• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peranan Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi "

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi

Sektor Transportasi Darat Indonesia

Ringkasan untuk Para Pembuat Kebijakan

(2)

HAK CIPTA

Materi dalam publikasi ini dilindungi hak cipta. Isi dari tulisan ini dapat digunakan untuk tujuan non-komersial dengan mencantumkan tulisan ini sebagai sumbernya. Permohonan untuk memperbanyak dapat dikirimkan ke alamat:

Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jalan Tebet Barat Dalam VIII No. 20 B, Jakarta Selatan, 12810, Indonesia www.iesr.or.id | iesr@iesr.or.id

Penulis:

Julius Christian Adiatma (Penulis Utama) Idoan Marciano

Pengulas:

Erina Mursanti, Marlistya Citraningrum, Pamela Simamora (urutan abjad) Penyunting:

Fabby Tumiwa

PENGANTAR PENERBIT

Naskah ini merupakan bagian dari riset yang dilakukan oleh Climate Transparency, sebuah kemitraan internasional yang terdiri dari IESR dan 13 organisasi riset lain dan NGO yang membandingkan aksi iklim G20 – www.climate-transparency.org. Penelitian untuk penerbitan ini didanai oleh International Climate Initiative (IKI). Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam, dan Keamanan Nuklir (BMU) Jerman mendukung inisiatif ini berdasarkan keputusan yang diadopsi oleh German Bundestag.

Para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut atas komentar yang konstruktif pada naskah awal: Agus Tampubolon (IESR), Damantoro (Masyarakat Transportasi Indonesia), Mohammad Mustafa Sarinanto (BPPT), Sebastian Wegner and Catrina Godinho (Humboldt-Viadrina Governance Platform), dan Fadiel Ahjum (University of Cape Town). Semua opini yang tertuang, serta kelalaian, dan kesalahan yang mungkin terjadi adalah tanggung jawab dari penulis sendiri.

DITERBITKAN OLEH

Institute for Essential Services Reform (IESR) Jakarta, Indonesia

Edisi Pertama, Maret 2020

KONTAK

Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jalan Tebet Barat Dalam VIII No. 20 B, Jakarta Selatan, 12810, Indonesia T: +62 21 2232 3069, F: +62 21 8317 073, E: iesr@iesr.or.id

(3)

P

ara pembaca, IESR dengan bangga mempersembahkan laporan terbaru kami: Peran Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat Indonesia. Laporan ini memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengevaluasi peraturan dan kebijakan mengenai pengembangan kendaraan listrik di Indonesia; kedua, untuk melihat dampak dari penetrasi kendaraan listrik terhadap penurunan emisi GRK sebagai upaya peningkatan ambisi iklim Indonesia dalam memenuhi target Kesepakatan Paris.

Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK demi mencapai tujuan Kesepakatan Paris dalam membatasi kenaikan suhu di bawah 2oC atau mencapai 1,5oC. Pada tahun 2019, sektor transportasi menyumbang sepertiga dari total emisi GRK di Indonesia. Dengan situasi yang ada saat ini, jumlah emisi ini diproyeksikan akan terus meningkat secara drastis. Komitmen Indonesia yang tertuang dalam NDC saat ini belum memasukkan aksi mitigasi dari sektor transportasi. Pendekatan yang digunakan sejauh ini adalah peningkatan penggunaan BBN (biofuel) dan gas alam untuk substitusi BBM. Padahal banyak riset yang merekomendasikan penggunaan kendaraan listrik seharusnya menjadi strategi utama untuk menurunkan emisi GRK dari sektor ini.

Beberapa negara telah menunjukkan pertumbuhan pasar kendaraan listrik yang luar biasa, seperti Norwegia, Swedia, Amerika Serikat, China, dll. Beberapa negara pun telah mengumumkan bahwa mereka akan segera menerapkan elektrifikasi pada sistem transportasi, dan juga melarang penggunaan kendaraan konvensional dalam 10-20 tahun ke depan. Indonesia baru mulai mengembangkan kendaraan listrik. Tahun lalu, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden yang bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik. Namun, peraturan ini saja tidak akan cukup. Tanpa kebijakan yang tepat dan konsisten, target dan perencanaan yang transparan, koordinasi antar sektor dan juga insentif, akan sulit bagi pasar kendaraan listrik di Indonesia untuk lepas landas.

Dengan latar belakang ini, kami membuat suatu model untuk memproyeksikan pasar kendaraan listrik di Indonesia dengan mempertimbangkan berbagai instrumen kebijakan. Model ini hanya fokus pada kendaraan penumpang privat, seperti motor dan mobil. Dua tipe kendaraan ini yang saat ini mendominasi pasar kendaraan bermotor. Berdasarkan hasil proyeksi, kemudian, kami mengkaji dampak elektrifikasi sistem transport terhadap penurunan emisi GRK Indonesia dan potensi kendaraan listrik untuk dimasukkan ke dalam NDC.

IESR ingin mengucapkan terimakasih kepada Humboldt Viadrina Governance Platform untuk upaya mereka yang sangat andal dalam mengkoordinasikan dan membantu pelaksanaan proyek ini, seluruh mitra yang tergabung di dalam Climate Transparency untuk ide dan diskusi yang sangat konstruktif dalam proses pembuatan studi ini, dan juga seluruh pengulas yang memberikan komentar yang dapat mempertajam analisa dalam studi ini.

Kami berharap laporan ini dapat memberikan arahan bagi para pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi instrumen kebijakan yang cocok untuk memfasilitasi penyebaran teknologi kendaraan listrik dan membangun pasar kendaraan listrik di Indonesia, serta memaksimalkan potensinya dalam berkontribusi pada ambisi mitigasi perubahan iklim.

Jakarta, 29 Maret 2020

Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif

Kata Pengantar

(4)

B30 : Campuran solar 70% dengan 30% FAME

BAU : Business As Usual

BBM : Bahan Bakar Minyak

BBN : Bahan Bakar Nabati

BBNKB : Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor BEV : Battery Electric Vehicle

BNEF : BloombergNEF CAT : Climate Action Tracker

CO2 : Carbon Dioxide (Karbon dioksida) CPO : Crude Palm Oil (Minyak kelapa sawit) gCO2/km : Gram karbon dioksida per kilometer

GRK : Gas Rumah Kaca

HEV : Hybrid Electric Vehicle

ICE : Internal Combustion Engine (Kendaraan dengan motor pembakaran dalam)

KgCO2/kWh : Kilogram karbon dioksida per kilo watt hour

MtCO2e : Million Tonnes of Carbon Dioxide Equivalent (Setara Juta Ton Karbon dioksida)

NDC : Nationally Determined Contribution NML : Nested Multinomial Logit

PHEV : Plug-in Hybrid Electric Vehicle (Kendaraan listrik hibrida)

PKB : Pajak Kendaraan Bermotor

PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap

PPH : Pajak Penghasilan

PPN : Pajak Pertambahan Nilai

PPNBM : Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang Mewah RUEN : Rencana Umum Energi Nasional

RUPTL : Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

SBM : Setara Barel Minyak

SPKLU : Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum SPLU : Stasiun Pengisian Listrik Umum

TOU : Time of Use (Waktu penggunaan listrik)

Singkatan

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar Singkatan Daftar Isi Ringkasan Eksekutif Pendahuluan Temuan Utama Kesimpulan dan Rekomendasi Referensi

5 3

6 4

9

11

22

24

(6)

Pemanfaatan kendaraan listrik sebagai aksi mitigasi GRK

Sektor transportasi menyumbang 28% dari total emisi GRK di sektor energi pada 2018, yang sumber utamanya berasal dari trans- portasi jalan (Climate Transparency, 2019).

Walaupun sektor transportasi menempati peringkat ke-dua sumber emisi dari sektor energi, sejauh ini strategi mitigasi GRK dari sektor transportasi masih terbatas pada pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) yang dicampur dengan bahan bakar minyak dalam bentuk biodiesel. Efektivitas pemanfaatan BBN dalam menurun-kan emisi GRK Indonesia juga masih perlu dikaji lebih lanjut, dengan mempertimbangkan nilai emisi netto (net- emission) dari seluruh rantai produksi biodiesel yang berasal dari crude palm oil (CPO).

