• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUJURAN DALAM ADAT BANJAR PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "JUJURAN DALAM ADAT BANJAR PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

132

JUJURAN DALAM ADAT BANJAR PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Ahmad Syarif Hidayattullah

Abstract:

In Islamic marriage, there is an obligation that the bridegroom must give to the bride, namely the dowry. Dowry as a condition and annihilation is pronounced when the contract. The provision of a reasonable dowry will depend on a person's position in life, social status, those married parties, and may differ from place to place. Related to the Banjar community, in addition to the dowry, there is also what is known as honesty. The Banjar tribe highly respects and preserves the customs they have, including the custom known as Honesty. Honesty is a gift from the male side to the female side given by mutual agreement (the parents' side), here honesty money is distinguished from a dowry. Honesty in Banjar custom is one of the conditions that must be met by the groom-to-be. Usually this honesty is in the form of cash. In its sense it is equally a gift from the bridegroom to the bride but the position is different and honesty is also not spoken when the contract. The Banjar people make honesty something that must exist. Although basically the presence or absence of honesty does not affect the validity of a marriage.

Keywords:

Jujuran, Banjar Customs and Marriage.

A. Pendahuluan

Pernikahan merupakan perintah Allah SWT kepada umat manusia. Menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan agar mereka dapat saling mengasihi dan memberikan rasa tentram. Selain itu pernikahan juga merupakan ibadah terlama kepada Allah SWT .

Secara bahasa, kata an-nikah ( حاكنلا ) punya beberapa makna.

Syarif Hidayatullah adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin Prodi HKI, email : [email protected]

(2)

133 Di antara makna kata tersebut secara etimologis atausecara bahasa adalah :

- Hubungan kelamin atau al-wath'u ( ءطولا ) yang artinya hubungan seksual.

- Akad, atau al-‘aqdu ( دقَعلا ), maksudnya sebuah akad, atau bisa juga bermakna ikatan atau kesepakatan.1

Pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan.

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga diantara keduanya ada saling ketertarikan dan kemudian bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan.

Setiap makhluk diciptakan secara berpasang-pasangan. Setiap dari mereka akan selalu berupaya untuk bisa bertemu dengan pasangannya. Law of sex (hukum berpasangan) dilekatkan oleh Allah bagi setiap makhluknya. Dengan demikian, pernikahan merupakan sunnatullah, yaitu ketetapan yang diberlakukan-Nya terhadap semua makhluk.2

Pernikahan bagi seorang muslim bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah.3 Masyarakat adat memandang bahwa pernikahan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan agar terciptanya kerukunan dan damai. Pernikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan tata cara yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama maupun dalam tradisi masyarakat sekitar dengan tetap memperhatikan syariat.

Islam sendiri tidak menentukan tata cara bagaimana

1Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) “PERNIKAHAN”, (Jakarta:

DU Publishing, 2011), hlm. 28.

2Erma Fatmawati, Sosio-Antropologi Pernikahan Dini, (Yogyakarta : Penerbit Pustaka Ilmu, 2020), hlm. 13.

3Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam, Cet V, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm. 2.

(3)

134

sebuahpernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan.

Islam hanya memberikan batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuahupacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya.

Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan sebuah pernikahan tersebut, yaitu rukun dan syarat. Rukun dan syarat iniakan berdampak pada hukum, hal yang utama yaitu berkaitan dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.4

Pernikahan pada adat Banjar, ada yang namanya jujuran. Istilah Jujuran merupakan suatu pemberian dari laki-laki kepada peremuan (calon suami kepada calon istri). Jujuran ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami dalam bentuk uang tunai.

Jujuran dalam adat Banjar nilainya sangat dipengaruhi perkembangan zaman dan beberapa faktor lainnya.

Besar kecilnya jujuran bagi seorang perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: status sosial orang tua si perempuan, tingkat pendidikan, kecantikan si perempuan, strata sosial, faktor kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan karena memang dikehendaki orang tua si perempuan sebagai biaya pernikahan. Semakin tinggi status seorang perempuan semakin tinggi tuntutan uang jujuran yang akan di berikan. Hal ini sangat berpotensi terhambatnya pernikahan, dikarenakan kemampuan laki-laki dengan keinginan dari pihak perempuan berbeda.

