PEMODELAN SPASIAL
KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:
STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU
MUSTARA HADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
MUSTARA HADI. Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province. Under the advisory of LILIK BUDI PRASETYO and LAILAN SYAUFINA.
Peatland is one of ecosystem types in Indonesia which plays important role in maintaning terrestrial carbons, hydrological cycles and preserving biodiversity. Recently, most of the peatland (forest and non forest) has been degraded. One of the causes of degradation is fire.
This study was conducted to establish a model and map of peat fire risk in District of Bengkalis, Riau Province. The model was established by hotspot distribution as an indicator of fire occurrences . Environmental and infrastructure aspects were employed as supportive factors to fire. Factors which were used to describe the environmental aspect were landcover and vegetation types, peat depth, and greenness level of vegetation. Factors of infrastructure aspect were the distance of fire occurrences with road network, distance to the river network and to the center of villages. Weighting and scoring were the basis of model development using the method of Complete Mapping Analysis (CMA).
The model suggested that peat fire is more strongly affected by infrastructure aspect when compared with environmental aspect with the weight of 0.658 and 0.342 respectively. This explains that fires occurred were triggered more by human factor rather than environmental factor. The chosen factor of infrastructure aspect is distance from occurenced fires of road network. The selected environmental aspects were landcover and vegetation types, peat depth and greenness level of vegetation. Seemingly, the distance of river and center of villages may not be the supportive factors of peat fires, as showed by the presence of hotspots in which found mostly in the area far from the river and village center. The model can explain the condition of average of fire occurrences with the validation of 80%. Therefore, it can be used as the referrence in developing and establishing of polic ies for peat fire prevention and suppression.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemodelan Spasial
Kerawanan Kebakaran d i Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau adalah karya ilmiah saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Mei 2006
Mustara Hadi
PEMODELAN SPASIAL
KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:
STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU
MUSTARA HADI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat pada tanggal 18 April 1976 sebagai anak bungsu dari tujuh
bersaudara pasangan Ibu Hj. Sitti Nawwaroh dan Bapak H. Usman.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Selong, Kabupaten Lombok
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja
pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 ini ialah kebakaran, dengan judul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan
Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai Anggota
Komisi Pembimbin g yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan
selama proses penelitian hingga penyelesaian penulisan dan penyusunan karya
ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar, Bapak Uus
Syaifullah, Ibu Anita Zaitunah, rekan -rekan Pascasarjana IPB dan Brighten
Institute yang telah banyak membantu serta menyediakan waktu untuk berdiskusi
dalam proses pengolahan data.
Penulis menyadari dorongan moril maupun spiritual dari orang-orang
terkasih telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini, untuk itu penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang
mendalam kepada Bapak, Ibu, Apih, Mama (almarhumah) dan keluarga serta istri tercinta yang dengan sabar mendampingi, mendoakan dan membantu penulis
dengan penuh kasih sayang selama penelitian, penulisan dan penyusunan karya
ilmiah ini.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xii
PENDAHULUAN... 1
TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas (Hotspot) ... 10
Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut ... 12
Kebakaran di Lahan Gambut... 14
Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut ... 17
Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut... 19
Sistem Satelit Landsat ... 20
Indeks Vegetasi ... 22
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 24
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 28
Metode Penelitian... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot... 46
B Klasifikasi Faktor Pendukung Kebakaran ... 48
C Sebaran dan Kerapatan Hotspot... 53
D Nilai Kerawanan ... 59
E Validasi Model... 68
F Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Pada Wilayah Penelitian ... 70
SIMPULAN DAN SARAN ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN ... 11
2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari ... 11
3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari ... 11
4 Luas hutan menurut jenis... 27
5 Hasil hutan menurut jenis ... 27
6 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek infrastruktur... 35
7 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik ... 35
8 Hasil analisis statistik jarak koordinat titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap koordinat titik hotspot di lapangan ... 46
9 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan jalan ... 48
10 Kelas jarak tempuh man usia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan sungai ... 49
11 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap pusat desa ... 49
12 Tipe tutupan lahan dan vegetasi serta luasannya pada wilayah penelitian ... 50
13 Kelas ketebalan lahan gambut dan luasannya pada wilayah penelitian ... 51
14 Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dalam wilayah penelitian ... 53
15 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan jalan... 54
16 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan sungai... 54
17 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari pusat desa... 55
18 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tipe tutupan lahan dan vegetasi... 56
19 Hubungan kerapatan hotspot terhadap ketebalan gambut ... 57
20 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tingkat kehijauan vegetasi... 58
21 Nilai skor setiap subfaktor jarak dari jaringan jalan ... 60
23 Nilai skor masing -masing subfaktor kedalaman gambut ... 62
24 Nilai skor masing -masing subfaktor tingkat kehijauan vegetasi ... 63
25 Bobot relatif faktor-faktor pembangun model ... 63
26 Bobot relatif aspek infrastruktur dan lingkungan fisik ... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan alir kerangka pemikiran ... 9
2 Prinsip segitiga api... 15
3 Batas administrasi Kabuaten Bengkalis ... 24
4 Bagan alir kegiatan penelitian ... 29
5 Tahapan pengolahan data spasial ... 32
6 Tahapan verifikasi data hotspot... 33
7 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari jaringan jalan ... 36
8 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari jaringan sungai ... 37
9 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari pusat desa... 38
10 Peta sebaran hotspot pembangun model pada tipe tutupan lahan dan vegetasi... 39
11 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas ketebalan gambut ... 40
12 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas tingkat kehijauan vegetas i... 41
13 Perbandingan sebaran data jarak titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan ... 47
14 Sebaran data nilai total skor kerawanan kebakaran ... 66
15 Jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan kebakaran... 68
16 Persentase jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan... 68
17 Persentase jumlah hotspot tahun 2004 (hotspot validasi) pada setiap kelas kerawanan ... 69
18 Persentase jumlah hotspot tahun 2003 pada setiap kelas kerawanan ... 69
19 Persentase jumlah hotspot tahun 2002 pada setiap kelas kerawanan ... 70
20 Luas areal kelas kerawanan kebakaran ... 71
21 Persentase luas kelas kerawanan kebakaran terhadap total luas wilayah Kabupaten Bengkalis ... 71
23 Persentase luas tipe tutupan lahan dan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan ... 73
24 Persentase luas tingkat kehijauan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut Kabupaten Bengkalis .... 81
2 Jarak hotspot ASMC dan JICA terhadap hotspot hasil ground check d i
lapangan ... 82
3 Data hotspot tahun 2004 stasiun ASMC yang digunakan sebagai
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran
penting dalam siklus hidrologi serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas
lahan gambut di Indonesia menempati peringkat keempat di dunia setelah Canada,
Rusia dan Amerika Serikat. Tipe lahan gambut di Indonesia merupakan tipe lahan gambut tropis dimana lebih dari 50% gambut tropis berada di Indonesia
atau meliputi 10,8% wilayah Indonesia (Noor & Suryadiputra 2005). Tipe
ekosistem ini menyebar di Pulau Kalimantan seluas 6,3 juta hektar, Sumatera
8,9 juta hektar dan Pap ua 10,9 juta hektar. Sedangkan menurut Noor (2002) luas lahan gambut di Indonesia sekitar 18,4 juta hektar. Khusus untuk Pulau
Sumatera, Provinsi Riau memiliki luasan lahan gambut terbesar dengan luas lebih
dari 4 juta hektar dengan kedalaman gambut yang bervariasi hingga dapat
mencapai kedalaman 12 meter.