Indonesia telah memberikan komitmen penurunan emisi GRK sebesar 29% dengan

usaha sendiri dan dapat ditingkatkan menjadi 41% dengan bantuan internasional pada 2030, sebagaimana yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Walaupun dirasakan target ini cukup ambisius, menurut kajian Climate Action Tracker (CAT), komitmen Indonesia dalam NDC tersebut masih dianggap belum selaras dengan target tujuan Paris Agreement (Climate Action Tracker, 2019a).

CAT menyarankan untuk mencapai target penurunan emisi GRK yang sesuai dengan Paris Agreement maka Indonesia harus meningkat- kan ambisi aksi perubahan iklim di sektor kelistrikan dan transportasi. Di sektor transportasi, peningkatan penggunaan ken- daraan listrik untuk kendaraan dan kereta dapat menurunkan emisi GRK sebesar 69 MtCO2e (Climate Action Tracker, 2019b).

Laporan ini ditulis dengan tujuan untuk mengkaji potensi penurunan emisi pada sektor

Photo by Said Alamri on Unsplash

Ringkasan

Eksekutif

(7)

transportasi melalui peningkatan penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi darat di Indonesia sesuai dengan kondisi empiris saat ini. Kajian juga dilakukan atas instrumen- instrumen kebijakan fiskal dan non-fiskal yang dibutuhkan untuk melakukan transformasi pasar dan mengakselerasi adopsi kendaraan listrik di tingkat konsumen.

Untuk memproyeksikan penetrasi ken- daraan listrik digunakan model Nested Multinomial Logit (NMNL) yang dikembangkan oleh IESR. Model ini dapat melakukan simulasi preferensi konsumen dalam memilih teknologi kendaraan berdasarkan pada kebijakan, regulasi dan insentif yang diberikan. Dampak penetrasi kendaraan listrik terhadap emisi GRK dan konsumsi bahan bakar serta dampak lainnya juga dikaji.

Temuan utama

• Untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik yang lebih tinggi dan mempercepat adopsi teknologi kendaraan listrik oleh konsumen, dibutuhkan kombinasi kebi- jakan fiskal dan non-fiskal yang men- dukung dari pemerintah. Kebijakan fiskal diperlukan untuk menurunkan harga kendaraan listrik serta biaya kepemilikan total, sedangkan instrumen kebijakan non- fiskal dapat meningkatkan daya tarik konsumen untuk mengakuisisi kendaraan listrik. Pengalaman di berbagai negara di dunia menunjukan bahwa penetrasi kendaraan listrik ditopang oleh penerapan berbagai kebijakan di sektor energi dan industri, serta pemberian instrumen fiskal dan non fiskal untuk mengembangkan sektor hulu (industri kendaraan listrik) dan hilir (pasar kendaraan listrik). Berbagai jenis instrumen kebijakan telah diterapkan dan berhasil mendorong akuisisi kendaraan listrik. Integrasi kebijakan hulu dan hilir ini diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan kendaraan listrik yang sesuai dengan kondisi pasar domestik, sekaligus menjadi alternatif dari industri otomotif konvensional yang akan tergerus dengan adanya peningkatan permintaan kendaraan listrik.

• Pada kondisi Business As Usual (BAU), penetrasi teknologi mobil listrik (HEV, PHEV dan BEV) akan tertahan di bawah 1%

hingga 2050. Mobil listrik tidak dapat bersaing dengan mobil konvensional dengan kondisi yang ada saat ini. Faktor utama yang menjadi penghalang adalah harga mobil listrik yang 3-4 kali lebih tinggi daripada mobil konvensional di pasar Indonesia. Apa-bila instrumen-instrumen kebijakan yang baru- baru ini diusulkan atau diterapkan oleh pemerintah daerah diperluas cakupannya menjadi nasional serta adanya pengetatan standar bahan bakar minyak (skenario moderat), penetrasi kendaraan listrik dapat mencapai 14%. Penetrasi dapat meningkat hingga 85% apabila instrumen-instrumen tersebut diterapkan dengan lebih agresif (skenario ambisius), yang berarti mengadopsi praktek-praktek kebijakan terbaik dari negara lain (misalnya untuk infrastruktur pengisian listrik) maupun yang disarankan oleh kajian- kajian lain (misalnya untuk pajak karbon).

• Untuk pasar sepeda motor, pada kondisi BAU, penetrasi sepeda motor listrik dapat mencapai 67% di 2050. Adanya produksi domestik membuat harga motor listrik dapat lebih bersaing dengan motor konvensional, dengan harga sepeda motor listrik hanya sekitar 30% lebih mahal dibanding motor konvensional. Pada skenario moderat, penetrasi sepeda motor listrik dapat mencapai 40 dan 75% pada 2030 dan 2050, sedangkan pada skenario ambisius, penetrasi sepeda motor listrik mencapai 62% dan 92% pada 2050.

• Insentif pajak dan ketersediaan infra- struktur pengisian listrik umum (SPLU dan SPKLU) merupakan instrumen kebijakan yang paling berpengaruh untuk memper- dalam penetrasi pasar dan mendorong akuisisi kendaraan listrik yang lebih besar.

Untuk pasar mobil penumpang, insentif pajak merupakan instrumen yang memiliki dampak lebih besar; sedangkan untuk pasar sepeda motor, ketersediaan stasiun pengisian listrik lebih menentukan terhadap keputusan untuk membeli sepeda motor listrik.

(8)

• Penggunaan kendaraan listrik dapat mendukung upaya penurunan emisi GRK Indonesia dari sektor transportasi.

Dengan memperhitungkan hanya emisi dari pembakaran bahan bakar untuk operasional kendaraan, penetrasi kendaraan listrik dalam skenario ambisius dapat menekan emisi sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Penurunan emisi ini berkontribusi sekitar 10% dan 34%

dari target penurunan emisi sektor transportasi di 2030 dan 2050 pada skenario 1,5oC menurut CAT. Untuk memaksimalkan penurunan emisi GRK pada 2050, perlu dilakukan pelarangan penjualan kendaraan konvensional setidaknya sejak 2035.

• Potensi penurunan emisi dari penggunaan kendaraan listrik dapat dicapai dengan menurunkan faktor emisi dari jaringan listrik. Penurunan emisi jaringan listrik dapat dilakukan dilakukan dengan mening- katkan porsi energi terbarukan dan mengurangi porsi pembangkit berbahan bakar fosil, khususnya PLTU batubara dalam bauran pembangkitan listrik. Untuk bisa mencapai pengurangan net-emisi, faktor emisi dari pembangkitan listrik harus lebih kecil dari 0,734 KgCO2/kWh, sedangkan menurut RUPTL 2019-2028, faktor emisi pembangkitan di 2020 diproyeksikan sebe- sar 0,828 KgCO2/kWh dan data beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa emisi rata-rata dari pembangkitan cenderung meningkat.

• Dibutuhkan perencanaan yang matang untuk mengantisipasi dampak dari penetrasi kendaraan listrik yang lebih dalam dan akuisisi yang lebih cepat oleh konsumen. Penetrasi kendaraan listrik yang tinggi (sesuai skenario ambisius) akan berdampak pada sistem ketenagalistrikan, konsumsi BBM, industri otomotif, dan pemasukan negara. Konsumsi listrik akan meningkat, bahkan berpotensi terjadi lonjakan beban puncak bila tidak ada manajemen waktu pengisian baterai.

Konsumsi BBM akan berkurang, sehingga akan berpengaruh pada penurunan impor minyak, kebutuhan kapasitas kilang tambahan, dan perbaikan kualitas udara lokal. Industri otomotif akan beralih pada kendaraan listrik karena besarnya permintaan. Pendapatan negara dari pajak kendaraan akan berkurang pada beberapa tahun awal akibat insentif untuk kendaraan listrik, meskipun dalam jangka panjang akan memperoleh tambahan pendapatan dari pajak tambahan atas kendaraan konvensional.

