• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Pihak yang Bersangkutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Para Pihak yang Bersangkutan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Para Pihak yang Bersangkutan

Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara.

Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:

1. Penggugat

Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan “Para Penggugat”.

2. Tergugat

Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.

3. Turut Tergugat

Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu.

Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.

Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut

menjalankan hukuman yang diputus untuk Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.

4. Penggugat/Tergugat Intervensi

Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi.

(2)

Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil.

Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:

a) Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

b) Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.

Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela.

Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.

c) Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.

Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.

Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya

(3)

pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.

Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat harus orang yang memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara gugatan perdata yang diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat formil.

Cacat formil dalam menentukan pihak Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.

(4)

PEMBERIAN KUASA

Pengertian Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Buergerlijk Wetboek (BW) pasal 1792 menyatakan bahwa suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

Bentuk Pemberian Kuasa

Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan:

1. akta umum;

2. surat di bawah tangan;

3. sepucuk surat;

4. lisan.

Bentuk Penerimaan Kuasa

Penerimaan suatu kuasa dapat terjadi dengan 1. terang-terangan;

Dinyatakan secara jelas mengenai persetujuan untuk menerima kuasa dengan menandataganinya surat kuasa atau pernyataan penerimaan kuasa secara lisan.

2. diam-diam;

Dengan dilaksanakannya kuasa yang diberikan pemberi kuasa oleh penerima kuasa maka dapat disimpulkan penerima kuasa menerima kuasa yang

diberikan.

(5)

Jenis Kuasa

1. kuasa khusus,

yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, dalam kuasa khusus memuat kata-kata yang tegas. Misalnya kuasa untuk menjual rumah, membuat perdamaian, kuasa membebani hak tanggungan.

2. Kuasa umum,

yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan Misalnya kuasa untuk mengurus perusahaan.

Larangan bagi Penerima Kuasa

Penerima kuasa tidak boleh melakukan perbuatan yang mengatasnamakan pemberi kuasa di luar kuasa yang diberikan. kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan

penyelesaian perkara pada keputusan wasit.

Kewajiban Penerima Kuasa

1. melaksanakan kuasanya;

2. bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu.

3. menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera

diselesaikannya.

4. memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan

5. Penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang

(6)

dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima kuasa dengan mendapatkan upah.

6. Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:

- bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya - bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu.

Hak Penerima Kuasa Hak Subtitusi

Hak untuk melimpahkan kuasanya kepada orang lain atau disebut juga dengan kuasa pengganti. Dapat dilakukan dengan melimpahkan secara keseluruhan atau sebagian saja. Subtitusi dapat dilakukan dengan menunjuk langsung orang yang dimaksud dalam surat kuasa dan dapat pula tidak ditunjuk secara langsung. Terhadap subtitusi yang tidak ditunjuk secara langsung dalam kuasa maka pemberi kuasa bertanggung jawab atas penunjukkan penggantinya.

Hak Retensi

Hak untuk menahan suatu barang milik orang lain yang berada di dalam kekuasaannya sampai tuntutan mengenai barang itu dipenuhi.

Kewajiban-kewajiban Pemberi Kuasa

1. Memenuhi perikatan-perikatan yang telah disetujui.

2. Membayar upah kepada penerima kuasa apabila diperjanjikan.

3. Mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya

4. Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.

(7)

Hak Pemberi Kuasa

1. Mendapatkan hasil yang diharapkan.

2. Menarik kembali kuasanya.

Berakhirnya Pemberian Kuasa

1. Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.

2. Dikembalikan kuasanya oleh penerima kuasa.

3. Pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa.

4. Meninggalnya atau pailitnyasalah satu pihak.

Kuasa di Pengadilan

Dasar hukumnya adalah pasal 123 HIR. Kuasa di pengadilan harus dengan kuasa khusus yang dibuat secara tertulis atau lisan. Tertulis, harus memuat identitas para pihak, mengenai perkara apa. Lisan, harus dilakukan di muka hakim dalam persidangan.