Kegiatan pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut termasuk hutan di
dalamnya telah diatur pemerintah dalam berbagai produk peraturan dan
perundangan -udangan antara lain: UUD 45, Kepres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 27 tahun 1991 tentang Rawa, UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan dan PP No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
atau Lahan. Namun kenyataan yang dihadapi adalah gangguan terhadap
sumberdaya lahan gambut tidak dapat dihentikan dan terus saja berlangsung,
bahkan intensitas gangguan semakin meningkat. Lahan gambut di Provinsi Riau
juga tidak luput dari berbagai bentuk gangguan,dari 4,5 juta hektar lahan gambut
yang dimiliki Provinsi Riau, sebanyak 1,3 juta hektar lahan tersebut saat ini dalam
kondisi rusak, akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dengan baik
Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian
kebakaran. Kebakaran lahan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia
dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut disinyalir sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan baik dalam skala
kecil maupun besar yang secara langsung menggunakan api untuk kegiatan land clearing dan secara tidak langsung mengakibatkan gambut menjadi semakin
rentan terhadap kebakaran karena perubahan sifat fis ik gambut menjadi kering dan tidak mampu lagi menyerap air. Kebakaran pada lahan gambut menyebabkan
terjadinya pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfer dan menjadi
penyumbang emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berpengaruh pada
penurunan kualitas lingkungan. Kebakaran lahan gambut seluas satu hektar dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon (Prabowo 2005).
Beberapa tahun terakhir kebakaran lahan gambut terjadi hampir setiap
tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang tergolong besar terjadi di
Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun 1997/1998 di Indonesia, kebakaran telah menghanguskan lahan sekitar 11,7 juta
hektar (Soeriaatmadja, 1997) dan telah menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81 –
2,57 Gt6 (Chokkalingam 2004 )
Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan diperlukan dukungan teknologi yang mampu memberikan informasi yang cepat,
tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Salah satu teknologi yang
menjadi alternatif adalah teknologi remote sensing. Penggunaan remote sensing
telah cukup mampu memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam memantau dan memperkirakan kejadian kebakaran yang telah terjadi, sedang terjadi maupun
perkiraan kejadian kebakaran pada waktu mendat ang serta dapat mengetahui
perubahan lingkungan yang terjadi akibat kebakaran selama kurun waktu tertentu.
Keberadaan satelit NOAA merupakan salah satu teknologi yang sering dimanfaatkan oleh berbagai lembaga maupun pihak -p ihak terkait untuk memantau
kejadian kebakaran hutan dan lahan, namun sering kali setiap lembaga memiliki
perbedaan data baik dalam jumlah hotspot maupun posisi hotspot di permukaan
menimbulkan kurangnya koordinasi dari setiap lembaga terkait dalam menyusun
rencana-rencana pengendalian kebakaran lahan khususnya di Indonesia.
Disinyalir bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia secara umum disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk
berbagai bentuk usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan (perladangan
berpindah, perkebunan, HTI dan HPH). Beberapa studi menunjukkan, bahwa
hanya sebagian kecil kebakaran disebabkan oleh faktor-faktor di luar kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut ini tentunya didukung oleh beberapa
faktor lingkungan seperti iklim, kondisi vegetasi dan faktor lingkungan fisik
lainnya, juga didukung pula oleh faktor infrastruktur yang dapat meningkatkan
interaksi manusia dengan lahan gambut. Faktor lingkungan fisik dan infrastruktur secara umum dapat digambarkan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Penelitian-penelitian tentang kebakaran lahan gambut yang telah dilakukan
pada dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur
baik secara terpisah maupun terintegrasi untuk menduga terjadinya kebakaran, namun nampaknya setiap lokasi penelitian memiliki perbedaan faktor-faktor
utama yang mendukung terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari
setiap daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus agar
kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dan sedang dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Oleh karena itu
penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kebakaran di lahan gambut dari aspek
lingkungan dan infrastruktur pada wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis
yang merupakan salah satu daerah yang tergolong sebagai daerah yang selalu mengalami kebakaran lahan gambut setiap tahun. Penelitian ini akan sangat
penting artinya bagi kegiatan pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten
Bengkalis, dimana kejadian kebakaran yang terjadi setiap tahun menimbulkan
dampak ekologi yang sangat besar yakni penu runan fungsi lahan gambut sebagai konservasi air dan penyerap karbon. Disamping itu sangat penting juga artinya
bagi hubungan ekonomi maupun politik antar bangsa khususnya di kawasan
ASEAN, dimana negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selalu
dengan kedua negara tetangga tersebut. Pada peristiwa El-Nino tahun 1997/1998,
60 persen kabut asap pada wilayah Asia Tenggara terjadi karena kebakaan lahan
basah di Indonesia (Chokkalingam 2004)
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
- Menganalisis informasi data hotspot dua stasiun pengamat [JICA (Japan International Cooperation Agency) dan ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Center)] sebagai rujukan bagi pembangunan model spasial dan
kegiatan pengendalian kebakaran di lahan gambut
- Mengkaji faktor-faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di
Kabupaten Bengkalis.
- Menganalisis hubungan aspek lingkungan fisik dan infrastruktur terhadap
kejadian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Menentukan model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut pada wilayah
Kabupaten Bengkalis
- Membuat peta zone kerawanan kebakaran lahan gambut Kabupaten Bengkalis
Perumusan Masalah
Kebakaran pada lahan gambut merupakan fenomena yang selalu terjadi
setiap tahun di Indonesia. Secara umum kebakaran lahan gambut terjadi secara
periodik yaitu pada akhir musim kemarau atau menjelang datangnya musim hujan
dimana masyarakat dan perusahaan HPH dan perkebunan memulai kegiatan
penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut menimbulkan kerusakan fisik secara
langsung pada gambut terutama disebabkan oleh sifat irreversible yang dimiliki oleh gambut. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya peluang terjadinya
bencana alam banjir pada musim hujan dan penurunan kesuburan lahan gambut
itu sendiri.
Kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dideteksi terutama pada jenis
kebakaran di bawah permukaan. Kebakaran bawah permukaan ini memiliki
pergerakan api yang sangat lambat dan menyebar ke segala arah karena tidak ada
dipadamkan. Kebakaran bawah permukaan akan menimbulkan kerusakan dan
kematian pada akar tanaman yang berarti kematian pula bagi tanaman itu sendiri.
Asap merupakan hasil dari proses pembakaran yang menimbulkan berbagai dampak negatif baik secara nasional maupun regional. Kebakaran gambut adalah
sumber terbesar polusi asap. Hal ini disebabkan pada kebakaran gambut terjadi
proses smoldering yang menghasilkan asap dalam jumlah besar. Dampak negatif
dari polusi asap ini antara lain gangguan kesehatan berupa inpeksi saluran pernapasan, mata dan lain -lain, gangguan navigasi transportasi darat, laut dan
udara, menurunkan produktifitas manusia dan berbagai dampak lainnya.
