• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum yang mengatur tindak pidana korupsi bertujuan antara lain memberantas atau setidak-tidaknya mengurangi tindak pidana korupsi.

Namun demikian, permasalahan hukum yang selalu muncul adalah penjatuhan pidana tindak pidana korupsi dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, belum memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat. Masyarakat umumnya menilai bahwa pemidanaan masih jauh dari ancaman pidana yang seharusnya dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Masyarakat umumnya berpandangan bahwa penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan belum seimbang dengan perbuatan dan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh para koruptor.

Berkaitan dengan pandangan umum di dalam masyarakat di atas, sering pula dirasakan bahwa pemidanaan terhadap koruptor masih menimbulkan permasalahan, yaitu kurangnya efek jera bagi para pelaku.

Kesan masyarakat awam1 itu muncul akibat seringkali terjadi perbedaan penjatuhan hukuman, yang menurut sejumlah kalangan dikenal dengan

1 Pandangan awam atau the men in the street, bukan pandangan jurists. Jurists, atau ahli hukum tidak boleh mengatakan bahwa ada disparitas pemidanaan, karena adanya asas kemerdekaan kehakiman yang harus dijunjung tinggi dalam negara hukum, sebagaimana postolat atau prinsip dalam teori Keadilan Bermartabat (the Dignified Justice Theory).

(2)

konsep disparitas pemidanaan. Disparitas itu terjadi karena adanya selisih antara pemidanaan yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada pelaku tindak pidana korupsi setelah dibandingkan dengan rumusan kaidah sanksi pidana yang seharusnya dikenakan pada terdakwa menurut undang-undang yang berlaku. Begitu pula disparitas antara kerugian negara yang telah terjadi dengan pengembalian atau pemulihan kerugian tersebut dengan pemberian sanksi pidana yang dijatuhkan pihak pengadilan. Tinggi rendahnya sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang mirip atau persoalan disapritas pidana di mata kaum awam itu telah berakibat negatif terhadap citra dari hukum secara keseluruhan, khususnya citra dari penegakan hukum, dan lebih khusus lagi citra dari penegakan hukum tindak pidana pembetantasan korupsi di Indonesia.

Penelitian ini memfokuskan diri pada pemidanaan berbasis pelanggaran atau kejahatan yang perlu diberantas atau setidak-tidaknya perlahan-lahan dikurangi, sebagaimana terdapat di dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

(3)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pasal atau norma serta kaidah dan peraturan yang khas dalam hukum Indonesia yang mengatur pemberantasan kerugian negara. Terdapat beberapa unsur dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor tersebut.

Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; unsur secara melawan hukum; dan unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah unsur-unsur dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor tersebut. Penopang atas kaidah hukum itu adalah sanksi atau hukuman atas delik khusus. Sanksi atau hukuman yang diancamkan terhadap pelanggaran Pasal tersebut adalah hukuman seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara, maksimal 20 tahun, denda minimal 200 juta sampai 1 miliar.

Selain hukuman-hukuman itu, dalam keadaan tertentu pelanggaran terhadap Pasal tersebut di atas dapat dijatuhkan pidana mati. Sudah menjadi pengetahuan umum, hingga saat ini ancaman yang disediakan oleh Undang- Undang terhadap pelangaran atau Kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal tersebut tidak pernah secara maksimal dipergunakan. Hal ini juga barangkali telah menjadi penyebab dari keluhan masyarakat sebagaimana telah penulis kemukakan di atas.

(4)

Pasal 3 UU Tipikor berisi unsur-unsur seperti dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi;

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ancaman hukuman pidana bagi pelanggaran Pasal 3 di atas adalah seumur hidup atau minimal 1 tahun sampai 20 tahun penjara;

dan denda dari Rp 50 juta hingga satu miliar.

Sebenarnya, sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, pedoman pemidanaan, atau antara lain ancaman pidana yang telah tersedia untuk kedua pasal tersebut adalah adanya sanksi minimal dan maksimal yang dapat dijatuhkan oleh hakim pemutus perkara tindak pidana korupsi. Hanya saja, yang menjadi legal issue atau permasalahan atau problematika hukum dalam penelitian ini adalah adanya pandangan yang awam atau umum, bahwa dengan tidak diaturnya secara terperinci sebagai suatu pedoman pemidanaan dalam UU Tipikor, maka hal itu kemudian menjadi sebab terjadinya disparitas pemidanaan.

