiliki target bebas pasung sebesar 0,7% atau jumlah kasus pasung maksimal adalah 591 kasus, perhitungan tersebut diperoleh dari kasus yang dipasung berdasarkan estimasi orang dengan Gangguan Jiwa sebanyak 84.410 jiwa dengan jumlah penduduk sebesar 38.368.301 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013).

Pemicu dan faktor resiko sakit jiwa bisa disebabkan karena stressor yang berlebihan dan tidak bisa ditangani dengan baik, contoh mudahnya adalah tertimpa musibah, mengidap penyakit maupun faktor sosial lainnya.

Pemerintah juga membantu untuk pengobatan dan perawatan penderita gangguan sakit jiwa ini. Kementerian Kesehatan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan jiwa. Rumah sakit jiwa di Indonesia yang dimiliki pemerintah hanya 33 buah. Sedangkan rumah sakit jiwa atau klinik-klinik penderita gangguan jiwa yang dikelola swasta berjumlah sekitar

(5)

5

40-an. Jumlah ini dirasa masih sangat kurang karena penderita gangguan jiwa di Indonesia masih cukup banyak. Ada sedikit perbedaan antara sakit jiwa dan gangguan jiwa. Bila gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi kehidupan sehari-hari. Sedangkan sakit jiwa lebih dominan dan menjurus pada gangguan jiwa berat yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus pula.

Beban yang ditanggung oleh keluarga yang hidup bersama dengan penderita gangguan jiwa berat meliputi beberapa faktor baik secara ekonomi maupun sosial. Stigma masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa juga mempersulit penanganan penderita gangguan jiwa secara komprehensif. stigma terhadap penderita gangguan jiwa di Indonesia masih sangat kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa akan terkucilkan dan dapat mempengaruhi perkembangan penderita gangguan jiwa. Pengobatan penderita gangguan jiwa penuh dengan tantangan yang harus berkelanjutan, penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun untuk menyembuhkan penderita gangguan jiwa membutuhkan proses yang sangat panjang. Karena itu, dibutuhkan pendampingan yang terus menerus sampai klien benar benar sembuh dan bisa bersosialisasi dengan orang lain secara normal kembali. Ketika kembali ke rumah, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan agar penderita bisa menjalani proses penyembuhan.

Saat ini Panti Rehabilitas Doulos tidak hanya melayani pemulihan kesehatan jiwa, namun juga mengupayakan penyembuhan secara menyeluruh

(6)

6

kepada pengguna narkoba dan Psikotik (gangguan Kejiwaan) baik secara fisik, mental, dan perilaku. Langkah ini seakan seirama dengan semangat pemerintah yang sedang menekan angka penyalahgunaan narkoba ditengah masyarakat, serta pengentasan dalam proses pendampingan klien Psikotik (gangguan kejiwaan) dengan mengembalikan fungsi sosialnya. Panti Rehabilitasi Doulos berperan aktif dalam memberikan penanganan medis, konseling, dan membantu menata kembali kehidupan sosial para kliennya yang ingin sembuh dari dampak buruk narkoba dan Psikotik (gangguang kejiwaan).

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dalam pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif (peningkatan kesehatan), preventif (upaya pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitative (pemulihan kesehatan) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Menurut amanat undang-undang, penatalaksanaan masalah kejiwaan tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga ada peran masyarakat di dalamnya (Undang-Undang No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa).

Pendiri LKS Pondok Pemulihan Doulos memiliki pemikiran bahwa cara penanganan dengan gangguan jiwa sangatlah unik. Penanganan yang dimaksud adalah baik cara mengobati, cara melayani semuanya dilakukan dengan cara- cara yang berbeda dengan orang sakit pada umumnya. Selain cara penanganan

(7)

7

yang unik, dijelaskan pula bahwa pelayanan LKS Pondok Pemulihan Doulos seperti yang dijelaskan pada Visi Pondok Pemulihan Doulos sendiri yaitu menjadi Lembaga Rehabilitasi rujukan pertama bagi penanganan Narkoba dan kesehatan mental (Psikotik), maksud dari visi yang terdapat di Pondok Pemulihan Dolos sendiri adalah bahwa Pondok Pemulihan Doulos selaku Lembaga Rehabilitasi dengan pelayanan keswa akan menjadi Lembaga Rehablitasi dengan pelayanan yang mudah dan cepat dalam menangani pasien, Peningkatan layanan kesehatan jiwa yang terjangkau dengan akses yang mudah sangat diperlukan.

Salah satu komponen penting adalah upaya untuk mengurangi stigma akan penyebaran pengetahuan dasar tentang gangguan jiwa di masyarakat.

Pengetahuan tentang informasi lebih lanjut tentang gangguan jiwa di masyarakat akan meminimalisir prasangka terhadap penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Sehingga pertolongan terhadap pelayanan kesehatan jiwa akan dengan cepat didapatkan. Keberlanjutan penanganan gangguan jiwa pada penderita juga perlu mendapat perhatian penting dari berbagai pihak, karena kasus drop out masih banyak ditemukan, sehingga menimbulkan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa berat yang masih banyak terjadi di Indonesia.

