• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KUALITAS HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA TIM DAN KEPEMIMPINAN BERSAMA TERHADAP EFEKTIVITAS TIM PADA ORGANISASI PUBLIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH KUALITAS HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA TIM DAN KEPEMIMPINAN BERSAMA TERHADAP EFEKTIVITAS TIM PADA ORGANISASI PUBLIK"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KUALITAS HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA TIM DAN KEPEMIMPINAN BERSAMA TERHADAP EFEKTIVITAS TIM PADA

ORGANISASI PUBLIK

Anjar Ramdhana, Wustari L. Mangundjaya, dan Ahmad Cahyo Nugroho Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Politeknik Negeri APP, Kementerian Perindustrian RI

ramdhana02@gmail.com, wustari@gmail.com, ac.nugroho999@gmail.com

Abstract. This study aims to examine the effect of team member exchange qualities and shared leadership on team effectiveness in order to describe cross-functional integration conditions in public organizations. Cross-functional integration on these research explained with two points of view, as a group members behavior and as a team process. Cross-functional integration as a group members behavior established if (1) team member exchange qualities positively affects shared leadership; and (2) shared leadership positively affects team effectiveness. Cross-functional integration as a team process established if team member exchange qualities affects on team effectiveness through shared leadership. The study was conducted on Directorate A, B and C, with totally 90 respondents. The research method used regression analysis and path analysis.

The results showed (1) team member exchange qualities positively affect shared leadership on Directorate A, B and C; (2) shared leadership positively affects team effectiveness on Directorate B and C; and (3) team member exchange qualities positively affects team effectiveness through shared leadership on Directorate C. Based on those results, we can conclude that cross-functional integration as group member behavior established in Directorate B and C, and cross-functional integration as a team process established only in Directorate C.

Keywords: team member exchange qualities, team effectiveness, shared leadership, cross-functional integration, public organization

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim dalam rangka menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik. Integrasi lintas fungsional dijelaskan dalam dua cara pandang yaitu sebagai sebagai perilaku anggota kelompok dan sebagai proses tim. Integrasi lintas fungsional sebagai perilaku anggota kelompok terbentuk ketika (1) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama; dan (2) kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim. Integrasi lintas fungsional sebagai proses tim terbentuk ketika pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama. Penelitian dilakukan terhadap Direktorat A, B dan C, dengan responden keseluruhan berjumlah 90 orang. Metode penelitian menggunakan analisis regresi dan analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan (1) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama pada Direktorat A, B dan C; (2) kepemimpinan bersama berpengaruh terhadap efektivitas tim pada Direktorat B dan C; dan (3) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama pada Direkrorat C. Berdasarkan hasil tersebut dapat

(2)

disimpulkan bahwa integrasi lintas fungsional sebagai perilaku anggota kelompok terbentuk pada Direktorat B dan C, dan integrasi lintas fungsional sebagai proses tim terbentuk hanya pada Direktorat C.

Kata kunci: kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama, efektivitas tim, integrasi lintas fungsional, organisasi publik.

PENDAHULUAN

Perubahan lingkungan yang semakin cepat menuntut setiap organisasi untuk dapat terus meningkatkan kinerjanya, tidak terkecuali pada organisasi publik.

Organisasi publik adalah organisasi yang dibentuk untuk memenuhi kepentingan publik dengan cara menghasilkan kebijakan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kepentingan publik (Dwiyanto, 2015). Kinerja suatu organisasi publik dinilai dari sejauhmana suatu organisasi publik mampu menghasilkan kebijakan dan pelayanan publik yang dapat meningkatkan taraf hidup publik. Kemampuan organisasi publik untuk dapat meningkatkan kinerjanya, tergantung kepada sejauhmana organisasi publik tersebut dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya untuk menghasilkan kebijakan dan layanan publik yang efektif dan berkualitas (Christensen et al., 2007).

Pemanfaatan sumber daya dalam suatu organisasi terjadi melalui proses koordinasi, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit atau kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Koordinasi horizontal adalah tindakan atau kegiatan, penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi atau pegawai yang setingkat. Baik koordinasi vertikal maupun koordinasi horizontal memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja anggota organisasi (Octorano, 2015). Organisasi publik dengan bentuk dan budaya hierarkis cenderung memberikan perhatian yang lebih besar pada pengembangan koordinasi vertikal, namun kurang memberikan perhatian pada pengembangan koordinasi horizontal (Christensen et al., 2007; O’Donnel dan Boyle, 2008). Kurang berkembangnya koordinasi horizontal pada organisasi publik berdampak pada kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya organisasi publik dan secara tidak langsung menyebabkan rendahnya kinerja organisasi publik (Christensen et al., 2007).

Pada organisasi publik yang memiliki bentuk hierarkis, pembagian divisi dilakukan berdasarkan fungsi yang berbeda, sehingga pada setiap divisi memiliki spesialisasi dari fungsinya masing-masing. Tanpa koordinasi horizontal antar divisi, maka akan terbentuk fragmen-fragmen antar divisi yang menghambat terjadinya integrasi antar fungsi-fungsi yang berbeda yang dapat mendorong organisasi publik untuk meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu penelitian sebelumnya yang membahas peningkatan kinerja organisasi publik, menekankan pada pentingnya integrasi lintas fungsional pada organisasi publik (Athanasaw, 2003; Piercy et al., 2011). Integrasi lintas fungsional adalah integrasi antar anggota kelompok dengan latar belakang fungsi yang berbeda (Piercy et al., 2011). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa integrasi antar fungsi-fungsi yang berbeda pada organisasi publik terjadi melalui interaksi antar pegawai dengan latar belakang fungsi yang berbeda atau dari divisi fungsional yang berbeda.

(3)

Pengembangan integrasi lintas fungsional pada organisasi publik dapat mengatasi fragmen-fragmen yang terbentuk antar divisi yang berbeda, yang menghambat proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan kelompok, serta menimbulkan distorsi komunikasi antar pegawai (Dwiyanto, 2015). Pengembangan integrasi lintas fungsional pada organisasi publik dapat dilakukan apabila integrasi lintas fungsional digambarkan melalui konstruk yang dapat diukur. Dengan memperhatikan definisi integrasi lintas fungsional yang dikemukakan oleh Piercy et al., (2011), maka konstruk yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik adalah konstruk yang membahas tentang interaksi antar anggota kelompok. Konstruk yang kerap digunakan dalam membahas interaksi antar anggota kelompok adalah team member exchange atau hubungan sesama anggota tim (Seers et al., 1995; Farmer et al., 2015; Srivastva dan Singh, 2015). Kondisi hubungan sesama anggota tim pada suatu kelompok dinyatakan dengan kualitas hubungan sesama anggota tim yaitu intensitas hubungan timbal balik antar anggota kelompok dalam memberikan ide, informasi, bantuan dan penghargaan terkait pelaksanaan tugas (Seers et al., 1995).

Penelitian yang membahas kualitas hubungan sesama anggota tim biasanya mengaitkan kualitas hubungan tim dengan variabel lain pada tingkat individu seperti kepuasan kerja (Seers et al., 1995), perilaku kewargaan organisasi (Farmer et al., 2015) dan kinerja tugas (Farh et al., 2017). Meskipun demikian, dampak yang dihasilkan oleh kualitas hubungan sesama anggota tim tidak hanya terjadi pada tingkatan individu tetapi juga terjadi pada tingkatan kelompok yang salah satunya adalah efektivitas tim (Srivastva dan Singh, 2015). Srivastva dan Singh (2015) menjelaskan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim dapat meningkatkan efektivitas tim dengan cara meningkatkan kinerja individu yang merupakan elemen dari kinerja kelompok secara keseluruhan. Penjelasan tersebut didukung dengan hasil peneltian terbaru mengenai hubungan sesama anggota tim oleh Farh et al., (2017).