(8)

PERDAMAIAN

Dalam sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang

berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.

Hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara

mengintegrasikan proses ini.

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Dalam bahasa Indonesia perdamaian diartikan sebagai perhentian permusuhan.

Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu

perkara,kemudian dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu perkara

Sedangkan dalam hukum positif ketentuannya diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte) tentang itu, dimana kedua belah pihak dihukum akan

menepati perjanjian yang dibuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.” Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 (2) yaitu: ” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”,dan dalam Komplasi Hukum Islam khususnya terkait

(9)

dengan hukum keluarga Pasal 115: ”perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, pasal 143 ayat (1): ”Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. (2): ”Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang

pemeriksaan”, dan pasal 144:”Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”.

Dan UU No.7 tahun 1989 Pasal 65 dan 82, PP No. 9 tahun 1975 Pasal 31.

2. Unsur dan Sifat Perdamaian

KUH Perdata telah mengatur dan menentukan persyaratan syahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang termuat dalam pasal. 1320, 1321, 1851-1864.

Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak

Unsur-unsur persetujuan yakni adanya kata sepakat secara sukarela (toesteming), kedua belah pihak cakap dalam membuat persetujuan (bekwamnied), objek

persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp), berdasarkan alasan yang diperbolehkan (seorrlosofde oorzaak).19 Dengan demikian bahwa persetujuan- persetujuan tidak boleh terdapat cacat pada setiap unsur esensialnya suatu

persetujuan.

Perdamaian harus mengakhiri sengketa

Dalam pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg mengatakan bahwa apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan, maka dibuat putusan perdamaian yang disebut dengan akte perdamaian. Akte yang dibuat ini harus betul-betul dapat mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak berperkara apabila tidak maka dianggap tidak memenuhi syarat formal, dianggap tidak syah dan tidak mengikat para pihak-pihak yang berperkara. Putusan perdamaian harus dibuat dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim sangat dibutuhkan dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.

Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada

Syarat untuk dapat dasar suatu putusan perdamaian itu hendaklah atas dasar

persengketaan para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tapi baru akan diajukan ke pengadilan.21 Sehingga perdamaian

(10)

itu dapat mencegah gugatan atas perkara di pengadilan. Hal ini berarti bahwa perdamaian itu dapat lahir dari suatu perdata yang belum diajukan ke pengadilan.

Bentuk perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian)

Dalam pasal 1851 KUH perdata disebutkan bahwa persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan peraturan yang berlaku. Syarat ini sifatnya memaksa (inferatif), dengan demikian tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan, meskipun dihadapan pejabat yang berwenang. Bentuk perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan sidang pengadilan dapat saja dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta dibawah tangan

Adapun sifat akta perdamaian dalam perkara perdata adalah:

1) Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap.

Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

2) Keputusan perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam pasal 1851 KUH Perdata menentukan bahwa semua putusan perdamaian yang dibuat dalam sidang majelis hakim akan mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan pengadilan lainnya dalam tingkat penghabisan. Putusan perdamaian itu tidak bisa dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau alasan salah satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Dalam pasal 130 ayat (2) HIR ditentukan pula bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itupula dalam persidangan dibuat putusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah mereka buat.

3) Tertutup untuk upaya banding dan kasasi. Oleh karena putusan perdamaian itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka baginya tertutup untuk adanya upaya banding atau kasasi. Artinya bahwa putusan itu sejak ditetapkan atau dijatuhkan oleh hakim, maka sudah melekat, pasti dan tidak ada penafsiran lagi karena berdasarkan kesepakatan bersama, langsung dapat dijalankan kapan saja diminta oleh pihak-pihak yang melaksanakan perdamaian itu.

(11)

4) Mempunyai kekuatan eksekutorial. Semua putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pastilah mempunyai kekuatan hukum mengikat, kekuatan hukum eksekusi dan mempunyai kekuatan nilai pembuktian

Dalam suatu proses persidangan perkara perdata, hal pertama yang dilakukan oleh majelis hakim adalah mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Upaya

tersebut dilakukan oleh hakim sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No : 1 Tahun 2002 sebagai berikut :

1. Agar semua hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-

sungguhmengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuanPasal 130 HIR/RBg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkanperdamaian.