B. Pembahasan

1. Rukun dan Syarat dalam Pernikahan

Sesungguhnya antara rukun dan syarat punya hubungan yang erat, yaitu bahwa keberadaan masing-masing sama-sama sangat menentukan sah atau tidak sahnya suatu amal. Suatu

4Amir Syamsuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Pernikahan, (Jakara: Kencana, 2006), hlm.

59-61.

(4)

135 ibadah tidak akan sah, bila salah satu dari sekian banyak rukunnya tidak terpenuhi. Demikian juga, bila kurang salah satu diantara syarat syaratnya, juga tidak sah.

Adapun yang rukun dan syarat yang berkaitan dengan nikah yaitu:

a. Rukun:

1) Calon Suami & Istri

2) Wali

3) Saksi

4) Ijab Kabul b. Syarat:

1) Baligh (berakal) 2) Beragama Islam 3) Bukan Mahram

Melihat dari rincian diatas, pada dasarnya mahar tidak termasuk diantara keduanya namun mahar tetap dianjurkan sebagai bentuk penghargaan terhadap calon istri.

Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang perempuan adalah pemberian mahar saat menikahinya. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka.

2. Pengertian Jujuran

Jujuran adalah suatu pemberian dari pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuanyang biasanya dalam bentuk uang tunai.5Dalam pengertiannya, Jujuran berbeda dengan mahar atau mas kawin. Jujuran merupakan bentuk adat istiadat atau kebiasaan pada masyarakat Banjar. Pemberian tersebut biasanya digunakan sebagai salah satu sumber dana untuk pelaksanaan rangkaian resepsi pernikahan atau walimatul ‘ursy.6

5Gusti Mahfudz, Pola Pernikahan Adat Banjar Di Kalimantan Selatan, (Yogyakarta: Lembaga Kependudukan UGM), hlm.18.

6Artikel ini dipublikasi di BanjarmasinPost.co.id dengan judul Jujuran,

(5)

136

Jujuran digunakan sebagai pembiayaan pesta pernikahan, dari mulai rias pengantin, sewa tempat, dan hal-hal terkait pernikahan lainnya. Selain untuk acara resepsi pernikahan, uang jujuran juga digunakan sebagai bekal suami istri untuk menjalani kehidupan rumah tangga.7

Seiring berkembangnya zaman jumlah Jujuran ini mengalami perubahan, saat ini mahalnya Jujuran bagi seorang gadis ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain:

a. Status sosial orang tua si gadis, umpamanya orang tua si gadis adalah orang terpandang,

b. Kecantikan si gadis.

c. Tingkat pendidikan si gadis.

d. Pekerjaan.

e. Keinginan orang tua si gadis sebagai biaya perkawinan dan bekal hidup bagi kedua mempelai.

Pada masyarakat umum jumlah Jujuran bisa juga diambil patokan dari besarnya Jujuran kebanyakan orang di daerah tersebut.

3. Jujuran Berbeda dengan Mahar

Dalam pernikahan Islam, ada hal yang harus dipenuhi salah satunya yaitu mahar. Walaupun suatu kewajiban namun mahar bukanlah bagian dari rukun. Penyerahan mahar dari calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang belum ditunaikan tersebut menjadi hutang bagi calon mempelai laki-laki.

Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa : 4

Tantangan ataukah Halangan?, https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/07/

16/jujuran-tantangan-ataukah-halangan. Diakses pada taanggal 11/11/2021

7Rifqi Akbari, Jujuran dalam Adat Banjar, Skripsi, (Jakarta: UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2018), hlm. 47.