Tidak adanya perincian dalam pedoman pemidanaan dimaksud di atas telah mendorong Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hanya saja, penerbitan Perma itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu

(5)

pedoman untuk menghindari disparitas pemidanaan sebagaimana pandangan awam di atas. Penulis berpendapat bahwa pedoman pemidanaan yang terdapat di dalam Perma tersebut dimaksudkan untuk memberikan penegasan kepada kekuasaan kehakiman dalam menegakkan rumusan ketentuan hukum yang telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sejalan dengan penguatan asas kemerdekaan kehakiman dan independensi hakim yang menjadi substansi dari rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum, pedoman pemidanaan dalam Perma di atas juga seharusnya dilihat dibuat dalam rangka memudahkan Hakim dalam mengadili, dalam pengertian mencegah perbedaan rentang penjatuhan pidana yang memiliki karakteristik yang serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup. Artinya pedoman itu tidak mengurangi kewenangan dan kemandirian hakim, tetapi mempertegas mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan alasan dalam menentukan berat ringannya pidana, dan mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yang proporsional dalam menjatuhkan putusan kesemuanya terhadap perkara tindak pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pedoman pemidanaan yang telah diatur atau digariskan dalam Perma tersebut di atas adalah untuk memperkuat hakim dalam memberikan

(6)

pertimbangan penjatuhan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi.

Sejumlah pertimbangan yang dimungkinkan digunakan para hakim dalam Perma dimaskud secara urutan tahapan diatur sebagai berikut:2 1. Kategori kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; 2. Tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; 3. Rentang penjatuhan pidana; 4. Keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan; 5. Penjatuhan pidana; dan 6.

Ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana. Hakim dalam memperhatikan urutan pertimbangan tersebut dalam Perma itu diatur untuk memperhatikan kategori dan tingkatan pemidanaan. Hal itu terlihat dalam Tabel 1.1.

Norma penjatuhan pidana atau norma pemidanaan bagi hakim yang dirumuskan dalam Perma tersebut juga berpegang kepada prinsip kemerdekaan kehakiman yang memberikan keleluasaan atau kekuasaan penuh kepada hakim menurut hukum yang berlaku dalam memberikan pertimbangan putusan. Hakim juga harus mempertimbangkan keadaan- keadaan yang memberatkan dan meringankan dengan memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari Terdakwa. Selain itu hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan lainnya yang bersifat kasuistis berdasar pada fakta persidangan. Pedoman pemidanaan tersebut di atas juga tidak mengecualikan ketentuan mengenai

2Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(7)

gabungan tindak pidana. Pedoman pemidanaan dalam Perma tersebut tidak dimaksudkan diadakan untuk mengurangi kewenangan hakim atau kekuasaan judikatif dalam menjatuhkan pidana tambahan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Tabel 1.1

Matriks Rentang Penjatuhan Pidana Pasal 2 Dan Pasal 3 UU Tipikor

(1) Kerugian Negara

(2) Kesalahan, Dampak dan Keuntungan

a. Tinggi b. Sedang c. rendah

Kategori paling berat, lebih dari seratus miliar rupiah

Penjara 16-20 tahun/seumur hidup dan denda delapan ratus juta rupiah sampai dengan satu miliar rupiah

Penjara 13-16 tahun dan denda enam ratus lima puluh juta rupiah sampai dengan delapan ratus juta rupiah

Penjara 10-13 tahun dan denda lima ratus juta rupiah sampai dengan enam ratus lima puluh juta rupiah Kategori berat, lebih

dari dua puluh lima miliar rupiah sampai dengan seratus miliar rupiah

Penjara 13-16 tahun dan denda enam ratus lima puluh juta rupiah sampai dengan delapan ratus juta rupiah

Penjara 10-13 tahun dan denda lima ratus juta rupiah sampai dengan enam ratus lima puluh juta rupiah

Penjara 8-10 tahun dan denda empat ratus juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah

Kategori sedang, lebih dari satu miliar rupiah sampai dengan dua puluh lima miliar rupiah

Penjara 10-13 tahun dan denda lima ratus juta rupiah sampai dengan enam ratus lima puluh juta rupiah

Penjara 8-10 tahun dan denda empat ratus juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah

Penjara 6-8 tahun dan denda tiga ratus juta rupiah sampai dengan empat ratus juta rupiah

Kategori ringan, lebih dari dua ratus juta rupiah sampai dengan satu miliar rupiah

Penjara 8-10 tahun dan denda empat ratus juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah

Penjara 6-8 tahun dan denda tiga ratus juta rupiah sampai dengan empat ratus juta rupiah

Penjara 4-6 tahun dan denda dua ratus juta rupiah sampai dengan tiga ratus juta rupiah

Kategori paling ringan, sampai dengan dua ratus juta rupiah

Penjara 3-4 tahun dan denda seratus lima puluh juta rupiah sampai dengan dua ratus juta rupiah

Penjara 2-3 tahun dan denda seratus juta rupiah sampai dengan seratus lima puluh juta rupiah

Penjara 1-2 tahun dan denda lima puluh juta rupiah sampai dengan seratus juta rupiah

 Kategori paling ringan hanya berlaku untuk Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(8)

Memperhatikan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan di sini bahwa apabila legal issue dari penelitian ini adalah adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka keberadaan Perma sebagai suatu jenis peraturan perundang-undangan yang dimungkinkan dalam Sistem Hukum Pancasila sesuai rumusan Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dalam Sistem Hukum Pancasila adalah menjadi pengisi kekosongan hukum di Indonesia, dan dapat dimanfaatkan oleh hakim melalui kekuasaan penemuan hukum (rechtsvinding) atau apa yang dikenal di Barat sebagai judge made law.

Penulis berpendapat bahwa Perma di atas sejalan dengan sistem Hukum Pancasila karena dalam kepustakaan yang diamati diperoleh pula pandangan, antara lain seperti dikemukakan oleh Azwad Rachmat Hambali, Rizki Ramadani, & Hardianto Djanggih dalam hasil penelitian mereka bahwa pembentukan Perma Nomor 1 Tahun 2020 memiliki dasar atributif dari undang-undang. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa pandangan seperti itu hanya “setengah” mengamini prinsip di balik keberadaan Perma di atas. Dikemukakan oleh Azwad Rachmat Hambali, Rizki Ramadani, &

Hardianto Djanggih bahwa: “namun demikian substansinya tidak memiliki legitimasi yuridis dari peraturan yang lebih tinggi”.3

3 Azwad Rachmat Hambali, Rizki Ramadani, & Hardianto Djanggih, Politik Hukum Perma Nomor 1 Tahun 2020 dalam Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum terhadap Pemidanaan Pelaku Korupsi, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol 5, No 2, September 2021, hal. 200.

(9)

Pandangan tersebut juga dapat dilihat sebagai permasalahan hukum (legal issue). Dimaksudkan dengan permasalahan hukum itu adalah adanya multitafsir. Namun demikian, penting untuk dikemukakan di sini bahwa muncul kesan umum bahwa pembentukan PERMA Nomor 1 Tahun 2020 merupakan upaya MA untuk mengisi kekosongan hukum, telah memperkuat asas kemerdekaan kehakiman. Penguatan itu menjadi siknifikan karena absennya pedoman pemidanaan yang menurut pandangan awam, telah menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan seperti dikemukakan di atas.

Sangat disayangkan, bahwa menurut Azwad Rachmat Hambali, Rizki Ramadani, & Hardianto Djanggih substansi Perma tersebut di atas belum sepenuhnya mampu mewujudkan tujuan hukum, khususnya kepastian hukum. Menurut para penulis tersebut, hal itu disebabkan terbatasnya ruang lingkup pengaturan dan absennya sanksi bagi hakim yang tidak mengikutinya.4

Ketut Ria Wahyudani Oktavia & I Dewa Gede Dana Sugama juga mengemukakan penilaian mereka sehubungan dengan keberadaan bahwa pedoman atau pengaturan pemidanaan dalam perspektif Perma No. 1 Tahun 2020. Menurut mereka, Perma itu hanya memiliki ruang lingkup pengaturan yang memberikan perlindungan kepada terdakwa subjek hukum orang dalam perkara kasus korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor melalui pegnaturan

4 Ibid.

(10)

enam tahapan pertimbangan penentuan berat ringan pidana.5 Sekalipun demikian, dalam pandangan penulis, implikasi dari ditetapkannya Perma No.

1 Tahun 2020 tidak mendegradasi kemandirian hakim dalam memutus perkara korupsi. Penulis berpendapat bahwa ontologi dari Perma No. 1 Tahun 2020 adalah pedoman pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringan penjatuhan pidana.6

Penilaian lainnya terhadap Perma di atas juga dikemukakan oleh pengamat lainnya. Perma itu telah dikategorikan sebagai akses untuk rechtsbeoefening (pengembangan hukum).7 Perma memenuhi kebutuhan penyelenggaraan praktik peradilan dan oleh sebab itu relevans dengan situasi serta kondisi hukum yang berkembang. Dengan demikian, sama seperti apa yang telah penulis kemukakan di atas, Perma terkadang tersebut di atas dapat dipandang sebagai pengisi kekosongan hukum. Perma menjadi pelengkap berlakunya undang-undang, karena menerima jiwa dari Undang-Undang, dan selanjutnya secara vertikal UU menerima (menderivasi) jiwa dari Undang- Undang Dasar dan Undang-Undang Dasar menderivasi jiwa dari Pancasila8 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Maka menurut pendapat penulis

5 Ketut Ria Wahyudani Oktavia & I Dewa Gede Dana Sugama, Kemandirian Hakim dalam Memutus Perkara Tipikor Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9, No. 8 Tahun 2021, hal. 1433.

6 Ibid.

7 H. M Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA Sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung, Jakarta: Prenada Media Group, 2013, hal vii.

8 Teguh Prasetyo, Sistem Hukum Pancasila Suatu Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, Nusa Media, 2015, Bandung.

(11)

sekalipun belum ada pengaturan secara terperinci apa yang telah dirumuskan secara umum dalam undang-undang sebelumnya peranan Perma, ditilik dari perspektif teori Keadilan Bermartabat dapat melengkapi. Perma menjadi sarana pembentukan hukum, membantuk penegakan hukum dan sebagai sumber hukum bagi hakim dalam praktik penegakan hukum.9 Pandangan yang telah dikemukakan di atas telah mendapatkan rumusan teoritis yang jauh lebih baik dalam teori Keadilan Bermartabat.

Seperti telah dikemukakan di atas, dalam perpektif teori Keadilan Bermartabat, sistem hukum Pancasila itu adalah jiwa bangsa atau Volkgeist Indonesia. Mengacu kepada perspektif sistem, maka peraturan perundang- undangan yang berlaku di dalam suatu sistem hukum Pancasila tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai Kesepakatan Pertama.10 Dengan demikian maka keadilan yang menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum tidak dapat dilepaskan dari keadilan dalam perspektif Pancasila.

Sila kelima Pancasila memberikan dimensi keseimbangan kepada makna keadilan ekonomi yang bersifat kebendaan dalam perspektif Keadilan Bermartabat yang juga melihat keadilan berdimensi spiritual.11 Istilah adil dan beradab sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila terkandung prinsip perikemanusiaan dan terlaksananya penjelmaan dari unsur-unsur

9 Ibid.

10Teguh Prasetyo, Kejahatan Pertambangan dalam Perspektif Keadilan Bermartabat, Jurnal Perspektif. Vol XXI, No 1, Januari, 2016, hal. 24.

11 Teguh Prasetyo. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Bandung: Nusa Media, 2015. hal 107.

(12)

hakekat manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan makhluk sosial. Sebagai suatu filsafat, teori Keadilan Bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum terutama tujuan hukum Perma Nomor 1 Tahun 2020 sebagai norma pemidanaan perkara pidana korupsi dalam sistem hukum haruslah berdasarkan Pancasila sebagai kesepakatan pertama.

Perma Nomor 1 Tahun 2020 adalah salah satu produk hukum Mahakamah Agung dalam upaya rechtsbeoefening. Landasan filosofis dan yuridis terbentuknya Perma Tipikor yakni Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 terkait kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakan hukum dan keadilan serta Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 terkait hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ada pendapat bahwa Pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi dalam Perma ini seharusnya diatur dengan undang-undang, karena kategori hukuman pidana disini adalah materi muatan undang-undang. Menurut pandangan penulis terbitnya Perma ini adalah langkah responsif Mahkamah Agung dalam upaya menyelenggarakan peradilan, karena jika harus dilakukan perubahan undang- undang diperkirakan akan memakan waktu cukup lama. Selain itu, Perma ini juga dapat mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, karena dengan adanya pedoman yang jelas dalam menjatuhkan pemidanaan terkait

(13)

kasus korupsi, diharapkan tidak ada lagi disparitas pemidanaan yang berpotensi memicu para pihak mengajukan upaya hukum terhadap putusan hakim tingkat pertama. Berdasarkan uraian diatas, maka menarik untuk diteliti mengenai “Norma Pemidanaan Perkara Pidana Korupsi Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana norma pemidanaan perkara pidana korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan, menggambarkan (mendeskripsikan), dan menganalisis norma pemidanaan perkara pidana korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat diadakannya penelitian hukum ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian dan penulisan hukum ini adalah memberikan kontribusi berupa kaidah, asas-asas maupun konsep-konsep dan makna atau pengertian baru bagi ilmu hukum, yang bernama Keadilan Bermartabat, khususnya norma pemidanaan perkara pidana korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat.

(14)

2. Manfaat Praktis

Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dicapai dari penelitian ini adalah memberi masukan bentuk-bentuk dalam rumusan kaedah hukum konkret yang baru bagi masyarakat. Dimaksudkan dengan masyarakat di sini, yaitu terutama para penegak hukum seperti: para Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik dan lain sebagainya. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat memperkenalkan bentuk, jenis, sifat-sifat dari kaidah hukum baru yang berkaitan dengan norma pemidanaan perkara pidana korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat. Dengan cara demikian, diharapkan para penegak hukum akan mendapatkan masukan-masukan baru sebagai pedoman hukum dalam penegakkan peraturan perundang-undangan.

E. Metode Penelitian

Ilmu Hukum memiliki metode penelitian yang di dalam teori Keadilan Bermartabat disebut sui generis, unik dan khas dalam bidang ilmu hukum.12 Berikut di bawah ini diuraikan struktur penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Jenis Penelitian

Sejalan dengan perspektif teori Keadilan Bermartabat (Dignified Justice Theory), jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research). Dicari untuk ditemukan dan

12. Teguh Prasetyo, Penelitian Hukum: Suatu Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, Cetakan I, Bandung: Nusa Media, 2019, hal v.

(15)

digambarkan serta dibahas atau didiskusikan dalam penelitian hukum menurut teori Keadilan Bermartabat adalah sama dengan sasaran studi dalam ilmu hukum yaitu: kaidah atau peraturan hukum yang terdiri dari asas-asas, kaidah hukum dalam arti sempit, dan peraturan hukum konkret. Selain itu, yang dicari, ditemukan, digambarkan dan dianalisis dalam penelitian ini, sebagai suatu penelitian hukum adalah sistem hukum, dan penemuan hukum (rechtsvinding).

2. Pendekatan Masalah

Masalah atau legal issues dalam penelitian hukum ini didekati secara konseptual, filosofis, perundang-undangan, case laws, historis maupun perbandingan hukum.

3. Sumber Bahan Hukum

Sebagai suatu penelitian hukum, maka bahan hukum penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum, yaitu: a. Bahan hukum primer; b. Bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait tindak pidana korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder melingkupi literatur terkait khususnya tentang norma pemidanaan dalam tindak pidana korupsi.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah apa yang disebut Teori Keadilan Bermartabat sebagai jiwa bangsa (volkgeist).

Jiwa bangsa dimaksud memanifestasikan diri dalam dua bentuk: a. Peraturan

(16)

perundang-undangan; b. putusan-putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan adalah: 1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP); 3.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan termasuk dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah: 1. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 80/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 2. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 79/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 3. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 75/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 4. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 73/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 5. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 62/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 6. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 59/Pid.Sus- TPK/2020/PN Smg; 7. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 58/Pid.Sus-

(17)

TPK/2020/PN Smg; 8. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 17/Pid.Sus- TPK/2018/PN Smg; 9. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 93/Pid.Sus- TPK/2017/PN Smg; 10. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 91/Pid.Sus- TPK/2017/PN Smg; 11. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 77/Pid.Sus- TPK/2017/PN Smg; 12. Putusan PN Tipikor Semarang Nomor 67/Pid.Sus- TPK/2017/PN Smg.