2. Hakim yang ditunjuk dapat sebagai fasilitator yang membantu para pihakbaik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data serta argumentasipara pihak dalam rangka ke arah perdamaian.

3. Pada tahap selanjutnya apabila di kehendaki para pihak yangberperkara, hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagaimediator yang akan

mempertemukan para pihak yang bersengketa gunamencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan, danberdasarkan informasi yang diperoleh serta

keinginan masing-masingpihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposalperdamaian yang kemudian di konsultasikan dengan para pihak untukmemperoleh hasil yang saling menguntungkan.

4. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihaktidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan,untuk menjaga obyektifitas.

5. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepadahakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 ( tiga ) bulan,dan dapat diberikan

perpanjangan apabila ada alasan untuk itu denganpersetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidaktermasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalamSEMA No. 6 Tahun1992.

6. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian atau dading, agardengan akta

(12)

perdamaian itu para pihak menepati apa yang telahdisepakati tersebut.

7. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikanpenilaian bagi hakim yang menjadi fasilitator.

8. Apabila usaha–usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil,hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeridan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengantidak menutup peluang bagi para pihak, untuk berdamai selama prosespemeriksaan berlangsung.

9. Hakim yang menjadi fasilitator atau mediator wajib membuat laporankepada Ketua Pengadilan secara teratur.

10. Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaiantersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihiketentuan 6 bulan.

Dalam proses persidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.

Berbeda dengan perdamaian yang berhasil dilakukan oleh hakim di dalam persidangan yakni perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak sendiri diluar sidang. Perdamaian ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui proses pengadilan.

Karena persoalannya hanya bersifat sementara dan sama sekali tidak menjamin bahwa suatu saat akan tidak damai lagi seperti semula bahkan mungkin lebih hebat dari yang semula.

Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah

(13)

perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung.

Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.

Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara.

Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling

menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator

pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.

Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008]

Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;

b. Advokat atau akademisi hukum;

c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

d. Hakim majelis pemeriksa perkara;

(14)

e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator

sendiri. [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008]

Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Jika setelah jangka waktu maksimal yaitu 2 (dua) hari, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. [Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. [Pasal 12 Perma No. 1 Tahun 2008]

Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun

pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.

Tahap-Tahap Proses Mediasi

Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

(15)

Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari.

Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008] Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008]

Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 14 Perma No. 1 Tahun 2008] Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.

Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. [Pasal 17 Perma No. 1 Tahun 2008]

(16)

Tugas-Tugas Mediator:

a. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.

b. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.

c. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.

d. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008]

Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.

Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. [Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008

Tempat Penyelenggaraan Mediasi

Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau ditempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. [Pasal 20 Perma No. 1 Tahun 2008]

Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan

(17)

sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.

Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Sesuai kehendak para pihak;

b) Tidak bertentangan dengan hukum;

c) Tidak merugikan pihak ketiga;

d) Dapat dieksekusi.

e) Dengan iktikad baik. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]

Perdamaian Di Tingkat Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali

Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan

peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]

Kekuatan Hukum Akta Perdamaian

Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap

· Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

Mempunyai Kekuatan Eksekutorial

(18)

· Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.

Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding

· Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

(19)

Contoh akta perdamaian Akta Perdamaian

Pada hari ..., tanggal ..., pada persidangan terbuka dari Pengadilan Negeri di ... yang mengadili perkara perdata, telah datang menghadap:

I. A, pekerjaan ... bertempat tinggal di ... menurut surat gugatan dalam perkara Daftar no. ... ialah sipenggugat, dan

II. B, pekerjaan ... bertempat tinggal di ... menurut surat gugatan tersebut, ialah tergugat.

yang menerangkan bersedia dan mau mengakhiri persengketaan antara mereka itu, yang telah dimajukan dalam gugatan tersebut, dengan mengadakan perdamaian dan untuk itu telah mengadakan persetujuan sebagai berikut: B berjanji akan membayar kepada A suatu jumlah sebanyak Rp ..., separuh dengan uang tunai selambat-lambatnya pada ...dan separuh lagi akan dibayar dengan beras Cianjur Kwalitet no. 1 menurut harga pasar, selambat-lambatnya pada tanggal ... .

