• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK SIYĀSAH TASYRI’IYYAH TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KRITIK SIYĀSAH TASYRI’IYYAH TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK SIYĀSAH TASYRI’IYYAH TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG CIPTA KERJA

Desip Trinanda,1 Fadhilatul Husni,2

1 Universitas Andalas [email protected]

2 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]

Abstract: The formation of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation has drawn a polemic among the public. In almost every region there were demonstrations against the job creation law. This is because the formation of the Job Creation Law using the Omnibus Law method which is not regulated in the regulations for the formation of laws and regulations in Indonesia, was carried out in a hurry, not transparent and not participatory. This study wants to answer the question of how the process of forming the Job Creation Law is viewed from the perspective of Siyāsah Tasyri'iyyah. This study is a library research using library collection materials with a descriptive-analytical approach. The descriptive-analytical approach is defined as an effort to explain Siyasah Tasyri'iyyah about the process of establishing the Job Creation Law. The results of this study indicate that the principles for the formation of laws and regulations in Siyasah Tasyri'iyyah have not been fulfilled, because; First, the presence of the omnibus law method in the process of forming the Job Creation Law has basically demonstrated the principle of benefit, only that the omnibus law has not normatively been regulated in the Law on the formation of laws and regulations. Second, the formation of the Job Creation Law violates the principle of gradualness, it can be seen that the preparation of the Job Creation Law was carried out in a hurry, causing a substantial error in the Job Creation Act. Third, the principle of eliminating difficulties and limitations has not been fulfilled, because the omnibus law method is used to facilitate investment, while workers have not been involved in the discussion of the Job Creation Law since the beginning. Fourth, the principle of realizing equal justice. This principle is not fulfilled, considering that there are defects in the Job Creation Law which can cause legal uncertainty

(2)

Kata kunci: Employment Creation Law, Siyāsah Tasyri'iyyah, Omnibus Law, Process for Establishing Legislation.

PENDAHULUAN

Pada 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama

pemerintah mengesahkan

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU) menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). UU Cipta

Kerja dirancang dengan

menggunakan metode omnibus law, yaitu dengan cara menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum.

Metode omnibus law merupakan hal baru di Indonesia (Yasin, 2020).

Semenjak diajukan dalam bentuk RUU sampai dengan disahkannya, UU Cipta Kerja menuai penolakan di kalangan mahasiswa, serikat buruh, sampai akademisi. Penolakan ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia (https://www.bbc.com, 2020). Demonstrasi terjadi di jalan utama dan kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), di Yogyakarta misalnya penolakan terhadap RUU Cipta Kerja terjadi di jalan Gejayan atau dikenal dengan istilah Gejayan Memanggil (Putri, 2020). Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan bahwa UU Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan, mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya (Hakim, 2020).

Sejauh ini studi tentang UU Cipta Kerja dapat dikelompokkan kepada tiga bagian; pertama, kajian yang fokus pada metode omnibus law dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja (Matompo & Izziyana, 2020; Suntoro, 2021; Kurniawan, 2020; Putra, 2020; Harefa &

Alhusain, 2020; Humaira, 2021).

Kedua, berkaitan dengan

ketenagakerjaan (Sjaiful, 2021;

Nathan, 2020; Purba, Zamroni, &

Miarsa, 2020; Yusuf, 2020; Alfiyani, 2020). Ketiga, melihat UU Cipta Kerja dari aspek lingkungan dan ekonomi (Amania, 2020;

Sudarwanto & Kharisma, 2020;

Luhukay, 2021; Permana, 2021;

Harefa & Alhusain, 2020;) Luhukay, 2020; Khair & Jambak, 2020).

Berdasarkan kecenderungan studi- studi tersebut tampak bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja belum dilihat dalam konteks kajian keislaman. Padahal berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa ‘’Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’’. Penafsiran Hazairin atas Pasal 29 ayat (1) adalah bahwa hukum

Islam merupakan sumber

pembentukan hukum nasional di Indonesia, tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam, demikian juga peraturan perundang- undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia (Sularno, 2006;

Mardani, 2009).

Tulisan ini ditujukan untuk melengkapi kekurangan dari studi yang telah ada sebelumnya. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam Perspektif Siyāsah Tasyri’iyyah.

Proses pembentukan UU Cipta Kerja dalam perspektif Siyāsah Tasyri’iyyah perlu diketahui karena akan menampilkan implikasi yang

(3)

berbeda dari metode pembentukan UU Cipta Kerja serta akan memperkaya sudut pandang berdasarkan studi yang telah dilakukan sebelumnya. Manfaat tulisan ini secara umum dapat memperluas pemahaman tentang metode-metode pembentukan peraturan perundang-undangan serta kajian keislaman dalam proses pembentukan peraturan perundang- undangan. Secara khusus kajian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan oleh legislatif, eksekutif, dan pihak berkepentingan dalam pembentukan sebuah aturan sampai pada tahap penetapannya.

METODE PENELITIAN

Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan bahan-bahan koleksi perpustakaan dengan pendekatan deskriptif-analitis. Pendekatan deskriptif-analitis diartikan sebagai upaya pemaparan Siyāsah Tasyri’iyyah tentang proses pembentukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sumber data dalam penelitian ini adalah Peraturan perundang- undangan terkait dengan proses pembentukan peraturan perundang- undangan serta jurnal dan buku.