Kebakaran di lahan gambut juga merupakan penghasil gas-gas rumah kaca seperti
karbon dioksida, karbon monoksida, metana, hidrokarbon, non-metana dan nitrogen oksida. Diperkirakan kebakaran yang terjadi pada lahan gambut
menyumbang karbon sebanyak 13 – 40 % dari total pengeluaran karbon dunia
yang dihasilkan dari bahan bakar setiap tahunnya (Miettinen 2004). Episode
kebakaran tahun 1997/1998, Indonesia menyumbang karbon sebanyak 2,6 miliar ton yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 10 juta hektar
yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di
dunia.
Upaya pencegahan kebakaran lahan telah cukup banyak dilakukan oleh pihak terkait baik melalui penerapan peraturan dan perundang-undangan maupun
pemanfaatan berbagai bentuk teknologi diantaranya adalah pemanfaatan satelit
untuk memantau posisi atau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Di
Indonesia pemanfaatan informasi dari satelit ternyata menimbulkan perbedaan persepsi dari berbagai lembaga terkait dalam memantau kejadian kebakaran
dikarenakan adanya perbedaan rujukan dari masing-masing lembaga dalam
memperoleh data kebakaran (hotspot).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sangat diperlukan upaya-upaya dini untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut untuk menghidari berbagai
dampak negatif yang telah diketahui menimbulkan kerugian yang sangat besar
baik dalam bidang sosial, ekonomi dan ekologi melalui pendekat an berbagai
lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang
disebabkan oleh kejadian alam. Menurut (Saharjo dan Husaeni 1998, diacu dalam
Soewarso 2003) kebakaran karena proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui
dengan pasti faktor-faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran
lahan gambut khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan
fisiknya. Disamping itu untuk mengoptimalkan upaya pengendalian kebakaran lahan gambut diperlukan informasi yang akurat tentang kejadian kebakaran lahan
gambut yang tentunya harus didapatkan dari rujukan yang tepat. Berdasarkan hal
tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain:
- Sumber informasi apa yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membangun perencanaan dan usaha pengendalian kebakaran lahan gambut.
- Faktor-faktor lingkungan fisik apa saja yang menjadi faktor utama pendukung
terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Apakah aspek infrastruktur dapat menjadi pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut dan faktor-faktor apa saja dari aspek infrastruktur yang menjadi
pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis
- Bagaimanakah hubungan antara masing -masing faktor dan pengaruhnya dalam
mendukung terjadinya kebakaran lahan gambut.
Kerangka Pemikiran
Lahan gambut di Indonesia telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh
manusia sejak ribuan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk bertani maupun berburu. Pada akhir-akhir ini, pemanfaatan lahan gambut
oleh manusia menunjukkan tingkat pemanfaatan yang berlebihan sehingga
menyebabkan terjadinya degradasi lahan gambut baik fungsi maupun luasannya.
Degradasi luas hutan pada lahan gambut dapat dilihat dari berkurangnya
tegakan hutan gambut karena kegiatan konversi lahan dan pembalakan liar yang
terus berlangsung hingga saat ini. Sementara degradasi fungsi lahan gambut pun
tak dapat dielakkan. Dalam keadaan normal, lahan gambut memiliki peran yang
sangat besar terhadap pembenaman karbon. Dengan luasan hanya 3% dari
karbon yang terdapat di permukaan bumi (Anonim 2003). Peran penting gambut
lainnya adalah dalam hal konservasi air. Gambut memiliki peran yang sangat
besar dalam menyerap dan menyimpan air selama musim hujan dan pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting
artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan kelangkaan air
pada usim kemarau. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dapat
berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut baik disebabkan oleh konversi, penebangan maupun pembakaran. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut
hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya.
Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan lahan gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran apalagi didukung oleh perilaku
manusia yang cenderung menggunakan api untuk membuka dan menyiapkan
lahan (land clearing) baik dalam skala kecil (perladangan) hingga skala besar
(perkebunan dan HTI) yang saat ini masih terus berlangsung.
Melihat kondisi lahan gambut Indonesia saat ini yang rentan terhadap
bahaya kebakaran terutama yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan dan
illegal logging, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan
membuat berbagai peraturan dan undang-undang untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan gambut yang lebih luas. Namun peraturan
dan undang-undang tersebut nampaknya belum efektif dalam mengurangi
kejadian kebakaran lahan gambut. Hal ini disebabkan karena kurangnya
dukungan informasi tentang faktor-faktor pemicu kebakaran lahan gambut itu sendiri serta belum adanya kesepakatan dari berbagai lembaga yang terkait untuk
menggunakan stasiun pengamat kebakaran tertentu sebagai rujukan yang paling
baik untuk memperoleh informasi tentang kejadian kebakaran di lahan gambut.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk mengkaji dua stasiun pengamat kebakaran yaitu JICA dan ASMC yang umum digunakan oleh
lembaga-lembaga di Indonesia dalam memantau kejadian kebakaran hutan dan
lahan. Hasil analisis baik secara spasial dan statistik diharapkan diperoleh satu
model spasial. Selain itu penelitian ini juga mencoba mengkaji faktor-faktor
yang diduga sebagai pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dimana
batasan kajian pada faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik dan infrastruktur. Kedua aspek tersebut merupakan faktor prediktor yang berhubungan satu sama
lain sehingga kajian akan dilanjutkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan
setiap komponen dari kedua aspek dalam menimbulkan kebakaran di lahan
gambut. Kebakaran lahan gambut dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel respon.
Hasil analisis baik spasial maupun stastistik dari komponen prediktor
diharapkan mampu mendapatkan beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh
yang signifikan atau cukup besar terhadap kejadian kebakaran di lahan gambut sehingga diperoleh model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut sebagai
masukan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh pemerintah. antara lain: Keppres No. 23 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung dan PP No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.
Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya faktor-faktor utama penyebab terjadinya kebakaran
pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau serta diketahuinya
stasiun pengamatan yang dinilai cukup baik sebagai rujukan dalam memantau
kejadian kebakaran lahan gambut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat
dalam hal:
• Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan penyusunan sistem pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau.
• Sebagai masukan bagi Pemda dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan dan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten
TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)
Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dikanalingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh
sensor satelit data digital (JICA 2003). Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat
diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat
tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). Secara sederhana, satelit NOAA mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dikanaling suhu sekitarnya, suhu yang
terdeteksi berkisar antara 310 oK (37oC) untuk deteksi malam hari dan 315 oK (42oC) untuk deteksi pada siang hari. Titik panas tersebut akan diproyeksik an menjadi suatu pixel pada sebuah peta (image) yang juga mewujudkan koordinat geografisnya. Suatu hotspot diyakini sebagai suatu kejadian kebakaran di
permukaan bumi apabila hotspot tersebut terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari berturut-turut atau lebih (LAPAN 2004).
Lokasi dan distribusi titik panas ditentukan dengan memanfaatkan band 3
(inframerah sedang) dengan panjang gelombang 3,55 – 3,93 mm dan band 4
(inframerah panjang) dengan panjang gelombang 10,3 – 11,3 mm dari data AVHRR/NOAA-12 (LAPAN 2005). Anderson et al. (1999) menerangkan band 3
dalam wujud gelombang infra merah-tengah sangat sensitif terhadap emisi panas
dan digunakan untuk memantau kebakaran. Titik api yang berpotensi sebagai
kejadian kebakaran muncul pada citra dalam bentuk titik-titik hitam.