Setelah persetujuan itu dibuat atas surat dan dibacakan peda kedua belah pihak, maka mereka itu masing-masing menyatakan menyetujui seluruhnya isi surat itu.

Kemudian Ketua Majelis menjatuhkan putusan sebagai berikut:

PUTUSAN

No: ...

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YNG MAHA ESA”

Pengadilan Negeri tersebut;

Setelah mendengar persetujuan kedua belah pihak tersebut;

Mengingat pasal 130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung No. ... Tahun 2008

(20)

Mengadili:

Menghukum kedua belah pihak A dan B tersebut untuk menepati persetujuan yang telah dimufakati itu ;

Demikianlah diputuskan pada hari ..., tanggal ..., oleh ...Ketua (atau hakim) Pengadilan Negeri di ... . keputusan mana pada hari itu juga diucapkan di muka umum oleh ketua (atau hakim) tersebut, dengan dihadiri oleh ..., Panitera Pengadilan Nergeri tersebut, dan kedua belah pihak yang berperkara.

Panitera tsb, Ketua (atau hakim) tsb,

(tandatangan) (tandatangan)

(21)

Permohonan Dan Gugatan

Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk

mendapatkan suatu penetapan perihal bagian masing-masing waris yang diterima berdasarkan ketentuan pasal 236a H.I.R. Disini hakim hanya memberikan sekedar jasa- jasanya sebagai “tenaga tata usaha negara”. Hakim tersebut lazimnya mengeluarkan suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan(putusan declaratoir). Dalam persoalan ini hakim tidak memutuskan sesuatu konflik seperti halnya dalam perkara gugatan.

Dalam permohonan tidak ada sengketa. Permohonan yang banyak diajukan di muka pengadilan negeri adalah mengenai permohonan pengangkatan anak angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dan sebagainya.

Secara yuridis, Permohonan atau Gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.

Ciri-ciri permohonan atau gugatan voluntair yakni:

1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only);

2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);

3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).

Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”). Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

(22)

Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair yang

merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.

Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang

bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan

kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikking ; decree). Bentuk ini membedakan

penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis.

Gugatan contentiosa (dalam bahasa latin berarti penuh semangat tanding) atau yang lebih dikenal sebagai gugatan perdata dalam masyarakat adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat.

Ciri-ciri gugatan (contentiosa) yakni:

1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, differences).

2. Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.

3. Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan

berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.

4. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.

5. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.

(23)

Bentuk gugatan sendiri ada dua, yakni gugatan lisan dan gugatan tertulis. Menurut ketentuan pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat gugatan itu harus ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya, yang dimaksud wakil disini adalah seorang kuasa, yakni seorang yang dengan sengaja telah menguasakan perkaranya kepada seseorang berdasar suatu surat kuasa khusus, untuk membuat dan menandatangani surat gugatan (permohonan). Karena surat gugatan ditandatangani oleh yang diberi kuasa, maka tanggal surat gugatan harus lebih muda dari pada tanggal yang terdapat dalam surat kuasa. Dalam pasal 118 HIR menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Surat permintaan ini disebut sebagai surat gugatan.

Dikarenakan gugat yang diajukan dalam bentuk tertulis, namun bagaimana dengan orang yang buta huruf? Maka itu diadakannya gugatan dalam bentuk lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang khusus bagi mereka yang buta huruf.

Berdasarkan pasal 120 HIR, Ketua Pengadilan Negeri akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud. Dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) dikatakan:

“bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk

mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.