• Penggunaan kendaraan listrik dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan. Simulasi dengan skenario ambisius memproyeksikan akan terjadi penurunan permintaan BBM sebesar 36 juta setara barel minyak (SBM) pada 2030 dan 166 juta SBM pada 2050.

Dibandingkan dengan proyeksi impor minyak dalam RUEN, penghematan ini dapat mengurangi impor minyak sebanyak 5%

pada 2030 dan 11% pada 2050. Bahkan penghematan BBM dari penggunaan mobil dan sepeda motor listrik dapat mengimbangi penambahan konsumsi BBM dari kendaraan barang dan bus dalam proyeksi RUEN. Selain itu penurunan konsumsi BBM dapat memperbaiki tingkat kualitas udara.

(9)

I

ndonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) setidaknya sebesar 29% dari skenario business as usual (BAU) pada 2030. Climate Action Tracker menilai komitmen ini tidak cukup untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 1,5oC (Climate Action Tracker, 2019b). Pada tahun 2017, sektor energi merupakan sektor penyumbang emisi GRK terbesar, yakni sebesar 562 juta ton setara CO2, atau 49% dari total emisi pada tahun itu.

Kontribusi emisi dari sektor energi diproyeksikan akan terus meningkat menjadi 58% pada 2030 (Government of Republic of Indonesia, 2016). Dari jumlah emisi sektor energi pada tahun 2018, 28% berasal dari sektor transportasi (Climate Transparency, 2019). Hal ini mengindikasikan besarnya porsi sektor transportasi dalam produksi emisi gas rumah kaca nasional.

Di dalam sektor transportasi, kontribusi emisi terbesar bersumber dari transportasi darat, yang mencakup 91% dari emisi transportasi pada tahun 2017. Di transportasi darat, sepeda motor dan mobil penumpang merupakan moda transportasi utama, terutama di daerah perkotaan. Di Jakarta misalnya, 53% dari total perjalanan penumpang ditempuh menggunakan motor, sedangkan mobil dan angkutan umum masing-masing berkontribusi 20% dan 23%. Pertumbuhan jumlah kepemilikan sepeda motor dan mobil penumpang juga lebih pesat dibanding kendaraan darat lainnya, yaitu mobil barang dan bus. Hingga 2018, jumlah sepeda motor mencapai 120 juta unit, mobil penumpang 16,4 juta unit, kendaraan barang 7,8 juta unit, dan bus 2,5 juta unit.

Setiawan et al. (2019) memperkirakan bahwa untuk mencapai target penurunan emisi

Pendahuluan

(10)

GRK sesuai NDC, penurunan emisi GRK oleh kendaraan roda dua dan empat yang diperlukan adalah sebesar 34 dan 31 juta ton CO2 pada 2030. Hingga saat ini, rencana mitigasi di sektor transportasi masih terbatas pada pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam bentuk biodiesel. Padahal, berbagai studi melaporkan bahwa pengalihan dari kendaraan dengan motor pembakaran dalam (internal combustion engine) menjadi kendaraan bermotor listrik merupakan strategi kunci dalam mitigasi perubahan iklim. Climate Action Tracker (2019b) menyajikan skenario aksi mitigasi Indonesia yang sesuai dengan target 1,5oC yang mencakup 100% kendaraan listrik pada 2050.

Kendaraan bermotor listrik ini mencakup kendaraan listrik hibrida (HEV), kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV), dan kendaraan listrik berbasis baterai (BEV).

Kajian ini bertujuan untuk memproyeksikan potensi penurunan emisi GRK dari sektor transportasi melalui peningkatan penggunaan kendaraan listrik. Untuk itu, dilakukan proyeksi penetrasi kendaraan listrik dalam beberapa skenario kombinasi kebijakan menggunakan model nested multinomial logit (NMNL). Model ini mensimulasikan preferensi konsumen dalam pemilihan teknologi kendaraan sehingga kajian ini hanya akan menggambarkan perubahan penetrasi pasar dari sisi permintaan.

Beberapa faktor yang menentukan preferensi konsumen dalam model ini mencakup harga beli kendaraan, ekonomi bahan bakar (fuel economy), kapasitas jarak tempuh, performa kendaraan, biaya perawatan, dan ketersediaan stasiun isi ulang bahan bakar.

(11)

B

eberapa negara di dunia telah mengalami peningkatan penjualan kendaraan listrik secara pesat selama satu dekade terakhir, terutama di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Salah satu faktor yang menentukan bagi keberhasilan kendaraan listrik melakukan penetrasi pasar adalah keberadaan dukungan kebijakan dari pemerintah (Yang et al., 2016).

Sebagai salah satu contoh dari teknologi disruptif, kendaraan listrik akan sulit bersaing melawan kendaraan konvensional yang sudah matang secara teknologi dan kemapanan industri. Salah satu penghalang utamanya adalah harga kendaraan listrik itu sendiri yang jauh lebih mahal dibandingkan kendaraan konvensional. Untuk mengatasinya, diperlukan insentif fiskal yang dapat menurunkan harga kendaraan listrik serta biaya kepemilikan total.

Instrumen kebijakan non-fiskal juga diperlukan

untuk meningkatkan daya tarik konsumen terhadap kendaraan listrik. Tanpa adanya dukungan kebijakan yang mumpuni dan konsisten dari pemerintah, produsen dan konsumen mobil listrik tidak akan cukup tertarik untuk beralih ke kendaraan listrik.

Secara umum, terdapat dua macam kebijakan untuk mengembangkan kendaraan listrik: instrumen dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, instrumen kebijakan dapat berupa dukungan riset dan pengembangan serta komersialisasi/produksi, penetapan regulasi, dan penyediaan infrastruktur industri. Dari sisi permintaan, pasar dapat diciptakan melalui pemberian insentif finansial dan nonfinansial. Kebijakan dari sisi penawaran lebih sesuai diterapkan pada negara dengan industri otomotif yang kuat seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan Photo by Jan Kaluza on Unsplash

Temuan Utama

Untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik yang lebih tinggi dan mempercepat adopsi teknologi kendaraan listrik oleh konsumen, dibutuhkan

kombinasi kebijakan fiskal dan instrumen kebijakan non-fiskal yang mendukung dari pemerintah.

1

(12)

Amerika Serikat (Wesseling, 2015). Negara tanpa industri otomotif yang kuat lebih berfokus pada dukungan penetrasi pasar (sisi permintaan). Indonesia termasuk dalam golongan kedua karena industri otomotifnya lebih berfokus pada produksi untuk pemenuhan permintaan pasar domestik, bukan pada penguasaan dan pengembangan teknologinya.

Karena itu perlu fokus pada instrumen kebijakan untuk membuka pasar bagi kendaraan listrik terlebih dahulu sehingga menciptakan skala keekonomian untuk produksi domestik. Insentif di sisi penawaran yang fokus pada komersialisasi perlu dipersiapkan untuk mendukung kemampuan bersaing industri kendaraan listrik domestik ketika pasarnya sudah terbentuk.

Dari berbagai bentuk insentif dari sisi permintaan, insentif fiskal di muka merupakan instrumen yang penting karena berperan menurunkan selisih harga pembelian antara kendaraan listrik dan konvensional.

Pembebasan pajak dan potongan harga kendaraan (rebate) berdasarkan emisi CO2 merupakan contoh yang jamak diterapkan. Di Norwegia, pemerintah membebaskan kendaraan listrik dari pajak impor dan pajak pertambahan nilai (PPN) sejak 1990. Besarnya PPN di Norwegia (25%) membuat pembebasan pajak berpengaruh signifikan terhadap daya saing kendaraan listrik terhadap kendaraan konvensional (Bjerkan et al., 2016). Negara- negara lain dengan tingkat pajak yang lebih rendah bahkan menerapkan skema subsidi langsung untuk pembelian kendaraan listrik (IEA, 2013). Selain itu, skema feebate di Perancis menetapkan bahwa kendaraan dengan emisi kurang dari 130 gCO2/km berhak mendapat potongan harga, sedangkan kendaraan dengan emisi lebih dari 160 gCO2/km akan dikenakan biaya tambahan (Monschauer & Kotin-Förster, 2018).