Dalam menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada suatu organisasi publik menggunakan konstruk kualitas hubungan sesama anggota tim, perlu dikaitkan pembahasannya dengan efektivitas tim (Athanasaw, 2003; Piercy et al., 2011;

Gelderman et al., 2017). Permasalahannya, penjelasan mengenai dampak atau pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim pada penelitian sebelumnya (Srivastva dan Singh 2015) kurang memberikan informasi yang cukup mengenai proses terjadinya pengaruh tersebut pada kelompok. Oleh karena itu diperlukan model yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional dengan menggunakan konstruk kualitas hubungan sesama anggota tim dan efektivitas tim.

Hoch dan Wegge (2008) menemukan bahwa pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melibatkan variabel lain yaitu shared leadership atau kepemimpinan bersama. Kepemimpinan bersama adalah proses saling memengaruhi yang dinamis dan interaktif antar anggota kelompok yang bertujuan untuk memimpin satu sama lain guna mencapai tujuan kelompok, tujuan organisasi, atau keduanya (Pearce dan Conger, 2003). Kepemimpinan bersama berfungsi sebagai kepemimpinan tim yang sumbernya berasal dari sesama anggota kelompok dan berfungsi untuk mengarahkan perilaku sesama anggota kelompok dalam mencapai tujuan bersama (Avolio et al., 2003). Kepemimpinan bersama melengkapi penjelasan tentang proses pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas

(4)

tim, baik pada tingkatan individu sebagai anggota kelompok maupuan pada tingkatan kelompok (Hoch dan Wegge, 2008, Herre, 2010; Daspit et al., 2013).

Pada tingkatan individu sebagai anggota kelompok, kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama menekankan pada pentingnya (1) perilaku kontributif yang membentuk iklim kelompok yang positif; dan (2) perilaku kepemimpinan partisipatif yang mendorong peningkatan efektivitas tim (Daspit et al., 2013). Pada tingkat kelompok, pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim dijelaskan melalui Model Input- Proses-Output (Herre, 2010). Dengan Model Input-Proses-Output, hubungan sesama anggota tim dipandang sebagai proses penyebaran sumber daya yang merupakan input di dalam kelompok, sementara itu kepemimpinan bersama dipandang sebagai upaya untuk mempengaruhi sesama anggota kelompok dalam memanfaatkan sumber daya secara optimal demi mencapai tujuan bersama yang merupakan output (Herre, 2010;

Gelderman et al., 2017). Penjelasan bagaimana ketiga variabel tersebut berproses pada tingkatan individu dan kelompok dapat digunakan untuk menjelaskan sejauhmana integrasi lintas fungsional pada suatu organisasi publik telah berkembang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim pada organisasi publik. Hasil penelitian kemudian akan digunakan untuk menjelaskan sejauhmana integrasi lintas fungsional berkembang pada organisasi publik yang menjadi responden penelitian ini. Penelitian ini melibatkan tiga organisasi publik yang memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan wilayah tugas yang berbeda. Ketiga organisasi publik tersebut adalah Direktorat A, B dan C yang masing-masing tediri dari 30 orang pegawai, sehingga jumlah keseluruhan responden adalah 90 orang. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak terkait mengenai pengembangan integrasi lintas fungsional khususnya pada organisasi publik.

KAJIANTEORI

Kualitas hubungan sesama anggota tim. Kualitas hubungan sesama anggota tim merupakan intensitas hubungan sesama anggota yang berkembang pada suatu tim atau kelompok (Srivastva dan Singh, 2015). Hubungan sesama anggota tim yang dimaksud adalah situasi ketika anggota kelompok memberikan informasi, ide, umpan balik dan bantuan kepada anggota kelompok lainnya, kemudian Ia menerima timbal balik berupa informasi, ide, umpan balik, bantuan dan penghargaan dari sesama anggota kelompok lainnya tersebut (Seers et al., 1995). Hubungan sesama anggota tim merupakan konstruk yang berakar dari teori pertukaran sosial (Srivastva dan Singh, 2015), teori tersebut memiliki asumsi dasar bahwa perilaku sosial di dalam kelompok dihasilkan dari proses pertukaran sumber daya tangible maupun sumber daya intangible di antara anggota kelompok (Redmond, 2015). Berdasarkan asumsi tersebut hubungan sesama anggota tim dapat dipandang sebagai proses penyebaran sumber daya yang terjadi di antara sesama anggota kelompok melalui perilaku sosial yang ditunjukkan anggota kelompok.

Pollack (2009) menyebutkan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim memiliki dua dimensi yaitu (1) kontribusi hubungan sesama anggota tim; dan (2) penerimaan hubungan sesama anggota tim. Kontribusi hubungan sesama anggota tim adalah persepsi anggota tim terhadap perilaku kontributif dirinya kepada anggota tim

(5)

lainnya. Penerimaan hubungan sesama anggota tim adalah persepsi anggota tim terhadap timbal balik yang diberikan anggota tim lainnya kepada dirinya. Kedua dimensi tersebut membentuk persepsi anggota kelompok terhadap kondisi hubungan sesama anggota tim yang terjadi di dalam kelompoknya, dimana dirinya menjadi bagian dari proses tersebut. Menurut Srivastva dan Singh (2015) apabila anggota kelompok mempersepsikan tingkat kualitas hubungan sesama anggota tim pada kelompoknya tinggi, maka Ia akan cenderung berkontribusi besar dalam proses kerjasama dan kolaborasi di dalam kelompok, serta menerima penghargaan sosial yang lebih banyak dari anggota kelompok lainnya (Srivastva dan Singh, 2015). Artinya semakin tinggi kualitas hubungan sesama anggota kelompok, maka akan semakin besar peluang terjadinya kerjasama di dalam kelompok tersebut.

Kepemimpinan bersama. Kepemimpinan bersama adalah suatu proses saling mempengaruhi yang dinamis dan interaktif antar anggota kelompok yang bertujuan untuk memimpin satu sama lain guna mencapai tujuan kelompok dan atau tujuan organisasi (Pearce dan Conger, 2003). Kepemimpinan bersama dipandang sebagai kepemimpinan di dalam kelompok yang sumbernya berasal dari sesama anggota kelompok. Kepemimpinan bersama disebut bentuk kepemimpinan alternatif yang memperkuat fungsi dari kepemimpinan individu atau kepemimpinan yang berasak dari pemimpin kelompok. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa dampak kepemimpinan bersama terhadap pencapaian efektivitas kelompok lebih besar dari kepemimpinan bersama. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan bersama adalah kepemimpinan yang secara alami dapat muncul pada setiap anggota kelompok (Carson et al., 2007).

Perilaku kepemimpinan bersama melibatkan tiga gaya kepemimpinan individu yaitu kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional, dan kepemimpinan laissez-faire (Avolio et al., 2003). Kepemimpinan transformasional adalah pengaruh kepemimpinan terhadap orang lain berupa rasa percaya, kagum dan hormat yang memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang kita harapkan. Kepemimpinan transaksional adalah pengaruh kepemimpin terhadap orang lain yang dipengaruhi oleh timbal balik atau transaksi yang terjadi dengan orang lain berdasarkan syarat-sayarat tertentu. Kepemimpinan laissez-fairre merupakan kepemimpinan pasif dimana dalam kondisi tertentu pengaruh kepemimpinan terhadap orang lain dilakukan dengan membiarkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Ketiga gaya kepemimpinan tersebut dapat digunakan dalam proses saling mempengaruhi antar sesama anggota kelompok dalam rangka pencapaian tujuan bersama.