Di Indonesia terdapat beberapa stasiun penerima NOAA yaitu: MoF-EU di
Palembang, MoF-JICA di Jakarta, MoF-GTZ di Samarinda dan
LAPAN-Bappedal di Jakarta. Hidayat et al. (2003) menerangkan masing-masing stasiun
pengamat memiliki nilai ambang (threshold) yang berbeda-beda dalam mendeteksi hotspot sebagai indikasi kejadian kebakaran. Nilai ambang yang
Tabel 1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN
Parameter Nilai Ambang
(oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
322.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
20.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu amb ang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Pengamatan terhadap titik hotspot pada stasiun pengamat LAPAN hanya
dilakukan pada siang hari sementara pada stasiun pengamat ASMC dan JICA dilakukan pada siang dan malam hari. Adapun nilai ambang yang digunakan oleh
ASMC seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari
Parameter (pengelolaan data NOAA malam hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
314.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
15.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu ambang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Tabel 3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari
Parameter (pengelolaan data NOAA siang hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
320.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
15.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu ambang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun
secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya
sedikit mengalami perombakan.
Lahan gambut terbentuk dimana tanaman-tanaman yang tergenang oleh air
terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari bebagai bahan organik
tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas
dari suatu lahan gambut adalah kandungan akan bahan organik yang tinggi
dimana persentasenya dapat mencapai lebih dari 65%.
Tanah gambut tergolong kelompok tanah organik bersama-sama dengan
muck (Brady 1990). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa gambut dalam hal ini
diartikan sebagai deposit atau endapan organik yang sedikit atau belum
mengalami pelapukan. Sedangkan muck merupakan endapan organik yang telah
mengalami pelapukan lebih lanjut sehingga bahan tanaman asal tidak dapat
dikenal lagi.
Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK)
tinggi, kejenuhan basa rendah, kandungan K, Ca, Mg dan P rendah, kandungan
unsur mikro (Cu, Zn, Mn, dan B) rendah. Tanah gambut memiliki sifat
penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase, memiliki daya
hantar hidrolik horizontal yang sangat besar dan vertikal yang sangat kecil,
memiliki daya tahan yang rendah sehingga tanaman mudah roboh dan memiliki
sifat mengering tak balik yang menurunkan daya retensi air dan membuatnya peka
terhadap erosi (Anonim 2004).
Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan bahan asal atau penyusunnya,
tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pemben tukan, lingkungan pembentukan ,
tingkat kematangan dan ketebalan gambut (Noor 2002). Dijelaskan lebih lan jut,
bahwa berdasarkan bahan asalnya, gambut dibagi menjadi (1) gambut lumutan
(moos peat) yaitu gambut yang terdiri atas campuran tanaman air termasuk
plankton dan sejenisnya, (2) gambut seratan (sedge peat) yaitu gambut yang
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi (1) gambut
eutrofik yaitu gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium
karbonat, sebagian besar berada pada daerah payau serta bersifat netral alkalin, (2) gambut oligotrofik yaitu gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya
kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4) dan
(3) gambut mesotrofik yaitu gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik.
Berdasarkan sifat kematangannya (refiness), gambut dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1 Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau
sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam.
2 Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang.
3 Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
Noor (2002) juga menjelaskan pembagian gambut berdasarkan
ketebalannya yaitu:
1 Gambut dangkal yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50 cm – 100 cm
2 Gambut tengahan yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik antara 100 cm – 200 cm
3 Gambut dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200 cm – 300 cm
4 Gambut sangat dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik > 300 cm.
Karakteristik lahan gambut yang memiliki ketebalan diatas 200 cm adalah sangat sulit untuk dikeringkan sehingga dalam kegiatan pengolahan lahan untuk
mencapai produktivitas lahan yang memadai sangat sulit tanpa adanya resiko
kehilangan gambut itu sendiri karena peristiwa oksidasi dan penyusutan
Dalam konteks lingkungan, gambut mempunyai peranan sebagai penyangga
(buffer) lingkungan yang berhubungan dengan fungsi gambut sebagai gatra
hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis. Secara hidrologis, gambut berfungsi menyimpan air dan juga sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control
water system). Fungsi gambut tersebut sangat penting artinya dalam mencegah terjadinya banjir pada saat curah hujan yang berlebih dan kelangkaan air pada
musim kemarau karena selama musim hujan gambut berperan dalam menyerap dan menyimpan air sementara pada saat curah hujan rendah, gambut secara
perlahan-lahan melepask an air simpanannya (Noor 2002). Anonim (2003)
menerangkan, dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut
mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting yaitu mengatur air di dalam dan di permukaan tanah. Dengan sifat -sifat seperti spon, gambut mampu menyerap air
yang berlebihan dan kemudian secara kontinyu dilepas perlahan -lahan. Hal ini
menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten sehingga mampu
menghindari terjadinya banjir dan kekeringan.
Selain berfungsi sebagai penyangga lingkungan, gambut juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi atau sebagai pengganti bahan bakar minyak,
sebagai bahan mentah industri, medium tanaman, lembaran bahan isolasi dan
bahan campuran pupuk. Beberapa produk seperti amoniak, alkohol (etanol dan metanol) dan lilin juga dapat dihasilkan dari gambut (Noor 2002).
Kebakaran di Lahan Gambut
Kebakaran hutan yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diperkirakan sebesar 15% terjadi pada hutan gambut dimana kebakaran pada
lahan gambut menjadi penyumbang 60-90% asap akibat pembakaran yang tidak
sempurna (Noor & Suryadiputra 2005). Kebakaran hutan didefinisikan sebagai
pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari
hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, pohon mati yang tetap
berdiri (snag), log, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan
pohon-pohon (Sahardjo 1999).
seluruh karbon terestrial) atau setara dengan 75% jumlah karbon di atmosfir. Bila
terjadi kebakaran, maka akan terjadi pelepasan karbon yang sangat besar ke
atmosfir. Dituliskan oleh Prabowo (2005) kebakaran hutan seluas satu hektar di lahan gambut dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon. Diterangkan pula
oleh Miettinen (2004) kebakaran yang terjadi di Indonesia pada periode tahun
1997/1998 telah memproduksi karbon dalam jumlah besar yaitu 13 – 40 % dari
pengeluaran karbon dunia yang dikeluarkan oleh bahan bakar setiap tahunnya. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di dunia
dan sekaligus dianggap turut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim global.
Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut maupun non gambut tidak lepas
dari tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen dan panas yang dikenal dengan prinsip segitiga api. (Pyne et al. 1996) menjelaskan, segitiga api digunakan untuk
menggambarkan interaksi dari faktor-faktor utama yang menyebabkan timbulnya
api (Gambar 2).
Berdasarkan bahan bakar dan cara menjalarnya api serta posisi api dari tanah, kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga seperti dijelaskan oleh Brown
(1973) yaitu:
a. Kebakaran bawah permukaan (ground fire)
Kebakaran bawah permukaan mengkonsumsi bahan organik di bawah permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa sebagai bahan
Gambar 2 Prinsip segitiga api . OKSIGEN
PANAS
BAHAN BAKAR
organik yang sedang terdekomposisi, telah terdekomposisi (muck) atau berupa
gambut. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah.
Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan kadang-kadang tidak berasap sehingga sulit untuk diketahui. Api menjalar sangat pelan dan
ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini
membentuk lingkaran.
b. Kebakaran permukaan (surface fire)
Api membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan.
Biasanya semua tipe kebakaran di hutan terlebih dahulu dimulai dengan
kebakaran permukaan. Karena jumlah bahan bakar pada permukaan
tanah/lantai hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang besar dan dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan
cepat tetapi relatif mudah dipadamkan. Pengaruh angin pada tipe kebakaran
ini menyebabkan penjalaran api berbentuk lonjong.
c. Kebakaran tajuk (crown fire)
Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon
atau semak belukar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kebakaran
permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi dapat juga terjadi kebakaran
tajuk terlebih dahulu baru disusul dengan kebakaran permukaan karena api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe kebakaran ini bergerak
dari tajuk pohon ke tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit
daun-daun dari pohon atau semak habis terbakar.
Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menimbulkan permasalahan antara lain:
- Perubahan lingkungan dan iklim (suhu, kelembaban) global karena
penyusutan luas hutan dan lahan gambut
- Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kabut asap sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, pneumonia dan
sebagainya
- Pencemaran oleh kabut asap dapat mengganggu navigasi laut, udara dan darat
- Penurunan dan penyusutan keanekaragaman hayati akib at punahnya sebagian
sumber daya genetik dan plasma nutfah
- Penurunan dan degradasi hutan dan lahan sehingga menjadi lahan terlantar/ kritis yang memerlukan biaya besar untuk merehabilitasinya (Noor 2002).
Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut
Menurut Rusdiayanto (2000) 90% penyebab kebakaran hutan adalah
(1) karena perbuatan manusia secara sengaja misalnya pembukaan lahan (land clearing) dengan cara dibakar untuk keperluan perkebunan, pengembangan Hutan
Tanaman Industri (HTI) dan pemukiman transimigrasi serta perladangan
berpindah oleh masyarakat sekitar hutan dan (2) karena faktor ketidaksengajaan .
Sedangkan faktor yang disebabkan oleh alam misalnya kondisi alam setempat
yang berupa lahan gambut dan batu bara yang sangat mudah terbakar pada musim
kemarau.
Menurut Danny (2001) penyebab utama terjadinya kebakaran hutan adalah
karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian
alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997) bisa terjadi karena
sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan
serasah. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) kebakaran karena proses alam
tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 persen. Penyebab
kebakaran hutan sampai saat ini masih men jadi topik perdebatan, apakah karena
alami atau karena kegiatan manusia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
1 Sistem perladangan trad isional dari penduduk setempat yang berpindah
-pindah
2 Pembukaan hutan oleh para pemegang ijin konsesi baik Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit
3 Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan
pembangunan dan tata pemerintahan sehingga menimbulkan konflik antar
Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut tidak disebabkan oleh faktor
tunggal atau sederhana, namun beberapa faktor independen seperti praktek
pemungutan hasil hutan, pembukaan lahan, transimigrasi, meningkatnya frekuensi musim kemarau, konflik alokasi lahan, akses yang lebih baik, pengeringan
rawa-rawa dan penebangan liar memberi peran dalam memperbesar resiko kebakaran
hutan dan lahan gambut (Borger & Lubis 2001).
Noor (2004) menjelaskan timbulnya api pada lahan gambut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1 Ekspansi dan konversi hutan atau lahan gambut menjadi areal perkebunan
besar dan HTI. Tata ruang bersifat eksploitatif atau tidak adanya tata ruan g
yang memberikan tempat bagi pemanfaatan lahan gambut secara non-eksplotatif.
2 Pembuatan kanal-kanal berskala lebar dan panjang yang hanya digunakan
untuk pengangkutan kayu dimana sirkulasi airnya tidak dirawat dengan baik
yang menyebabkan gambut disekitar kanal menjadi kering.
3 Pembalakan hutan gambut baik yang memiliki motif ekonomi maupun yang
merasa frustrasi sebagai kompensasi konflik.
4 Perspektif yang sesat dalam melihat lahan gambut sebagai lahan non-produktif
dan lahan terlantar.
Menurut Moore dan Haase (2003) pembuatan kanal-kanal memberikan
akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang tidak tersentuh. Meningkatnya
akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebakaran pada lahan gambut juga dapat disebabkan oleh beberapa kegiatan tradisional, seperti sistem budidaya padi sonor
(dimana padi ditanam di lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim
kemarau) dan penangkapan ikan dimana para nelayan menggunakan api untuk
menciptakan akses yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan.
Salah satu penyebab kebakaran pada lahan gambut adalah kegiatan
pembakaran lahan sebelum proses penanamam, hal ini banyak dilakukan oleh
perkebunan besar dengan tujuan untuk menaikkan pH tanah. Untuk wilayah Riau
tersebut bergambut dengan pH tanah antara 3-4 dan tidak cocok untuk ditanami
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit.
Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut
Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan
cara mengkonservasi lahan gambut dalam keadaan alaminya dan memberikan
perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan
lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya,
drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa gambut harus dicegah
(Moore & Haase 2003). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebakaran pada lahan
gambut disebabkan pula oleh penggunaan api oleh masyarakat, hal ini hanya
dapat dicegah apabila sumber pen ghidupan alternatif dapat disediakan. Menurut
Noor dan Suryadiputra (2005) pengendalian kebakaran dapat dilakukan melalui
pengelolaan muka air alami, koordinasi dengan institusi terkait, pelibatan secara
aktif masyarakat, adopsi strategi zero burning untuk semua kegiatan pertanian komersial, penegakan hukum, serta pemantauan dan prakiraan resiko kebakaran.
Dijelaskan lebih lanjut pengelolaan tata air untuk kegiatan pencegahan kebakaran
sesuai dengan Deklarasi Bogor, 13-14 Oktober 2003 harus memperhatikan tiga
hal yaitu:
1 Perlakukan setiap kubah gambut sebagai suatu unit hidrologis pengelolaan dan
padukan pengelolaan lahan gambut dengan pengelolaan daerah aliran sungai
terkait
2 Penambatan saluran -saluran pengeringan di areal lahan gambut merupakan strategi p enting untuk merestorasi tingkat muka air alami
3 Atur pengeringan di lahan gambut dan perbaiki serta pertahankan muka air
baik di dalam maupun di mintakat penyangga sekitar lahan gambut
Herkulana (2001) menerangkan, secara umum sistem pengelolaan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga komponen yaitu:
pencegahan (prevention), pemantauan (monitoring) dan penanggulangan
(mitigation). Dari ketiga komponen tersebut yang paling penting adalah komponen pencegahan. Kebakaran dapat dikurangi apabila pecegahan
dalam pencegahan adalah peningkatan kesadaran masyarakat dan pendidikan.
Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan
nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan (PP Nomor 4 Tahun 2001).
Sistem penanggulangan kebakaran hutan meliputi enam tahapan yaitu tahap
pencegahan, tahap kesiap-siagaan (preparedness), tahap peringatan dini (early
warning), tahap deteksi dini (early detection), tahap pemadaman (respon) dan tahap penanganan pasca kebakaran (Setijono 2001).
Sistem Satelit Landsat
Sistem satelit landsat dikenal memiliki tiga instrumen pencitraan (imaging instrument) yaitu Return Beam Vidicom (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan
Thematic Mapper (TM). Sistem satelit TM memiliki orbit dekat dengan kutub,
berbentuk lingkaran yang selaras dengan matahari dan memiliki ketinggian
nominal 913 kilo meter (Lillesand & Kiefer 1979, diacu dalam Jaya 2002).