Jurnal dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu aplikasi Publish or Perish serta alat bantu online open knowledge maps.

Kemudian peraturan-peraturan yang terkait dengan pembahasan dikumpulkan melalui mesin pencarian Google. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif, yakni reduksi data, visualisasi data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Siyāsah Tasyri’iyyah

Siyāsah Tasyri’iyyah merupakan salah satu cabang ilmu dalam fikih siyāsah. Fikih siyāsah atau Siyasah Syar'iyyah dapat dikatakan sebagai kebijakan syari'ah, yaitu sebuah doktrin hukum Islam yang memberi kekuasaan kepada penguasa atau pemerintah untuk menentukan bagaimana syari'ah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Siyasah Syar'iyyah adalah sebuah disiplin yang berhubungan dengan politik hukum dalam sebuah negara. Secara literal, Siyasah Syar'iyyah berarti kebijakan yang berorientasi kepada syari'ah atau pemerintah yang berjalan sesuai dengan syari'ah. Dalam pengertian yang luas ini, maka Siyasah Syar'iyyah dapat dikatakan semua kebijakan pemerintah, baik yang terdapat tuntunan dari syari'ah atau tidak sama sekali (Arlis, 2011:

173). T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy membagi ruang lingkup fikih siyāsah menjadi delapan bidang, yaitu:

siyāsah dusturiyyah syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan), siyāsah tasyri’iyyah syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum), siyāsah qadhaiyyah syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan), siyāsah maliyyah syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter), siyāsah idariyyah syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara), siyāsah dauliyyah syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional), siyāsah tanfidziyyah syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang), dan siyāsah harbiyyah syar’iyyah (politik peperangan). Dari kedelapan bidang tersebut, yang membahas tentang proses penyusunan dan penetapan segala bentuk peraturan yang

(4)

berfungsi sebagai instrumen dalam mengatur dan mengelola seluruh kepentingan masyarakat adalah Siyāsah tasyri’iyyah (Syarif, 2008:

17).

Perundang-undangan berkaitan erat dengan proses legislasi.

Legislasi dalam Islam dilaksanakan oleh al-sulthah al-tasyri’iyyah atau kekuasaan legislatif. Al-sulthah al- tasyri’iyyah merupakan kekuasaan yang sangat penting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut akan dilaksanakan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif. Al-sulthah al-tasyri’iyyah memiliki kekuasaan dalam membuat dan menetapkan hukum (Iqbal, 2014: 187). Dalam wacana fikih siyasah istilah al-sulṭ ah al- tasyri'iyah digunakan untuk menunjuk salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam

dalam mengatur masalah

kenegaraan, di samping kekuasaan ekskutif (al-sulṭ ah al-tanfiẓ iyyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulṭ ah alqaḍ a’iyah). Dalam konteks ini, kekuasaan legislasi berarti kekuasaan atau kewenangan

pemerintah Islam untuk

menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah swt dalam syariat Islam.

Dengan kata lain, al-sulṭ ah al- tasyri’iyah melakukan tugas siyasah syar'iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam.

Sedangkan kewenangan dan tugas kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam pemerintahan Islam, karena

ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif akan dilaksanakan secara efektif oleh

lembaga eksekutif dan

dipertahankan oleh lembaga yudikatif (Samsu, 2017: 158).

Dalam realitas sejarah, kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh ahl-al-hall wa al-‘aqd. Secara harfiyah, ahl-al-hall wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah berpendapat bahwa pengertian ahl-al-hall wa al-‘aqd sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain, ahl-al-hall wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.

Anggota ahl-al-hall wa al-‘aqd terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi.

Mereka juga bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan (Iqbal, 2014: 137–38).

Pembentukan lembaga ahl-al- hall wa al-‘aqd perlu dalam pemerintahan Islam, mengingat

banyaknya permasalahan

kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat Islam. Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majlis syura’ tersebut, yaitu: Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh karena itu harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan

(5)

perundang-undangan. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis. Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas karena jika seluruh masyarakat dilibatkan dipastikan musyawarah tidak akan terlaksana. Keempat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat. Kelima, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya

pembentukan lembaga

musyawarah. Nabi sendiri menekankan dan melaksanakan musyawarah dengan para sahabat untuk menentukan suatu kebijaksanaan pemerintahan (Iqbal, 2014: 142–43). Sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 159

ْوَلَو ْمُهَل َتْنِل ِهّٰللا َنّم ٍةَمْحَر اَمِبَف ۚ

ْنِم اْوّضَفْن َل ِبْلَقْلا َظْيِلَغ اّظَف َتْنُك

ْمُهَل ْرِفْغَتْساَو ْمُهْنَع ُفْعاَف َكِلْوَح ۖ

َتْمَزَع اَذِاَف ْمَ ْلا ىِف ْمُهْرِوا َشَو ِۚر

ّبِحُي َهّٰللا ّنِا ِهّٰللا ىَلَع ْلّكَوَتَف ۗ

َنْيِلّكَوَتُمْلا

Artinya: Maka disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekililingmu.

Karena maafkanlah mereka mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (Ali Imran:

159).