(6)

137

امًسْاَن َُمْنِّْن ء ٍْمَي ْنمََ ْْمُكَل َنْبِّط ْنِّاَف ۗ ًةَلْحِّن َّنِّهِّتٰقُدَص َءۤاَسِّْنلا اوُتٰا َو ْۤي ِّرَّن أًـْۤيِّنَه ُه ْوُلُكَف أًـ

Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Syekh Abu Syuja’ berkata:

“disunahkan menyebutkan maskawin (mahar) dalam nikah, jika maskawin (mahar) tidak disebutkan, akad nikahnya tetap sah dan wajib ada mahar mitsil (kebiasaan yang wajar) dengan tiga syarat: mahar mitsil tersebut ditentukan oleh hakim/pejabat muslim, atau diitentukan oleh suami-istri, atau karena si suami sudah menyetubuhi istri maka wajib ada mahar mitsil.”

Tidak ada ketentuan tentang besaran atau batasan dalam pemberian mahar. Karena pada dasarnya mahar dilihat dari kesanggupan calon suami yang mana sebagai bentuk penghargaan terhadap calon istri. Hal ini harus ada kesepakatan antar dua belah pihak.

Mahar itu tidak ada batas minimal dan maksimalnya.

Bahkan segala sesuatu yang mengandung nilai, baik berupa benda maupun manfaat atau jasa bisa dipakai sebagai mahar.8

Abu Tsur mengatakan, perkiraan ukuran mahar itu lima dirham. Imam Abu Hanifah mengatakan, perkiraan ukuran mahar itu sepuluh dirham. Ada salah satu hadits yang menunjukkan secara tersirat tentang ukuran mahar. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “carilah mahar, walaupun sekadar cincin besi”

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : “Aku kawinkan engkau dengan perempuan itu

8Imam Taqiyudin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), hlm. 415.

(7)

138

dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an kepada perempuan itu semampunya.”

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa mahar itu boleh dengan jumlah yang sangat sedikit sekali, dan boleh berupa manfaat atau jasa yang bermanfaat.

Jadi melihat dari kedudukannya, Jujuran dengan mahar sangatlah berbeda. Jujuran merupakan adat istiadat yang sudah ada sejak dulu dan disesuaikan dengan hukum Islam, sedangkan mahar merupakan syari’at yang anjurkan dalam pernikahan Islam.

4. Kedudukan Jujuran dalam Adat Banjar

Stigma masyarakat Banjar terhadap jujuran merupakan suatu tradisi yang harus ada dalam sebuah rangkaian acara. Hal ini akan menjadi aneh atau kurang, apabila tidak ada dalam rangkaian acara pernikahan.9

Hingga saat ini, Jujuran masih lestari dan dipertahankan masyarakat Banjar khususnya dalam praktik pernikahan. Kadar atau jumlah jujuran terkadang lebih banyak dari mahar. Tradisi Jujuran telah menjadi suatu perbuatan yang melekat dalam masyarakat Banjar.

Melekatnya tradisi Jujuran pada masyarakat adat suku Banjar ini setidaknya memicu beberapa dampak sosial diantaranya yaitu status sosial kedudukan laki-laki suku Banjar dalam tradisi Jujuran adalah laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi karena laki-laki yang memberikan Jujuran kepada perempuan, namun dalam pandangan lain kedudukan laki-laki dalam tradisi Jujuran menjadi pihak yang ditekan oleh perempuan karena yang menentukan besarnya jumlah Jujuran yang diminta adalah pihak perempuan, menimbulkan status sosial, selain itu dampak sosial yang diterima laki-laki suku Banjar, setelah melaksanakan tradisi Jujuran adalah penilaian positif yang berupa pujian atau penilaian

9Alfani Daud,iIslam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 75.

(8)

139 negative yang berupa sindiran yang datang dari masyarakat, sedangkan dampak psikologis bagi laki-laki yang mampu memenuhi permintaan jujuran dari pihak perempuan akan merasa senang dan mungkin bangga serta menghindarkan dari pandangan negatif masyarakat.10

Pada adat banjar, ada adat dimana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan yang disebut dengan istilah jujuran. Hal ini merupakan adat yang ada pada masyarakat Banjar. Meskipun pada dasarnya pernikahan akan tetap sah dengan terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan walaupun ada atau tidaknya jujuran.

Oleh karena itu, Jujuran memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan adat Banjar. Bahkan menjadi bagian dari kewajiban bagi setiap mereka yang akan melangsungkan pernikahan di kalangan masyarakat adat Banjar.