Avolio et al., (2003) menjelaskan bahwa dimensi kepemimpinan bersama mencakup tujuh dimensi yang ada pada ketiga gaya kepemimpinan tersebut.

Kepemimpinan transformasional memiliki empat dimensi yaitu pengaruh idealis, pertimbangan individu, stimulasi intelektual, dan motivasi inspirasional.

Kepemimpinan transaksional adalah pengaruh kepemimpin terhadap orang lain yang dipengaruhi oleh timbal balik atau transaksi yang terjadi dengan orang lain berdasarkan syarat-sayarat tertentu. Kepemimpinan transaksional terdiri dari dua dimensi yaitu imbalan kontingensi dan manajemen pengecualian. Kepemimpinan laissez-fairre merupakan kepemimpinan pasif dimana dalam kondisi tertentu pengaruh kepemimpinan terhadap orang lain dilakukan dengan membiarkan orang lain untuk

(6)

melakukan sesuatu. Kepemimpinan laissez-fairre hanya memiliki satu dimensi yaitu kepemimpinan pasif.

Pengaruh idealis adalah perilaku spesifik pemimpin yang mencerminkan nilai dan kepercayaan mereka, rasa memiliki misi dan tujuan, serta orientasi etika dan moral.

Pertimbangan individu adalah perilaku pemimpin yang menyediakan beragam dukungan sosio-emosional kepada pengikutnya ketika mengembangkan dan memberdayakan mereka. Stimulasi intelektual adalah perilaku pemimpin dalam mempertanyakan kondisi status-quo untuk merangsang intelektualitas pengikutnya dengan mempertanyakan asumsi dan merumuskan solusi yang bersifat inovatif dan kreatif. Imbalan kontingensi adalah petukaran ekonomis dan emosional dengan menjelaskan peran yang dibutuhkan, dan memberikan imbalan serta menghargai hasil yang dinginkan. Manajemen pengecualian terbagi menjadi dua subdimensi yaitu manajemen pengecualian aktif dan manajemen pengecualian pasif. Manajemen pengecualian aktif adalah transaksi negatif yang dengannya pemimpin memantau penyimpangan dari norma dan mengambil tindakan korektif secara proaktif.

Manajemen pengecualian pasif adalah adalah transaksi negatif yang dengannya pemimpin memantau penyimpangan dari norma, namun tidak mengambil tindakan korektif terhadap pengikutnya. Kepemimpinan pasif adalah melepaskan tanggung jawab dan menolak pengambilan keputusan terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Ketujuh dimensi ini membentuk perilaku kepemimpinan bersama dalam suatu kelompok (Avolio et al., 2003).

Efektivitas tim. Efektivitas tim adalah suatu keadaan dimana suatu kelompok memenuhi tiga kriteria berikut : (1) menghasilkan output yang sesuai dengan standar klien; (2) memiliki proses sosial yang dapat meningkatkan kapabilitas anggotanya untuk kembali bekerjasama di masa mendatang; dan (3) menghasilkan pengalaman yang dapat meningkatkan pembelajaran dan kesejahteraan anggotanya (Wageman et al., 2005; Roosmalen, 2012). Wageman et al., (2005) menjelaskan tiga dimensi efektivitas tim berdasarkan kriteria tersebut. Dimensi pertama adalah kriteria proses efektivitas tim yaitu proses yang terjadi di dalam tim untuk mencapai efektivitas tim.

Dimensi proses efektivitas tim terbagi menjadi kriteria proses terkait upaya, kriteria proses terkait strategi dan kriteria proses terkait pengetahuan dan keterampilan. Kriteria proses terkait upaya mengukur tingkat upaya anggpota tim secara kolektif untuk mencapai tujuan tim. Kriteria proses terkait strategi mengukur kualitas dari strategi pencapaian kinerja yang digunakan oleh tim. Dan kriteria proses terkait pengetahuan dan keterampilan mengukur derajat penggunaan pengetahuan dan keterampilan oleh tim dalam rangka pencapaian tujuan tim. Dimensi kedua adalah proses internal tim yaitu proses yang terjadi di dalam tim yang melibatkan anggota tim. Dimensi ini mencakup interaksi antar anggota tim dan kepuasan terhadap hubungan tim. Interaksi antar anggota tim mengukur derajat interaksi yang terjadi antar anggota tim. Dan kepuasan terhadap hubungan tim mengukur tingkat kepuasan anggota tim terhadap hubungan interpersonal yang terjadi di dalam tim. Dimensi ketiga adalah kriteria pembelajaran dan kesejahteraan individu yang mengukur tiga hal yaitu tingkat motivasi kerja internal, kepuasan terhadap peluang pertumbuhan dan kepuasan secara keseluruhan terhadap tim.

(7)

Hipotesis 1. Srivastva dan Singh (2015) menjelaskan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim memiliki dampak terhadap peningkatan efektivitas tim pada suatu kelompok. Kualitas hubungan sesama anggota tim yang tinggi akan mendorong terciptanya kohesivitas di dalam kelompok, kesempatan untuk bertemu, saling memberikan umpan balik dan komunikasi antar anggota kelompok, sehingga anggota kelompok memperoleh peluang yang lebih besar untuk memenuhi standar kinerja yang diharapkan oleh kelompok. Anggota kelompok yang mengalami kualitas hubungan sesama anggota tim yang tinggi pada kelompoknya akan menunjukkan kinerja yang tinggi secara individu, dan secara tidak langsung mendorong pencapaian kinerja kelompoknya ke tingkat yang lebih tinggi (Srivastva dan Singh, 2015). Proses pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim yang dijelaskan oleh Srivastva dan Singh (2015) menunjukkan bahwa interaksi antar anggota kelompok dapat meningkatkan efektivitas tim. Kondisi ini sejalan dengan definisi dan maksud dari integrasi lintas fungsional yaitu integrasi antar anggota dengan latar belakang fungsi yang berbeda dalam meningkatkan efektivitas kelompok (Piercy et al., 2011).

Untuk mengkonfirmasi apakah kualitas hubungan sesama anggota tim memiliki pengaruh yang positif terhadap efektivitas tim akan dilakukan pengujian hipotesis penelitian berikut :

H1: kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim.

Hipotesis 2 dan 3. Dalam menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional, penjelasan Srivastva dan Singh (2015) mengenai pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim belum lengkap. Srivastva dan Singh (2015) masih menjelaskan proses tersebut dengan menitikberatkan pada pencapaian kinerja individu, dan kurang menggambarkan proses yang terjadi di dalam kelompok. Untuk menjelaskan integrasi lintas fungsional yang terjadi pada tingkat individu dan kelompok, peneliti mencoba mengangkat penelitian Hoch dan Wegge (2008) yang menemukan bahwa proses pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melibatkan variabel kepemimpinan bersama.