Richards (1993) menambahkan, bahwa sensor TM merupakan sebuah alat
scanning mekanis yang memiliki resolusi spektral, spasial dan radiometrik yang
lebih baik dibanding tipe satelit sejenis yaitu MSS. Resolusi spektral yang
dimiliki oleh satelit TM adalah 7 band, resolusi spasial 30 m x 30 m dan resolusi
radiometrik adalah 8 bit.
Lillesand dan Kiefer (1979) menjelaskan, pada landsat TM terdapat sensor
multispectral yang disebut thematic mapper. Nama ini berkaitan dengan tuju an terapan sistem data yang diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral yang akan menghasilkan citra terkelas (peta tematik). Sensor TM memiliki tujuh band
yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi. Adapun
karakteristik dari ketujuh saluran spektral tersebut adalah sebagai berikut:
• Band satu (0,45 µm - 0,52 µm), dirancang untuk menghasilkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, juga untuk mendukung analisis sifat khas
penggunaan lahan, tanah dan vegetasi
spektral penyerap klorofil yang dapat digunakan untuk menekan perbedaan
vegetasi dan penilaian kesuburan
• Band tiga (0,63 µm – 0,69 µm), saluran yang digunakan untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan
berfungsi memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan non vegetasi
serta menajamkan kontras antar kelas vegetasi.
• Band empat (0,76 µm – 0,90 µm), digunakan untuk mengklasifikasikan sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian sehingga akan
membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman
dengan tanah serta tanaman dengan air
• Band lima (1,55 µm – 1,75 µm), saluran yang penting digunakan dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi
kelembaban tanah
• Band enam ( 2,08 µm – 2,35 µm), adalah suatu saluran yang penting untuk memisahkan format batuan
• Band tujuh (10,40 µm – 12,50 µm), suatu saluran inframerah termal yang berguna untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan
kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.
Pada saat analisis visual, band -band yang digunakan hanya terdiri dari band sinar tampak, band infra merah dekat dan band infra merah sedang. Menurut Jaya
(1997) pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat serta sedang, energi yang
direflektansikan dan direkam oleh sensor sangat bergantung pada sifat-sifat obyek
yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah serta tingkat
sedimentasi pada air. Oleh karena itu kombinasi yang setidak -tidaknya terdiri dari
satu band sinar tampak, satu band dari inframerah dekat dan satu band dari
Indeks Vegetasi
Penggunaan citra satelit untuk penelitian vegetasi didasarkan pada
reflektansi yang berbeda dari band -band infra merah dekat dan band -band
vegetasi yang terlihat. Beberapa kombinasi matematis tentang infra merah dekat
dan sinar tampak disebut indeks vegetasi.
Indeks vegetasi adalah suatu nilai yang mencerminkan kondisi tingkat
kehijauan tanaman yang diturunkan dari data satelit melalui perekaman pada
panjang gelombang tampak (merah) dan infra merah. (Hidayat & Mukhlis 2003).
Metode indeks vegetasi yang dikenal antara lain: Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), Standard Ratio Vegetation Index (SRVI) dan
Transformed Vegetation Index (TVI).
Perhitungan indeks vegetasi ditentukan atas dasar prinsip daun dan efek
pigmentasi dan kandungan air pada permukaan daun. Setiap tanaman akan
menyerap dan memantulkan energi ini berkisar pada panjang gelombang cahaya
tampak (merah) dan infra merah dekat. Umumnya tanaman (khlorofil) banyak menyerap energi radiasi pada cahaya tampak dan memantulkannya pada spektrum
gelombang infra merah dekat
NDVI merupakan representasi dari keadaan bahan bak ar, baik dari sisi
tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. NDVI merupakan indeks yang
diperoleh dengan manipulasi matematis sederhana antara pancaran gelombang
infra merah dekat (TM band 4) dengan gelombang merah (TM band 3) melalui
serangkaian proses pengolahan citra yang direkam oleh satelit. Adapun
perhitungan NDVI adalah sebagai berikut:
band inframerah dekat – band sinar tampak (merah) NDVI =
band inframerah dekat + band sinar tampak (merah)
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: kegiatan fotosintesis tanaman, tekanan
vegetasi, sudut matahari, sudut pandang, atmosfer, kabut, debu dan latar belakang
Jaya (1997) menerangkan, reflektansi yang tinggi dari band inframerah
dekat dan reflektansi yang rendah dari band merah pada vegetasi menghasilkan
nilai NDVI positif. Jika biomassa (vegetasi) meningkat, maka reflektansi dari inframerah akan meningkat, sebaliknya pada band sinar tampak (merah) akan
menurun. Reflektansi yang rendah dari band inframerah dekat dan reflektansi
yang tinggi dari band sinar tampak (merah) pada awan, salju dan air menghasilkan
suatu nilai NDVI negatif
Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara -1,0 dan 1,0. Nilai ini berbeda
pada set iap kondisi kandungan khlorofil dan kandungan air yang berbeda dan juga
berbeda pada setiap fase pertumbuhan. Umumnya indeks vegetasi meningkat
sejak awal pertumbuhan (fase vegetatif) dan mencapai puncaknya pada saat pertumbuhan vegetatif maksimum, kemudian menurun pada fase pertumbuhan
generatif (Van Dijk et al. 1987, diacu dalam Kushardono 1992). Ditambahkan oleh Ricards (1993) dan Howard (1996), bahwa areal yang bervegetasi umumya
menunjukkan nilai yang tinggi disebabkan oleh reflektansi yang tinggi pada inframerah dekat dan reflektansi yang rendah pada sinar tampak. Hal sebaliknya
terjadi pada badan air, awan dan salju dimana daerah -daerah tersebut memiliki
nilai reflektansi yang tinggi pada sinar tampak dan rendah pada sinar inframerah
dekat sehingga menunjukkan nilai indeks vegetasi yang negatif. Sedangkan batuan dan lahan atau tanah kosong menghasilkan nilai indeks vegetasi mendekati
nol disebabkan pada kedua band memiliki reflektansi yang hampir sama.
