E-PAPER
PERPUSTAKAAN DPR RI
Telepon : (021) 5715876, 5715817, 5715887 Fax : (021) 5715846
e-mail: [email protected]
Become a Fan Perpustakaan DPR RI
http://perpustakaan.dpr.go.id http://epaper.dpr.go.id
Rabu 06 Oktober 2021
No. Judul Surat Kabar Hal.
1. Harga Tes PCR Bisa Diatur Kompas 0
2. Listrik EBT, Sengkarut Regulasi versus Restorasi Ekologi Kompas 0
3. Listrik EBT, Sengkarut Regulasi versus Restorasi Ekologi Kompas 0
4. Menunggu Listrik yang Lebih Hijau Kompas 0
Perlu keterbukaan pemerintah dan pengelola faskes dalam menghitung komponen, seperti pengadaan alat, operasional gedung, dan sumber daya manusia sehingga bisa ditarik harga rata-rata yang bisa dicapai oleh semua pihak.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR JAKARTA, KOMPAS — Harga tes reaksi berantai polimerase atau PCR kini dibatasi agar pemeriksaan Covid-19 bisa diatur dan semakin terjangkau oleh masyarakat sesuai Surat Edaran Kementerian Kesehatan.
Untuk benar-benar merealisasikannya, di satu sisi perlu campur tangan pemerintah membantu rumah sakit untuk mendapatkan alat tes dan reagen yang harganya tidak selangit. Di sisi lain, rumah sakit bisa berinisiatif dengan keterbukaan biaya pembelian alat. Pada tanggal 5 Oktober 2020, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR. Surat itu ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir. Isinya adalah meminta semua fasilitas kesehatan (faskes), baik rumah sakit (RS) maupun klinik yang memberi layanan tes PCR, agar meminta bayaran dari masyarakat paling mahal Rp 900.000. Surat ini keluar karena ada keluhan masyarakat mengenai ragam harga tes PCR. Ada faskes yang menarik harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Akibatnya, selain membebani pengeluaran ekonomi, masyarakat juga menyangsikan keakuratan hasil tes dengan harga yang dinilai lebih murah. ”Harga alat dan reagen PCR bisa bervariasi, bergantung pada volume yang dibeli oleh faskes,” kata Ketua Perkumpulan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/10/2020). Hasbullah memaparkan perlunya keterbukaan pemerintah dan faskes dalam menghitung komponen, mulai dari pengadaan alat, operasional gedung, hingga sumber daya manusia sehingga bisa ditarik harga rata-rata yang bisa dicapai oleh semua pihak. Faskes semestinya juga bisa membuka data jenis alat PCR, reagen, dan jumlah yang mereka beli. Biasanya, semakin besar volume pembelian, harga semakin bisa diturunkan. ”Ada aturan bahwa margin keuntungan faskes di sektor penanganan Covid-19 tidak boleh melebihi 15 persen dan sudah mencakup balik modal,” ujar Hasbullah. Ia menjabarkan bahwa faskes jangan melihat layanan tes PCR sebagai sektor yang wajib memberi laba ekonomi, apalagi di tengah situasi pandemi. Hendaknya faskes melihat komponen pelayanan mereka secara komprehensif. Tidak setiap layanan perlu memberi keuntungan dan justru bisa disubsidi dari sektor layanan lainnya. Dari sisi pemerintah, bisa dilakukan inisiatif untuk mengarahkan pembelian alat PCR dan reagen dari perusahaan yang bisa memberi harga terjangkau. Cara ini bisa membantu faskes untuk tidak memulai dari nol untuk penyediaan perlengkapan tes. Pertimbangkan semua Daniel Wibowo dari Perhimpunan RS Seluruh Indonesia mengatakan, pihaknya memahami maksud pemerintah, tetapi sukar diterapkan di lapangan. Setiap RS memiliki biaya operasional berbeda-beda, bergantung pada ukuran dan jumlah layanan yang mereka berikan kepada publik. Status laboratorium RS juga beragam karena ada yang sudah mumpuni dan ada yang relatif kecil. ”Perlu diingat ada laboratorium RS yang harus merujuk pemeriksaan ke laboratorium lain karena keterbatasan alat sehingga akan berat bagi mereka menerapkan tarif standar,” kata Daniel. RS besar dan yang bisa melakukan tes PCR serta memeriksa sampel di laboratorium sendiri cenderung lebih bisa mengikuti anjuran Kemenkes. Apabila pemerintah mengeluarkan aturan RS wajib membeli alat dan reagen dari perusahaan tertentu, justru kontraproduktif. Daniel menerangkan, ada RS yang investasi alat dan bebas mendapat reagen, ada yang kontrak reagen merek tertentu dengan pinjaman mesin, ada yang memiliki kerja sama operasi dengan investor tes cepat PCR, dan ada pula yang alatnya murni sumbangan sehingga tidak ada penyusutan alat. Faktor ini harus dipertimbangkan juga untuk melakukan standardisasi tarif tes.