Keterlibatan kepemimpinan bersama sebagai variabel mediasi antara kualitas hubungan sesama anggota tim dan efektivitas tim dari hasil penelitian Hoch dan Wegge (2008) dapat dilihat dari dua cara pandang. Cara pandang pertama melihat pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama mencakup dua korelasi yaitu (1) kualitas hubungan sesama anggota tim dengan kepemimpinan bersama; dan (2) kepemimpinan bersama dengan efektivitas tim. Cara pandang ini sejalan dengan hasil penelitian Daspit et al., (2013). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim dapat mendorong munculnya kepemimpinan bersama dengan menciptakan pengalaman positif terhadap tiga aspek lingkungan internal tim yaitu tujuan bersama, dukungan sosial dan voice. Tujuan bersama adalah kondisi dimana anggota kelompok memiliki pemahaman yang sama terhadap sasaran kelompok dan mengeluarkan upaya untuk tetap selaras dengan sasaran tersebut. Dukungan sosial adalah upaya anggota kelompok untuk memberikan kekuatan emosional dan psikologis terhadap anggota kelompok lainnya. Voice adalah perilaku interaksi untuk memfasilitasi atau berpartisipasi di dalam tim. Perilaku kontributif anggota kelompok ketika memberikan ide, informasi, bantuan atau penghargaan kepada anggota kelompok lainnya dapat menyebarkan kesan

(8)

positif terhadap tujuan bersama, dukungan sosial, dan voice di dalam kelompok.

Anggota kelompok yang memiliki kesan positif terhadap ketiga aspek tersebut berpeluang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku kepemimpinan partisipatif di dalam kelompoknya guna mencapai tujuan bersama. Semakin kuat kesan positif anggota kelompok terhadap ketiga aspek tersebut, akan semakin besar peluang anggota tersebut untuk terlibat dalam kepemimpinan partisipatif terhadap anggota kelompok lainnya. Ketika anggota kelompok terlibat dalam kepemimpinan partisipatif, maka pada saat tersebut Ia akan menunjukkan perilaku kepemimpinan bersama.

Kepemimpinan bersama yang ditujukan kepada sesama anggota kelompok lainnya akan mengikat sesama anggota kelompok dalam perilaku kepemimpinan partisipatif dan mendorong munculnya keharusan untuk meneruskan kinerjanya hingga pada tingkat yang memuaskan bagi kelompoknya (Daspit et al., 2013). Dalam kondisi tersebut, perilaku kepemimpinan partisipatif yang ditunjukkan oleh pegawai akan mendorong pada peningkatan efektivitas tim. Dalam prosesnya, perilaku kepemimpinan partisipatif dapat muncul dalam bentuk gaya kepemimpinan transformasional, transaksional atau laissez-faire. Setiap anggota kelompok dapat memiliki kecenderungan untuk yang berbeda dalam menggunakan ketiga gaya kepemimpinan tersebut. Mekipun demikian, perbedaan gaya kepemimpinan tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai (Endrian, 2014) yang merupakan bagian dari pencapaian kinerja kelompok secara keseluruhan. Berdasarkan asumsi tersebut pembahasan mengenai pengaruh kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim dapat dilakukan tanpa membedakan gaya kepemimpinan yang terjadi.

Cara pandang pertama sebagaimana telah dijelaskan, memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai proses pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim pada tingkat individu sebagai anggota kelompok dibandingkan hasil penelitian sebelumnya (Srivastva dan Singh, 2015). Dalam menjelaskan integrasi lintas fungsional pada tingkat individu sebagai anggota kelompok, cara pandang pertama menekankan pentingnya keterlibatan perilaku kontributif dan kepemimpinan partisipatif oleh anggota kelompok. Perilaku kontributif merupakan bentuk dari kualitas hubungan sesama anggota tim, sementara itu kepemimpinan partisipatif merupakan bentuk dari kepemimpinan bersama. Untuk memastikan terjadinya integrasi lintas fungsional pada tingkat individu anggota kelompok berdasarkan cara pandang pertama, akan dilakukan pengujian dua hipotesis di bawah ini.

H2: kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama; dan

H3: kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim.

Hipotesis 4. Selain cara pandang pertama, hasil penelitian Hoch dan Wegge (2008) dapat dilihat dengan cara pandang kedua. Cara pandang kedua melihat pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama terjadi sebagai suatu proses yang simultan pada tingkatan kelompok. Cara pandang ini sejalan dengan Model Input-Proses-Output (IPO) dari efektivitas tim (Herre, 2010). Input adalah faktor yang dapat dimanipulasi untuk mengubah proses dan output (Cohen dan Bailey, 1997). Proses adalah perilaku kelompok yang dapat diobservasi yang dipengaruhi oleh input dan berpengaruh terhadap output (Brodbeck, 1996). Output adalah hasil dari proses tim dan dikonseptualisasikan dengan secara multidimensional (Cohen dan Bailey, 1997). Dengan menggunakan Model IPO,

(9)

kualitas hubungan sesama anggota tim dijadikan sebagai input, kepemimpinan bersama sebagai proses, dan efektivitas tim sebagai output. Kualitas hubungan sesama anggota tim dijadikan input karena membawa dan mendistribusikan sumber daya organisasi dalam bentuk informasi, ide, umpan balik, bantuan dan lingkungan internal tim yang positif. Pemanfaatan sumber daya tersebut dilakukan dengan kepemimpinan bersama, dimana sesama anggota kelompok saling mempengaruhi untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya dengan optimal. Efektivitas tim menjadi ouput dari proses yang melibatkan hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama tersebut.

Penjelasan ini didukung dengan hasil penelitian terbaru oleh Farh et al., (2016). Dari hasil penelitiannya, Farh et al., (2016) menemukan bahwa hubungan sesama anggota tim (team member exchange) dapat meningkatkan kinerja individu di dalam kelompok dengan menghasilkan keharusan sesama anggota tim untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya atau diperoleh dari anggota kelompok lainnya. Kondisi tersebut mengisyaratkan kualitas dari sumber daya dan cara pemanfatannya menjadi faktor- faktor yang menentukan pencapaian kinerja.

Cara pandang kedua sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada tingkat kelompok. Pada tingkat kelompok, integrasi lintas fungsional dapat dipandang sebagai proses penyebaran dan pemanfaatan sumber daya melalui perilaku anggota kelompok dalam berkoordinasi (Gelderman et al., 2017) yang berdampak pada efektivitas tim. Untuk memastikan apakah proses tersebut terjadi sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada tingkatan kelompok, maka perlu dilakukan pengujian hipotesis di bawah ini.

H4: kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama.

Model penelitian. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini akan menguji empat hipotesis dalam rangka menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional. Hipotesis pertama dimaksudkan untuk mengetahui apakah kondisi integrasi lintas fungsional dapat digambarkan melalui pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim secara langsung tanpa melibatkan mediator tertentu. Hipotesis kedua, ketiga dan keempat dimaksudkan untuk mengetahui apakah kondisi integrasi lintas fungsional dapat digambarkan melalui pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim dengan melalui kepemimpinan bersama dengan dua cara pandang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dari keempat hipotesis tersebut, peneliti mengembangkan suatu model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

(10)

Gambar 1. Model Penelitian METODE

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim dalam rangka menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik. Terdapat empat hipotesis dalam penelitian ini yang akan diuji untuk menentukan apakah kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh secara langsung terhadap efektivitas tim, atau melibatkan kepemimpinan bersama. Hasil dari penelitian ini akan digunakan kemudian untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada tiga organisasi publik yaitu Direktorat A, B dan C.

Alat ukur. Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner dengan Skala Likert 1-6 (1=tidak sesuai; 2= kurang sesuai; 3=cukup sesuai; 4=sesuai; 5=sangat sesuai; 6=

sangat sesuai sekali). Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini.