NDVI (+): bila permukaan vegetasi lebih banyak memantulkan radiasi pada
panjang gelombang infra merah dekat dibanding pada cahaya tampak. NDVI (0): bila pantulan energi berupa gelombang cahaya tampak sama dengan gelombang
inframerah dekat. Hal ini sering terjadi pada daerah pemukiman, tanah tak
bervegetasi, awan dan permukaan air. NDVI (-) bila permukaan air, awan dan
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah
kepulauan, dengan luas adalah 11.481,77 km2. Kabupaten Bengkalis secara geografis terletak antara 2o30’ Lintang Utara dan 0o17’ Lintang Utara atau 100o52’ Bujur Timur dan 102o10’ Bujur Timur yang mempunyai batas -batas sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka • Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Siak
• Sebelah Barat dengan Kota Dumai, Kab. Rokan Hilir dan Kab. Rokan Hulu
• Sebelah Timur dengan Kabupaten Karimun dan Kabupaten Pelalawan
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN BENGKALIS
Sumber :
- Peta Renc ana Tata Ruang Kab. Bengkalis skala 1: 1.500.000
Disusun Oleh : Mustara Hadi Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
N
Lokasi Kabupaten Bengkalis # # # ### # # # #
# SE
L A T M A L AK A
Man dau Bukit Ba tu
Ru pat
Me rba u
Te bin g Ti ng gi Ra ngsa ng Bantan
Bengk alis Ru pat Utara
Ran gsan g Barat
KAB. BENGKAL IS KODYA DUMAI
ROKAN HILIR
ROK AN HULU
KAB. SIAK
KOD YA PEKAN BARU
650000
650000
700000
700000
750000
750000
800000
800000 850000
850000
900000
900000
950000
950000
1000000
1000000 5
0 0 0
0 500
0 0 1 0 0 0 0
0 1000
0 0 1 5 0 0 0
0 1500
0 0 2 0 0 0 0
0 20000
0 2 5 0 0 0
0 2500
0 0
0 10 20 30
Kilometer s
Ba nt an Be ngka lis Bu kit Batu Ma ndau Me rbau Rangsang Rangsan g Bara t Rupat Rupat Utara Tebing Tinggi Tebing Tinggi Bara t Jalan Su
ngai-# Ko ta Kecamat an
[image:37.612.143.504.392.643.2]KETERANGAN
Secara administrasi Pemerintah Kabupaten Bengkalis terdiri dari 11
(sebelas) wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Bengkalis (luas 514,00 km2), Kecamatan Bantan (luas 424,40 km2), Kecamatan Bukit Batu (1.870,21 km2), Kecamatan Mandau (luas 3.440,47 km2), Kecamatan Merbau (luas 1.348,91 km2), Kecamatan Rupat (luas 1.524,85 km2), Kecamatan Tebing Tinggi (luas 1.436,83 km2), Kecamatan Rangsang (luas 922,10 km2), Kecamatan Rangsang Barat (luas 241,60 km2), Kecamatan Rupat Utara (luas 628,50 km2) dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat (luas 586,83 km2).
Letak Kabupaten Bengkalis sangat strategis, karena disamping berada di
tepi jalur pelayaran internasional yang paling sibuk di dunia, yakni Selat Malaka,
juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Malaysia-Singapura (IMS-GT) dan kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi
Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).
Kondisi Topografi
Wilayah Kabupaten Bengkalis pada umumnya merupakan dataran rendah,
dimana berada pada rata-rata ketinggian antara 2 - 6,1 meter di atas permukaan
laut, sebagian besar merupakan tanah organosol yaitu jenis tanah yang banyak
mengandung bahan organik. Terdapat sungai, tasik (danau) serta pulau besar dan
kecil yang berjumlah 26 buah. Adapun pulau-pulau besar dimaksud yaitu: Pulau
Rupat (1.524,85 km2), Pulau Tebing Tinggi (1.436,83 km2), Pulau Bengkalis (938,40 km2), Pulau Rangsang (922,10 km2) serta Pulau Padang dan Pulau Merbau (1.348,91 km2).
Dikarenakan berada pada ketinggian yang relatif rendah dari permukaan
laut, maka kelerengan topografi Kabupaten Bengkalis relatif landai dan
didominasi oleh lahan gambut dengan ketebalan tipis hingga tebal (> 200 cm)
yang mencakup sekitar 80% dari total wilayah.
Iklim
Kabupaten Bengkalis beriklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh sifat
iklim laut, dengan temperatur berkisar 26°C - 32°C. Musim hujan biasa terjadi
antara 809 - 4.078 mm/tahun. Khusus pada tahun 2004, curah hujan berkisar
antara 651 – 1.092,4 mm/tahun dengan jumlah hari hujan antara 25 – 63
hari/tahun. Periode kering (musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Pebruari sampai dengan Agustus.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Secara Administrasi Pemerintahan, Kabupaten Bengkalis terbagi dalam 11 kecamatan 24 kelurahan, 131 desa dengan luas wilayah 11.481,77 km2. Tercatat jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis 549.715 jiwa dengan sifatnya yang
heterogen, mayoritas penganut agama Islam, disamping Suku Melayu yang
merupakan mayoritas juga terdapat suku-suku lainnya antara lain: Suku Minang, Suku Jawa, Suku Bugis, Suku Batak dan Tionghoa
Penduduk Kabupaten Bengkalis bermata pencaharian disek tor-sektor
sebagai berikut :
- Pertanian : 58,78%
- Pertambangan : 4,17%
- Perdagangan : 9,01%
- Industri : 7,55%
- Bangunan : 4,03%
- Angkutan : 4,56%
- Jasa : 10,30%
- Listrik, Gas/air Minum : 0,16%
- Keuangan & Asuransi : 0,59%
- Lain-lain : 1,53%
Sumber Daya Kehutanan
Hutan di Kabupaten Bengkalis tersebar pada 11 wilayah kecamatan. Hutan Kabupaten Bengkalis menyimpan berbagai flora dan fauna. Hutan bakau banyak
ditemui disepanjang pesisir pantai dan hasil hutan lainnya berupa kayu log, rotan, damar dan sebagainya yang banyak digunakan untuk bahan baku industri.
Tabel 4 Luas hutan menurut jenis
Jenis Hutan Luas (Ha)
Konversi 295.289,87
Produksi Tetap 133.054,45
Produksi terbatas 189.877,01
Bakau 8.413,00
Lindung 122.929,00
PPA 17.535,35
Jumlah 767.098,65
Sedangkan hasil hutan Kabupaten Bengkalis menurut data terakhir tahun 2002 ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil hutan menurut jenis
Jenis Hutan Satuan Jumlah
Kayu Bulat (Logs) M3 146.551.230
Kayu Baku Serpih (BBS) M3 282.244.104
Kayu Bulat Kecil (KBK) M3 94.968.383
Kayu Bakau M3 6.122.370
Kayu Bakar M3 397.230
Arang Bakau M3 3.344.077
Nibung Batang 3.971.000
[image:40.612.133.509.276.400.2]BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lahan gambut yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Analisa data dilakukan di
Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan dari Bulan April 2005 sampai dengan Bulan Desember 2005.
Metode Penelitian
Pembangunan model spasial kerawanan kebakaran di lahan gambut secara
umum terdiri atas beberapa kegiatan diataranya: kegiatan pengumpulan data-data penunjang, verifikasi data hotspot yang dijadikan sebagai dasar pembangun model
kerawanan kebakaran, analisis data secara spasial, pembuatan peta kerawanan
kebakaran dan validasi terhadap model untuk mengetahui apakah model yang
dibangun telah mampu menjelaskan kondisi real di lapangan. Adapun bagan alir penelitian dalam rangka pembangunan model spasial kerawanan kebakaran di
A. Pembangunan Model Spasial
Ruang lingkup dalam pembangunan model dibagi menjadi dua
kelompok kajian yaitu: (1) aspek lingkungan fisik yang merupakan presentasi
faktor alam pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dan (2) aspek
[image:42.612.152.498.73.529.2]infrastruktur yang berhubungan dengan kemudahan interaksi manusia dengan lahan gambut
A.1. Aspek lingkungan fisik
Dalam penelitian ini, kajian terhadap aspek lingkungan fisik
dilakukan karena lingkungan fisik/alam merupakan salah satu unsur kejadian kebakaran yakni mempresentasikan jumlah dan kondisi bahan
bakar yang terdapat pada lokasi penelitian. Selain itu lingkungan fisik
juga diduga memiliki peran utama sebagai pemicu kebakaran pada
musim kemarau namun belum diketahui secara pasti faktor apa saja dari lingkungan fisik yang paling menentukan terjadinya kebakaran di lahan
gambut. Faktor-faktor dari lingkungan fisik yang dikaji adalah faktor
vegetasi (tingkat kehijauan vegetasi) yang dipresentasikan dalam indeks
vegetasi, landcover dan ketebalan bahan bakar (gambut).