Menurut Iqbal (2014: 187) lembaga ahl-al-hall wa al-‘aqd yang akan memuat legislasi mesti

memenuhi beberapa unsur, yaitu:

Pertama, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mendapatkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam. Kedua, masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.

Ketiga, isi peraturan atau hukum harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syarai’at. Seiring dengan itu dalam proses legislasi ada beberapa asas yang harus dipatuhi oleh para pembuat kebijakan agar dapat mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudaratan bagi masyarakat, yaitu; pertama, meniadakan kesulitan dan kesempitan; kedua, berangsur- angsur dalam menetapkan; ketiga, sejalan dengan kemaslahatan

manusia; dan keempat,

mewujudkan keadilan merata (Fathurrahman, 1994: 13–20).

Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa tugas Al-sulthah al-tasyri’iyyah adalah menciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, negara memiliki kewenangan melakukan interpretasi, analogi dan inferensi atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadits. Interpretasi adalah usaha negara untuk memahami dan mencari maksud sebenarnya tuntunan hukum yang dijelaskan nash. Sedangkan analogi adalah melakukan metode kias suatu hukum yang ada nashnya terhadap masalah yang berkembang berdasarkan persamaan sebab hukum. Sementara inferensi metode membuat perundang-undangan dengan memahami prinsip-prinsip syari’ah dan kehendak Syar’i (Allah).

Bila tidak ada nash sama sekali, maka yang berwenang adalah wilayah kekuasaan legislatif sejauh tidak menyimpang dari prinsip- prinsip ajaran Islam. Pemerintah

(6)

harus memainkan peran siyasahnya sebagai hakim yang menghilangkan perbedaan-perbedaan pendapat dalam tataran yang prinsip (Iqbal, 2016: 173).

B. Pembentukan Peraturan di Indonesia

Setelah melihat proses pembentukan peraturan perundang- undangan serta bagaimana tujuan sebuah undang-undang untuk dibentuk dalam khazanah keislaman, maka akan dijelaskan

pula bagaimana proses

pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ‘’Negara Indonesia adalah negara hukum’’.

Konsep negara hukum yang digunakan Indonesia lebih mengarah pada tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang- undangan sebagai dasar setiap penyelenggaraan aktivitas pemerintahan (Sopiani dan Mubaroq, 2020: 147). Maka apapun yang ada di Indonesia mesti berdasarkan atau dilandasi oleh aturan. Sebuah peraturan yang baik dapat dibuat dengan pemahaman dan proses legal drafting yang baik.

Fungsi legal drafting dalam proses pembuatan peraturan perundang- undangan sangat penting karena membantu dalam pembuatan produk hukum yang dilahirkan.

Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah serta naskah awal peraturan perundang- undangan yang diusulkan.

Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses

pembuatan peraturan perundang- undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan (Handoyo, 2014:

11).

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang- undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang’’. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 diatur bahwa setiap RU dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Lebih rinci aturan pembentukan peraturan diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dan telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (Selanjutnya disebut UU PPP). Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

(7)

Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Selanjutnya disebut UU MD3).

Dalam UU PPP dikatakan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sebelum peraturan perundang-undangan dibuat, maka terlebih dahulu disusun Naskah Akademik. Naskah akademik yang dimaksud adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, rancangan peraturan daerah provinsi, atau rancangan peraturan daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Kemudian dimasukkan ke dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU PPP, materi muatan yang harus diatur melalui UU yaitu; pertama, pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI 1945; kedua, perintah suatu UU untuk diatur dengan UU; ketiga, pengesahan perjanjian internasional tertentu;

keempat, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau kelima, pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam UU PPP proses pembentukan UU diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Sedangkan, dalam UU MD3, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 s.d. Pasal 173.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, dapat disarikan proses pembentukan undang-undang yaitu:

1. Pasal 16 UU jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU PPP. Dalam pasal tersebut dikatakan bawa perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.

2. Pasal 163 ayat (1) dan (2) UU MD3 jo Pasal 43 ayat (3) dan (4) UU PPP. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.

RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai dengan naskah akademik, kecuali RUU mengenai: a) APBN; b) penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; atau c) pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan

(8)

pemerintah pengganti undang-undang.

3. Pasal 164 ayat (1) UU MD3.

RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.

4. Pasal 165 UU MD3. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

5. Pasal 166 ayat (1) dan (2) UU MD3. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.

6. Pasal 168, Pasal 170 ayat (1), Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU MD3. RUU ditindaklanjuti

dengan dua tingkat

pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah,

pembahasan daftar

inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.

Kemudian Pembicaraan

tingkat kedua dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi; a) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat pertama;

b) pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c) pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

7. Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1), (3), dan (4) UU PPP.

RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat

pengesahan, serta

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

8. Pasal 71A UU PPP. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD,

RUU tersebut dapat

dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan

(9)

syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang dapat terwujud apabila didukung oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang- undangan. Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi beberapa konsep, yaitu;

pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan konsep negara hukum Pancasila; kedua, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia;

ketiga, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan asas equality before the law; dan keempat, pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh undang-undang (Febriansyah, 2016: 220).

Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik.

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang baik menurut I. C. Van Der Vlies dan A.