Dalam pembahasan gugatan tertulis dan lisan, perlu diketahui kaitannya dengan masalah gugatan, sebab menurut pasal 118 HIR/142 RBg, gugatan harus diajukan dengan surat gugatan dan ditandatangani oleh penggungat atau orang yang diberi kuasa, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka diajukan di tempat sebenarnya berdiam. Menurut hukum acara peradilan agama, dalam hal cerai gugat yang diajukan oleh istri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.

Macam-macam Gugatan itu antara lain:

(24)

a) Tuntutan perorangan (personlijk) obyeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dan karena undang-undang.

b) Tuntutan kebendaan (zakelijk) yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai obyek dari hak benda atau pengakuan hak benda.

c) Tuntutan campuran yaitu campuran dari tuntutan perorangan dengan kebendaan, penggolongan tersebut dapat dilihat dalam bagian terakhir dari suatu putusan dan merupakan kalimat dibawah mengadil/dictum.

Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir), yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah dalil-dalil penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan atas gugatan tersebut.

(25)

Sita Jaminan/Upaya-Upaya Untuk Menjamin Hak

Bertujuan untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti, undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut, yaitu dengan penyitaan. Sita jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari, atas barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkaran berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkatanaan bahwa terhadap barang-barang sudah tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dipindahtangan kepada orang lain.1 Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (penggugat) dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan (discoveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214, Rbg dan 231,232 KUHP). Oleh karena itu penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan.

Penyitaan dilakukan oleh panitera Pengadilan, yang wajib, membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia hadir.

Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara (pasal 197 ayat 2,5 dan 6 HIR, 209 ayat 1 dan 4, 210 Rbg). Kalau permohonan sita jaminan itu dikabulkan, maka lalu dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaard) dalam putusan.

Ada dua yakni:

1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri

Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu

Sita revindicatoir (ps. 226 HIR, 260 Rbg)

Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat 2, 1751 BW). Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak

1 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009

(26)

untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145 BW, 232 WvK).

Yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Karena kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil.

Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan (baca Ps.

227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan

digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar. Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya, atau dapat juga barang tersebut disimpan ditempat lain yang patut.

Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)

Sita Marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan, maka sita marital ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan. Pernyataan sah dan berharga itu diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial yang mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.

Sita maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri, yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut (Ps. 190 BW, 823 Rv). Jadi yang dapat mengajukan sita maritaal adalah si isteri

(27)

Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekyaan atau milik isteri maupun barang tetap dan kesatuan harta kekayaan (Ps. 823 Rv). HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan.

2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Debitur

Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Setiap saat debitur atau tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps.

227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg).

Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik debitur.

Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap permohonan sita jaminan selalu dikabulkan, hakim terlalu mudah mengabulkan permohonan sita jaminan. Yang dapat disita secara conservatoir ialah :

Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208 Rbg)

Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangnya atas barang miliknya. Permohonan

(28)

pelaksanaan putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg) apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap barang yang sama.

Para kreditur lainnya dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR, 222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.

Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198, 199 HIR 261, 208,214 Rbg)

Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang

memindahkannya kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214 Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).

Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)

Apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini yang disebut

derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap (Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR (Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan

(29)

barang bergerak milik debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga. Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian. Disamping tiga macam sita conservatoir seperti tersebut diatas Rv masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya, yaitu :

Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv)

Ada kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompensasi.

Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv)

Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv)

Ratio dari sita conservatoir ini yang disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk

Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negri.

Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv)

Apakah semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan (Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita.

Penyitaan barang milik Negara

Pada dasarnya barang-barang milik negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara,

(30)

tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada MA (pas 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).