Insentif fiskal berulang merupakan metode lain untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik. Salah satu metode yang dipakai adalah penerapan pajak tahunan yang berdasarkan pada emisi CO2. Selain itu, pengenaan pajak karbon pada bahan bakar minyak (BBM) dinilai berhasil mengurangi emisi dan meningkatkan

penetrasi kendaraan listrik. Penelitian di Singapura (Chua & Nakano, 2013), Swedia (Andersson, 2017), dan Jepang dan Eropa (Sterner, 2007) mengindikasikan pengaruh pajak karbon terhadap perilaku konsumen terhadap teknologi. Selain itu, penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use (TOU) juga dapat menurunkan biaya operasional dan meningkatkan preferensi konsumen terhadap kendaraan listrik. Kebijakan TOU membuat tarif listrik di luar waktu beban puncak lebih murah daripada waktu beban puncak dan dapat menurunkan biaya bahan bakar untuk pemilik kendaraan listrik sebesar 52%-59%

(Zethmayr & Kolata, 2019).

Insentif non-finansial dapat memberikan manfaat tambahan dari penggunaan kendaraan listrik. Beberapa instrumen yang umum digunakan antara lain; izin pemanfaatan jalur khusus (seperti jalur bus di Tiongkok dan Norwegia, atau jalur busway), pembebasan aturan pembatasan kendaraan (aturan ganjil- genap pada konteks DKI Jakarta, Indonesia), parkir gratis (di Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa), dan akses ke daerah rendah emisi (atau jalur bebas kendaraan untuk konteks Indonesia). Selain itu, pengembangan infrastruktur pengisian daya merupakan instrumen non-fiskal yang diperlukan untuk mengatasi masalah kekhawatiran konsumen akan jarak tempuh kendaraan listrik (range anxiety).

Penetapan kebijakan standar wajib ekonomi bahan bakar dan standar emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan instrumen lain yang dapat mendorong difusi pasar kendaraan listrik. Kebijakan ekonomi bahan bakar bahkan merupakan salah satu instrumen penting yang juga memberikan dampak dari sisi penawaran, dengan mendorong produsen untuk menjual produk kendaraan yang lebih hemat bahan bakar dan rendah emisi, yang merupakan keunggulan dari kendaraan listrik.

Sebagai contoh di Amerika Serikat, standar CAFE (Corporate Average Fuel Economy) berperan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dan menurunkan pangsa pasar kendaraan konvensional (Sen et al., 2017).

(13)

Pada kondisi Business As Usual (BAU), penetrasi kendaraan listrik hingga 2050 akan tertahan di bawah 1% untuk mobil

penumpang dan 67% untuk sepeda motor. Namun, penerapan instrumen insentif yang agresif pada sisi

permintaan dapat meningkatkan penetrasi hingga 85%

untuk mobil penumpang dan 92% untuk sepeda motor.

2

H

asil simulasi dengan model menun- jukkan bahwa dengan skenario BAU, mobil listrik sukar berkembang di pasar Indonesia. Hal ini disebabkan karena selisih harga jual yang sangat jauh dengan mobil konvensional. Tingginya harga jual ini disebabkan karena skema perpajakan yang berkontribusi pada sekitar 50% dari harga mobil listrik. Penurunan harga baterai yang agresif sebagaimana diproyeksikan oleh BNEF (Goldie- Scot, 2019) tidak mampu membuat harga mobil listrik bersaing dengan mobil konvensional karena masih membuat harga mobil listrik tetap lebih tinggi dan diluar jangkauan konsumen. Di sisi lain, sepeda motor listrik akan mampu mencapai 67% pangsa pasar pada 2050 tanpa adanya kebijakan baru. Keberadaan produksi domestik menjadi salah satu faktor kunci yang membuat perbedaan harga antara motor listrik dan konvensional tidak terlalu jauh berbeda sehingga memudahkan penetrasi motor listrik.

Pada skenario moderat, beberapa kebijakan yang telah dicanangkan atau baru diterapkan oleh pemerintah (pusat maupun daerah) diasumsikan akan diimplementasikan secara konsisten dan cakupannya diperluas secara nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah:

• Pembebasan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebesar 12,5% oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) hingga 2024.

• Pembebasan pajak pertambahan nilai untuk barang mewah (PPNBM) sebesar 15% oleh pemerintah pusat untuk BEV dan kendaraan hibrida plug-in (PHEV).

• Penerapan standar minimum kualitas bahan bakar setara Euro 4 sejak 2025.

• Pemberian potongan tarif listrik sebesar 30%

untuk pengisian daya kendaraan listrik pada malam hari.

• Pembangunan SPLU dan SPKLU sebanyak 167 titik pada 2020 hingga 7,146 titik pada 2030.

• Penerapan pajak karbon pada BBM sebesar 10 USD per ton CO2 pada 2025 dan meningkat secara bertahap ke 25 dan 100 USD per ton CO2 pada 2030 dan 2050.

• Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa kendaraan listrik akan dibebaskan dari bea impor dan pajak penghasilan impor.

Dengan skenario kebijakan moderat tersebut, pangsa pasar mobil listrik akan meningkat menjadi 14% pada 2050. Kenaikan penetrasi pada mobil listrik didukung terutama oleh penghapusan pajak terkait impor yang dapat menurunkan harga beli sebesar 39% dari harga penjualan saat ini. Simulasi ini menunjukkan bahwa insentif yang telah disiapkan oleh pemerintah ternyata belum cukup untuk mencapai target dari Kementerian Perindustrian yang mencanangkan penetrasi mobil listrik sebesar 20% pada 2025.

Untuk sepeda motor listrik, keberadaan insentif-insentif tersebut tidak terlalu mampu meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan, hanya peningkatan sebesar 8% dari skenario BAU pada 2050.

Pada skenario ambisius, insentif-insentif yang sama diberikan dengan lebih agresif, mencakup:

• Pembebasan kendaraan listrik dari seluruh pajak hingga 2025 (meliputi bea impor, PPH impor, BBNKB, PPNBM, PPN, dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)). Setelah 2025,

(14)

pajak-pajak tersebut dikenakan kembali secara bertahap, kecuali bea impor dan PPH impor, mengasumsikan sudah adanya industri domestik.

• Pengenaan pajak tambahan pada kendaraan konvensional secara bertahap mulai 2025 hingga mencapai 2,5 kali lipat pajak saat ini (untuk mobil) dan 3 kali lipat untuk motor pada 2035.

• Standar kualitas minimum bahan bakar setara Euro 4 diterapkan mulai 2025.

• Pajak karbon pada BBM diterapkan dengan peningkatan bertahap sebesar 10, 50, dan

245 USD per ton CO2 pada 2021, 2030, dan 2050.

• Pengurangan biaya pengisian daya kendaraan listrik diasumsikan mencapai 50% dengan adanya skema TOU.

• Ketersediaan infrastruktur pengisian daya diasumsikan sebanyak 16 ribu pada 2020 hingga 600 ribu pada 2050.

Dengan penerapan instrumen-instrumen kebijakan tersebut, penetrasi mobil listrik dapat meningkat drastis menjadi 85% dan motor listrik menjadi 92% pada 2050.

Gambar 1. Penetrasi pasar mobil listrik dalam berbagai skenario kebijakan

Gambar 2. Penetrasi pasar sepeda motor listrik dalam berbagai skenario kebijakan

100%

80%

60%

40%

20%

0%

BAU Moderate Ambitious

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

BAU Moderate Ambitious

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

100%

80%

60%

40%

20%

0%

(15)

Insentif pajak dan penyediaan infrastruktur pengisian listrik umum (SPLU dan SPKLU)

merupakan instrumen kebijakan yang paling berpengaruh untuk mendukung penetrasi

kendaraan listrik yang lebih dalam.