5. Jujuran dalam Perspektif Hukum Islam

Jujuran adalah tradisi umum dan berlaku bagi semua masyarakat Banjar. Meskipun praktik ini tidak diatur oleh hukum Islam, namun pemberian tersebut sudah dapat digolongkan sebagai tradisi yang sudah dipraktikkan di masyarakat, selama tidak bertentangan dengan Akidah atau nash.

Dalam Islam tidak dikenal dengan yang namanya jujuran.

Tetapi ada yang namanya Mahar merupakan syarat pernikahan.

Dilihat dari nilainya mahar dan jujuran sangatlah berbeda karena mahar merupakan hal diucapkan ketika akad sedangkan jujuran hanya merupakan adat yang sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Banjar. Walaupun sifatnya sama yaitu sebagai pemberian kepada calon mempelai perempuan.

a. Jujuran Sebagai Hukum Adat

Hal ini berkaitan dengan salah satu kaidah fikih,

10Sanawiah, Ikbal Reza Rismanto, Jujuran Atau Mahar Pada Masyarakat Suku Banjar Di Tinjau Dari Perspiktif Pandangan Hukum Islam, Jurnal Hadratul Madaniah, Volume 8 Issue I, 2021, hlm. 55-56.

(9)

140

َمكَحمةَداَعْلَا ة

Artinya : “suatu adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai sandaran hukum”11

Kaidah fikih ini berkaitan dengan kebiasaan dan kebiasaan. Bahasa Arab memiliki dua istilah yang berkaitan dengan adat istiadat: al-'adat dan al-'urf. Kebiasaan hanya mempertimbangkan frekuensi perilaku dan tidak mencakup evaluasi baik dan buruknya perilaku. Kata ‘urf digunakan mengingat kualitas tindakan yang dilakukan, yaitu diakui, dikenal dan diterima oleh banyak orang.12

Ditinjau bagaimana ‘urf diterima atau tidaknya, terbagi menjadi dua yaitu ‘urf shahih adalah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan

‘urf fasid adalah ‘urf yang tidak dapat diterima karena bertentangan hukum syara’.

Sebelum Nabi Muhammad diutus, adat istiadat itu menyebar di antara orang-orang di berbagai belahan dunia.

adat istiadat dibangun di atas nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat itu sendiri, dan diciptakan, dipahami, disepakati, dan dilaksanakann dengan kesadaran. Nilai-nilai yang diterapkan boleh atau tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Adat dapat dijadikan landasan karena hukum Islam mengakui keefektifan adat istiadat dalam interpretasi hukum.

Ketika Islam datang, ia membawa serta ajaran yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang selaras dengan nilai-nilai umum masyarakat. Ada juga nilai- nilai lain dan bahkan bertentangan dalam ajaran Islam. Maka dari itulah kemudian Ulama membagi adat kebiasaan yang ada

11Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t: Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm. 114.

12Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid ke-2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 388.

(10)

141 di masyarakat menjadi al-„âdah al-shahîhah (adat yang sahih, benar, baik) dan al-„âdah al-fâsidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).13

Pernikahan merupakan salah satu satu aspek yang diwarnai ada istiadat yang cukup kental bagi masyarakat Banjar.

Bagi masyarakat Banjar, proses pernikahanharus dilakukan secara terperinci. Oleh sebab itu, tidak heran prosesi pernikahannyamemerlukan waktu panjang dan biaya tak sedikit.

Hal itu dikarenakan kebudayaanmasyarakat Banjar sedikit banyak dipengaruhi agama Islam yang dibawa olehpedagang dari Arab pada zaman dulu.

b. Jujuran Sebagai Bentuk Tolong-Menolong

Sebagai suatu sistem dalam kehidupan, Islam memberikan pedoman dalam segala aspek kehidupan manusia, tak terkecuali berkaitan dengan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme, spiritualisme dan humanisme. Adanya kebebasan dalam melakukan usaha di muka bumi ini untuk memakmurkan kehidupannya, manusia sebagai khalifah di bumi harus kreatif, inovatif, kerja keras, dan berjuang.14

Jumlah jujuran tergantung kesanggupan mempelai laki- laki yang mana uang tersebut digunakan untuk melangsungkan pernikahan. Selain uang biasanya calon mempelai laki-laki juga memberikan barang-barang kebutuhan pribadi si perempuan.