Pertama, alat ukur kualitas hubungan sesama anggota tim yang dikembangkan dari Team Member Exchange Quality Item Scale (terdiri dari 2 dimensi, 10 item, dengan reliabilitas 0.86 dan α = 0.95). Kedua, alat ukur kepemimpinan bersama yang dikembangkan dari Multilevel Leadership Questionnaire (terdiri dari 7 dimensi, 21 item, dengan reliabilitas 0.92 dan α = 0.95). Ketiga, alat ukur efektivitas tim yang dikembangkan dari tiga kriteria efektivitas tim (terdiri dari 3 dimensi, 24 item, dengan reliabilitas 0.80 dan α = 0.95).

Responden penelitian. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah pegawai organisasi publik yang berjumlah 90 orang. Responden berasal dari tiga direktorat yang berbeda yang selanjutnya disebut dengan Direktorat A, B dan C. Masing-masing direktorat berjumlah 30 orang pegawai. Profil responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Secara keseluruhan, responden didominasi oleh perempuan, berusia antara 31 s.d. 40 tahun, memiliki jabatan sebagai pelaksana, dengan latar belakang pendidikan S1, dan masa kerja di atas 5 tahun. Profil responden pada masing- masing direktorat tidak jauh berbeda dengan profil responden secara keseluruhan dengan sedikit perbedaan pada Direkorat A dan C. Pada Direktorat A responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki jumlah yang sama dengan responden yang berjenis

H4

Kualitas Hubungan Sesama Anggota

Tim

H1

H2 H3

Kepemimpinan Bersama

Efektivitas Tim

(11)

kelamin perempuan, dan pada Direktorat C sebagian besar responden berada pada rentang usia yang lebih muda yaitu berusia antara 21 s.d. 30 tahun.

Tabel 1. Profil Responden Demografi

Total Dit. A Dit. B Dit. C

N % N % N % N %

Jenis Kelamin

Laki-laki 39 43 15 50 12 40 12 40 Perempuan 51 57 15 50 18 60 18 60 Usia

21-30 tahun 32 36 10 33 10 33 12 40 31-40 tahun 35 39 13 44 11 37 11 37

>40 tahun 23 25 7 23 9 30 7 23 Jabatan

Eselon III 9 10 3 10 3 10 3 10

Eselon IV 21 23 7 23 7 23 7 23

Pelaksana 60 67 20 67 20 67 20 67 Pendidikan

S3 1 1 0 0 0 0 1 3

S2 35 39 10 33 12 40 13 44

S1 45 50 16 54 15 50 14 47

D3 2 2 1 33 0 0 1 3

SMA 7 8 3 10 3 10 1 3

Masa Kerja

0-3 tahun 19 22 7 23 5 17 7 23

3-5 tahun 31 34 10 33 10 33 11 37

> 5 tahun 40 44 13 44 15 50 12 40

Ketiga kuesioner penelitian diberikan kepada setiap responden untuk diisi sesuai dengan penilaian mereka terhadap kondisi direktoratnya masing-masing. Data yang diperoleh dari kuesioner akan diolah untuk menguji keempat hipotesis penelitian baik secara keseluruhan maupun secara terpisah pada masing-masing direktorat. Hasil pengujian keempat hipotesis terhadap keseluruhan responden digunakan untuk mengetahui apakah pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim terjadi secara langsung ataukah melibatkan peran mediasi dari kepemimpinan bersama. Setelah itu, hasil pengujian hipotesis terhadap masing-masing direktorat digunakan untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada setiap direktorat

Analisis. Untuk menjelaskan pengaruh antar variabel dan menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada masing-masing direktorat, penelitian ini menggunakan beberapa metode analisa. Pertama adalah analisa deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi dari kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim pada setiap direktorat. Analisis deskriptif dilengkapi dengan analisis varian, untuk mengetahui apakah data pada masing-masing direktorat bervariasi secara signifikan ataukah tidak. Kedua adalah analisis korelasi yang

(12)

digunakan untuk mengetahui apakah kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim memiliki interkorelasi satu sama lain.

Ketiga, analisis regresi linier (sederhana dan berganda) yang digunakan untuk menguji keempat hipotesis penelitian. Analisis regresi akan dilengkapi dengan analisis jalur untuk memastikan adanya peran variabel mediasi dari kepemimpinan bersama terhadap pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dengan efektivitas tim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis deskriptif. Dari hasil perhitungan statistik deskriptif pada Tabel 2, diketahui bahwa skor rata-rata kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim pada Direktorat A, B dan C meskipun bervariasi namun seluruhnya berada pada kisaran cukup. Rata-rata skor kualitas hubungan sesama anggota tim tertinggi pada Direktorat A dan B sebesar 3.81, dan terendah pada Direktorat C sebesar 3.59. Rata-rata skor kepemimpinan bersama tertinggi pada Direktorat A sebesar 3.99, dan terendah pada Direktorat C sebesar 3.80. Rata-rata skor efektivitas tim tertinggi pada Direktorat B sebesar 4.26, dan terendah pada Direktorat C sebesar 4.02. Hasil perhitungan statistik deskriptif tersebut dilengkapi dengan hasil perhitungan analisis varian. Dari hasil perhitungan analisis varian diketahui bahwa skor kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim pada Direktorat A, B dan C tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi ketiga variabel penelitian pada Direktorat A, B dan C relatif sama pada kisaran cukup.

Rata-rata kualitas hubungan sesama anggota tim yang cukup menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai telah menunjukkan perilaku kontributif terhadap pegawai lainnya terkait pelaksanaan tugas, namun jumlah pegawai yang menunjukkan perilaku kontributif yang tinggi masih relatif sedikit. Kondisi yang sama juga terjadi pada dua variabel lainnya yaitu kepemimpinan bersama dan efektivitas tim. Rata-rata kepemimpinan bersama yang cukup, menunjukkan sebagian besar pegawai terlibat dalam perilaku kepemimpinan partisipatif, namun hanya sebagian kecil yang terlibat dalam perilaku kepemimpinan partisipatif secara intens. Rata-rata efektivitas tim yang cukup menunjukkan sebagian besar pegawai pada ketiga direktorat mempersepsikan kelompoknya telah memenuhi tiga kriteria efektivitas tim, namun hanya sebagian kecil yang mempersepsikan kelompoknya memenuhi tiga kriteria efektivitas tim pada tingkat yang memuaskan. Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa sebagian besar pegawai pada ketiga direktorat belum terlibat intens dalam perilaku kontributif dan kepemimpinan partisipatif, yang kemungkinan berdampak pada belum optimalnya pencapaian efektivitas tim.

(13)

Tabel 2. Hasil Perhitungan Deskriptif

Konstruk

Dit. A Dit. B Dit. C

Sig.