Upaya penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan jauh panggang dari api dengan masuknya gasifikasi batubara dalam RUU EBT. Gasifikasi batubara bukanlah energi terbarukan. Oleh RIBUT LUPIYANTO Listrik sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Kebutuhannya yang semakin meningkat menuntut layanan prima yang semakin berat.
Dalam pemenuhannya, energi listrik mempunyai peranan vital dan strategis. Vital terkait hajat hidup orang banyak dan strategis karena menunjang pembangunan nasional. Konsekuensinya, listrik mesti diwujudkan secara andal, aman, dan ramah lingkungan. Andal dengan jaminan kontinuitas, aman terhadap manusia, dan berdampak positif bagi restorasi ekologi. Dunia kelistrikan nasional masih terus mengalami sengkarut pengelolaan, mulai dari kerugian, korupsi, kerusakan, layanan minimalis, dan lainnya. Tantangan kelistrikan ke depan semakin berat. Ketersediaan bahan baku energi semakin terbatas, sedangkan permintaan terus melonjak. Solusi dan komitmen telah ditetapkan pemerintah, yaitu penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan (EBT). Baca juga: Harapan kepada Energi Terbarukan Hijrah kelistrikan menuju EBT dijanjikan terealisasi bertahap ke depan. Fakta di lapangan masih jauh panggang dari api. Terbaru justru muncul kontroversi dari aspek regulasi sebagai payung tertinggi. Rancangan Undang-Undang EBT yang disiapkan pemerintah dan kini sedang digodok bersama DPR memasukkan aturan-aturan kontroversial yang berpotensi merugikan finansial sekaligus ekologi. Sengkarut RUU EBT Poin krusial yang menjadi kontroversial adalah dimasukkannya batubara dalam RUU EBT. Energi fosil yang masih dominan dalam bauran energi nasional berpotensi menimbulkan kerugian finansial bagi pemerintah sekaligus kontraproduktif bagi pembangunan berkelanjutan. Energi fosil yang dimasukkan ke dalam daftar energi baru RUU EBT tersebut salah satunya adalah gasifikasi batubara. Penggunaan energi fosil dalam masa transisi menuju energi terbarukan sebetulnya hal lazim.
Transisi harus berjalan bertahap dan gradual dengan target yang pasti. Namun, persoalannya adalah negara masih memasukkan sumber energi yang seharusnya ditinggalkan dan dibingkai seolah-olah menjadi energi baru. Prasetiyo (2021) menengarai upaya memasukkan batubara ke dalam RUU EBT merupakan strategi yang terpola. Alasannya sederhana, batubara akan mengalami surut lantaran ongkosnya yang semakin besar, sulit investasi, dan semakin tidak diminati. Maka, butuh siasat agar batubara tetap mendapatkan pasar di dalam negeri. Hal ini beriringan dengan rencana peningkatan kapasitas produksi batu bara di negeri ini. Strategi tersebut terpola saling mendukung dengan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada 2020 yang memberikan ruang untuk eksploitasi besar-besaran. Kemudian, berkaitan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang mendorong peningkatan nilai tambah batubara. Implikasi masuknya gasifikasi batubara dalam RUU EBT adalah munculnya hak mengakses dana energi terbarukan. Hal ini sangat ironis dan seharusnya tidak boleh karena gasifikasi batubara bukanlah energi terbarukan. Selain itu, entitas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengajukan rencana gasifikasi batubara juga akan berhak mendapatkan insentif royalti nol persen atas upaya peningkatan nilai tambah yang disebut dalam Revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Insentif royalti persen jelas akan memiliki celah merugikan pemerintah secara finansial, padahal kerusakan ekologi yang ditimbulkan besar. Tantangan listrik EBT Permasalahan dunia ketenagalistrikan selama ini sudah banyak sekali, yaitu ambivalensi regulasi, keterbatasan dana, biaya pokok penyediaan (BPP) yang lebih tinggi daripada harga jual, ketidakpastian pasokan sumber energi primer (BBM, gas, batubara), dominasi penggunaan BBM sebagai sumber energi primer, pertumbuhan demand yang lebih tinggi dibandingkan supply, tantangan geografis, permasalahan pemanfaatan, dan lain-lain. Upaya PLN sendiri belum mampu menyelesaikan masalah listrik. Banyak wilayah yang bahkan belum tersentuh listrik. Wilayah yang sudah terpasang jaringan juga tidak sedikit yang mesti setiap hari merasakan pemadaman bergilir. Kondisi faktual kelistrikan ini membutuhkan upaya yang cepat dan solutif. Energi terbarukan menjadi solusi yang harus segera direalisasikan. Pemerintah telah berkomitmen dalam Paris Agreement Lewat Capaian Target EBT 2025. Komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen, akan dipenuhi melalui PLTA 10,4 persen, dan PLTP dan EBT lainnya sebesar 12,6 persen. Untuk memenuhi tercapainya bauran energi 23 persen sesuai dengan kebijakan energi nasional di tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan antara lain Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Lalu, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), serta Kepmen ESDM Nomor 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028. Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW. Wanhar (2019) mengemukakan bahwa peluang pengembangan EBT di Indonesia terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut, antara lain, pertama, rasio elektrifikasi di daerah timur Indonesia masih bisa ditingkatkan. Kedua, harga solar panel yang akan semakin kompetitif.