Tujuan pemberian jujuran pada dasarnya untuk pembiayaan resepsi pernikahan kedua mempelai.

13A. Djazuli, .Kaidah-kaidah Fikih.kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 84.

14Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006). hlm.

129.

(11)

142

c. Jujuran yang Tidak Diperbolehkan

1) Jujuran untuk tujuan kesombongan

Jujuran yang pada awalnya adalah merupakan sebagai bentuk perwujudan dari rasa hormat dan menghargai kepada calon mempelai perempuan yang dilamar kini mengalami pergeseran makna ke arah yang lebih materialistis lagi. Jujuran menjadi sebuah ajang gengsi antar suatu keluarga dengan keluarga yang lain di masyarakat, maka kemudian terjadilah permintaan jujuran yang meningkat hingga nilai yang diminta menjadi tidak wajar.

Peningkatan nilai jujuran yang harus dipenuhi, adalah demi tujuan menjadikan acara pernikahan yang diselenggarakan tersebut menjadi lebih mewah dan lebih meriah tentunya, sehingga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka yang mampu mengadakan pernikahan dengan acara yang mewah tersebut. Akan menjadi sebuah aib atau omongan di keluarga besar maupun tetangga jika dalam pernikahan yang diselenggarakan tersebut jujuran yang diminta nilainya kecil dan acara pesta pernikahan atau walimah hanya sederhana saja, sehingga tentu saja itu akan memalukan bagi pihak keluarga yang melaksanakan pernikahan tersebut.

2) Jujuran sebagai penghalang pernikahan

Ketika jujuran yang diminta cukup besar dan kemudian calon mempelai laki-laki dapat memenuhinya itu tidak menjadi masalah, tetapi menjadi masalah ketika jujuran tersebut tidak dapat dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki tersebut. Sehingga kejadian yang seharusnya tidak terjadi menjadi terjadi, seperti penundaan pernikahan, batalnya pernikahan, hingga terjadi kawin lari. Dengan pergeseran nilai-nilai di dalam jujuran tersebut maka sudah pasti telah menyimpang dari nilai-nilai pernikahan di dalam agama Islam yang seharusnya dalam pernikahan itu tidak

(12)

143 memberatkan satu sama lain.

Hal ini dapat menimbulkan kesulitan kepada calon mempelai laki-laki. Karena jujuran yang diminta akan semakin tinggi jumlahnya. Hal ini dapat menimbulkan calon mempelai akan menunda jadwal pernikahannya, sambil berusaha untuk memenuhi nilai jujuran yang telah di tentukan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa calon mempelai laki-laki meminta bantuan orang-orang dalam bentuk hutang. Meskipun pernikahan terjadi akan tetap menjadi beban bagi kedua mempelai dalam membina rumah tangga karena harus melunasi hutang untuk memenuhi jujuran.

C. Kesimpulan

Dari pembahasan penelitian ini, maka dapat penulis simpulkan bahwa:

1. Dalam pernikahan Islam, ada hal yang harus dipenuhi salah satunya yaitu mahar. Walaupun suatu kewajiban namun mahar bukanlah bagian dari rukun. Penyerahan mahar dari calon mempelai laki-laki kepada perempuan yang belum ditunaikan tersebut menjadi hutang bagi calon mempelai laki-laki. Melihat dari kedudukannya, Jujuran dengan mahar sangatlah berbeda.

Jujuran merupakan adat istiadat yang sudah ada sejak dulu dan disesuaikan dengan hukum Islam, sedangkan mahar merupakan syari’at yang anjurkan dalam pernikahan Islam.

2. Jujuran yaitu pemberian berupa uang dari calon mempelai laki- laki kepada calon mempelai perempuan sebagai bukti bahwa calon si laki-laki benar-benar menginginkan perempuan tersebut sebagai pasangannya diberikan atas dasar kesepakatan bersama.