Mean SD Mean SD Mean SD Kualitas Hubungan

Sesama Anggota Tim

3.81 0.65 3.81 0.66 3.59 0.69 0.35

Kepemimpinan Bersama

3.99 0.62 3.94 0.62 3.80 0.66 0.45 Efektivitas Tim 4.22 0.46 4.26 0.34 4.02 0.50 0.09

Analisis korelasi. Hasil perhitungan statistik korelasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama, dan efektivitas tim memiliki interkorelasi yang positif secara signifikan. Kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan r=0.732 dan p<0.01. Kualitas hubungan sesama anggota tim dan efektivitas tim memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan r=0.414 dan p<0.01. Korelasi yang positif dan signifikan juga terjadi pada kepemimpinan bersama dan efektivitas dengan r=0.306 dan p<0.01. Dari ketiga korelasi tersebut, korelasi yang paling kuat adalah korelasi antara kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama dengan nilai r>0.5. Kedua korelasi lainnya meskipun terjadi secara signifikan dan positif namun sifatnya tidak terlalu kuat karena nilai r<0.5. Hasil perhitungan korelasi ini mengkonfirmasi analisa deskriptif dan analisa varian sebelumnya dimana ketiga variabel tersebut berada pada kisaran cukup. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi dapat diketahui bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim saling berkorelasi satu sama lain sehingga menyebabkan belum optimalnya ketiga variabel tersebut pada Direktorat A, B dan C.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Korelasi Kualitas

Hubungan Sesama Anggota

Tim

Kepemimpinan

Bersama Efektivitas Tim

r Sig r Sig r Sig

Kualitas Hubungan Sesama Anggota Tim

1 - 0.732 0.000** 0.306 0.003**

Kepemimpinan Bersama

0.732 0.000** 1 - 0.414 0.000**

Efektivitas Tim 0.306 0.003** 0.414 0.000** 1 -

* *p< 0.01

Hasil ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya (Daspit et al., 2013;

Srivastva dan Singh, 2015). Korelasi antara kualitas hubungan sesama anggota tim dan efektivitas tim sejalan dengan temuan Srivastva dan Singh (2015) yang menjelaskan bahwa hubungan sesama anggota tim memperbesar peluang untuk saling memperoleh umpan balik dan terjadinya komunikasi antar anggota kelompok, sehingga anggota

(14)

kelompok berpeluang lebih besar untuk memenuhi standar kinerja yang diharapkan kelompok. Korelasi antara kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama sejalan dengan temuan Daspit et al., (2013) yang menjelaskan bahwa perilaku kontributif pegawai dalam hubungan sesama anggota tim dapat mendorong munculnya perilaku kepemimpinan bersama dengan menciptakan kesan positif pegawai terhadap tujuan bersama, dukungan sosial dan voice yang dimiliki tim. Daspit et al., (2013) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan bersama yang berkembang pada suatu tim atau kelompok akan mengikat pegawai dalam peran kepemimpinan partisipatif terhadap pegawai lainnya, dan akan memunculkan keharusan anggota kelompok untuk mencapai kinerja yang memuaskan kelompoknya (Daspit et al., 2013).

Analisis regresi dan analisis jalur. Dari hasil perhitungan statistik regresi sebagai ditunjukkan pada Tabel 4, diketahui hal-hal sebagai berikut. Kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.237, R2=0.056, dan β=0.158. Kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dengan nilai r=0.732, R2=0.536, dan β=0.692.

Kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.297, R2=0.088, dan β=0.210. Kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama berpengaruh secara bersama-sama terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.299, R2=0.089, dan F=4.255. Hasil ini dilengkapi dengan analisis jalur yang menunjukkan kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama dengan koefisien pengaruh sebesar 0.303.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Regresi

Hubungan R R2 β F Sig.

Kualitas Hubungan Sesama Anggota Tim terhadap Efektivitas Tim

Total 0.237 0.056 0.158 0.024*

Direktorat A 0.045 0.002 -0.32 0.812

Direktorat B 0.401 0.161 0.206 0.028*

Direktorat C 0.314 0.099 0.225 0.091

Kualitas Hubungan Sesama Anggota Tim terhadap Kepemimpinan Bersama

Total 0.732 0.536 0.692 0.000**

Direktorat A 0.276 0.076 0.695 0.000**

Direktorat B 0.425 0.181 0.743 0.000**

Direktorat C 0.583 0.289 0.743 0.000**

Kepemimpinan Bersama terhadap Efektivitas Tim

Total 0.297 0.088 0.210 0.004**

Direktorat A 0.274 0.075 0.233 0.144

Direktorat B 0.393 0.154 0.246 0.032*

Direktorat C 0.525 0.276 0.453 0.003**

(15)

Tabel 4.1 (Lanjutan) Hasil Perhitungan Regresi

Hubungan R R2 β F Sig.

Kualitas Hubungan Sesama Anggota Tim dan Kepemimpinan Bersama terhadap Efektivitas Tim

Total 0.299 0.089 4.255 0.017*

Direktorat A 0.276 0.076 1.114 0.343

Direktorat B 0.425 0.181 2.975 0.680

Direktorat C 0.538 0.289 5.491 0.010*

*p< 0.05; **p< 0.01

Uji hipotesis. Hasil analisis regresi dan analisis jalur digunakan sebagai dasar dari pengujian keempat hipotesis penelitian. Hipotesis pertama (H1) yang menyatakan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dapat diterima. Hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dapat diterima. Hipotesis ketiga (H3) yang menyatakan bahwa kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dapat diterima. Hipotesis keempat (H4) yang menyatakan bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama dapat diterima. Dengan begitu keempat hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima.

Kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dengan koefisien pengaruh sebesar 0.158 yang artinya setiap peningkatan kualitas hubungan sesama anggota tim sebesar 1 akan diikuti dengan peningkatan efektivitas tim sebesar 0.158. Kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dengan koefisien pengaruh sebesar 0.692, yang artinya setiap peningkatan kualitas hubungan sesama anggota tim sebesar 1 akan diikuti dengan peningkatan kepemimpinan bersama sebesar 0.692. Kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dengan koefisen pengaruh sebesar 0.210, yang artinya setiap peningkatan kepemimpinan bersama sebesar 1 akan diikuti dengan peningkatan efektivitas tim sebesar 0.210. Kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama dengan koefisien pengaruh sebesar 0.303, yang artinya terjadi setiap peningkatan kualitas hubungan sesama anggota tim sebesar 1 melalui kepemimpinan bersama akan meningkatkan efektivitas tim sebesar 0.303. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama lebih besar dibandingkan tidak melibatkan kepemimpinan bersama. Dengan kata lain, pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim terjadi dengan melibatkan kepemimpinan bersama. Hasil uji hipotesis secara ringks dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

(16)

Gambar 2. Hasil Perhitungan Pengaruh Kualitas Hubungan Sesama Anggota Tim dan Kepemimpinan Bersama terhadap Efektivitas Tim

Pembahasan. Dari hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melibatkan kepemimpinan bersama sebagaimana hasil penelitian sebelumnya (Hoch dan Wegge, 2008; Daspit et al., 2013; Herre, 2010). Hasil ini akan dijadikan dasar untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik pada tingkat individu anggota kelompok dan pada tingkat kelompok.

Integrasi lintas fungsional pada tingkat individu anggota kelompok dijelaskan berdasarkan hasil pengujian H2 dan H3. Dari hasil pengujian H2 dan H3 diketahui bahwa (1) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama; dan (2) kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim. Integrasi lintas fungsional pada tingkat individu anggota kelompok terjadi ketika anggota kelompok menunjukkan perilaku kontributif dan perilaku kepemimpinan partisipatif yang mendorong peningkatan efektivitas tim (Daspit et al., 2013). Perilaku kontributif berfungsi untuk membentuk lingkungan internal yang positif (tujuan bersama, dukungan sosial dan voice). Perilaku kepemimpinan partisipatif berfungsi untuk menciptakan keharusan di antara sesama anggota kelompok untuk mencapai kinerja yang memuaskan kelompoknya.

Integrasi lintas fungsional pada tingkat kelompok dijelaskan berdasarkan hasil pengujian H4. Dari hasil pengujian H4 diketahui bahwa kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama berpengaruh secara simultan terhadap efektivitas tim, dimana kepemimpinan bersama berperan sebagai mediatornya.