3

A

nalisis lebih dalam terhadap hasil simulasi memperlihatkan bahwa dua instrumen kebijakan berdampak lebih signifikan terhadap penetrasi kendaraan listrik dibanding instrumen lain, yakni pemberian insentif pajak dan penyediaan infrastruktur pengisian listrik umum. Insentif pajak meliputi pemberian potongan pajak bagi kendaraan listrik dan pengenaan pajak tambahan bagi kendaraan konvensional. Insentif pajak berpengaruh besar karena instrumen ini berperan mengurangi selisih harga beli antara kendaraan listrik dan kendaraan konvensional, terutama dalam pasar mobil penumpang.

Ketika masalah selisih harga sudah teratasi, maka ketersediaan unit pengisian daya umum menjadi penghambat utama. Hal ini terlihat lebih jelas pada pasar sepeda motor.

Pada pasar mobil penumpang, insentif pajak merupakan prasyarat terjadinya penetrasi pasar oleh mobil listrik. Tanpa adanya insentif pajak, walaupun instrumen-instrumen yang lain diterapkan sesuai dengan skenario ambisius, penetrasi mobil listrik hanya akan mencapai 2,2% hingga tahun 2050, sebagaimana ditampilkan dalam gambar 3. Hal ini sangat berbeda dengan hasil simulasi skenario ambisius yang bahkan pada 2025 sudah melewati 41%. Fenomena ini mengindikasikan pentingnya daya saing dari segi harga beli untuk calon konsumen mempertimbangkan membeli mobil listrik.

Dengan selisih harga beli yang sangat jauh seperti saat ini, berbagai insentif lain, baik insentif fiskal berulang maupun non-fiskal, tidak akan memberikan dampak yang berarti.

Gambar 3. Penetrasi mobil listrik dengan instrumen sesuai dengan skenario ambisius kecuali insentif pajak

2,5%

2,0%

1,5%

1,0%

0,5%

0%

HEV

PHEV

BEV

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

(16)

Gambar 4 menampilkan dampak dari beberapa instrumen kebijakan dikombinasikan dengan insentif pajak. Terlihat dari gambar tersebut bahwa kombinasi antara insentif pajak dengan pengembangan stasiun pengisian daya mampu meningkatkan penetrasi kendaraan listrik paling tinggi dan cepat dibanding kombinasi yang lain. Hal ini mengindikasikan munculnya faktor penghambat berikutnya ketika harga beli sudah lebih kompetitif, yakni range anxiety. Rasio antara jumlah kendaraan listrik (dalam ribu unit) dengan stasiun pengisian listrik (VRI ratio) yang dinilai optimal adalah antara 10-16 (Spöttle et al., 2018).

Apabila jumlah stasiun pengisian kurang dari itu, maka akan menghambat penetrasi kendaraan listrik.

Di pasar sepeda motor, kondisi yang terjadi cukup berbeda karena selisih harga antara motor konvensional dan motor listrik tidak terlalu jauh. Dalam model ini diasumsikan harga motor listrik pada 2018 adalah 34% lebih tinggi dari motor konvensional. Selain itu, harga jual motor konvensional cenderung selalu meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, harga motor listrik akan mengalami penurunan yang

didorong oleh penurunan harga baterai. Kedua hal ini berpengaruh pada harga motor listrik yang mampu bersaing lebih cepat terhadap motor konvensional. Hal ini membuat kebijakan insentif pajak menjadi kurang efektif diban- dingkan penyediaan infrastruktur pengisian listrik secara luas.

Gambar 5 memperlihatkan pengaruh dari insentif pajak dan ketersediaan infrastruktur pengisian listrik umum terhadap penetrasi motor listrik. Dari simulasi tersebut, terlihat bahwa penyediaan infrastruktur mampu mempercepat penetrasi kendaraan listrik pada tahun awal hingga 2030. Di sisi lain, kebijakan insentif pajak tidak terlalu berpengaruh besar pada tahun-tahun awal namun mampu meningkatkan penetrasi lebih tinggi daripada infrastruktur pengisian listrik setelah 2040.

Selain itu, kombinasi kedua instrumen tersebut memberikan laju penetrasi motor listrik yang sangat menyerupai skenario ambisius. Hal ini mengindikasikan bahwa di pasar sepeda motor, instrumen insentif berulang yang mencakup kenaikan harga BBM dan penurunan harga listrik sangat rendah pengaruhnya terhadap preferensi konsumen.

Gambar 4. Penetrasi mobil listrik pada berbagai kombinasi instrumen kebijakan dengan insentif pajak

70%

60%

50%

40%

30%

20%

10%

0%

Insentif pajak dan kualitas BBM Insentif pajak

Insentif pajak dan pengisi daya Insentif pajak dan harga karbon

Insentif pajak dan tarif listrik

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

(17)

S

ejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik mampu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Proyeksi IEA, misalnya, memperkirakan bahwa kendaraan listrik dapat menurunkan emisi global sebesar 220 juta ton CO2 pada 2030 (IEA, 2019). Hasil pemodelan dari studi ini, sebagaimana terlihat pada Gambar 6, memperkirakan bahwa dalam skenario ambisius, emisi CO2 dari mobil penumpang dan sepeda motor dapat diturunkan sebesar 8,4 juta ton CO2 pada tahun 2030, 31,1 juta ton CO2 pada 2040, dan 49,5 juta ton pada 2050.

Pengurangan emisi tersebut mengasumsikan masa pakai selama 10 tahun dengan jarak tempuh mobil 15.000 km per tahun dan sepeda motor 5.000 km per tahun. Selain itu,

diasumsikan faktor emisi dari pembangkitan listrik akan menurun secara perlahan dari 828 gram CO2/kWh di 2020 menjadi 420 gram CO2/ kWh di 2050, mengadaptasi proyeksi RUPTL dan RUEN.

Penurunan emisi sebesar 8,4 juta tonCO2 pada 2030 setara dengan 13% dari penurunan emisi dari mobil dan sepeda motor yang diproyeksikan oleh Setiawan et al. (2019).

Penurunan emisi ini dapat berkontribusi sekitar 10% dari target penurunan emisi sektor transportasi di 2030 pada skenario 1,5oC sesuai perhitungan dari CAT (Climate Action Tracker, 2019b). Walaupun demikian jumlah ini lebih rendah dibanding dengan penurunan emisi yang dihasilkan oleh kebijakan pengalihan bahan bakar, misalnya pencampuran biodiesel, Gambar 5. Penetrasi pasar motor listrik dan dampak dari insentif pajak dan

ketersediaan infrastruktur pengisian daya

100%

80%

60%

40%

20%

0%

BAU Insentif pajak

Infrastruktur pengisian daya Insentif pajak dan pengisian daya

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

Penggunaan kendaraan listrik dapat mendukung usaha penurunan emisi dan meningkatkan ambisi iklim Indonesia dari sektor transportasi.

4

(18)

sebagaimana klaim pemerintah. Sesuai perkiraan Kementerian ESDM, penerapan kebijakan B30 pada 2020 saja diperkirakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 14 juta ton CO2. Meski demikian, pada jangka panjang, seiring penetrasi kendaraan listrik potensi penurunan emisi oleh penetrasi kendaraan listrik akan meningkat secara signifikan. Di 2050, penurunan emisi dari penetrasi kendaraan listrik dapat berkontribusi pada 34%

dari penurunan emisi sektor transportasi dalam skenario 1,5oC oleh CAT. Lambatnya efek penurunan emisi oleh kendaraan listrik ini disebabkan karena kendaraan listrik membutuhkan waktu untuk menggantikan kendaraan konvensional yang beroperasi di jalan. Misalnya, seandainya sejak 2020 seluruh kendaraan yang dibeli merupakan kendaraan listrik, masih dibutuhkan waktu hingga 2040 sampai seluruh kendaraan bermesin konvensional hilang dari peredaran.

Selain itu, rendahnya kontribusi penetrasi kendaraan listrik terhadap penurunan emisi di periode sepuluh tahun awal juga dipengaruhi oleh faktor emisi dari pembangkitan listrik di Indonesia yang masih tinggi. Berdasarkan

RUPTL 2019-2028, faktor emisi dari pembangkitan listrik akan turun dari 0,828 KgCO2/kWh pada 2020 menjadi 0,700 KgCO2/ kWh pada 2028. Faktor emisi ini masih jauh lebih tinggi dari rata-rata faktor emisi di negara- negara G20 lainnya (Climate Transparency, 2019).