Ketiga, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan. Keempat, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah. Kelima, keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock. Keenam, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN). Pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan.
Contohnya, BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP. Beberapa daerah memiliki install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil. Karena itu, PLN mesti menyisihkan anggarannya guna pengembangan energi alternatif untuk listrik. Dalam skala nasional, PLN mesti ikut mendukung dan mengupayakan terwujudnya pembangkit tenaga nuklir yang terus mengalami polemik. Energi alternatif ramah lingkungan juga mesti banyak diciptakan terutama di wilayah potensial dan yang sudah terjangkau instalasi listrik PLN. Sumber energi tersebut adalah mikrohidro, angin, gelombang, bioetanol, panas matahari, panas bumi, dan lainnya. Kompleksitas permasalahan mesti diurai secara sistematis dan berkelanjutan. Di sisi lain kontroversi RUU EBT yang kontraproduktif bagi pengembangan listrik EBT mesti dihentikan. Gerakan mesti dikerahkan guna menekan pemerintah dan DPR membatalkan masuknya gasifikasi batubara. Jika belum berhasil dan RUU melenggang mulus, maka judicial review melalui Mahkamah Konstitusi mesti ditempuh dan disiapkan sejak sekarang. Apa pun itu, kebutuhan listrik ke depan mesti dijamin dengan pengembangan listrik berbasis EBT yang masif. Ribut Lupiyanto, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)
Upaya penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan jauh panggang dari api dengan masuknya gasifikasi batubara dalam RUU EBT. Gasifikasi batubara bukanlah energi terbarukan. Oleh RIBUT LUPIYANTO Listrik sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Kebutuhannya yang semakin meningkat menuntut layanan prima yang semakin berat.
Dalam pemenuhannya, energi listrik mempunyai peranan vital dan strategis. Vital terkait hajat hidup orang banyak dan strategis karena menunjang pembangunan nasional. Konsekuensinya, listrik mesti diwujudkan secara andal, aman, dan ramah lingkungan. Andal dengan jaminan kontinuitas, aman terhadap manusia, dan berdampak positif bagi restorasi ekologi. Dunia kelistrikan nasional masih terus mengalami sengkarut pengelolaan, mulai dari kerugian, korupsi, kerusakan, layanan minimalis, dan lainnya. Tantangan kelistrikan ke depan semakin berat. Ketersediaan bahan baku energi semakin terbatas, sedangkan permintaan terus melonjak. Solusi dan komitmen telah ditetapkan pemerintah, yaitu penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan (EBT). Hijrah kelistrikan menuju EBT dijanjikan terealisasi bertahap ke depan. Fakta di lapangan masih jauh panggang dari api. Terbaru justru muncul kontroversi dari aspek regulasi sebagai payung tertinggi. Rancangan Undang-Undang EBT yang disiapkan pemerintah dan kini sedang digodok bersama DPR memasukkan aturan-aturan kontroversial yang berpotensi merugikan finansial sekaligus ekologi. Sengkarut RUU EBT Poin krusial yang menjadi kontroversial adalah dimasukkannya batubara dalam RUU EBT. Energi fosil yang masih dominan dalam bauran energi nasional berpotensi menimbulkan kerugian finansial bagi pemerintah sekaligus kontraproduktif bagi pembangunan berkelanjutan. Energi fosil yang dimasukkan ke dalam daftar energi baru RUU EBT tersebut salah satunya adalah gasifikasi batubara. Penggunaan energi fosil dalam masa transisi menuju energi terbarukan sebetulnya hal lazim. Transisi harus berjalan bertahap dan gradual dengan target yang pasti. Namun, persoalannya adalah negara masih memasukkan sumber energi yang seharusnya ditinggalkan dan dibingkai seolah-olah menjadi energi baru. Prasetiyo (2021) menengarai upaya memasukkan batubara ke dalam RUU EBT merupakan strategi yang terpola. Alasannya sederhana, batubara akan mengalami surut lantaran ongkosnya yang semakin besar, sulit investasi, dan semakin tidak diminati. Maka, butuh siasat agar batubara tetap mendapatkan pasar di dalam negeri. Hal ini beriringan dengan rencana peningkatan kapasitas produksi batu bara di negeri ini. Strategi tersebut terpola saling mendukung dengan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada 2020 yang memberikan ruang untuk eksploitasi besar-besaran. Kemudian, berkaitan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang mendorong peningkatan nilai tambah batubara. Implikasi masuknya gasifikasi batubara dalam RUU EBT adalah munculnya hak mengakses dana energi terbarukan. Hal ini sangat ironis dan seharusnya tidak boleh karena gasifikasi