Integrasi lintas fungsional pada tingkat kelompok terjadi ketika sumber daya organisasi terdistribusi secara merata di dalam kelompok dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan efektivitas tim (Herre, 2010). Sumber daya organisasi terdistribusi di dalam kelompok melalui hubungan sesama anggota tim. Pemanfaatan sumber daya organisasi secara optimal dilakukan melalui kepemimpinan bersama. kedua proses terjadi secara simultan dalam meningkatkan efektivitas tim.

Tahap selanjutnya adalah menerapkan skema di atas untuk menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada Direktorat A, B dan C. Berbeda dengan analisa yang dilakukan terhadap keseluruhan responden untuk mengetahui pengaruh yang terjadi antar variabel, analisa pada Direktorat A, B dan C dilakukan untuk mengetahui kondisi masing-masing kelompok. Gambaran kondisi integrasi lintas fungsional pada

Kualitas Hubungan Sesama Anggota

Tim

0.158 Kepemimpinan

Bersama

Efektivitas Tim

0.692 0.210

0.303

(17)

Direktorat A, B dan C dijelaskan pada tingkat individu anggota kelompok dan pada tingkat kelompok.

Hasil perhitungan regresi pada Direktorat A menunjukkan bahwa (1) kualitas hubungan sesama anggota tim tidak berpengaruh terhadap efektivitas tim; (2) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dengan nilai r=0.276, R2=0.076, dan β=0.695; (3) kepemimpinan bersama tidak berpengaruh terhadap efektivitas tim; dan (4) kualitas hubungan sesama anggota tim tidak berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada Direktorat A hanya H2 yang diterima, sementara itu H1, H3, dan H4 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa integrasi lintas fungsional pada Direktorat A tidak terbentuk pada tingkat individu sebagai anggota kelompok maupun pada tingkat kelompok. Tidak terbentuknya integrasi lintas fungsional pada Direktorat A disebabkan oleh tidak adanya pengaruh kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim. Kondisi ini menunjukkan pada tingkat individu tidak muncul keharusan di antara sesama anggota kelompok untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Pada tingkatan kelompok, kondisi ini menunjukkan tidak terjadinya pemanfatan sumber daya yang optimal untuk meningkatkan efektivitas tim.

Hasil perhitungan regresi pada Direktorat B menunjukkan bahwa (1) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.401, R2=0.161, dan β=0.206; (2) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dengan nilai r=0.425, R2=0.181, dan β=0.743; (3) kepemimpinan bersama berpengaruh terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.393, R2=0.154, dan β=0.246 ; dan (4) kualitas hubungan sesama anggota tim tidak berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada Direktorat B hipotesis yang diterima adalah H1, H2 dan H3, sementara itu H4 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa integrasi lintas fungsional pada Direktorat B terbentuk pada tingkat individu anggota kelompok, tetapi tidak terbentuk pada tingkat kelompok. Kondisi ini menunjukkan pegawai pada Direktorat B telah terlibat pada perilaku kontributif dan kepemimpinan partisipatif yang dapat meningkatkan efektivitas tim. Di sisi lain pada Direktorat B tidak terjadi proses pendistribusian dan pemanfaatan sumber daya organisasi secara simultan untuk meningkatkan efektivitas tim.

Hasil perhitungan regresi pada Direktorat C menunjukkan bahwa (1) kualitas hubungan sesama anggota tim tidak berpengaruh terhadap efektivitas tim; (2) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama dengan nilai r=0.583, R2=0.289, dan β=0.743; (3) kepemimpinan bersama berpengaruh terhadap efektivitas tim dengan nilai r=0.525, R2=0.276, dan β=0.453 ; dan (4) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama dengan nilai koefisien sebesar 0.428. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada Direktorat C hipotesis yang diterima adalah H2, H3 dan H4, sementara itu H1 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa integrasi lintas fungsional pada Direktorat C terbentuk pada tingkat individu anggota kelompok maupun pada tingkat kelompok. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada Direktorat C, pegawai telah terlibat dalam perilaku kontributif dan perilaku kepemimpinan partisipatif yang dapat meningkatkan efektivitas tim. Selain itu pada Direktorat C terjadi proses pendistribusian dan pemanfaatan sumber daya organisasi secara optimal untuk meningkatkan efektivitas tim.

(18)

Berdasarkan hasil analisis pada masing-masing kelompok dapat diketahui bahwa meskipun kondisi variabel penelitian relatif sama pada setiap kelompok, namun kondisi integrasi lintas fungsional beragam pada setiap kelompok. Integrasi lintas fungsional pada tingkat individu anggota kelompok terbentuk pada Direktorat B dan C.

Integrasi lintas fungsional pada tingkat kelompok hanya terbentuk pada Direktorat C.

Pada Direktorat A, integrasi lintas fungsional sama sekali tidak terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama dapat memberikan gambaran kondisi integrasi lintas fungsional yang berbeda pada setiap kelompok. Dengan begitu model integrasi lintas fungsional dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik lainnya.

Hasil penelitian ini memperkaya definisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik dari penelitian sebelumnya (Athanasaw, 2003; Piercy et al., 2011) dan sesuai dengan hasil penelitian terbaru (Farh et al., 2016; Gelderman et al., 2017).

Integrasi lintas fungsional tidak hanya menitikberatkan pada interaksi antar anggota kelompok dari latar belakang fungsi yang berbeda, namun juga melibatkan proses pendistribusian dan pemanfaatan sumber daya organisasi sebagaimana dijelaskan dalam Redmond (2015), Farh et al., (2016), dan Gelderman et al., (2017) Dengan begitu integrasi lintas fungsional dapat memiliki dampak yang lebih besar bagi peningkatan kinerja organisasi publik. Proses pendistribusian dan pemanfaatan sumber daya organisasi pada integrasi lintas fungsional menjadi proses yang dinamis dengan melibatkan perilaku kontributif dan kepemimpinan partisipatif dari seluruh anggota kelompok

PENUTUP

Kesimpulan. Kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik dapat digambarkan dengan model pengaruh kualitas hubungan sesama anggota tim dan kepemimpinan bersama terhadap efektivitas tim. Hal ini didasarkan hasil penelitian yang menemukan bahwa (1) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh positif terhadap kepemimpinan bersama; (2) kepemimpinan bersama berpengaruh positif terhadap efektivitas tim; dan (3) kualitas hubungan sesama anggota tim berpengaruh terhadap efektivitas tim melalui kepemimpinan bersama. Integrasi lintas fungsional dapat dijelaskan pada tingkat individu anggota kelompok dan pada tingkat kelompok.

Pada tingkat individu anggota kelompok, integrasi lintas fungsional melibatkan perilaku kontributif dan perilaku kepemimpinan partisipatif anggota kelompok yang dapat meningkatkan efektivitas tim. Pada tingkat kelompok, integrasi lintas fungsional melibatkan proses pendistribusian dan pemanfaatan sumber daya organisasi secara optimal untuk meningkatkan efektivitas tim.

Model tersebut dapat menggambarkan kondisi integrasi lintas fungsional pada Direktorat A, B dan C. Dengan menggunakan model tersebut diketahui bahwa (1) pada Direktorat A tidak terbentuk integrasi lintas fungsional pada tingkat individu dan kelompok; (2) pada Direktorat B terbentuk integrasi lintas fungsional pada tingkat individu saja; dan (3) pada Direktorat C terbentuk integrasi lintas fungsional pada tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Keberhasilan model ini dalam menjelaskan integrasi lintas fungsional pada Direktorat A, B dan C menunjukkan

(19)

bahwa model ini dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi publik lainnya.