Hamid S. Attamimi dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas formal dan asas-asas material. Asas- asas formal meliputi; pertama, asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling); kedua, asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);

ketiga, asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

keempat, asas dapatnya

dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); dan kelima, asas konsensus (het beginsel van consensus). Sedangkan asas-asas

materiil antara lain meliputi;

pertama, asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek); kedua, asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

ketiga, asas perlakuan yang sama

dalam hukum (het

rechtsgelijkheidsbeginsel); keempat, asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel); dan kelima, asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtbedeling) (Soeprapto, 2010:

228).

Pasal 5 UU PPP dan Soeprapto (2010) dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang baik, yaitu:

pertama, kejelasan tujuan. Asas ini

bermakna bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang- undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Kedua, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Asas ini bermakna bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang- undangan yang berwenang, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Keempat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini bermakna bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar- benar memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang- undangan. Kelima, dapat dilaksanakan. Asas ini bermakna

(10)

bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

Keenam, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini bermakna bahwa setiap peraturan perundang- undangan harus dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketujuh, kejelasan rumusan. Asas ini bermakna bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang- undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Kedelapan, keterbukaan. Asas ini bermakna bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang- undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan

masukan dalam proses

pembentukan peraturan perundang- undangan.

Kemudian materi muatan peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a) pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan; f) bhinneka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau; j)

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain mencerminkan asas-asa tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang- undangan yang bersangkutan (Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU PPP).

Peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya (lex superior derogat legi inferiori) yang dalam konteks ini dikenal dengan hierarki peraturan perundangan. Hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPP, yaitu; a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat; c) Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain terapat dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan

(11)

yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) dan (2)).

C. Omnibus Law, Siyāsah

Tasyri’iyyah, dan

Pembentukan UU Cipta Kerja Omnibus Law

UU Cipta Kerja dirancang dengan menggunakan metode omnibus law. Dalam Black’s Law Dictionary: Ninth Edition Bryan A.Garner menyebutkan bahwa omnibus adalah relating to or dealing with numerous object or item at once, artinya sesuatu yang berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item secara sekaligus. Sehingga apabila kata omnibus digabungkan dengan kata Law, maka omnibus law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua (Febriansyah, 2016: 242).

Skema regulasi yang sudah dikenal sejak 1840 ini merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja (Sazya, 2020). Maka dapat dikatakan bahwa omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu UU yang mengatur banyak hal.

Dengan kata lain omnibus law adalah metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum (Idris, 2020).

Makna dan sifat hukum dalam omnibus law berbeda dengan konsep norma hukum dalam UU yang sudah ada. Konsep omnibus law dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan dalam peraturan perundang- undangan ke dalam satu UU dan konsekuensinya mencabut beberapa

aturan hasil penggabungan yang dinyatakan tidak berlaku, baik untuk

sebagian maupun secara

keseluruhan (Sodikin, 2020: 143–

60). Konsep omnibus law

menawarkan pembenahan

permasalahan yang disebabkan karena peraturan yang terlalu banyak (over regulasi) dan tumpang tindih (overlapping). Bila permasalahan tersebut diselesaikan dengan cara biasa, maka akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi proses perancangan dan pembentukan peraturan perundang- undangan seringkali menimbulkan deadlock atau tidak sesuai kepentingan (Putra, 2020: 1–10). Di dunia, praktik pelaksanaan omnibus law sudah berlangsung sejak lama.

Praktik itu dilakukan sesuai dengan

kebutuhan hukum atas

permasalahan yang sedang dialami oleh masing-masing negara (Satria, 2020: 111–12). Negara-negara yang telah menerapkan omnibus law adalah Amerika Serikat (The Omnibus Actof June 1868, The Omnibus Actof February 22, 1889), Kanada (Criminal Law Amandment Act, 1968-69), Philipine (Tobacco Regulation Act of 2003), Argentina, Australia, Austria, Belgium, Canada, Chile, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Israel, Italy, Japan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania,

Luxembourg, Malta ,The

Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Romania, Russia, Slovak Republic, Slovenia, Spain, Sweden, Switzerland, Taiwan, dan Thailand (Supriyadi dan Purnamasari, 2021: 258).

Di Indonesia, wacana penggunaan metode omnibus law terjadi pada tahun 2019,

(12)

penggunaan konsep ini dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia Ir.

H. Joko Widodo ketika pidato kenegaraan pada pelantikan sebagai Presiden di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2019. Omnibus law ditujukan agar menyelesaikan permasalahan tumpang tindih regulasi dan birokrasi terkait perizinan di berbagai sektor sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan investasinya, karena selama ini regulasi telah menghambat investasi di Indonesia (Utama, 2020; Fad, 2020: 31).

Disinyalir dari laman

https://peraturan.go.id pada 20 Oktober 2021, jumlah peraturan di Indonesia mencapai sebanyak 41.795, dengan rincian 3.823 peraturan pusat, 16.533 peraturan menteri, 4.457 peraturan LPNK, 16.982 peraturan daerah. Gejala over regulasi atau hyper-regulated society nyaris tak terhindarkan, karena ke depan masyarakat akan makin banyak diatur oleh norma- norma yang sengaja dibuat untuk kepentingan bersama (Asshiddiqie, 2005: 155). Over regulasi ternyata

bukan memudahkan, tapi

menyulitkan (Suhardi, 2019), karena telah menghambat investasi. Maka diperlukan skema untuk memangkas regulasi demi memudahkan (Meilana, 2019: 19–24; Prabowo et al., 2020: 1). Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh PSHK (2019) bahwa banyaknya regulasi telah mengganggu investasi karena birokrasi yang berbelit akibat peraturan yang tidak fleksibel (ALW, 2019: 523).