batubara bukanlah energi terbarukan. Selain itu, entitas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengajukan rencana gasifikasi batubara juga akan berhak mendapatkan insentif royalti nol persen atas upaya peningkatan nilai tambah yang disebut dalam Revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Insentif royalti persen jelas akan memiliki celah merugikan pemerintah secara finansial, padahal kerusakan ekologi yang ditimbulkan besar. Tantangan listrik EBT Permasalahan dunia ketenagalistrikan selama ini sudah banyak sekali, yaitu ambivalensi regulasi, keterbatasan dana, biaya pokok penyediaan (BPP) yang lebih tinggi daripada harga jual, ketidakpastian pasokan sumber energi primer (BBM, gas, batubara), dominasi penggunaan BBM sebagai sumber energi primer, pertumbuhan demand yang lebih tinggi dibandingkan supply, tantangan geografis, permasalahan pemanfaatan, dan lain-lain. Upaya PLN sendiri belum mampu menyelesaikan masalah listrik. Banyak wilayah yang bahkan belum tersentuh listrik.
Wilayah yang sudah terpasang jaringan juga tidak sedikit yang mesti setiap hari merasakan pemadaman bergilir. Kondisi faktual kelistrikan ini membutuhkan upaya yang cepat dan solutif. Energi terbarukan menjadi solusi yang harus segera direalisasikan.
Pemerintah telah berkomitmen dalam Paris Agreement Lewat Capaian Target EBT 2025. Komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen, akan dipenuhi melalui PLTA 10,4 persen, dan PLTP dan EBT lainnya sebesar 12,6 persen. Untuk memenuhi tercapainya bauran energi 23 persen sesuai dengan kebijakan energi nasional di tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan antara lain Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Lalu, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), serta Kepmen ESDM Nomor 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028. Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW. Wanhar (2019) mengemukakan bahwa peluang pengembangan EBT di Indonesia terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut, antara lain, pertama, rasio elektrifikasi di daerah timur Indonesia masih bisa ditingkatkan. Kedua, harga solar panel yang akan semakin kompetitif. Ketiga, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan. Keempat, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah. Kelima, keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock. Keenam, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN). Pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Contohnya, BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP. Beberapa daerah memiliki install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil. Karena itu, PLN mesti menyisihkan anggarannya guna pengembangan energi alternatif untuk listrik. Dalam skala nasional, PLN mesti ikut mendukung dan mengupayakan terwujudnya pembangkit tenaga nuklir yang terus mengalami polemik. Energi alternatif ramah lingkungan juga mesti banyak diciptakan terutama di wilayah potensial dan yang sudah terjangkau instalasi listrik PLN. Sumber energi tersebut adalah mikrohidro, angin, gelombang, bioetanol, panas matahari, panas bumi, dan lainnya. Kompleksitas permasalahan mesti diurai secara sistematis dan berkelanjutan. Di sisi lain kontroversi RUU EBT yang kontraproduktif bagi pengembangan listrik EBT mesti dihentikan.
Gerakan mesti dikerahkan guna menekan pemerintah dan DPR membatalkan masuknya gasifikasi batubara. Jika belum berhasil dan RUU melenggang mulus, maka judicial review melalui Mahkamah Konstitusi mesti ditempuh dan disiapkan sejak sekarang. Apa pun itu, kebutuhan listrik ke depan mesti dijamin dengan pengembangan listrik berbasis EBT yang masif. Ribut Lupiyanto, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)
Indonesia, bersama banyak negara lain di dunia, berkomitmen menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celsius dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat celsius. Listrik dari energi terbarukan dibutuhkan. Oleh ARIS PRASETYO Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2021-2030. Dokumen ini menjadi acuan bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk membangun pembangkit listrik di seantero Nusantara, termasuk proyeksi pertumbuhan listrik. Kabar baiknya adalah porsi sumber energi terbarukan diberikan lebih besar ketimbang energi primer dari fosil. Optimalisasi sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris 2015. Indonesia, bersama banyak negara lain di dunia, berkomitmen menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celsius dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat celsius.
Penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sumber energi terbarukan, seperti air, bayu, cahaya matahari, atau geotermal, menjadi pilihan dan diandalkan untuk mengurangi dampak gas rumah kaca. Sebenarnya, pembangkit listrik bukanlah satu-satunya pemicu kenaikan suhu global atau meningkatnya efek gas rumah kaca. Penyebab lainnya adalah gas buang kendaraan (transportasi), aktivitas industri, rumah tangga, dan alih fungsi hutan atau kebakaran. Namun, akhir-akhir ini tekanan terhadap batubara, sebagai salah satu sumber energi primer pembangkit listrik, menguat. Banyak negara menyerukan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai energi primernya. Pembakaran batubara dianggap sebagai biang keladi pencemaran udara. Di tengah lonjakan permintaan energi global akibat bangkitnya ekonomi sejumlah negara dari dampak pandemi Covid-19, harga energi primer meningkat. Minyak mentah Brent per barel tembus ke level 80 dollar AS atau kenaikan tertinggi sejak 2018. Sementara gas alam sempat menembus angka 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit[.
Lantaran kenaikan tersebut, sejumlah negara memilih (kembali ke) batubara sebagai sumber energi lantaran harganya lebih murah ketimbang gas. Selain pulihnya ekonomi global, faktor musim dingin di sejumlah negara subtropis juga membuat permintaan terhadap energi meningkat. Harga komoditas energi, tak terkecuali batubara, terdongkrak. Harga batubara global tembus ke angka 180 dollar AS per ton dan di Indonesia ditetapkan 160 dollar AS per ton untuk periode Oktober 2021. Tak sederhana Kembali ke soal RUPTL 2021-2030, pemerintah berencana menambah kapasitas pembangkit listrik 40.600 megawatt (MW) di periode tersebut. Dari rencana penambahan itu, porsi sumber energi terbarukan sebesar 20.900 MW atau 51,6 persen dan sisanya dari batubara, gas, ataupun diesel. Dari ragam sumber energi terbarukan, porsi terbesar diberikan kepada pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yaitu 10.391 MW. Disusul kemudian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 4.680 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 3.355 MW, dan sisanya pembangkit listrik energi terbarukan lainnya. PLTA mendapat porsi besar lantaran, selain harga listriknya murah, potensi di Indonesia juga terbilang melimpah, yaitu sekitar 75.000 MW. Sejauh ini pemanfaatannya baru sekitar 6.100 MW. PLTA juga punya keandalan yang lebih baik dibanding PLTS atau pembangkit listrik tenaga bayu yang bersifat intermiten. Yang patut mendapat perhatian adalah pemerintah memberi peran swasta (independent power producer/IPP) yang lebih besar dalam RUPTL 2021-2030. IPP mendapat porsi 64,8 persen atau setara 26.300 MW, sedangkan PLN mendapat 35,2 persen atau 14.300 MW. Namun, dari peran swasta yang besar itu, sebanyak 55 persen adalah pembangkit non-energi terbarukan, sedangkan pembangkit energi terbarukan sebesar 45 persen.
Swasta sesungguhnya berminat untuk berinvestasi dalam pengembangan energi terbarukan menjadi tenaga listrik di Indonesia.
Seperti yang ditulis di harian ini edisi Senin, 4 Oktober 2021, investor berskala besar dan yang berskala kecil berminat untuk berbisnis di sektor pembangkitan. Hanya saja, masih ada kendala dalam hal regulasi. Sikap pemerintah kerap berubah-ubah dalam penentuan tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Selain itu, regulasi yang dijanjikan mengenai penentuan tarif tersebut lewat peraturan presiden hingga kini tak kunjung terbit setelah pernah diwacanakan tuntas pada semester II-2020. Hal lain yang patut jadi pertimbangan adalah faktor pasokan dan permintaan. Pembangunan pembangkit harus memperhatikan kondisi dan proyeksi pertumbuhan listrik di wilayah tersebut. Jangan sampai pasokan melimpah, tetapi serapan rendah. Dan PLN (termasuk subsidi negara di dalamnya) harus menanggung biaya dari skema take or pay, yaitu tenaga listrik yang dihasilkan harus dibayar, dipakai atau tidak.