(31)

Perubahan dan Pencabutan Gugatan

Perubahan Gugatan

HIR dan RBg tidak mengatur mengenai perubahan gugatan. Landasan hukum yang mengatur perubahan gugatan terdapat pada pasal 127 RV. Terdapat beberapa pengaturan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan, yaitu:

1. Sampai saat perkara diputus

Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv. Pasal 127 Rv mengatur bahwa penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Jangka waktu ini dianggap terlalu memberikan hak kepada penggugat untuk melakukan perubahan gugatan dan dianggap sebagai kesewenang-wenangan terhadap tergugat.

2. Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama

Buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”) menegaskan bahwa batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya dapat dilakukan pada hari sidang pertama. Selain itu, para pihak juga disyaratkan untuk hadir pada saat

pengajuan perubahan gugatan. Jangka waktu dalam buku pedoman MA ini dianggap terlalu resriktif karena hanya memberikan waktu pada hari sidang pertama.

3. Sampai pada tahap replik-duplik

Batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung. Dalam praktiknya, peradilan cenderung menerapkan batasan jangka waktu perubahan gugatan ini, contohnya dalam Putusan MA No.546 K/Sep/1970.

(32)

Pasal 127 Rv tidak mengatur mengenai syarat formil pengajuan perubahan gugatan.

Tetapi persyaratan formil perubahan gugatan dimuat di dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh MA. Persyaratan formil perubahan gugatan adalah:

1. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat

Pengajuan perubahan gugatan diajukan pada hari sidang pertama dan dihadiri oleh para pihak. Syarat ini demi melindungi kepentingan tergugat untuk membela diri.

2. Memberi hak kepada tergugat menanggapi

Buku pedoman MA ini mengatur bahwa perihal perubahan gugatan diberitahukan kepada tergugat dan memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.

3. Tidak menghambat acara pemeriksaan

Perubahan gugatan boleh dilakukan oleh penggugat selama tidak menghambat acara pemeriksaan perkara.

Berdasarkan Pasal 127 Rv, batasan yang dapat diterapkan kepada penggugat untuk merubah atau mengurangi gugatan adalah tidak boleh mengubah atau menambah pokok gugatan. Prof.Subekti mengemukakan pendapat bahwa yang dimaksud pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan. Dengan demikian perubahan gugatan yang dibenarkan hukum adalah perubahan yang “tidak mengubah dan menyimpang dari kejadian materiil.” Pengertian pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu, batasan umum perubahan atau pengurangan gugatan adalah tidak boleh mengakibatkan terjadinya perubahan materiil gugatan.

(33)

Putusan pengadilan memberikan batasan mengenai perubahan gugatan. Batasan- batasan tersebut antara lain perubahan gugatan tidak boleh mengubah materi pokok perkara, perubahan gugatan tidak bersifat prinsipil, perubahan tanggal yang tidak dianggap merugikan kepentingan tergugat, tidak merubah posita gugatan, dan pengurangan gugatan tidak merugikan tergugat.

Pencabutan Gugatan

Dalam HIR tidak diatur mengenai pencabutan gugatan, akan tetapi dalam praktek perihal pencabutan gugatan sanantiasa diizinkan selama para pihak tergugat belum mengajukan jawaban atas gugatan yang dihadapinya. Namun tidak diperkenankann, terkecuali atas seizin tergugat (bandingkan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Maret 1981 No. 1780 K/Sip/1978)

Apabila gugat dicabut, kedua belah pihak kembali pada keadan semula yang berarti belum pernah ada perkara. Sita jaminan yang seandainya telah diletakkan, harus diperintahkan untuk diangkat, sedangkan semua biaya perkara termasuk biaya pengangkatan sita jaminan itu dibebankan kepada si perkara.

Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv. Pasal 272 Rv mengatur beberapa hal mengenai pencabutan gugatan, yaitu :

a. Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan

Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan adalah penggugat sendiri secara pribadi, hal ini dikarenakan penggugat sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam kasus yang bersangkutan. Selain penggugat sendiri, pihak lain yang berhak adalah kuasa yang ditunjuk oleh penggugat. Penggugat memberikan kuasa kepada pihak lain dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 123 HIR dan di dalam surat kuasa tersebut dengan tegas diberi penugasan untuk mencabut gugatan.