Implementasi Siyāsah Tasyri’iyyah

Kehadiran UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law telah merevisi sebanyak 79 UU dengan

1.228 Pasal yang mencakup 11 klaster (Olivia, 2019). Maka dapat dikatakan bahwa metode omnibus law dalam pembentukan UU Cipta Kerja merupakan terobosan dalam pembentukan UU (Fitri dan Hidayah, 2021: 725). Pemakaian metode omnibus law ini jika dilihat dari asas pembentukan peraturan perundang- undangan dalam siyāsah tasyri’iyyah maka sehaluan dengan asas kehadiran peraturan untuk kemaslahatan. Karena jika perundang-undangan dibenahi satu- persatu akan memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, jika regulasi terlalu banyak, maka dapat menjadi faktor utama pemicu melambatnya iklim investasi di Indonesia. Dengan upaya omnibus law maka peraturan yang dianggap tidak relevan atau bermasalah dapat diselesaikan secara cepat dan tepat dan biaya ringan. Hal itu senada dengan pendapat Busroh (2017: 247) yang mengatakan bahwa setidaknya ada beberapa kelebihan penerapan konsep omnibus law, yaitu; pertama, mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; kedua, menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; ketiga, pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif; keempat, mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama;

kelima, meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;

dan keenam, adanya jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

Namun metode omnibus law

yang diterapkan dalam

(13)

pembentukan UU Cipta Kerja bukan menunjukkan cita-cita ataupun tujuan dari omnibus law itu sendiri, malahan menimbulkan kritikan.

Pasalnya, poses pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan dengan tidak transparan (Dzulfaroh, 2020) dan tidak partisipatif (Sholikin, 2020).

Sedangkan UU PPP mengamanatkan

bahwa semua tahapan

pembentukan peraturan perundang- undangan yang terdiri dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan mesti dilakukan transparan. Selain itu, metode Omnibus Law pembentukan UU Cipta Kerja belum dikenal dalam sistem pembentukan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam UU PPP ataupun aturan terkait. Mestinya metode omnibus law digunakan setelah diatur dalam UU PPP, supaya tidak menyalahi atau melangkahi aturan yang ada.

Akibat dari tidak diaturnya metode omnibus law, maka pembentukan UU Cipta Kerja dibuat tidak mengikuti prosedur UU PPP karena sejak dari perencanaannya yang sangat tertutup tanpa pelibatan partisipasi publik dan lebih mempercayakan pelibatan dari para pengusaha dan elit politik (Mashabi, 2020; Riewanto, 2020). Padahal dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perencanaan dan penyusunan sangat esensial.

Dalam tahap perencanaan dan penyusunan diperlukan pelibatan dan partisipasi publik yang luas dan beragam dari berbagai latar belakang, terutama subjek hukum (adresat) yang hendak dikenai dari UU Cipta Kerja, yakni pekerja atau buruh dan para pemangku

kepentingan (stakeholders). Pasal 96 UU PPP mengatur bahwa perlunya

partisipasi publik dalam perencanaan dan penyusunan suatu UU. Dalam tahapan perencanaan dan penyusunan seharusnya Naskah Akademik (NA) dan Draf RUU Cipta Kerja sudah harus dipublikasikan dan diperdebatan secara luas untuk menyerap aspirasi publik.

Realitasnya UU Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas, hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik kontroversial otentisitasnya.

Pemerintah tidak menunjukkan naskah final Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diklaim paling asli, karena waktu itu terdapat tiga naskah yang beredar di publik, yakni 1.028 halaman, 905 halaman, dan 1.052 halaman. DPR beralasan naskah final masih diperbaiki dalam

sisi pengetikan

(https://www.cnnindonesia.com, 2020). Padahal Pasal 72 ayat (2) UU PPP mengamanatkan bahwa penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pemakaian metode omnibus law dalam pembentukan UU Cipta Kerja demi memangkas regulasi yang ada serta pertimbangannya untuk kemudahan investasi dan membuka lapangan pekerjaan telah memenuhi asas meniadakan kesulitan dan kesempitan. Tujuannya UU Cipta Kerja sendiri adalah untuk merubah struktur ekonomi dengan membuka lapangan pekerjaan baru, kemudahan membuka usaha, dan dapat memberantas pungli (Idris, 2020), artinya UU Cipta Kerja adalah untuk menjaga kestabilan perekonomian negara. Namun dalam UU Cipta Kerja terdapat Pasal yang justru dapat merugikan kaum buruh dan menguntungkan