A.2. Aspek infrastruktur
Aspek infrastruktur yang dikaji didasari atas pandangan bahwa
kebakaran lahan gambut yang terjadi disinyalir disebabkan oleh aktivitas
manusia sebagai sumber penyebab munculnya api terutama di luar musim
kemarau. Keberadaan Infrastruktur akan mempengaruhi tingkat aktivitas
manusia terhadap lahan gambut dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kajian ini dilakukan berdasarkan kajian secara spasial
meliputi variabel jarak pemukiman, jarak jalan dan jarak sungai.
B. Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data utama
dan penunjang.
Data utama yang akan dikumpulkan berupa data indeks vegetasi dari
citra Landsat TM tahun 2004 path/raw 126/59 dan 127/59 melalui proses
analisis menggunakan software ERDAS IMAGE V. 8.5, data hotspot Provinsi Riau dalam bentuk koordinat titik -titik hotspottahun 2002, 2003, 2004 dan
tahun 2005 (Januari sampai Mei) yang diperoleh dari JICA (Japan International Cooperation Agency), ASMC (ASEAN Specialised
Meteorological Center) dan hotspot lapangan yang diperoleh melalui pengukuran menggunakan GPS serta beberapa data dijital yaitu data dijital
rupa bumi, wilayah administrasi, satuan lahan dan tipe tutupan lahan dan
Sedangkan data penunjang berupa data-data sekunder yang dijadikan rujukan
untuk penentuan kelas masing-masing faktor yang diduga sebagai pemicu
terjadinya kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
C. Pengolahan dan Analisis Data
C.1 Pengolahan data hotspot (titik panas)
Data hotspot berupa data koordinat titik -titik hotspot. Data hotspot
selain diperoleh dari lapangan juga diperoleh dari dua lembaga yang
mengeluarkan data hotspot yaitu JICA dan ASMC. Pengolahan
dilakukan dengan memplotposisikan hotspot (tahun 2004) untuk
menunjukkan posisi dan sebaran hotspot pada lokasi penelitian sehingga
dapat diperoleh gambaran potensi kebakaran pada lingkup wilayah
penelitian. Hasil yang akan diperoleh adalah peta sebaran hotspot pada
wilayah Kabupaten Bengkalis. Sebagian hotspot tahun 2004 akan dipilih
secara acak untuk membangun model dan sebagian lagi digunakan untuk
keperluan validasi model. Data hotspot Bulan Januari sampai Mei 2005
dan hotspot lapangan digunakan untuk keperluan verifikasi keakuratan
informasi hotspot (indikasi kejadian kebakaran) yang dikeluarkan oleh
JICA dan ASMC yang digunakan untuk pembangunan model.
C.2 Pengolahan data NDVI
Data NDVI yang diperoleh merupakan hasil pengolahan citra
Landsat TM tahun 2004 liputan wilayah Kabupaten Bengkalis. Data
indeks vegetasi ini dicroping terlebih dahulu agar pengolahan data dapat
dilakukan secara spesifik sesuai wilayah penelitian. Pengklasifikasian
dengan metode NDVI ini dengan melakukan pembobotan untuk
menentukan potensi kebakaran hutan. Nilai indeks vegetasi yang tinggi
memberikan gambaran bahwa dalam areal penelitian memiliki tingkat
kehijauan vegetasi yang tinggi artinya terdapat vegetasi dengan tingkat
kerapatan dan kehijauan yang tinggi serta subur. Pada kondisi
sebaliknya, obyek yang diamati memiliki tingkat kehijauan vegetasi yang
rendah. Nilai NDVI ini juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk
lingkungannya yang berimplikasi terhadap mudah atau tidaknya vegetasi
terbakar.
C.3 Analisis data spasial
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data spasial meliputi proses
analisis data spasial, data tabular, verifikasi data hotspot, scorring,
pembobotan, overlay dan membuat model. Untuk penentuan skor dan bobot setiap faktor dilakukan dengan menggunakan metode CMA
(Complete Mapping Analysis). Semua data spasial di overlay untuk mendapatkan poligon-poligon yang akan dipergunakan untuk menilai
tingkat kerawanan kebakaran. Adapun tahapan analisis data spasial
ditunjukkan pada Gambar 5.
[image:45.612.182.502.312.687.2].
C.3.1 Verifikasi data hotspot
Data-data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei tahun 2005 dari
stasiun pengamat kebakaran JICA dan ASMC serta koordinat titik hotspot hasil survey dibuat dalam bentuk peta digital sebaran hotspot. Verifikasi
data hotspot dari dua stasiun dilakukan dengan menentukan sebaran titik
hotspot dari kedua stasiun pengamat terhadap titik hotspot lapangan.
Selanjutnya verifikasi difokuskan pada jarak terdekat dari masing-masing hotspot terpilih dari kedua stasiun terhadap hotspot lapangan.
Untuk mengetahui keakuratan data hotspot kedua stasiun dilakukan
dengan analisis statistik menggunakan fasilitas software minitab sehingga
dapat diperoleh sebaran data jarak dari setiap stasiun terhadap titik hotspot di lapangan. Hotspot yang memiliki rata-rata jarak yang lebih kecil dan
relatif homogen dipilih sebagai data hotspot pembangun model. Dalam
verifikasi ini digunakan asumsi bahwa semua titik koordinat kebakaran
[image:46.612.181.453.433.671.2]yang diperoleh di lapangan telah terekam oleh kedua stasiun pengamat (JICA dan ASMC). Tahapan verifikasi data hotspot digambarkan pada
Gambar 6.
C.3.2 Pengkelasan
Analisis awal data spasial yang dilakukan antara lain
pembuatan beberapa peta dijital melalui proses dijitasi. Peta-peta yang didijitasi terdiri dari peta jaringan jalan, jaringan sungai dan
pusat desa berdasarkan peta rupa bumi dan peta tata ruang wilayah
Kabupaten Bengkalis, sedangkan peta lingkungan fisik yang
digunakan dalam penelitian ini telah berbentuk peta dijital yang diperoleh dari beberapa sumber yaitu PPLH-IPB dan BAPLAN
yang dicroping sesuai dengan batas wilayah penelitian. Khusus
untuk NDVI, terlebih dahulu dilakukan pengolahan terhadap Citra
Landsat TM tahun 2004 yang telah dicroping sesuai dengan batas wilayah penelitian. Selanjutnya proses analisis spasial yang
dilakukan adalah pembuatan buffer pada jaringan jalan, sungai dan pusat desa yang merupakan kelompok faktor infrastruktur.
Proses analisis spasial selanjutnya adalah pembuatan kelas-kelas (subfaktor) pada semua faktor penduga kebakaran yang
digunakan, kemudian dilanjutkan dengan penentuan skor
masing-masing subfaktor dan bobot dari masing-masing faktor
menggunakan metode CMA.