Reaksi masyarakat sangat dipengaruhi oleh kejadian penderita gangguan jiwa yang sedang kambuh dan tidak mendapat penanganan yang benar secara medis. Hal ini mendorong masyarakat memiliki persepsi bahwa orang dengan gangguan jiwa melakukan kekerasan, perusakan, dan tidak terkendali.

(8)

8

Masyarakat sebagian besar masih kurang informasi tentang proses penyakit gangguan jiwa berat, dan banyak yang membayangkan bahwa penderita gangguan jiwa kehilangan pikiran mereka secara permanen dan lebih baik dilakukan pemasungan. Bahkan ketika dalam keadaan baik, tanpa adanya penyimpangan perilaku penderita gangguan jiwa berat mungkin menemukan dirinya dijauhi atau dicemooh. Tak dapat disangkal, penderita gangguan jiwa berat ada yang tetap sakit dan cacat. Namun, ada juga yang terkontrol secara medis, dan mereka tidak melakukan gangguan di lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami diskriminasi sosial dan penolakan akibat dari stigma.

Perlu adanya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai apa dan bagaimana tentang gangguan jiwa dan gangguan emosional pada level-level tertentu agar tidak menimbulkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang bisa disembuhkan. Penderita gangguan jiwa di masyarakat kurang didiagnosis dan diobati dengan tepat. Karena secara fisik penderita gangguan jiwa adalah normal, namun psikisnya yang butuh pertolongan medis.

Pelayanan kesehatan pemerintah dan pembuat kebijakan berkontribusi terhadap stigma secara sistematik, perhatian yang minim karena bukan program prioritas membuat pelayanan kesehatan jiwa pada masyarakat, juga mendapat anggaran yang minim pula.

Terlepas dari sisi kemanusiaan, bahwa LKS Pondok Pemulihan Doulos selain menjadi lembaga pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang memiliki kegiatan kemanusiaan. Hal tersebut tidak terlepas pada keterkaitan permintaan pasar yang sangat tinggi, sang pendiri bergerak inovatif karena selama ini lebih

(9)

9

banyak lembaga pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan secara fisik dan minim sekali akan lembaga pelayanan kesehatan jiwa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Implementasi pelayanan sosial penyandang psikotik di LKS Pondok Pemulihan Doulus ?

2. Apa faktor penghambat dalam proses menangani penyandang psikotik di LKS Pondok Pemulihan Doulus?

C. Tujuan Penelitian

Melihat rumusan masalah diatas, maka penelitian ini dimaksudkan:

1. Untuk mengetahui Implementasi pelayanan sosial di LKS Pondok Pemulihan Doulus

2. Untuk mengetahui dan mendalami faktor penghambat dalam upaya pengembalian fungsi sosial klien psikotik di LKS pondok Pemulihan Doulus.

D. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemikiran atau pengetahuan baru tentang model pelayanan terhadap psikotik (gangguan jiwa).

(10)

10 b. Secara praktis

Memberikan kontribusi yang positif bagi para insan akademik dan menambah pengetahuan bagi masyarakat luas pada umunya, khususnya dalam hal ini kepada keluarga yang bersangkutan (psikotik) atau lembaga yang peduli terhadap penanganan psikotik.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini sebatas pada penjabaran rumusan masalah penelitian. Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang menjadi batasan dari peneliti agar penelitian tidak terlalu luas dalam proses pengolahan data. Oleh karena itu, peneliti menyusun ruang lingkup penelitian sebagai berikut :

1. Implementasi pelayanan sosial penyandang psikotik di LKS Pondok Pemulihan Doulus.

2. Upaya Pondok Pemulihan Doulus dalam mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan memberikan pelayanan sosial terhadap klien.

Referensi

Dokumen terkait

No Skenario Pengujian Test Case Hasil yang diharapkan Hasil Pengujian Kesimpulan 1 Tidak mengisikan salah satu data yang terdapat di form konfirmasi pembayaran Jumlah

Hasil penelitian preferensi masyarakat dalam pemilihan lembaga pendidikan Islam SD NU Insan Cendekia Kediri, yaitu: pertama , sekolah yang berbasis keagamaan (

Comenius számos klasszikussá vált megállapítása a műveltség szerepének felismeréséből következik. A műveltséget emberformáló tényezőnek tekintette, a

OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari liang telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul..

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman

Penelitian ini menggunakan metode Pengembangan berupa model prosedural yang bersifat deskriptif dimana pada proses awal pembuatan alat Biodigester, menyiapkan

Per- bedaan nilai indeks keanekaragaman antara petak campuran dan petak murni tertinggi pada umur 42 dari^56 hari Nilai indeks keanekaragaman serangga pada kacang gude di petak

12 Terlihat bahwa dari jenis barang yang sama namun memiliki perbandingan harga yang mencapai kurang lebih 1000.000 rupiah seharusnya menjadi pertimbangan besar untuk konsumen