Sedangkan jujuran menurut adat Banjar yaitu salah satu prosesi perkawinan adat dimana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan sebagai biaya walimah atas dasar kesepakatan.

(13)

144

3. Pada dasarnya tidak ada batasan dalam pemberian jujuran, tidak ada minimal maupun maksimalnya. Namun dalam praktiknya, banyak faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah jujuran.

4. Jujuran dalam pernikahan adat Banjar adalah suatu ketentuan wajib dalam pernikahan dilihat dari kedudukannya uang jujuran bisa dikatakan sebagai rukun pernikahan di kalangan masyarakat adat Banjar. Masyarakat Banjar berpendapat bahwa jujuran sebagai salah satu tradisi yang dilakukan dalam rangkaian acara pernikahan. Hal ini akan menjadi aneh, apabila tidak dilaksanakan dalam rangkaian acara pernikahan.

5. Menurut hukum Islam jujuran dikategorikan sebagai 'urf, yaitu adat istiadat atau kebiasaan. Jujuran adalah tradisi yang bersifat umum, maknanya adalah berlaku pada setiap orang yang bersuku Banjar.

Walaupun praktik demikian tidak diatur di dalam hukum Islam, namun pemberian tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai suatu tradisi yang diperbolehkan dilakukan pada masyarakat tersebut selama hal tersebut tidak bertentangan dengan akidah dan nash.

Daftar Pustaka

(14)

145 Akbari, Rifqi, Jujuran dalam Adat Banjar, Skripsi, Jakarta: UIN SYARIF

HIDAYATULLAH, 2018.

Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.

Daud, Alfani Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta:

Kencana, 2006.

_________, Kaidah-kaidah Fikih kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta:

Prenada media Group, 2016.

Fatmawati, Erma, Sosio-Antropologi Pernikahan Dini, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Ilmu, 2020.

Mahfudz, Gusti, Pola Pernikahan Adat Banjar Di Kalimantan Selatan, Yogyakarta: Lembaga Kependudukan UGM.

Ramulyo, Mohd. Idris Hukum Pernikahan Islam, Cet V, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.

Rismanto, Ikbal Reza & Sanawiah, Jujuran Atau Mahar Pada Masyarakat Suku Banjar Di Tinjau Dari Perspiktif Pandangan Hukum Islam, Jurnal Hadratul Madaniah, Volume 8 Issue I, 2021.

Sabiq, Ahmad bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, t.t: Pustaka Al-Furqon, 2009.

Syamsuddin, Amir, Hukum pernikahan islam di Indonesia AntaraFiqh Munakahat dan Undang-Undang Pernikahan, Jakara:

Kencana, 2006.

Syarifuddin , Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009

(15)

146

Website : Artikel ini telah tayang di BanjarmasinPost.co.id dengan judul Jujuran, Tantangan ataukah Halangan?, https://banjarmasin.

tribunnews.com/2019/07/16/jujuran-tantangan-ataukah- halangan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah terdapat hubungan antara kualitas tidur dan aktivitas fisik

Pada eksperimen ini dicari beberapa eksplorasi bentuk dari kombinasi pada teknik coiling dengan teknik lattice. Teknik lattice yaitu proses serut bambu untuk

Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang akan diangkat dalam kasus ini adalah bagaimana cara untuk memperkenalkan dunia luar kepada anak pengidap autis dengan

Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana sebuah robot lengan 3 sendi dapat memindah suatu barang dari satu posisi ke posisi yang lain.. Kekurangan dari penelitian ini yaitu

Jika negara, pemerintahan atau sejenisnya masih bergantung pada negara lain, maka negara tersebut akan sulit berkembang, maju dan jauh dari kata negara sempurna seperti yang

Setelah dilakukan pewarnaan Gram dari koloni bakteri 20 sampel yang diduga Streptococcus yang diuji kemu- dian dilakukan pengamatan dengan menggunakan

Beban yang bekerja pada struktur seperti beban mati (dead load), beban hidup (live load), beban gempa (earthquake), dan beban angin (wind load) menjadi bahan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh formulasi yang optimal dalam pembuatan bubur instan MPASI berbasis sorgum putih dan tepung kacang merah menggunakan program