(34)

b. Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa dilakukan dengan surat Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa mutlak menjadi hak penggugat dan tidak memerlukan persetujuan dari tergugat. Pencabutan gugatan dilakukan dengan surat pencabutan gugatan yang ditujukan dan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”). Setelah menerima surat pencabutan gugatan, Ketua PN menyelesaikan administrasi yustisial atas pencabutan.

c. Pencabutan gugatan atas perkara yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang Apabila pencabutan gugatan dilakukan pada saat pemeriksaan perkara sudah berlangsung, maka pencabutan gugatan harus mendapatkan persetujuan dari

tergugat. Majelis Hakim akan menanyakan pendapat tergugat mengenai pencabutan gugatan tersebut. Apabila tergugat menolak pencabutan gugatan, maka Majelis Hakim akan menyampaikan pernyataan dalam sidang untuk melanjutkan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memerintahkan panitera untuk mencatat

penolakan dalam berita acara sidang, sebagai bukti otentik atas penolakan tersebut.

Apabila tergugat menyetujui pencabutan, maka Majelis Hakim akan menerbitkan penetapan atas pencabutan tersebut. Dengan demikian, sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai dan Majelis Hakim memerintahkan pencoretan perkara dari register atas alasan pencabutan.

Pasal 272 Rv juga mengatur mengenai akibat hukum pencabutan gugatan, antara lain:

a. Pencabutan mengakhiri perkara

Pencabutan gugatan bersifat final, artinya sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai.

b. Para pihak kembali kepada keadaan semula

Pencabutan gugatan menimbulkan akibat bagi para pihak yaitu demi hukum para pihak kembali pada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum gugatan diajukan, seolah- oleh diantara para pihak tidak pernah terjadi sengketa. Pengembalian kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk penetapan apabila pencabutan terjadi sebelum

(35)

perkara diperiksa. Selain itu pengembalian kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk amar putusan apabila pencabutan terjadi atas persetujuan tergugat di

persidangan.

c. Biaya perkara dibebankan kepada penggugat

Pihak yang mencabut gugatan berkewajiban membayar biaya perkara. Ketentuan ini dianggap wajar dan adil karena penggugat yang mengajukan gugatan dan sebelum PN menjatuhkan putusan tentang kebenaran dalil gugatan, penggugat sendiri mencabut gugatan yang diajukannya.

(36)

Daftar Pustaka

1. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta, 1988.

2. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Jakarta, 1986.

3. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Gita Karya, d/h, Noor Komala, Jakarta, 1963.

4. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Semisal dalam seni grafis terdapat beragam teknik yang material dan cara pengerjaannya berbeda-beda, dari hal-hal tersebut penulis menemukan bahwa seni grafis memiliki

Dalam penelitian ini sampel berupa serum sapi potong dikoleksi dari peternak dan sampel daging, hati serta lemak dari pasar tradisional asal Blora dan Wonogiri dianalisis untuk

Untuk itu, perlu sebuah aplikasi yang memungkinkan manusia sebagai pengguna smartphone untuk menunjukkan lokasinya serta mencari lokasi orang lain, namun memiliki privasi

Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung : PT.. hal tersebut terlihat adanya penghitungan alokasi waktu yang terkait adanya hari-hari aktif selama

Phenomenology yang dimaksud adalah phenomenology -nya Edmund Husserl (1859-1938), dimana dikemukakan bahwa objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik ( sensual ), melainkan

Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang mempunyai kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah adalah Pajak Reklame. Promosi dalam bentuk reklame merupakan satu

Hasil penelitian yang diperoleh adalah perlakuan penggunaan pupuk kandang ayam A 2 (pupuk kandang ayam 12 kg) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi

Menurut Anoraga (2004:220) dalam bukunya Manajemen Bisnis mengatakan bahwa Marketing mix adalah variabel-variabel yang dapat dikendalikan oleh perusahaan yang terdiri