(14)

pemodal. Terlebih ketika sejak awal pembahasan tidak pernah melibatkan serikat buruh, melainkan hanya pihak pengusaha dan pemerintah. Hal itu dapat berdampak buruk terhadap buruh, karena sejatinya investasi harus berbasis pada proteksi perlindungan bagi pekerja, supaya investasi yang masuk tidak melanggar hak-hak pekerja. Karena jika itu terjadi dapat berimplikasi pada sulitnya daya beli dan mendongkrak perekonomian yang pada akhirnya membahayakan kedaulatan negara. Namun apa yang cemaskan sejak awal tercermin dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja. Di antara pasal-pasal tersebut adalah, Pasal 59 UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Ketentuan ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. Selanjutnya Pasal 79 Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Kemudian Pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Dengan begitu asas meniadakan kesulitan dan kesempitan dari segi pemangkasan regulasi telah terpenuhi, namun bermasalah dari

segi tidak melibatkan buruh dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Meskipun UU Cipta Kerja telah diundangkan, namun masih menyisakan kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi Pasal. Hal ini dapat dikategorikan telah melanggar asas berangsur- angsur dalam menetapkan sebuah produk hukum. Sulit untuk dipungkiri bahwa kesalahan tersebut beranjak dari pembentukan UU Cipta Kerja yang dilakukan secara terburu-buru. Pada halaman 6 UU Cipta Kerja, rumusan Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a, padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4). Jadi kesalahan tersebut merupakan kesalahan rumusan yang bukan hanya kesalahan ketik.

Hal itu sekaligus membuat kepastian hukum menjadi kabur yang selaras

dengan menyalahi asas

mewujudkan keadilan merata, karena bagaimana mungkin akan tercipta kepastian hukum di atas regulasi yang salah. Padahal menegakkan hukum dengan benar dan adil dalam banyak teks keagamaan Islam adalah jauh lebih baik dan lebih utama daripada ibadah individual (Tahir, 2017: 212). Hal ini

menjadi petanda bahwa

pembentukan UU Cipta Kerja sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Apabila dilihat lebih dalam, kesalahan perumusan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU PPP.

KESIMPULAN

(15)

Proses pembentukan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law. Metode omnibus law merupakan metode baru diterapkan di Indonesia dan tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan aturan terkait. Di sisi lain, dalam kajian keislaman yaitu Siyāsah tasyri’iyyah dikenal asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Asas-asas tersebut menjadi rel bagi pembentuk undang-undang supaya tidak menyalahi syariat dan mendatangkan kemashlahatan.

Asas-asas tersebut adalah; pertama, meniadakan kesulitan dan kesempitan. Proses pembentukan UU Cipta Kerja dalam konteks ini belum terpenuhi. Kehadiran konsep omnibus law dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja yang mulanya adalah untuk kemudahan investasi, malah merugikan kaum buruh. Kedua, berangsur-angsur dalam menetapkan. Asas ini secara terang-terangan dilanggar dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, karena pembentukan UU Cipta Kerja terlihat tergesa-gesa dan setelah disahkan menjadi UU Cipta Kerja, masih terdapat kesalahan rujukan Pasal. Ketiga, asas sejalan dengan kemaslahatan manusia belum terpenuhi karena metode omnibus law yang dipakai belum diatur dalam UU PPP dan merugikan berbagai sektor. Keempat, asas mewujudkan keadilan merata belum terpenuhi karena terdapat kesalahan dalam proses pembentukan sampai kepada rujukan pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja menyebabkan ketidakpastian hukum.

DAFATAR PUSTAKA

A. Buku

Alw, Lita Tyesta. 2019. “Urgensi Naskah Akademik Sebagai Upaya Reformasi Dalam Proses Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.” Jakarta:

Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (YSHK).

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media Dan HAM. 2nd ed. edited by Z. A. M. Husein.

Jakarta: Konstitusi Press.

Fathurrahman, Oman. 1994. Fiqh Usul Fiqh. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.

Handoyo, B. Hestu Cipto. 2014.

Prinsip-Prinsip Legal Drafting Dan Desain Naskah Akademik.

Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:

Kencana Prenamedia Group.

Soeprapto, Maria Farida Indrati.

2010. Ilmu

Perundangundangan: Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan.

Yogyakarta: Kanisius.

B. Peraturan Perundang- undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

(16)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

C. Jurnal/Internet

Alfiyani, Nur. 2020. “Perbandingan Regulasi Ketenagakerjaan

Dalam Undang-Undang

Ketengakerjaan Dan Undang- Undang Cipta Kerja Nur Alfiyani.” An-Nizam: Jurnal Hukum Dan Kemasyarakatan 14(2).

Amania, Nila. 2020. “Problematika Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Lingkungan Hidup.”

Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum 6(2).

Arlis. 2011. “Siyasah Syar’iyyah Tentang Pengelolaan Zakat Pada Masa Awal Islam.” JURIS 10(2).

Busroh, Firman Freaddy. 2017.

“Konseptualisasi Omnibus Law

Dalam Menyelesaikan.” Arena Hukum 10(2):227–50.

Dzulfaroh, Ahmad Naufal. 2020.

“Tiga Catatan Kritis Untuk Omnibus Law UU Cipta.”

Https://Www.Kompas.Com.

Retrieved

(https://www.kompas.com/tren/r ead/2020/10/07/071000265/tiga -catatan-kritis-untuk-omnibus- law-uu-cipta-kerja?page=all).

Fad, Mohammad Farid. 2020.

“Omnibus Law Dalam Tinjauan Hifdzul Mal.” Jurnal EL- Mashlahah 10(1):31–46.