Meski demikian, mengingat potensi penurunan emisi secara jangka panjang, kendaraan listrik masih perlu dimanfaatkan sebagai salah satu strategi penurunan emisi jangka panjang. Terlebih, kebijakan saat ini, yakni pencampuran biodiesel pada minyak diesel konvensional, belum mampu mengatasi masalah emisi dari kendaraan mobil penumpang dan sepeda motor yang sebagian besar menggunakan bahan bakar bensin.

Bahkan, dari seluruh penggunaan energi di sektor transportasi, bensin berkontribusi pada 51%, sedangkan diesel hanya menyumbang 35%. Selain itu, pemanfaatan BBN tidak akan dapat menggantikan seluruh konsumsi BBM di masa depan tanpa adanya pengalihan ke kendaraan listrik mengingat potensi emisi yang akan ditimbulkan di sektor hulu (alih fungsi lahan).

Gambar 6. Emisi GRK per tahun dari penggunaan mobil penumpang dan sepeda motor

120 100 80 60 40 20 - MtCO2

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

BAU Moderate Ambitious

(19)

Untuk merealisasikan potensi penurunan emisi dari penggunaan kendaraan listrik, maka

perlu upaya untuk menurunkan emisi dari pembangkitan listrik.

5

S

ektor ketenagalistrikan saat ini merupakan penyumbang emisi terbesar yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil oleh pembangkit listrik. Proporsi batubara dalam bauran energi listrik nasional, yakni mencapai 60% dari total listrik yang dibangkitkan pada tahun 2019 menjadi kontributor utama tingginya faktor emisi di sistem ketenagalistrikan. Tingginya emisi GRK di sektor ketenagalistrikan membuat potensi penurunan emisi oleh penetrasi kendaraan listrik menjadi terbatas, terlebih ketika emisi GRK dari seluruh rantai produksi produksi kendaraan dan baterai juga diperhitungkan.

IESR memperkirakan bahwa dengan proyeksi faktor emisi tahun 2020 yang tercantum di RUPTL 2019-2028 sebesar 0,828 KgCO2/kWh, alih-alih menurunkan emisi, penggunaan mobil listrik akan menghasilkan emisi GRK lebih tinggi daripada mobil konvensional. Hal ini disebabkan karena total emisi dari produksi kendaraan listrik dan baterai yang lebih besar daripada kendaraan konvensional. Namun, untuk sepeda motor listrik, hal yang sama tidak berlaku karena tingkat efisiensi sepeda motor listrik 4,5 kali lebih efisien dibandingkan motor konvensional (IESR, 2019). Tabel 1 menunjukkan faktor emisi pembangkitan yang harus dicapai untuk memperoleh penurunan emisi mengasumsikan

emisi dari produksi mobil dan baterai tidak berkurang.

Kaitan yang erat antara potensi penurunan emisi dari penggunaan kendaraan listrik dengan faktor emisi pembangkitan membuat kebijakan dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan menjadi penting. Simulasi skenario kebijakan phase-out pembangkit listrik tenaga batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan akan memperbesar penurunan emisi GRK oleh penetrasi kendaraan listrik pada skenario ambisius menjadi 10 juta, 43 juta, dan 72 juta ton CO2 pada 2030, 2040, dan 2050 (Gambar 7). Berdasarkan skenario phase-out ini, Indonesia tidak bisa menambah lagi pembangkit listrik batubara di luar PLTU yang sudah direncanakan dalam RUPTL 2019- 2028. Selain itu, seluruh pembangkit batubara dibatasi usia pakainya selama 20 tahun (Arinaldo et al., 2019). Kebijakan ini akan menurunkan faktor emisi pembangkit menjadi 0,564 KgCO2/kWh pada 2030 dan 0,090 KgCO2/ kWh pada 2050, mengasumsikan bahwa masih ada 22% dari listrik yang dibangkitkan menggunakan bahan bakar gas alam sedangkan 78% berasal dari energi terbarukan.

Sayangnya, data dari beberapa tahun terakhir tidak menunjukkan adanya penurunan faktor emisi pembangkitan yang signifikan.

Laporan Brown to Green dalam tiga tahun

Tabel 1. Hubungan antara faktor emisi dari pembangkitan listrik dengan potensi penurunan emisi dari penggunaan mobil listrik dibanding mobil konvensional

Penurunan emisi 0% 10% 20% 30% 40% 50% 58%

Faktor emisi pembangkitan

(gCO2/kWh) 734 608 482 356 231 105 0

(20)

terakhir menunjukkan adanya peningkatan faktor emisi pembangkitan di Indonesia dari 0,734 KgCO2/kWh pada 2014 menjadi 0,761 KgCO2/kWh pada 2018 (Climate Transparency, 2017, 2018, 2019). Hal ini sejalan dengan kontribusi energi terbarukan dalam pembangkitan listrik yang proporsinya relatif stagnan sejak 2011, bahkan menurun sejak

2016 (IESR, 2019), serta meningkatnya kontribusi batubara hingga melampaui 60% di 2019 (Ministry of Energy and Mineral Resources, 2020). Apabila kecenderungan ini terus berlanjut, maka penetrasi kendaraan listrik tidak dapat memberikan dampak penurunan emisi GRK secara signifikan.

Gambar 7. Penurunan emisi CO2 melalui penetrasi kendaraan listrik dengan dua skenario faktor emisi pembangkitan

2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050

80 70 60 50 40 30 20 10 -

80,0%

70,0%

60,0%

50,0%

40,0%

30,0%

20,0%

10,0%

0,0%

MtCO2

Moderate Moderate (%)

Ambitious Ambitious (%)

Moderate coal phase-out Moderate coal phase-out (%)

Ambitious coal phase-out Ambitious coal phase-out (%)

D

alam skenario kebijakan ambisius, penetrasi kendaraan listrik akan terjadi dengan cepat dan berpotensi menimbulkan gangguan. Di sektor ketenagalistrikan, penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050.

Sebagai pembanding, konsumsi listrik total

pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh.

Selain itu, apabila tidak dilakukan usaha untuk mengendalikan perilaku pemilik kendaraan listrik dalam melakukan pengisian baterai, dapat terjadi lonjakan beban puncak di malam hari. Dari simulasi yang dilakujan pada skenario ambisius, beban puncak pada tahun 2028 misalnya, diperkirakan dapat terjadi

Dibutuhkan perencanaan yang matang untuk mengantisipasi dampak dari penetrasi

kendaraan listrik yang lebih dalam dan akuisisi yang lebih cepat oleh konsumen.

6

(21)

peningkatan sebesar 6 GW dari 45 GW yang diproyeksikan di RUPTL, dengan kebutuhan ramp-up pembangkit yang mencapai 3 GW per jam. Hal ini dapat dihindari apabila dilakukan kebijakan untuk memanipulasi perilaku konsumen seperti penerapan tarif listrik Time- of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan.

Selain itu, dengan skenario ini akan terjadi penurunan permintaan BBM sebesar 36 juta setara barel minyak (SBM) atau 5,72 juta kilo liter pada 2030 dan 166 juta SBM atau 26,4 juta kilo liter pada 2050 dibandingkan dengan skenario BAU. Dibandingkan dengan proyeksi impor minyak dalam RUEN, penurunan ini setara dengan 5% pada 2030 dan 11% pada 2050. Lebih jauh lagi, penghematan BBM dari penggunaan mobil dan sepeda motor listrik ini dapat mengimbangi penambahan konsumsi BBM dari kendaraan barang dan bus. Menurut proyeksi RUEN, konsumsi BBM dari kendaraan barang dan bus akan meningkat sebanyak 143 juta SBM pada periode yang sama. Dampak lain dari turunnya kebutuhan BBM adalah berkurangnya kebutuhan akan kapasitas kilang minyak, depot-depot penampung dan stasiun pengisian bahan bakar. Untuk menghindari potensi aset terdampar (stranded asset), dibutuhkan perencanaan yang lebih matang dan hati-hati dalam pembangunan kilang minyak dan infrastruktur lainnya untuk menghindari risiko ekonomi.

Sektor industri otomotif akan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh penetrasi kendaraan listrik. Produksi mobil konvensional akan mulai menurun pada 2023 dan cenderung mengalami stagnasi di bawah 1 juta unit per tahun. Produksi motor

konvensional akan mengalami stagnasi selepas tahun 2025 di sekitar 11 juta unit per tahun.

Dengan tingkat penetrasi kendaraan listrik yang tinggi pada skenario ambisius, produsen akan berminat untuk membangun pabrik perakitan dan bahkan komponen di Indonesia.

Hal ini membuka peluang industri baru, namun perlu diimbangi dengan pengembangan kemampuan domestik dalam produksi komponen yang dibutuhkan. Beberapa industri komponen otomotif yang masih akan penting dalam era kendaraan listrik, termasuk bahan baku, komponen elektronik, dan komponen presisi, serta baterai masih belum berkembang di Indonesia (Japan International Cooperation Agency (JICA) & Nomura Research Institute Ltd, 2019).

Insentif yang diberikan untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik, dalam bentuk pembebasan pajak dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik, akan membutuhkan biaya. Pembebasan pajak kendaraan listrik pada skenario ambisius akan menyebabkan menurunnya pendapatan pemerintah hingga 2029, dengan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2023 hingga 2025. Namun, pada jangka panjang, pendapatan negara akan meningkat setelah tahun 2030 karena adanya pengenaan pajak tambahan. Selain itu, dibutuhkan dana yang besar untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya, yakni sebesar 345 juta USD hingga tahun 2030 dan lebih dari 1 miliar USD hingga tahun 2050. Agar tidak semakin membebani keuangan pemerintah dan/atau BUMN, investasi ini perlu melibatkan partisipasi swasta. Meski demikian, besar investasi untuk infrastruktur ini masih jauh lebih rendah dibanding, misalnya, subsidi BBM yang diberikan pemerintah sebesar 1,2 miliar USD pada tahun 2020 saja.

(22)

1. Penurunan harga kendaraan listrik, khususnya untuk mobil listrik, melalui skema insentif pajak dan instrumen seperti pembebasan bea masuk impor, pembebasan pajak, dan rebate.

2. Pemberian insentif pajak serta mengubah skema perpajakan kendaraan bermotor berdasarkan besar emisi GRK.

3. Memberikan insentif non-finansial seperti pembebasan dari aturan ganjil-genap, pembebasan penggunaan jalur busway, pembebasan parkir, hingga penetapan wilayah rendah emisi.

4. Pembangunan infrastruktur pengisian listrik umum yang lebih banyak dan

mencakup wilayah yang luas untuk mengatasi range anxiety, terutama untuk mendorong penetrasi motor listrik.

5. Menciptakan pasar awal untuk kendaraan listrik melalui pengadaan skala besar (bulk procurement) oleh pemerintah, misalnya dengan elektrifikasi kendaraan untuk transportasi umum (bus dan angkutan kecil) dan kendaraan operasi serta kendaraan dinas pejabat. Pembentukan pasar awal ini diperlukan untuk mendorong skala keekonomian industri mobil listrik, menurunkan risiko dan membangun jaringan distribusi kendaraan listrik.

H

asil pemodelan dari studi ini menunjukkan bahwa penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan sejumlah kebijakan dan instrumen fiskal dan non-fiskal yang diimplementasikan secara bersamaan:

Kesimpulan dan Rekomendasi

Photo by Noah Negishi on Unsplash

(23)

6. Dalam jangka pendek dan menengah, percepatan akuisisi motor listrik perlu mendapatkan prioritas, mulai dari mem- bangun industri perakitan dalam negeri, komponen, pembukaan pasar, promosi dan optimalisasi insentif finansial untuk membentuk pasar dan minat konsumen dengan cepat.

7. Menetapkan kewajiban standar ekonomi bahan bakar untuk mengurangi emisi GRK sebelum kendaraan listrik mampu bersaing dan mendorong produsen untuk beralih ke kendaraan listrik.

8. Menetapkan kebijakan untuk melarang penjualan kendaraan konvensional se- lambat-lambatnya pada 2035 sehingga penurunan emisi GRK dari mobil dan sepeda motor listrik dapat dimaksimalkan pada 2050.

9. Mengurangi bauran pembangkit listrik batubara dan pembangkit fossil lainnya dalam sistem ketenagalistrikan dan meng- gantikannya dengan pembangkit energi terbarukan, sekurang-kurangnya sesuai dengan target dalam RUEN. Pemilik mobil listrik dapat didorong memasang pem- bangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap) untuk mendiversifikasi sumber daya listrik untuk pengisian baterai kendaraan listrik.

10. Dengan pangsa kendaraan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia perlu membangun industri kendaraan listrik, sebagai substitusi industri kendaraan konvensional. Untuk itu perlu sejak awal dipersiapkan pengem- bangan industri komponen kendaraan listrik yang mencakup industri baterai (Lithium Ion), mesin listrik, power converter, dan material pembuat kendaraan, dan industri perakitannya, seiring dengan tindakan membangun pasar kendaraan listrik.

(24)

Referensi

Andersson, J. (2017). Cars, carbon taxes and CO2 emissions (GRI Working Papers No. 212).

Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment. http://www.lse.ac.uk/

GranthamInstitute/wp-content/uploads/2017/03/Working-paper-212-Andersson_update_

March2017.pdf

Arinaldo, D., Mursanti, E., & Tumiwa, F. (2019). Implikasi Paris Agreement terhadap Masa Depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Indonesia. Institute for Essential Services Reform.

https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/07/PLTU-dan-Paris-Agreement.pdf

Bjerkan, K. Y., Nørbech, T. E., & Nordtømme, M. E. (2016). Incentives for promoting Battery Electric Vehicle (BEV) adoption in Norway. Transportation Research Part D: Transport and Environment, 43, 169–180. https://doi.org/10.1016/j.trd.2015.12.002

Chua, S. T., & Nakano, M. (2013). Design of a Taxation System to Promote Electric Vehicles in Singapore. In C. Emmanouilidis, M. Taisch, & D. Kiritsis (Eds.), Advances in Production Management Systems. Competitive Manufacturing for Innovative Products and Services (pp. 359–367).

Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-642-40352-1_45

Climate Action Tracker. (2019a). Indonesia. https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/

Climate Action Tracker. (2019b). Scaling up climate action—Key opportunities for transitioning to a zero emissions society—Indonesia Full Report. Climate Action Tracker. https://climateactiontracker.org/

publications/scalingupindonesia/

Climate Transparency. (2017). Brown to Green 2017: Indonesia Country Facts. Climate Transparency.

https://www.climate-transparency.org/wp-content/uploads/2017/07/B2G2017-Indonesia.pdf Climate Transparency. (2018). Brown to Green 2018: Indonesia Country Facts (pp. 1–15). Climate

Transparency. https://www.climate-transparency.org/wp-content/uploads/2019/01/BROWN-TO- GREEN_2018_Indonesia_FINAL.pdf

Climate Transparency. (2019). Brown to Green 2019: Indonesia Country Profile (pp. 1–20). Climate Transparency. https://www.climate-transparency.org/wp-content/uploads/2019/11/B2G_2019_

Indonesia.pdf

Goldie-Scot, L. (2019, March 5). A Behind the Scenes Take on Lithium-ion Battery Prices. BloombergNEF.

https://about.bnef.com/blog/behind-scenes-take-lithium-ion-battery-prices/

Government of Republic of Indonesia. (2016). First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia.

IEA. (2013). Global EV Outlook 2013. IEA. https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2013 IEA. (2019). Global EV Outlook 2019. IEA. https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2019

IESR. (2019). Indonesia Clean Energy Outlook: Tracking Progress and Review of Clean Energy Development in Indonesia. Institute for Essential Services Reform. http://iesr.or.id/pustaka/iceo2020/

(25)

Japan International Cooperation Agency (JICA), & Nomura Research Institute Ltd. (2019).

Republic of Indonesia Data Collection Survey on Promotion for Globally Competitive Industry (May).

Republic of Indonesia Ministry of National Development Planning. https://openjicareport.jica.

go.jp/600/600/600_108_12334389.html

Ministry of Energy and Mineral Resources. (2020). Capaian Kinerja 2019 dan Program 2020. Ministry of Energy and Mineral Resources Republic of Indonesia. https://www.esdm.go.id/id/booklet/

capaian-kinerja-2019-dan-program-2020

Monschauer, Y., & Kotin-Förster, S. (2018). Bonus-Malus Vehicle Incentives System in France: Fact Sheet.

Ecofys and adelphi. chrome-extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/https://www.euki.

de/wp-content/uploads/2018/09/fact-sheet-bonus-malus-vehicle-incentive-system-fr.pdf

Sen, B., Noori, M., & Tatari, O. (2017). Will Corporate Average Fuel Economy (CAFE) Standard help? Modeling CAFE’s impact on market share of electric vehicles. Energy Policy, 109, 279–287. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2017.07.008

Setiawan, I., Indarto, I., & Aan, D. (2019). Reducing CO 2 Emissions from Land Transport Sector in Indonesia: Case Study Automobiles Sector. Journal of Physics: Conference Series, 1167, 012008. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1167/1/012008

Spöttle, M., Jörling, K., Schimmel, M., Staats, M., Grizzel, L., Jerram, L., Drier, W., & Gartner, J. (2018). Research for TRAN Committee-Charging infrastructure for electric road vehicles. European Parliament. https://www.europarl.europa.eu/thinktank/en/document.html?reference=IPOL_

STU(2018)617470

Sterner, T. (2007). Fuel taxes: An important instrument for climate policy. Energy Policy, 35(6), 3194–3202. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2006.10.025

Wesseling, J. H. (2015). Explaining differences in electric vehicle policies across countries: Innovation vs.

Environmental policy rationale across countries: Innovation vs. Environmental. http://wp.circle.lu.se/

upload/CIRCLE/workingpapers/201542_Wesseling.pdf

Yang, Z., Slowik, P., Lutsey, N., & Searle, S. (2016). ICCT : Principles for Effective Electric Vehicle Incentive Design (June). The International Council on Clean Transportation. https://theicct.org/sites/

default/files/publications/ICCT_IZEV-incentives-comp_201606.pdf

Zethmayr, J., & Kolata, D. (2019). Charge for less: An analysis of hourly electricity pricing for electric vehicles. World Electric Vehicle Journal, 10(1). https://doi.org/10.3390/wevj10010006

(26)

Funders:

Partners:

Supported by:

based on a decision of the German Bundestag

Contact point in Indonesia:

Fabby Tumiwa

Institute for Essential Services Reform (IESR)

fabby@iesr.or.id

Erina Mursanti

Institute for Essential Services Reform (IESR)

erina@iesr.or.id

Climate Transparency is a global partnership with a shared mission to stimulate a ‘race to the top’ in G20 climate action and to shift investments towards zero carbon technologies through enhanced transparency. Climate Transparency is made possible through support from the Federal Ministry for Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU), through the International Climate Initiative, ClimateWorks Foundation and the World Bank Group.

https://www.climate-transparency.org/

The Institute for Essential Services Reform is a research and advocacy institution on energy and environment policy. It is a unique think tank because it combines in-depth studies and analyses of policies, regulations and the techno-economic aspects of the energy and environment sector, with strong public interest advocacy activities to influence policy change at the national, sub-national and global levels. We produce science-based analyses and studies, and provide technical assistance and capacity-building for policy-makers, businesses, civil societies and other stakeholders in need, and work in partnership with other state and non-state actors on specific projects and campaigns. IESR is independent from any government or business interests.

http://iesr.or.id/

Climate Transparency adalah kemitraan global dengan misi untuk memacu ‘perlombaan menuju puncak‘ pada aksi terhadap iklim dari negara G20 untuk mengalihkan investasi ke arah teknologi nol karbon lewat peningkatan transparansi. Climate Transparency terwujud dengan dukungan Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir (BMU), melalui International Climate Initiative, ClimateWorks Foundation, dan World Bank Group.

https://www.climate-transparency.org/

Institute for Essential Services Reform adalah lembaga penelitian dan advokasi kebijakan energi dan lingkungan.

Sebuah wadah pemikir unik yang menyatukan studi dan analisis mendalam dari kebijakan, regulasi, dan aspek tekno-ekonomi sektor energi dan lingkungan, dengan kegiatan advokasi untuk kepentingan publik dalam mempengaruhi perubahan kebijakan di tingkat nasional, sub-nasional, dan global. Kami menghasilkan analisis dan studi berbasis sains, juga menyediakan bantuan teknis dan pengembangan kapasitas bagi pembuat kebijakan, bisnis, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lain, serta bekerja dalam kemitraan dengan aktor negara dan non-negara lain pada proyek dan kampanye secara spesifik. IESR tidak terikat kepentingan pemerintah atau bisnis.

http://www.iesr.or.id/

(27)

Funders:

Partners:

Supported by:

based on a decision of the German Bundestag

Contact point in Indonesia:

Fabby Tumiwa

Institute for Essential Services Reform (IESR)

fabby@iesr.or.id

Erina Mursanti

Institute for Essential Services Reform (IESR)

erina@iesr.or.id

Climate Transparency is a global partnership with a shared mission to stimulate a ‘race to the top’ in G20 climate action and to shift investments towards zero carbon technologies through enhanced transparency. Climate Transparency is made possible through support from the Federal Ministry for Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU), through the International Climate Initiative, ClimateWorks Foundation and the World Bank Group.

https://www.climate-transparency.org/

The Institute for Essential Services Reform is a research and advocacy institution on energy and environment policy. It is a unique think tank because it combines in-depth studies and analyses of policies, regulations and the techno-economic aspects of the energy and environment sector, with strong public interest advocacy activities to influence policy change at the national, sub-national and global levels. We produce science-based analyses and studies, and provide technical assistance and capacity-building for policy-makers, businesses, civil societies and other stakeholders in need, and work in partnership with other state and non-state actors on specific projects and campaigns. IESR is independent from any government or business interests.

http://iesr.or.id/

(28)

Institute for Essential Services Reform (IESR) Jalan Tebet Barat Dalam VIII No. 20 B

Jakarta Selatan 12810 | Indonesia

T: +62 21 2232 3069 | F: +62 21 8317 073 www.iesr.or.id | iesr@iesr.or.id

@IESR @iesr.id @IESR.id @iesr

Referensi

Dokumen terkait

Setiap individu dalam ekosistem masyarakat harus melakukan hak dan kewajibannya agar interaksi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dapat berjalan dengan baik.. Jika ada

Hal ini lebih mudah lagi setelah hadirnya Microsoft Visual Basic yang dibangun dari ide untuk membuat bahasa yang sederhana dan mudah dalam pembuatan scriptnya

Di dalam Lambang Daerah terdapat Gunung/Pulau, melambangkan Daerah Kepulauan bahwa Kabupaten Halmahera Timur merupakan wilayah Provinsi Maluku Utara dengan jumlah gunung

Upaya penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan jauh panggang dari api dengan masuknya gasifikasi batubara dalam RUU EBT.. Gasifikasi batubara bukanlah

Perubahan tersebut sangat lumrah terjadi karena keinginan dari Pengguna Jasa yang timbul selama pelaksanaan dari suatu proyek konstruksi yang disebabkan antara lain karena

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KENDAL DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014. : KENDAL : JAWA TENGAH : KENDAL 4 MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL BE MODEL

[r]

perubahan energi listrik dan energi potensial berdasarkan contoh ilustrasi berdasarkan penggunaan keran air. 4) Menanyai perubahan yang terjadi pada energi ginetik.