Saran. Dari hasil penelitian diketahui bahwa koordinasi horizontal dalam organisasi tidak hanya berbicara mengenai perilaku anggota kelompok dalam berinteraksi, tetapi juga berbicara mengenai sejauhmana sumber daya organisasi tersebar di dalam kelompok. Temuan ini memberi masukan terhadap titik temu antara bidang kajian perilaku organisasi dan manajemen organisasi. Untuk itu peneliti menyarankan agar penelitian-penelitian selanjutnya yang membahas tentang hal serupa seperti koordinasi dan kepemimpinan, membahas fenomena yang terjadi dari kedua bidang tersebut.

Dengan begitu hasil penelitian selanjutnya dapat memberikan masukan yang lebih kaya dalam memahami fenomena yang terjadi di dalam organisasi, dan memperbesar peluang untuk menghasilkan inovasi dalam pengembangan organisasi.

Dari sisi praktisnya penelitian ini memberi masukan kepada pimpinan dari Direktorat A, B dan C untuk mengembangkan integrasi lintas fungsional dalam meningkatkan kinerja organisasinya. Model integrasi lintas fungsional yang melibatkan variabel kualitas hubungan sesama anggota tim, kepemimpinan bersama dan efektivitas tim juga dapat digunakan oleh pimpinan organisasi lainnya guna mengetahui kondisi integrasi lintas fungsional pada organisasi masing-masing.

DAFTARRUJUKAN

Athanasaw, Y.A. (2003), Team Characteristics and team member knowledge, skills and ability relationship to effectiveness of CFTs in the public sector. International Journal of Public Administration, 26 (10 & 11), 1167-1205.

Avolio, B.J., Sivasubramaniam, N., Murry, W.D., Jung, D., & Garger, J.W. (2003).

Assesing shared leadership : Development and preliminary validation of a team multifactor leadership questionnaire. Shared leadership : Reframing the hows and whys of leadership, 143-172, California : Sage.

Brodbeck, F.C. (1996). Work group performance and effectiveness : Conceptual and measurement issues. Handbook of work group psychology, 285-315, Chichester : Wiley.

Carson, J.B, Tesluk, P.E, Marrone, J.E (2007), Shared Leadership in Teams : An Investigation of Antecendent Conditions and Performance. Academy of Management Journal, 50(5), 1217-1234.

Christensen, T., Laegreid, P., Roness, P.G., & Rvik, K.A. (2007). Organization Theory and The Public Sector : Instrument, culture and myth. New York : Routledge.

Cohen, S.G. & Bailey, D.E. (1997). What makes teams work : Group effectiveness research from the shop floor to the executive suite. Journal of Management, 23(3), 239-290.

Daspit, J., Tillman, C.J., Boyd, N.G., &Mckee, V. (2013). Cross-functional team effectiveness: An examination of internal team environment, shared leadership and cohesion influences. Team Performance Management, 19(2), 34-56.

Dwiyanto, A. (2015). Reformasi Birokrasi Kontekstual. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

(20)

Endrian, W.S.H. (2014). Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai Melalui Kepuasan Kinerja sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng).

MIX:Jurnal Ilmiah Manajemen, IV(1), 70-82.

Farh, C.I.C., Lanaj, K., Ilies, R. (2017). Resources-Based Contingencies of When Team-Member Exchange Helps Member Performance in Teams. Academy of Management Journal, 60(3), 1117-1137.

Farmer, S.M., Dyne, L.V., Kamdar, D. (2015). The Contextualized Self : How Team- Member Exchange Leads to Coworker Identification and Helping OCB. Journal of Applied Psychology, 100(2), 583-595.

Gelderman, C.J., Semeijn, J., Verweij, E. (2017). The Effectiveness of Cross- Functional Sourcing Teams-An Embedded Case Study in A Large Public Organization. Central European Review of Economics and Management, 1(3), 7-43.

Hoch, J.E. & Wegge, J. (2008). Shared leadership in virtual teams. In K. Meißner & M.

Engelein (Eds.), Virtual enterprises, communities & social networks. TUDpress, 253-265.

Herre, C. (2010). Promoting Team Effectiveness : How Leaders and Learning Processes Influence Team Outcomes (Doctoral dissertation). Universitȁt Fribourg, Schweiz.

O’Donnel, O., & Boyle, R. (2008). Understanding and Managing Organisational Culture. Dublin : Institute of Public Administration.

Octorano, D.F. (2015). Pengaruh Koordinasi, Kompetensi dan Disiplin terhadap Kinerja Pegawai Unit Layanan Pengadaan Kementerian Agama Pusat (ULP Kemenag Pusat). MIX: Jurnal Ilmiah Manajemen, V(1), 108-123.

Pollack, J. (2009). Social Ties and Team Member Exchange as Antecedents to Performance in Networking Groups (Doctoral dissertation). Virginia Commonwealth University, Virginia.

Pearce, C.L., & Conger, J.A. (2003). Shared leadership : Reframing the hows and whys of leadership. California : Sage.

Piercy, N., Phillips, W., & Lewis, M. (2011). Change Management in the Public Sector : The Use of Cross-Functional Teams. Production Planning & Control, 24(10- 11), 976-987.

Redmond, M.V. (2015). Social Exchange Theory. English Technical Reports and White Papers. 5. Iowa State university.

Roosmalen, T.M.V. (2012). The Development of A Questionnaire on The Subjective Experience of Teamwork, Based on Salas, Sims and Burke’s “The Big Five of Teamwork” and Hackman’s Understanding of Team Effectiveness (Master Thesis). The Norwegian University of Science and Technology, Trondheim.

Seers, A., Petty, M.M., Cashman, J.F. (1995), Team Member-Exchange under Team and Traditional Management. Group & Organization Management, 20(1), 18- 38.

Srivastsva, U.R., & Singh, V. (2015). Individual and Group Level Antecedents of Team Member Exchange (TMX) and its Associated Outcomes. International Journal of Management Excellence, 5(1), 567-583.

(21)

Wageman, R., Hackman, J. R., Lehman, E.. (2005). Team Diagnostic Survey Development of An Instrument. The Journal of Applied Behavioral Science, 41(4), 373-398.

Referensi

Dokumen terkait

Program stokastik adalah salah satu cabang matematika yang berhubungan dengan keputusan optimal dalam keadaan tidak pasti yang dinyatakan dengan distribusi peluang.. Ruang

Inflasi bulan Desember terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks harga konsumen pada kelompok-kelompok pengeluaran yaitu kelompok

Penularan toksoplasmosis dari hospes definitif maupun hospes Penularan toksoplasmosis dari hospes definitif maupun hospes intermediate ke hospes lainnya, termasuk

Menurut studi yang dilakukan di Mozambique, perbedaan hasil penelitian yang menunjukkan gambaran radiologi terbanyak pada kasus tuberkulosis pada anak adalah

Jadi gerakan yang efisien kepada pelanggan berarti bahwa cara paling cara paling sederhana dan efisien kepada pelanggan untuk memiliki produk mereka dalam sederhana dan efisien

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2015 kepada atlet Taekwondo Koguryo Manahan Surakarta Tingkat SMP diketahui bahwa postur tubuh

Ruptur plak ini dianggap sebagai penyebab terbanyak timbulnya angina pectoris tidak stabil akibat terjadinya sumbatan parsial atau total dari pembuluh darah koroner

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi&#34; rus kas yang mengambil