Febriansyah, Ferry Irawan. 2016.

“Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Perspektif 21(3):220–29.

Fitri, Winda and Luthfia Hidayah.

2021. “Problematika Terkait Undang-Undang Cipta Kerja Di Indonesia: Suatu Kajian Perspektif Pembentukan Perundang-Undangan.” E- Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha 4(2):725–35.

Hakim, Rakhmat Nur. 2020. “UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Prosedur.”

Https://Nasional.Kompas.Com.

Retrieved

(https://nasional.kompas.com/re ad/2020/10/05/23181031/uu- cipta-kerja-dinilai-cacat- prosedur?page=all).

Harefa, Mandala and Achmad Sani Alhusain. 2020. “Pembentukan Omnibus Law Dalam Upaya Meningkatkan Investasi.”

Parliamentary Review 11(1).

https://www.bbc.com. 2020.

“Omnibus Law: Demo Tolak UU Cipta Kerja Di 18 Provinsi Diwarnai Kekerasan, YLBHI:

‘Polisi Melakukan Pelanggaran.’”

Https://Www.Bbc.Com. Retrieved

(17)

(https://www.bbc.com/indonesia/

indonesia-54469444).

https://www.cnnindonesia.com.

2020. Tuduhan Upaya Mengecoh Publik Di Balik Cacat Formil Omnibus.

Humaira, Nabila Zulfa. 2021.

“Penerapan Omnibus Law Dalam Undang Undang No . 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.”

Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan 5(2).

Idris, Muhammad. 2020a. “3 Manfaat UU Cipta Kerja Untuk Rakyat Seperti Yang Diklaim Jokowi.”

Https://Money.Kompas.Com.

Retrieved

(https://money.kompas.com/read /2020/10/11/090645726/3-

manfaat-uu-cipta-kerja-untuk- rakyat-seperti-yang-diklaim- jokowi?page=all).

Idris, Muhammad. 2020b. “Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dan Isi Lengkapnya.”

Https://Money.Kompas.Com.

Retrieved

(https://money.kompas.com/read /2020/10/05/102200626/menge nal-apa-itu-omnibus-law-ruu- cipta-kerja-dan-isi-lengkapnya?

page=all#:~:text=Dengan kata lain%2C omnibus law,satu bagian dari omnibus law.).

Iqbal, Muhammad. 2016.

“Penyatuan Kalender Islam Internasional: Perspektif Siyasah.” Jurnal Ilmiah Syari‘Ah 15(2).

Khair, Otti Ilham and Ifna Septiana Jambak. 2020. “Kontradiksi Uu Cipta Kerja Dalam Aspek Kawasan Ekonomi.” Jurnal Ilmiah Postulate IX(3).

Kurniawan, Fajar. 2020.

“Problematika Pembentukan Ruu Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster

Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja Yang Di PHK.”

Jurnal Panorama Hukum 1(5).

Luhukay, Roni Sulistyanto. 2020.

“Fungsi Rancangan Undang- Undang Omnibus Law Cipta

Lapangan Kerja Dalam

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi.” Jurnal Meta Yuridis 3(1):38–52.

Luhukay, Roni Sulistyanto. 2021.

“Penghapusan Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Dalam Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja.” Jurnal Meta-Yuridis 4(1):100–122.

Mardani. 2009. “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional.” Jurnal Hukum 16(2):267–87.

Mashabi, Sania. 2020. “KSPI Beberkan Bukti Cacat Formil UU Cipta Kerja Yang Diajukan Ke MK.”

Https://Nasional.Kompas.Com.

Retrieved

(https://nasional.kompas.com/re ad/2020/11/04/12582041/kspi- beberkan-bukti-cacat-formil-uu- cipta-kerja-yang-diajukan-ke- Matompo, Osgar Sahim and Wafdamk).

vivid Izziyana. 2020. “Konsep Omnibus Law Dan Permasalahan Ruu Cipta Kerja.” Rechstaat Nieuw 5(1):22–29.

Meilana, Hilma. 2019. “Hambatan Dalam Meningkatkan Investasi Asing Di Indonesia.” Info Singkat BIdang Ekonomi Dan Kebijakan Publik, DPR RI 16(19):19–24.

Nathan, Alnick. 2020. “Omnibus Law Dan Fleksibilisasi Pasar Tenaga Kerja Di Indonesia: Perspektif

Makro-Ekonomi Dan

Ketenagakerjaan.” Institute of Governance and Public Affairs 1(9).

(18)

Olivia, Grace. 2019. “Pemerintah Identifikasi 79 UU Dan 1.228 Pasal Masuk Omnibus Law Cipta

Lapangan Kerja.”

Https://Nasional.Kontan.Co.Id.

Retrieved

(https://nasional.kontan.co.id/ne ws/pemerintah-identifikasi-79- uu-dan-1228-pasal-masuk- omnibus-law-cipta-lapangan- kerja).

Permana, Sony Hendra. 2021.

“Proyeksi Dampak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.”

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI XII(19).

Prabowo, Adhi Setyo, Andhika Nugraha Triputra, Yoyok Junaidi, and Didik Endro Purwoleksono.

2020. “Politik Hukum Omnibus Law Di Indonesia.” Jurnal Pamator 13(1).