4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dikumpulkan dengan mengunjungi website resmi seperti https://www.mahkamahagung.go.id/, https://peraturan.go.id/

dan juga situs peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bahan-bahan hukum primer tersebut di-download, dibaca, kemudian disusun secara kronologis berdasarkan legal issues serta diolah sebelum dimasukkan sebagai bahan hasil penelitian. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan penelitian ini. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

5. Teknik Analisis

Sebagai suatu penelitian hukum, maka teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti teknik analisis yuridis normatif.

Analisis ini membandingkan antara das sollen dan sein. Dimulai dengan

(18)

memaparkan premis mayor, kemudian mencocokkannya dengan premis minor untuk pada gilirannya dilakukan penarikan kesimpulan demi kesimpulan untuk menjawab pertanyaan yang sudah dikemukakan dalam rumusan masalah.

F. Kerangka Teori

Menurut teori Keadilan Bermartabat, apabila orang mau mencari hukumnya maka hukum tersebut harus dicari di dalam jiwa bangsa (Volkgeist). Dimaksud dengan jiwa bangsa adalah peraturan perundang- undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan, sedapat mungkin yang telah berkekuatan hukum tatap (inkracht van gewisjde)13. Pandangan ini berbeda dengan teori-teori ilmu sosial lainnya yang seringkali dipergunakan kalangan ilmuan hukum untuk menjelaskan atau memberikan pembenaran terhadap hukum yang berlaku dalam suatu negara maupun dalam rangka mempertanyakan hukum positif yang berlaku.

Teori Keadilan Bermartabat berbeda dengan teori-teori ilmu sosial dimaksud di atas dalam hal terutama Teori Keadilan Bermartabat mengutamakan penjelasan hukum menurut filsafat atau teori yang berlaku di dalam suatu negara. Menghindari penggunaan teori-teori barat.14 Sebagai suatu filsafat, teori Keadilan Bermartabat menggambarkan tujuan hukum

13 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, Op. Cit, hal 15.

14 Teguh Prasetyo, Hukum dan Teori Hukum: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2020, hal 24.

(19)

yang ada di dalam setiap sistem hukum terutama tujuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mendasari konsepsi memanusiakan manusia. Teori Keadilan Bermartabat juga menjelaskan tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang ada di dalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama lain dalam sistem tersebut. Keadilan Bermartabat berpendirian bahwa kemanfaatan dan kepastian hukum adalah merupakan suatu kesatuan yang berhimpun di dalam keadilan.15

Mahkamah Agung dengan Perma ini menurut penulis merupakan langkah efisien Mahkamah Agung dalam upaya menyelenggarakan peradilan, karena jika harus dilakukan perubahan undang-undang diperkirakan akan memakan waktu cukup lama. Selain itu, Perma ini juga dapat mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, karena dengan adanya pedoman yang jelas dalam menjatuhkan pemidanaan terkait kasus korupsi, diharapkan tidak ada lagi disparitas pemidanaan yang berpotensi memicu para pihak mengajukan upaya hukum terhadap putusan hakim tingkat pertama. Sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan baik dari APBN yang digunakan untuk menyelesaikan perkara di tingkat banding dan tingkat kasasi.

15 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum. Op. Cit. hal 52.

Referensi

Dokumen terkait

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

Web ini sendiri merupakan web yang memberikan informasi tentang Sejarah Para Pahlawan agar para siswa mengetahui perjuangan para pahlawan yang dahulu berjuang guna tercapainya

To conclude, the researchers’ reason to conduct this research are based on the importance subject-verb agreement in the succes of writing, the result of the previous research

Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi, sehingga laba tersedia bagi pemegang

Penelitian yang dilakukan terhadap Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta (AK-TEKSTIL Surakarta) dimaksudkan untuk mengetahui sistim

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Klinik Kecantikan Kusuma memiliki beberapa masalah yang diantaranya adalah tidak dapat menginformasikan secara akurat kepada pelanggan, layanan telepon klinik Kusuma yang