Purba, Rahadiyan, M. Zamroni, and Fajar Rachmad Dwi Miarsa.

2020. “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di Pt Indopicri.” Jurnal Reformasi Hukum : Cogito Ergo Sum 3(1):7–14.

Putra, Antoni. 2020. “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol 17(12):1–

10.

Putri, Budiarti Utami. 2020. “Tolak UU Cipta Kerja, Aksi Jogja Memanggil Akan Hadirkan

Massa Lebih Besar.”

Https://Nasional.Tempo.Co.

Retrieved

(https://nasional.tempo.co/read/

1393975/tolak-uu-cipta-kerja- aksi-jogja-memanggil-akan- hadirkan-massa-lebih-besar).

Riewanto, Agus. 2020. “Menguak Cacat Formil UU Cipta Kerja.”

Https://Www.Hukumonline.Com.

Retrieved

(https://www.hukumonline.com/b erita/baca/lt5f854ded1a0b5/men guak-cacat-formil-uu-cipta-

kerja/?page=2).

Samsu, La. 2017. “Al-Sul Ah Al- Tasyri’iyyah, Al-Sul Ah Al-Tanfi Iyyah, Al-Sul Ah Al-Qa Ᾱ’iyyah.”

Tahkim XIII(1).

Satria, Adhi Putra. 2020.

“Sibernetika Talcott Parsons:

Suatu Analisis Terhadap Pelaksanaan Omnibus Law

Dalam Pembentukan

Undang_Undang Cipta Lapangan Kerja Di Indonesia.” Indonesian State Law Review 2(2):111–18.

SAZYA. 2020. “Apa Itu Omnibus Law?” Https://Www.Online-

Pajak.Com. Retrieved

(https://www.online- pajak.com/tentang-pph- final/omnibus-

law#:~:text=Bryan A Garner

%2C dalam Black,sekaligus%2C dan memiliki berbagai tujuan.).

Sholikin, M. Nur. 2020. Dua Masalah Hukum Dalam Penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Sjaiful, Muh. 2021. “Problematika Normatif Jaminan Hak-Hak Pekerja Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.” Media Iuris 4(1):37–

60.

Sodikin. 2020. “Paradigma Undang- Undang Dengan Konsep.”

Rechtsvinding 9(April):143–60.

Sopiani and Zainal Mubaroq. 2020.

“Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Perubahan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.” Jurnal Legislasi Indonesia 17(2):146–

Sudarwanto, AL Sentot and Dona53.

Budi Kharisma. 2020. “Omnibus

(19)

Law Dan Izin Lingkungan Dalam

Konteks Pembangunan

Berkelanjutan.” Jurnal Rechtsvinding 9(April):109–23.

Suhardi, Gaudensius. 2019.

“Obesitas Regulasi.”

Https://Pshk.or.Id. Retrieved (https://pshk.or.id/rr/obesitas- regulasi/).

Sularno, M. 2006. “Syari’at Islam Dan Upaya Pembentukan Hukum Positif Di Indonesia.” Al-Mawarid Edisi XVI:211–19.

Suntoro, Agus. 2021. “Implementasi Pencapaian Secara Progresif Dalam Omnibus Law Cipta Kerja (The Implementation of Progressive Realization at Omnibus Law).” Jurnal HAM 12(1):1–18.

Supriyadi and Andi Intan Purnamasari. 2021. “Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Method Of Ideas For The Use Of Omnibus

Law In The Formation Of Regional Regulation).” JIKH 15(2):257–70.

Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fikih Siyasah. Jakarta: Erlangga.

Tahir, Masnun. 2017. Politik Hukum Islam Di Indonesia: Konsepsi, Kontekstualisasi, Dan Implementasi. Lombok: Penerbit Pustaka Lombok.

Utama, Danny Adriadhi. 2020.

Tumpang Tindih Aturan Di RI Menyulitkan Masuknya Investasi.

Yasin, Muhammad. 2020. “Mengenal Metode ‘Omnibus Law.’”

Https://Www.Hukumonline.Com.

Retrieved

(https://www.hukumonline.com/b erita/baca/lt5f7ad4c048f87/men genal-metode-omnibus-law/).

Yusuf, Yusmedi. 2020. “Rancangan Undang-Undang

Ketenagakerjaan (Omnibus Law) Dalam Perselisihan Hubungan Industrial.” Al-Ahkam 16(2):44–

55.

Referensi

Dokumen terkait

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN.. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang- undangan yang mencakup tahapan

Dimaksud dengan asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang- undangan harus dibuat oleh lembaga atau pejabat pembentuk

Dikaji dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menginginkan materi muatan undang-undang mencerminkan asas

Begitu pula yang dilakukan oleh event budaya SIEM 2010, yaitu dengan menggunakan strategi komunikasi pemasaran untuk menginformasikan event SIEM 2010 kepada masyarakat dan

Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga memperjelas konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful

daring File PPT, Video, Modul, Guided discussion forum Partisipasi, Tes Tertulis Rubrik 10 mempelajari gangguan penyalahgunaan obat, adiksi lainnya, gangguan makan dan

(2) Nama wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan nama wilayah administrasi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, Kecamatan, Desa dan Kelurahan

Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang- undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta