PENGARUH PAKAN PADA RESISTENSI
ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) TERHADAP PENYAKIT
GRASSERIE
NURHAEDAH M
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul: Pengaruh Pakan
pada Resistensi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) terhadap Penyakit Grasserie adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
ABSTRACT
NURHAEDAH M. The Impacts of Feeding on Silkworm (Bombyx mory L)
Resistance to Grasserie Disease. Under direction of LAILAN SYAUFINA and KASNO.
The occurence of grasserie or NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) disease in every rearing periods of silkworm is one of the most important problem in silkworm development. NPV attack may cause decreasing cocoon production and its quality. This research was aimed to analyze feeding quality effects to silkworm resistance on NPV attack. This research was conducted in Soppeng Regency, South Sulawesi province using Completely Randomized Factorial Design. The three factors which were examined included virus concentrations with four levels of 1 x 107 ,1 x 104, 1 x 101 polyhedron/ml and control (without NPV), fertilizer types consist of organic (NASA), inorganic (NPK) and control (without fertilizer) and type of silkworm hybrids consist of C301 and BS 09. All factor were applied with three replications. The result showed that feeding application from fertilized mulberry plant proved to increase the larvae resistance on NPV attack. Fertilizer treatment indirectly increased cocooning larvae percentage and increased ratio of cocoon shell. Otherwise, fertilizer indirectly might also increased feed quality and cocoon production. The hybrids factor did not show a significant difference except the mortality of young silkworm percentage and the higher cocoon weight was reached by BS 09 hybrid.
RINGKASAN
NURHAEDAH M. Pengaruh pakan pada resistensi ulat sutera (Bombyx mori L.)
terhadap penyakit Grasserie. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan KASNO.
Munculnya serangan penyakit Grasserie atau NPV (Nuclear Polyhedrosis
Virus) pada hampir setiap periode pemeliharaan ulat sutera merupakan salah satu permasalahan penting dalam pengusahaan ulat sutera. Serangan penyakit Grasserie dapat menyebabkan kegagalan total pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon. Untuk itu perlu dikaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan ulat sutera untuk melawan serangan infeksi virus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas pakan pada resistensi ulat sutera terhadap penyakit NPV dan pengaruh pemupukan terhadap kandungan nutrisi pakan.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan dengan beberapa tahapan yaitu: Penyiapan tanaman murbei meliputi pembuatan plot yang berukuran 10 x 5 meter persegi sebanyak 9 buah dan masing-masing plot terdiri dari 100 pohon tanaman murbei. Selanjutnya dilakukan pemangkasan dan pemupukan. Plot disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan pupuk dan satu kontrol masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan. Penyiapan isolat meliputi pengumpulan ulat sakit yang selanjutnya diidentifikasi di laboratorium sebagai bahan dalam pembuatan isolat penyakit grasserie. Pemeliharaan ulat sutera dilakukan dari penetasan sampai pengokonan, dengan menggunakan Rancangan Faktorial RAL(Rancangan Acak Lengkap) dengan tiga faktor yang diuji yaitu konsentrasi virus, jenis pupuk dan hibrid bibit ulat sutera. Konsentrasi virus terdiri dari empat taraf yakni 1x 107 polyhedron/ml, 1x 104
polyhedron/ml, 1x 101 polyhedron/ml dan tanpa virus, jenis pupuk terdiri dari
pupuk organik, anorganik dan tanpa pupuk. Sedangkan hibrid ulat terdiri dari C 301 dan BS 09. Masing-masing perlakuan terdiri dari 50 ekor ulat sutera yang terbagi dalam tiga ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas larva dan
kualitas kokon. Keragaman data dianalisis dengan uji Duncan Multiple Range
Test (DMRT).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi virus tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva artinya sedikit atau banyak jumlah virus akan berpotensi menimbulkan infeksi dan menjadi ancaman dalam budidaya ulat sutera, sehingga diperlukan sanitasi yang baik, Sedangkan penggunaan pupuk baik organik maupun anorganik mempengaruhi mortalitas larva baik instar kecil maupun instar besar. Jenis ulat C301 menunjukkan daya tahan lebih tinggi pada larva instar kecil, sedang jenis BS 09 menunjukkan daya tahan lebih tinggi pada larva instar besar.
Aplikasi pupuk berpengaruh terhadap persentase larva mengokon, sedangkan konsentrasi virus dan hybrid ulat sutera tidak berpengaruh nyata terhadap persentase larva mengokon. Jenis pupuk organik menunjukkan persentase tertinggi yaitu 88% disusul pupuk organik 85,83% dan kontrol 82,41%.
Semua variabel pengamatan tidak menunjukkan adanya interaksi antar kombinasi perlakuan pada taraf 0,05 tetapi terdapat kecenderungan kombinasi V0P2B2(tanpa virus, pupuk organik, hybrid C301) menunjukkan hasil yang baik dengan mortalitas larva instar besar terendah dan persentase larva mengokon tertinggi, sedangkan kombinasi V0P2B1(tanpa virus, pupuk organik, hybrid BS 09) menunjukkan ratio kulit kokon tertinggi.
Secara umum pemupukan dapat meningkatkan kandungan nutrisi tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera. Hasil analisis kandungan nutrisi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf uji 0,05 pada kandungan protein, posfor dan kalium antara penggunaan pupuk organik, anorganik dan kontrol. Sedangkan rata-rata temperatur saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,37 oC – 29,75
o
C, dengan kelembaban rata-rata adalah berkisar antara 64 – 77%.
Hasil analisa usaha yang dilakukan, setelah dikurangi biaya produksi untuk pembelian pupuk, bibit ulat sutera, kaporit dan kapur tohor, aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan keuntungan kurang lebih sebesar Rp 583.065/ha/tiga bulan dibanding kontrol. Aplikasi pupuk anorganik dapat meningkatkan keuntungan kurang lebih sebesar Rp 260. 185/ha/tiga bulan dibanding kontrol.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGARUH PAKAN PADA RESISTENSI ULAT SUTERA
(Bombyx mori L.)TERHADAP PENYAKIT GRASSERIE
NURHAEDAH M
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengaruh Pakan pada Resistensi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) terhadap Penyakit Grasserie
Nama Mahasiswa : Nurhaedah M.
NIM : E451070114
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Lailan Syaufina, M.Sc. Ir. Kasno, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Silvikultur Tropika
Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
yang berjudul Pengaruh Pakan pada Resistensi Ulat Sutera (Bombyx mori L.)
terhadap Penyakit Grasserie.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada komisi pembimbing, Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai Ketua
Komisi Pembimbing, Ir. Kasno M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi serta bantuan sarana dan prasarana kepada penulis, mulai dari penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Badan Litbang Kehutanan dan Balai Penelitian Kehutanan
Makassar sebagai pemberi beasiswa. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan yang telah memberikan bantuan teknis dan prasarana dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr.Mien Kaomini dan Dra.Lincah Andadari yang telah banyak
memberikan masukan kepada penulis mulai dari penelitian sampai penyusunan tesis. Terima kasih kepada teman-teman pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan teman-teman pascasarjana angkatan 2007 serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu diucapkan terima kasih atas kerjasama dan bantuannya.
Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada keluarga tercinta Ayahanda H.Abdul Muin dan Ibunda Hj.Masirah, Suami Wahyudi Isnan, S.Hut, ananda tercinta Muh.Maulana Wahyudi dan Siti Namira Wahyudi, adik Sattar, Haidir (alm), dan Mekah serta rekan-rekan yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis dalam
penyelesaian studi. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik dengan balasan yang tak terhingga. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1969 di Takalala, Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan dari ayah H.Abd. Muin dan ibu Hj. Masirah.
Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.
Tahun 1988 penulis lulus dari SMAN I Watan Soppeng. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke Universitas Hasanuddin pada Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan dan lulus tahun 1994.
Pada tahun ajaran 2007/2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Silvikultur Program
Sekolah Riset (Research School) dengan sumber dana dari Departemen
Kehutanan.
DAFTAR ISI
Mekanisme Serangan NPV pada Ulat Sutera ... 7
Inang ... 8
Gejala ... 8
Cara Penularan NPV pada Ulat Sutera ... 8
Pengendalian Penyakit Grasserie ... 9
Persentase Larva Mengokon ... 24
Kualitas Kokon ... 26
Kokon Abnormal ... 26
Bobot Kokon ... 28
Ratio Kulit kokon ... 30
Kandungan Nutrisi Daun ... 31
Temperatur dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan ... 32
Analisa Biaya ... 33
SIMPULAN DAN SARAN ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 36
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Mortalitas larva dengan perlakuan konsentrasi virus, jenis pupuk
dan hibrid ulat sutera ... 23 2. Kualitas kokon dengan perlakuan konsentrasi virus, jenis pupuk
dan hibrid ulat sutera ... 27 3. Kandungan air dan nutrisi pakan setelah pemupukan ... 31
4. Rata-rata suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan ... 33
5 Analisa usaha berdasarkan produktivitas tanaman murbei dan ulat
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Keadaan pertanaman murbei sebelum dan setelah pemupukan ... 13
2. Rangkaian proses pembuatan isolat NPV ... 14
3. Proses pemeliharaan ulat sutera sebelum dan setelah infeksi ... 16
4. Proses inokulasi NPV melalui pakan ... 18
5. Larva instar kecil yang mati terinfeksi virus ... 22
6. Larva instar besar yang sehat dan larva yang mati terinfeksi NPV .... 24
7. Persentase larva mengokon dengan perlakuan virus, jenis pupuk dan hibrid ulat ... 25
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Sidik ragam mortalitas larva instar kecil ... 39
2. Sidik ragam mortalitas larva instar besar ... 39
3. Sidik ragam persentase larva mengokon ... 39
4. Sidik ragam persentase kokon abnormal ... 40
5. Sidik ragam bobot kokon ... 40
6. Sidik ragam ratio kulit kokon ... 40
7. Interaksi antara konsentrasi virus, jenis pupuk dan hibrid bibit ulat pada ketahanan ulat sutera terhadap penyakit NPV ... 41
8. Temperatur dan kelembaban harian di ruang pemeliharaan ... 42
9. Denah plot penelitian ... 43
10. Analisa biaya berdasarkan produktivitas tanaman murbei dan ulat sutera per ha/tiga bulan ... 44
11. Analisa biaya per ha/tiga bulan tanaman murbei dengan aplikasi pupuk organik ... 45
12. Analisa biaya per ha/tiga bulan tanaman murbei dengan aplikasi pupuk anorganik ... 46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu permasalahan dalam budidaya ulat sutera adalah munculnya
serangan penyakit pada setiap periode pemeliharaan, terutama penyakit yang
disebabkan oleh virus yaitu grasserie atau Nuclear Polyhedrosis Virus yang
gejalanya biasanya nampak pada instar V yang merupakan periode akhir dari pemeliharaan.
Berbagai metode telah digunakan untuk mencegah masuknya patogen dalam
pemeliharaan. Nataraju et al. (2002) menegaskan perlunya teknis praktis yang
konsisten dalam pemeliharaan diantaranya penggunaan desinfektan untuk sterilisasi ruang dan peralatan pemeliharaan, serta pemeliharaan yang sehat meliputi pekerja dan sterilisasi tubuh larva dengan menggunakan bahan
desinfektan, akan tetapi penyakit virus dapat terbawa melalui pakan sehingga sulit dideteksi dan serangan dapat muncul setiap saat.
Menurut Anwar (1985), rata-rata intensitas serangan NPV pada ulat sutera di Kabupaten Soppeng adalah 42,5-73,9%. Selanjutnya dijelaskan bahwa serangan penyakit grasserie pada ulat sutera dapat menyebabkan kegagalan total
pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan ulat sutera untuk melawan serangan infeksi virus. Kaomini (2002) melaporkan bahwa pemberian pakan yang berkualitas dapat menurunkan mortalitas larva sebesar 20%.
Kualitas daun murbei sebagai pakan ulat dapat ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain: jenis varietas, lingkungan dan teknik budidaya tanaman. Salah satu jenis murbei yang direkomendasikan di Sulawesi Selatan adalah morus
Indica dengan komposisi protein 15,93%, air 69,71%, pospor 0,467% dan kalsium 1,92% (Syarif 2008). Sedangkan jenis pupuk yang sering digunakan pada tanaman murbei adalah: pupuk organik (pupuk kandang, kompos) dan anorganik
(urea, TSP dan KCL).
2
juga dilaporkan bahwa penggunaan pupuk organik M-Dext dosis 12 liter/ha, dan NASA campuran (2,5 kg POP + 5 liter POC + 0,5 liter Hormonik/ha) dapat memberikan peningkatan terhadap kualitas kokon ulat sutera.
Sampai saat ini belum ada data yang memadai tentang tingkat resistensi ulat sutera terhadap penyakit grasserie atau NPV dengan pemberian pakan yang berkualitas. Dengan demikian perlu dilakukan kajian pengaruh pakan pada resistensi ulat sutera terhadap penyakit grasserie, sebagai salah satu teknik pencegahan terhadap penyakit ulat sutera.
Kajian ini penting dilakukan karena umumnya serangan penyakit pada ulat sutera berakhir dengan kematian kalaupun ada yang mampu bertahan hidup akan mengalami gangguan fisiologis seperti bentuk kokon tidak normal, pupa mati dalam kokon bahkan gagal dalam pembentukan kokon yang secara langsung mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi kokon.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menganalisis:
1. Pengaruh kualitas pakan pada resistensi ulat sutera terhadap penyakit
grasserie.
2. Pengaruh pemupukan pada kandungan air dan nutrisi tanaman murbei
sebagai pakan.
Hipotesis
1. Konsentrasi virus berpengaruh pada ketahanan ulat sutera terhadap penyakit
grasserie
2. Jenis pupuk berpengaruh pada kualitas pakan dan ketahanan ulat sutera
terhadap penyakit grasserie.
3. Hibrid ulat sutera berpengaruh pada ketahanan terhadap penyakit grasserie.
3
Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam menambah informasi bagi pihak terkait dalam menyusun strategi pengendalian penyakit pada ulat sutera .
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi:
1. Penyiapan tanaman murbei (pemangkasan, pemupukan, analisa kandungan
daun.
2. Penyiapan isolat NPV (identifikasi, pemurnian, pembuatan isolat)
3. Pemeliharaan ulat.
4. Uji resistensi ulat sutera terhadap penyakit NPV (mortalitas, efek terhadap
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Persuteraan Alam
Masyarakat yang pertama kali melaksanakan kegiatan budidaya ulat sutera
adalah masyarakat negeri Cina. Khususnya pada Zaman Dinasti Han (2500 SM), sudah dikenal adanya industri pemintalan benang sutera dan tekstil sutera alam. Sehingga dalam kurung waktu tersebut juga persuteraan di Cina sudah terkenal karena harga tekstil sutera sudah cukup mahal, maka banyak warga masyarakat di Cina terdorong untuk mengusahakan kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera.
Keberhasilan persuteraan di Cina kemudian pula di negara-negara Asia, diantaranya adalah Indonesia (Atmosoedarjo et al. 2000)
Usaha persuteraan di Indonesia diperkirakan dimulai ketika ada hubungan dagang antara Cina dan India dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Adanya hubungan dagang antara Indonesia dan Cina serta India berdampak positif
terhadap pengembangan kegiatan agrobisnis persuteraan alam Indonesia. Industri pertenunan sutera alam yang pertama kali di Indonesia terdapat di Bandung pada tahun 1961, yang kemudian disusul di Yogyakarta pada tahun 1966. Selanjutnya persuteraan alam berkembang pula di Sulawesi Selatan.
Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Biologi dan fisiologi
Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pradewasa
berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva, pupa dan dewasa (imago). Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting). Lamanya periode hidup mulai saat menetaskan telur sampai masa membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan
lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000).
Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang biasa dipelihara
5
murbei (Morus spp.) dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei
(Sunanto 1997).
Sistem pencernaan makanan pada B.mori sangat sederhana, saluran
makanan menyerupai tabung yang mengecil pada bagian depan dan belakang.
Bagian saluran makanan adalah bagian depan (stomodeum) berfungsi
menghancurkan makanan yang dicampur dengan air ludah. Bagian tengah (mesenteron) berfungsi dalam sekresi cairan pencernaan (enzim) dan penyerapan
nutrisi. Bagian belakang (proktodeum) berfungsi menyerap air dan membentuk
bahan makanan yang tidak dicerna menjadi padat, selanjutnya akan dikeluarkan melalui anus (Krishnaswami et al. 1973)
Kokon dan serat sutera
Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera
dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungnya proses metamorfosis
(Rukaesih et al. 1991). Bagian luar kokon berupa serat sutera yang membungkus
kokon secara rapi dengan warna dan kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan pakannya (Lee 2000 ; Sunanto 1997)
Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera.
Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland) dengan bagian-bagian seperti : a). Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; b). Bagian tengah, bagian ini
sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama Serisin yang berfungsi
sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25% dari bobot serat dan bersifat mudah larut dalam air panas; c). Bagian belakang kelenjar, sebagai
penghasil serat sutera yang disebut Fibroin merupakan bagian utama serat
filament dengan proporsi 75% dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas (Tazima 1978).
Resistensi ulat sutera
6
bahwa resistensi ulat sutera terhadap penyakit virus dikontrol oleh poligen dan modifikasi faktor luar seperti jalannya infeksi, temperatur, kimia, dan pakan.
Kualitas daun murbei secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Makronutrients dan mikronutrients adalah faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan ketahanan ulat sutera terhadap penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung (Horie 1999, diacu dalam Chandrakala et al. 2007).
Penyakit Grasserie atau NPV pada Ulat Sutera Deskripsi
NPV memiliki diameter yang berukuran 3-5 μm dengan bentuk polyhedron
umumnya hexagonal, dan jarang tetragonal. NPV merupakan inklusi yang terbentuk dari matriks protein, berbentuk seperti kristal tidak teratur, bersegi
banyak dan disebut Polyhedral Inclusion Body (PIB). Ukuran PIB sangat
bervariasi antara NPV dari suatu daerah dengan daerah lain. Di dalam PIB
terdapat virus yang sebenarnya, yang disebut virion. Virion berbentuk tongkat
lurus dengan panjang 336 μm, diameter 62 μm dan kedua ujungnya membulat
(Steinhaus 1963). Virion tidak dapat dilihat melalui mikroskop biasa, tetapi harus dengan mikroskop elektron. PIB dapat dideteksi dengan mikroskop biasa. Di dalam standardisasi, PIB digunakan sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV. Menghitung PIB cukup dengan menggunakan mikroskop biasa
dengan mata telanjang, butiran butiran polyhedron atau PIB akan dapat dilihat
dengan jelas karena memantulkan cahaya, sehingga mudah dibedakan dengan bakteri atau kotoran. Untuk menghitung PIB digunakan suatu alat khusus yang disebut haemocytometer (Indrayani 1990).
Penyakit NPV disebabkan oleh Borrelina bombycis (Smith and Lauffer,
1953). Pada pengamatan mikroskop, NPV terikat dengan adanya bentuk
polyhedron. Di dalam polyhedra tersebut terdapat virus B. bombycis, yang
7
Mekanisme serangan NPV pada tubuh ulat sutera
Aktivitas NPV berlangsung di dalam perut, sehingga untuk menimbulkan kematian larva harus menelan NPV bersama makanannya. Bagian tubuh larva
yang paling peka dan menjadi sasaran utama infeksi serta multiplikasi virion dan PIB adalah usus, sel darah, trakhea, hipodermis dan badan lemak (Ignoffo dan Cough 1981). Bagian tubuh yang lain, seperti otot, saraf, usus depan dan tengah juga sering terinfeksi, tetapi pada intensitas yang lebih rendah.
Segera setelah tertelan, PIB akan terurai oleh kondisi dan kandungan
bikarbonat perut larva. Virion yang terlepas dari PIB mula-mula menembus perithropik, mikrovili, kemudian memisahkan sel-sel kolumnar dan goblet sehingga epitel robek, dan akhirnya merusak seluruh jaringan usus. Setelah virion
memasuki haemolimf, sasaran selanjutnya adalah nukleus, virion dan PIB
berkembang sampai seluruh tubuh larva penuh NPV.
Kematian larva karena NPV umumnya terjadi pada periode 2-9 hari setelah menelan NPV (Moscardi 1988). Tetapi satu hari setelah larva menelan NPV, aktivitas larva sudah mulai berkurang. Hal ini tergantung instar larva dan macam serta banyaknya NPV yang tertelan larva. Makin besar instar larva biasanya masa inkubasi NPV makin lama. Pada instar lanjut kemungkinan kematian tidak terjadi
pada stadia larva, karena masa inkubasi lebih lama dibanding sisa masa larva, sehingga larva sudah menjadi pupa sebelum mati. Dalam hal ini kematian atau abnormalitas dapat terjadi setelah serangga menjadi pupa atau bahkan imago.
Suhu mempunyai peranan penting dalam perkembangan penyakit NPV.
Penyimpanan NPV dalam bentuk bangkai larva maupun larutan, biasanya mempunyai masa simpan antara 1-6 bulan, selebihnya dapat mengalami beberapa gangguan seperti: terkontaminasi oleh patogen lain, misalnya cendawan dan bakteri yang dapat menurunkan efektivitas secara perlahan-lahan dan mengurangi jumlah polyhedral. Jika disimpan dalam bentuk powder, infektivitas dari NPV
dapat dipertahankan selama 20 tahun pada suhu 4 oC. Jika disimpan pada suhu
8
Inang
NPV menginfeksi lebih dari 400 species serangga. Inang yang rentan ditemukan pada ordo Lepidoptera (Tanada dan Kaya 1993) (34 famili). Juga
menyerang Hymenoptera, Diptera, Coleoptera dan Neuroptera.
Gejala
Larva-larva Lepidoptera yang terinfeksi NPV biasanya belum memperlihatkan gejala luar selama 2-5 hari setelah terinfeksi. Gejala yang jelas nampak dengan adanya perubahan warna tubuh menjadi kekuning-kuningan.
Selanjutnya larva menjadi kurang aktif dan kehilangan selera makan. Umumnya kematian larva terjadi antara 12-13 hari, tapi pada strain yang virulen kematian dapat terjadi hanya 2-4 hari setelah infeksi (Tanada dan Kaya 1993).
Cara penularan (infeksi) NPV pada ulat sutera
Infeksi NPV pada serangga terjadi akibat virus tertelan melalui pencernaan.
Pemindahan umumnya dapat terjadi secara transovarial, matinya serangga bervariasi tergantung dari beberapa faktor, utamanya umur larva, suhu, virulensi dari virus, konsentrasi virus dan nutrisi inang (Tanada dan Kaya 1993).
Cara penularan NPV:
- Infeksi mulut, yaitu patogen virus masuk melalui mulut ulat sutera. Hal
tersebut terjadi dengan jalan pemberian pakan pada ulat sutera dengan daun murbei yang mengandung virus.
- Infeksi melalui kulit, yaitu infeksi terjadi karena virus masuk melalui luka pada badan larva.
- Infeksi melalui stigma atau spirakel
Infeksi melalui mulut dan kulit digunakan secara rutin untuk percobaan infeksi, sedangkan infeksi melalui stigma belum diketahui (Steinhaus, 1963). Apabila polyhedron masuk melalui mulut atau makanan dan dengan cairan usus
alkalis (pH = 10,5) akan mengakibatkan polyhedron pecah, selanjutnya virus B.
9
Pengendalian penyakit grasserie
Penyakit NPV ditemukan hampir pada setiap periode pemeliharaan. Timbulnya penyakit tersebut adalah akibat aktifitas pemeliharaan yang
berlangsung terus menerus tanpa melaksanakan desinfeksi ruangan. Debu, kotoran dan peralatan dalam ruangan pemeliharaan merupakan sumber penyakit. Oleh karena itu sebelum dan sesudah pemeliharaan ulat sutera hendaknya dilakukan desinfeksi ruangan dan peralatan yang digunakan (Arisanti 2008). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) cara pencegahan dan pengendalian penyakit grasserie meliputi:
1. Desinfeksi ruangan dan alat-alat pemeliharaan dengan larutan formalin dan
kaporit, sebelum pemeliharaan ulat.
2. Larva yang terkena penyakit dan mati dicelup ke dalam larutan kaporit 200
gram : 1000 liter air.
3. Larva yang sakit dipisahkan dengan larva yang sehat
4. Melaksanakan teknik pemeliharaan yang baik, memisahkan larva yang
terlambat ganti kulit dan mengusahakan ventilasi yang baik.
5. Pemberian pakan daun murbei berkualitas baik, sesuai dengan perkembangan
larva, menghindarkan pemberian pakan daun yang menguning dan daun yang
berasal dari tempat terlindung.
6. Menjaga kondisi tempat pemeliharaan tetap dalam keadaan optimum,
pengaturan temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan pertumbuhan larva, pengaturan temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan
pertumbuhan larva, pengaturan aerasi yang baik, terutama pada larva instar IV dan V, temperatur hendaknya berkisar antara 24-26 0C.
7. Menghindari keadaan yang sangat ekstrim, temperatur yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah, dan keadaan yang menyebabkan larva menjadi stress.
Menurut (Watanabe et al. 1990, diacu dalam Chandrakala et al. 2007)
10
Pupuk dan Pemupukan Tanaman Murbei
Pupuk adalah suatu bahan organik atau anorganik dari alam atau buatan yang diberikan pada tanaman secara langsung atau tidak langsung untuk
menambah unsur-unsur hara esensial tertentu bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan pemupukan adalah penambahan bahan tersebut pada tanah agar tanah menjadi lebih subur. Oleh karena itu pemupukan pada umumnya diartikan sebagai penanaman zat hara kedalam tanah (Hardjowigeno 1985). Bagi tanaman, pupuk digunakan untuk hidup, tumbuh dan berkembang sehingga pemberian pupuk
harus tepat karena fungsi pupuk tidak saja mengendalikan tetapi juga mengimbangi, mendukung dan mengisi bersama unsur-unsur lain dalam tanah (Sarief 1985).
Unsur hara
Unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat dibedakan menjadi (1) unsur
hara makro primer, yaitu: unsur hara nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K): (2) unsur hara makro sekunder, yaitu: unsur hara kalsium (Ca), magnesium (Mg), belerang (S); (3) unsur hara mikro, yaitu: unsur hara besi (Fe), tembaga(Cu), seng (Zn), mangan (Mn) dan lain-lain. Tidak dipenuhi salah satu unsur hara utama akan mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas produksi pertanian (Purnama
2002). Beberapa unsur hara, yaitu:
1. Nitrogen
Merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian
vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar. Menurut Sutejo (1994), peranan Nitrogen yaitu:
1. Meningkatkan pertumbuhan tanaman
2. Menyehatkan pertumbuhan daun, daun tanaman lebar dengan warna yang
lebih hijau
3. Meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman
4. Meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun-daunan
2. Posfor (P)
11
1. Mempercepat pertumbuhan akar semai
2. Mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi
dewasa pada umumnya
3. Mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah.
4. Meningkatkan produksi biji-bijian
Tanaman yang kekurangan fosfor akan terhambat pertumbuhannya terutama pada sistem perakarannnya, batang dan daun (Sarief 1985). Gejala yang nampak yaitu tanaman menjadi kerdil, pembelahan sel terganggu dan daun tanaman
menjadi ungu atau coklat (Hardjowigeno 1995).
3. Kalium (K)
Kalium dapat dikatakan bukan elemen yang langsung berperan pada pembentukan bahan organik. Hardjowigeno (1995) menyebutkan peranan kalium yaitu:
1. Berperan dalam pembentukan protein dan karbohidrat
2. Mengeraskan jerami dan bagian kayu tanaman
3. Meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit
4. Meningkatkan kualitas buah dan biji
Tanaman murbei merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera, untuk itu
sangat penting diperhatikan pemeliharaannya dalam mendukung kegiatan budidaya ulat sutera, salah satunya adalah dengan pemupukan.
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kegiatan pemupukan sangat perlu
dilakukan untuk meningkatkan produksi daun murbei. Jenis pupuk yang dapat
digunakan yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Pemupukan dilakukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan. Pemupukan dengan jarak tanam 1,5m x 0,6 m diperlukan 300 kg N, 100 kg P dan 130 kg K per ha/tahun dengan waktu pemberian setelah pangkas awal atau pada pertengahan musim hujan.
Ada tiga cara pemupukan yaitu dengan cara:
1. Manugal
12
2. Lingkaran
Tanah dicangkul sekitar tanaman dengan diameter 30 cm pupuk ditabur kemudian ditutup tanah.
3. Jalur
Tanah dicangkul sepanjang baris tanaman, jarak 30 cm dari tanaman pupuk ditaburkan kemudian ditimbun kembali, cara ini baik untuk tanaman tua.
Sunanto (1997) menyatakan bahwa pemupukan pada prinsipnya bertujuan mempertahankan kesuburan tanah. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2009 meliputi:
Pembuatan isolat di Laboratorium penyakit Balai Persuteraan Alam. Analisa daun di Laboratorium Pengkajian Teknologi Pertanian Makassar, serta perlakuan dan pengamatan di Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan.
Penyiapan Tanaman Murbei
Penyiapan tanaman murbei meliputi: penyiangan tanaman kemudian dilanjutkan dengan pembuatan plot ukuran 10 x 5 meter persegi sebanyak 9 plot. Setelah terbentuk plot kemudian dilakukan pemangkasan tanaman murbei yang berumur kurang lebih dua tahun dengan menggunakan gunting stek, tinggi pangkasan sekitar 50 cm dari permukaan tanah.
Dua minggu setelah dipangkas diadakan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik (NPK) dengan dosis 200 kg : 100 kg : 100 kg/ha yang diaplikasikan dengan membenamkan di dalam tanah sekitar pohon murbei. Pupuk organik NASA (2,5 kg Pupuk Organik Padat : 5 liter Pupuk Organik Cair dan 0,5 liter Hormonik/ha) diaplikasikan dengan menyemprotkan ke tanah dan daun
bagian bawah tanaman murbei. Sekitar dua bulan setelah pemupukan daun murbei sudah dapat dipanen untuk dijadikan sebagai pakan ulat.
a b c
14
Pada pertanaman murbei digunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 2 plot perlakuan dan 1 plot kontrol/tanpa pupuk dengan 3 ulangan sehingga terdapat 9 plot dengan jarak tanam 1 x 0,5 m dan masing-masing plot terdiri dari
100 pohon tanaman murbei.
Penyiapan Isolat Virus
Diawali dengan pengumpulan ulat sakit di tempat pemeliharaan ulat. Pengumpulan dilakukan dengan mendatangi petani yang sedang melakukan
pemeliharaan ulat. Ulat sutera yang menunjukkan serangan penyakit NPV dikumpulkan dalam kantong sampel untuk diidentifikasi di laboratorium.
Identifikasi penyakit NPV di laboratorium dilakukan dengan menggunakan peralatan yang telah disterilkan. Selanjutnya diambil cairan dari tubuh ulat yang menunjukkan serangan NPV lalu diamati melalui mikroskop.
Bagian tungkai larva yang menunjukkan penyakit NPV dipotong dan diambil cairannya yang berwarna putih sebanyak 1.2 ml. Cairan tsb ditambahkan dengan 1.8 ml air destilasi lalu diaduk. Selanjutnya larutan tersebut diaduk selama beberapa menit, dan dimasukkan ke dalam alat centrifuge. Centrifuge diulangi beberapa kali dengan kecepatan 100 rpm x 20 menit sampai terbentuk endapan.
a b c
15
Pemeliharaan Ulat Sutera Desinfeksi ruangan dan peralatan
Ruangan pemeliharaan ulat beserta peralatan yang akan digunakan untuk
pemeliharan ulat sutera terlebih dahulu disemprot dengan menggunakan larutan kaporit untuk menghindari adanya kontaminasi dengan penyakit yang ada pada periode pemeliharaan ulat sebelumnya. Peralatan yang kecil dan digunakan berulang-ulang seperti pinset disterilkan dengan menggunakan alkohol 70% .
Sterilisasi pekerja
Menghindari adanya kontaminasi penyakit dari luar ruang pemeliharaan maka sebelum memulai aktifitas tangan dicuci pada larutan kaporit yang ditempatkan dalam baskom, serta menghindari penggunaan pakaian dan sandal yang telah digunakan di kebun murbei.
Penetasan dan pemeliharaan
Bibit ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis BS 09 dan C 301 dengan ciri utama telur berwarna hijau, larva bintik dan kokon berbentuk lonjong. Telur yang dihasilkan ngengat direndam dalam larutan formalin 2% selama 5 menit lalu dikeringanginkan. Telur yang sudah kering direndam selama 5 menit ke dalam larutan HCL dengan berat jenis (BJ) 1.076 pada temperatur
46oC, kemudian dicuci di bawah air mengalir selama 1 jam untuk menghilangkan
sisa asam yang menempel pada kulit telur, dikeringanginkan dan disimpan sampai telur menetas selama ± 10 hari. Telur yang siap menetas ditempatkan pada talang plastik, satu atau dua hari sebelum menetas telur akan kelihatan berwarna bintik
hitam. Setelah telur menetas ditunggu sampai penetasannya seragam lalu
dilakukan hakitate yaitu pemberian pakan pertama berupa daun murbei yang
dirajang dengan ukuran (1 x 1) cm2.
Larva instar kecil (Instar I-III) diberi pakan daun pucuk (posisi 2-8) yang telah dirajang dengan frekwensi pemberian pakan 4 kali sehari yaitu pagi (7.30),
siang (11.30), sore (15.30) dan malam (19.30). Larva instar besar (instar IV dan instar V) diberi pakan daun yang lebih tua (posisi 8 ke bawah) dan utuh/tidak
dirajang. Jumlah pakan yang diberikan tidak terbatas (ad libitum) (Dermawati
16
a b
Gambar 3 Proses pemeliharaan ulat sutera (a) ulat sutera sebelum diinfeksi NPVdan ulat sutera setelah infeksi NPV(b).
Saat larva mengalami pergantian kulit, dilakukan desinfeksi tubuh ulat dengan menggunakan campuran kapur tohor dan kaporit dengan perbandingan (95:5) untuk larva instar kecil dan (90:10) untuk larva instar besar. Desinfektan ditaburkan merata pada bagian tubuh ulat menggunakan ayakan saat makan
pertama pada setiap pergantian instar, sedangkan pada saat larva tidur/melakukan proses pergantian kulit, tubuh larva ditaburi dengan kapur tohor.
Pengokonan dan panen kokon
Pada akhir instar V menjelang saat pengokonan larva ulat sutera terlihat transparan dan kurang nafsu makan, larva yang sudah memperlihatkan tanda siap
mengokon dipindahkan ke alat pengokonan yang telah diberi label sesuai perlakuan dan ditempatkan di atas sasag. Panen kokon dilakukan setelah kokon mengeras yaitu sekitar satu minggu dari awal waktu pengokonan.
Analisa Daun Murbei
17
Uji Resistensi
Konsentrasi virus
Penentuan konsentrasi virus dilakukan dengan mengencerkan endapan virus
yang telah diputar menggunakan centrifuge. Penentuan konsentrasi virus 1 x 107
polyhedron/ml dilakukan dengan mengambil 1 ml isolat murni yang ditambahkan ke dalam 10 ml aquades. Perhitungan jumlah polyhedron dilakukan dengan menggunakan haemocytometer. Tahap pertama dilakukan dengan menyiapkan
mikroskop dengan pembesaran optimum 600 kali, selanjutnya memasang haemocytometer dengan sempurna, kemudian dimasukkan larutan NPV yang telah dikocok sebelumnya dengan memakai pipet transfer. Setelah larutan NPV menutup seluruh permukaan blok pencatat haemocytometer, jumlah PIB dihitung dengan memasukkan hasil perhitungan ke dalam rumus (Indrayani 1990)
Konsentrasi PIB/ml = T x 106 N x 0,25
Keterangan:
T : Rata-rata jumlah polyhedron yang diamati di dalam 5 kotak
N : Jumlah kotak yang diamati.
Aplikasi pada ulat sutera (B.mori)
Sebelum aplikasi virus, ulat sutera yang telah berumur kurang lebih 10 hari atau telah memasuki instar III diseleksi dalam hal keseragaman pertumbuhan dan
kesehatan untuk dijadikan ulat sampel. Masing-masing sampel terdiri dari 50 ekor ulat sutera.
Aplikasi virus pada ulat sutera dilakukan melalui pakan dengan menggunakan daun murbei yang diseleksi kebersihan dan kesegaran serta bebas penyakit, daun ditempatkan dalam talang plastik dan dipotong dengan ukuran 3x4
18
a b c d
Gambar 4 Proses inokulasi NPV melalui pakan (a) inokulasi isolat (b) meratakan isolat (c) pengeringan isolat dan pemberian pakan yang telah diinokulasi NPV ke ulat sutera (d).
Pemberian pakan standar dilakukan setelah kurang lebih 6 jam perlakuan atau setelah daun perlakuan habis. Selanjutnya diberi perlakuan lain yang standar dalam pemeliharaan ulat sutera.
Kategori resistensi atau daya tahan (Sivaprasad et al. 2003) yaitu:
- Tinggi: setelah diinokulasi larva membentuk kokon, pupa dan
ngengat/kupu-kupu.
- Sedang: Setelah diinokulasi larva membentuk kokon dan pupa tapi tidak
berubah menjadi ngengat/kupu-kupu.
- Rendah: Setelah diinokulasi larva hanya bertahan pada masa larva setelah
itu mati.
Analisis kokon
Kokon hasil penelitian dipisah sesuai perlakuan, selanjutnya diflossing
untuk menghilangkan serabut-serabut kasar dan kotoran yang menempel. Kokon selanjutnya dihitung dan diseleksi antara kokon yang normal dan abnormal
19
Pengamatan
Mortalitas larva
Pengamatan dilakukan tiap hari terhadap jumlah larva yang mati terinfeksi virus setelah perlakuan, dihitung untuk mengetahui daya tahan larva ulat sutera terhadap virus, dengan rumus sebagai berikut:
MK = (JLKM/JLP) x 100%
Keterangan :
MK = Mortalitas larva instar kecil/instar III (%) JLKM = Jumlah larva instar kecil yang mati JLP = Jumlah larva perlakuan
MB = (JLBM/JLP) x 100% Keterangan :
MB = Mortalitas larva instar besar /instar IV-V(%) JLBM = Jumlah larva instar besar yang mati
JLP = Jumlah larva perlakuan
Larva mengokon
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang naik ke alat pengokonan pada masing-masing perlakuan. Nilainya diperoleh dengan membandingkan jumlah ulat yang mengokon dengan jumlah total larva sampel
pada masing-masing perlakuan, dengan rumus:
PLM = (JLM/JLS) x 100% Keterangan : PLM = Persentase larva mengokon
JLM = Jumlah larva yang mengokon
JLS = Jumlah larva sampel
Kokon abnormal
20
abnormal diperoleh dengan membandingkan jumlah kokon abnormal dengan jumlah total kokon pada masing-masing perlakuan, dengan rumus:
PKA = (JKA/JTK) x 100% Keterangan : PKA = Persentase kokon abnormal (%)
JKA = Jumlah kokon abnormal
JTK = Jumlah total kokon pada perlakuan
Bobot kokon
Bobot kokon diperoleh dengan menimbang berat kokon utuh yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan butir demi butir lalu dirata-ratakan (gram/butir) (Budisantoso 1997)
Ratio kulit kokon
Ratio kulit kokon diperoleh dengan membandingkan bobot kokon tanpa
pupa perbutir dengan bobot kokon utuh perbutir. Ratio kulit kokon dihitung dengan rumus:
RKK = (BKK/BKU) x 100%
Keterangan: RKK= Ratio kulit kokon (%)
BKK= Bobot kulit kokon BKU= Bobot kokon utuh
Temperatur dan kelembaban ruang pemeliharaan ulat
Pengukuran temperatur dan kelembaban harian di lakukan sebanyak 4 kali
sehari yaitu mengikuti waktu pemberian pakan yaitu pagi pukul 07.30, siang pukul 11.30, sore pukul 16.30 dan malam pukul 19.30. Pengukuran dilakukan selama pemeliharaan ulat sampai fase pengokonan. Nilai yang diperoleh ditotal selanjutnya dibagi dengan lamanya jangka waktu pengamatan.
Analisis Data
21
taraf yaitu B1(BS09) dan B2 (C301) dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL). Keragaman data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Steel dan Torrie 1993).
Analisis data dilakukan dengan program SPSS (Statistical Product and Service
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas
Penilaian varietas ulat sutera (B.mori) yang baik dapat dilihat dari dua hal yaitu daya tahan hidup dan produktivitas kokon. Daya tahan hidup dapat dilihat dari tingkat mortalitas yang terjadi, semakin tinggi tingkat mortalitas maka daya tahan semakin rendah. Menurut Omura (!980) penilaian daya tahan hidup dapat
ditentukan oleh kemudahan memelihara seperti pertumbuhan ulat seragam dan daya tahan terhadap penyakit, sedangkan produktivitas kokon dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan.
Pada Tabel 1. terlihat tingkat mortalitas baik pada instar kecil maupun instar besar meningkat seiring peningkatan konsentrasi virus. Selain itu juga terlihat
bahwakonsentrasi virus tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva artinya sedikit atau banyak jumlah virus akan berpotensi menimbulkan infeksi dan menjadi ancaman dalam budidaya ulat sutera, sehingga diperlukan sanitasi yang baik. Daya tahan larva pada setiap fase dipengaruhi oleh inkubasi NPV,
sedangkan lama masa inkubasi virus dipengaruhi oleh jumlah inokulum dan suhu
(Smith dan Lauffer 1953) Pada penelitian ini keadaan suhu sangat fluktuatif sehingga mempengaruhi daya tahan larva terhadap penyakit NPV hal ini terlihat pada tingkat mortalitas pada kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi virus (Tabel 1).
Gambar 5 Larva instra kecil yang mati terinfeksi virus
Penggunaan pupuk baik organik maupun anorganik mempengaruhi mortalitas larva baik instar kecil maupun instar besar. Perlakuan pupuk organik menujukkan mortalitas yang terendah baik pada larva instar kecil maupun larva instar besar. Hal ini diduga karena pupuk organik yang digunakan mengandung
23
2007) Kualitas daun murbei secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Makronutrients dan mikronutrients adalah faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan ketahanan ulat
sutera terhadap penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemberian pupuk organik lebih meningkatkan kandungan nutrisi dibanding pupuk anorganik (Tabel 4).
Hibrid ulat C301 menunjukkan daya tahan lebih tinggi pada pada larva instar kecil, sedang hibrid BS 09 menunjukkan daya tahan lebih tinggi pada larva
instar besar. Hal ini menunjukkan daya tahan larva pada setiap fase dipengaruhi oleh hibrid ulat. Kedua jenis ulat merupakan ras persilangan.
Tabel 1 Mortalitas larva dengan perlakuan konsentrasi virus, jenis pupuk dan hibrid bibit ulat sutera
Perlakuan Mortalitas Larva (%)
Instar kecil Instar besar
Konsentrasi virus
Hibrid bibit ulat sutera
B1 (BS 09) 3,43 a 11,44 a
B2 (C301) 2,27 b 11.83 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (DMRT).
Mortalitas larva instar kecil dipengaruhi oleh perlakuan jenis pupuk dan
hibrid ulat sutera, sedang mortalitas larva instar besar hanya dipengaruhi oleh jenis pupuk (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa larva instar kecil lebih peka dibanding larva instar besar sesuai pendapat Sunanto (1997) dengan demikian pada fase larva instar kecil diperlukan penanganan yang tepat diantaranya pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan ruang pemeliharaan
24
yang sangat dipengaruhi oleh umur larva, pergantian kulit, metamorfosis dan
proses diapause yang semuanya dikontrol oleh poligen: b). Faktor eksternal yang berpengaruh adalah proses infeksi, suhu, bahan kimia, dan makanan baik pakan
alami maupun pakan tambahan. Faktor utama yang berpengaruh pada ketahanan ulat sutera yang diuji adalah faktor internal berupa umur larva pada saat diinfeksi masih kategori ulat kecil (instar tiga) yang lebih rentan terhadap penyakit. Faktor eksternal yang diduga berpengaruh pada penelitian ini adalah proses infeksi (konsentrasi virus), suhu dan pakan.
Tingkat mortalitas ulat sutera yang diuji mulai dari instar kecil (instar III) sampai instar besar (instar IV dan V) terlihat pada Gambar 11. Tingkat mortalitas larva cenderung meningkat pada instar IV dan V terutama menjelang dan setelah terjadi pergantian kulit (moulting) instar V serta menjelang terjadi pengokonan. Menurut Khurad et al. (2004) mortalitas larva pada setiap instar dapat terjadi dan pada umumnya meningkat antara 20 – 50 % pada instar IV dan V. Kematian larva karena NPV umumnya terjadi pada periode 2-9 hari setelah larva menelan NPV (Moscardi 1988).
a b
Gambar 6 Larva instar besar yang sehat (a) dan larva instar besar yang mati terinfeksi NPV(b).
Persentase Larva Mengokon
25
Jenis pupuk memberikan pengaruh nyata dengan nilai tertinggi adalah pupuk organik yaitu 88,00% disusul pupuk anorganik 85,83% dan kontrol (Gambar 12). Pupuk organik jenis NASA yang digunakan mengandung unsur
esensial seperti protein dan 13 unsur tambahan antara lain: N, P, K, Ca, S, Mg, Fe, Na, Zn, Mn, B, Cu dan Cl (Anonim 2004). Kandungan unsur tersebut mempengaruhi daya tahan ulat sutera untuk sampai pada fase pengokonan. Menurut Tazima (1978). kandungan protein diperlukan bagi pertumbuhan ulat sutera yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera dan proses
sintesa dalam tubuh ulat sutera. Disamping itu kandungan protein pakan akan mempengaruhi daya tahan ulat terhadap penyakit.
Hibrid ulat sutera tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase larva yang mengokon. Hibrid C301 menunjukkan persentase larva mengokon yang lebih tinggi yaitu rata-rata diatas 85% dibanding BS 09 (Gambar
7). Namun kedua jenis ulat yang diamati mampu bertahan sampai fase pengokonan, dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan Nurhaedah dan Nuraeni (2007) dengan menggunakan bibit induk ulat sutera tanpa perlakuan pemupukan hanya menujukkan ketahanan rendah yaitu hanya bertahan pada fase larva dan tidak berlanjut ke fase pengokonan.
83.88
26
Menurut Gothama (1990), masa inkubasi virus mempengaruhi persentase ulat yang jadi ngengat bahkan biasanya ulat yang terinfeksi tidak sampai
mengokon. Meskipun ada yang mengokon, maka bentuk pupanya mengkerut atau bila menjadi ngengat maka kondisinya abnormal seperti sayap rusak, memendek dan bila diamati, pada organ reproduksi ngengat tersebut akan dijumpai banyak PIB.
Kualitas Kokon
Pada penelitian ini pengamatan kualitas kokon dilihat dari variabel kokon abnormal, berat kokon dan ratio kulit kokon (Tabel 2). Hasil akhir dari suatu pemeliharaan ulat sutera adalah kokon yang merupakan bahan baku dalam pembuatan benang sutera. Kualitas dan kuantitas kokon akan berpengaruh pada
produktivitas usaha yang dilakukan. Proses selanjutnya yaitu pemintalan kokon menjadi benang sutera yang mana kualitasnya sangat ditentukan oleh keadaan kokon itu sendiri.
Kokon abnormal
Kokon abnormal adalah ratio antara kokon abnormal atau cacat dan kokon
normal. Kokon abnormal merupakan kokon yang keadaannya tidak normal sehingga tidak dapat dipintal menjadi benang sutera. Pada penelitian ini kokon yang dikategorikan kokon abnormal (Gambar 8) adalah kokon berkulit tipis, kokon yang berbentuk tidak normal, kokon kotor di dalam dan kotor di luar
(Budisantoso 1999).
a b c
27
Persentase kokon abnormal yang diperoleh secara statistik tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol, tetapi infeksi virus menunjukkan kokon abnormal yang lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 2). Hal ini diduga karena virus NPV dapat mempengaruhi abnormalitas larva dalam pembentukan kokon. Kokon abnormal memiliki nilai ekonomis rendah, sehingga semakin tinggi persentase kokon abnormal maka semakin tinggi pula kerugian dalam produksi kokon
(Sunanto 1997).
Tabel 2 Kualitas kokon dengan perlakuan konsentrasi virus, jenis pupuk dan hibrid ulat sutera
Hibrid bibit ulat sutera
B1 (BS 09) 20,02 a 1,36 a 22,89 a
B2 (C301) 21,38 a 1,24 b 20,89 a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (DMRT).
Semakin tinggi konsentrasi virus berarti semakin banyak kandungan virus pada isolat yang diinfeksikan. Semakin tinggi konsentrasi virus maka ulat sutera akan menjadi lamban mencerna makanan dan selera makan yang berubah secara langsung akan berpengaruh pada kualitas kokon yang dihasilkan, karena kokon
sebagai produk akhir dari siklus hidup ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. Hal ini terlihat pada konsentrasi V3(1x107) polyhedron/ml nilai kokon abnormalnya lebih tinggi dibanding konsentrasi yang lebih rendah.
28
berbeda nyata dengan perlakuan jenis pupuk anorganik (P1) yaitu sebesar 19,72% dan pupuk organik sebesar 19,61% (Tabel 2.).
Kokon tipis diduga terjadi karena infeksi virus selama stadia larva
mengakibatkan aktivitas makan larva berkurang sehingga mengalami kekurangan nutrisi yang secara langsung berpengaruh terhadap aktifitas pembentukan kelenjar sutera. Menurut Tanada dan Kaya (1993) larva yang terinfeksi virus menjadi kurang aktif dan kehilangan selera makan. Hal ini berakibat pada kurangnya asupan nutrisi dalam tubuh ulat sehingga pembentukan serat sutera oleh kelenjar
sutera tidak optimal.
Kokon berbentuk tidak normal pada umumnya terjadi karena larva yang terinfeksi mampu bertahan hidup tetapi mati dalam proses pembentukan pupa diduga hal ini terjadi karena larva mengalami stres fisiologi, aktivitas makan menurun sehingga nutrisi untuk pembentukan serat sutera terganggu, akibatnya
serat sutera yang dihasilkan sedikit dan tidak terbentuk secara merata. Kokon bernoda terjadi karena larva terinfeksi berhasil membentuk kokon namun terjadi infeksi saat pembentukan pupa, pupa akan mati di dalam kokon dengan tubuh yang hancur berwarna hitam sehingga ikut mewarnai kokon dan kokon menjadi kotor.
Kedua hibrid ulat yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap persentase kokon abnormal. Menurut Samsijah dan Lincah (1992), kokon cacat dipengaruhi oleh ras ulat, kondisi lingkungan pada saat ulat membentuk kokon, perbandingan jumlah ulat yang dipelihara dengan luasan alat pengokonan serta alat pengokonan
yang digunakan. Alat pengokonan yang digunakan adalah pengokonan rotary
yang memiliki struktur yang baik dan ukuran kotak yang sesuai dengan besar kokon yang terbentuk (Budisantoso 1997) Kondisi lingkungan di lokasi penelitian yang diamati adalah temperatur dan kelembaban yang kurang optimum yang kemungkinan memberi pengaruh tidak langsung terhadap persentase kokon
abnormal (Tabel 4).
Bobot kokon
29
merupakan bobot kokon segar yang baru dipanen dan telah dibersihkan dari serat-serat halus pada permukaan kulit kokon.
Bobot kokon yang dihasilkan pada perlakuan konsentrasi virus menurun
sesuai dengan peningkatan konsentrasi virus tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2). Hal ini diduga terjadi karena larva memiliki sistem pertahanan yang disesuaikan dengan kehidupan mereka. Serangga terdiri dari imunitas sellular dan reaksi humoral yang melibatkan phagocytosis, dan formasi encapsulasi oleh plasmatocytes dan granulocytes. Sehingga sel-sel ini akan
menghambat perkembangan virus dalam tubuh serangga (Gillepie et al. 1997,
diacu dalam Chandrakala et al. 2007).
Bobot kokon yang dihasilkan pada perlakuan jenis pupuk secara statistik tidak berpengaruh nyata, tetapi bobot kokon yang dihasilkan dari perlakuan pemupukan baik pupuk organik maupun anorganik menunjukkan nilai yang lebih
tinggi dibanding kontrol yaitu pupuk organik 1,31 gram per butir anorganik 1,30 gram per butir dan kontrol 1,27 gram per butir (Tabel 2). Hal ini terjadi karena pemupukan mempengaruhi kandungan nutrisi pakan, dengan pakan yang bergizi larva mampu menghasilkan serat sutera yang lebih banyak. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1980), berat kokon dipengaruhi oleh ras ulat sutera yang dipelihara,
jenis kelamin pupa, jumlah dan mutu pakan yang diberikan, dan lingkungan pemeliharaan. Pada penelitian ini mutu pakan dipengaruhi oleh pemupukan terutama jenis pupuk organik karena bahan organik memiliki daya serap yang besar terhadap air tanah, sedangkan air bagi ulat sutera sangat berperan dalam
transportasi nutrisi selain itu pupuk organik yang disemprotkan pada daun dapat dengan mudah diserap oleh tanaman melalui stomata yang terdapat pada daun (Syarif 2008).
Hibrid ulat sutera memperlihatkan bobot kokon yang berbeda nyata yaitu hibrid BS 09 sebesar 1,36 gram/butir dan lebih tinggi dibanding hibrid C301 yaitu
30
Ratio kulit kokon
Konsentrasi virus secara statistik tidak mempengaruhi ratio kulit kokon, tetapi nilai ratio kulit kokon kontrol (tanpa virus) lebih tinggi dibanding yang
diinfeksi virus (Tabel 2), sedangkan jenis pupuk secara statistik mempengaruhi ratio kulit kokon dengan nilai tertinggi adalah pupuk organik 23,71% yang secara statistik sama dengan pupuk anorganik yaitu 22,06% dan keduanya berbeda nyata dengan kontrol yaitu 18,97%.
Ratio kulit kokon merupakan ratio antara berat kulit kokon dan berat kokon
utuh. Menurut JOCV (1975) berat kulit kokon dipengaruhi oleh ras ulat sutera yang dipelihara, jenis kelamin pupa, jumlah dan mutu pakan yang diberikan, besarnya kokon dan lingkungan pemeliharaan. Kulit kokon mengandung serat sutera yang akan dipintal menjadi benang sutera, semakin besar ratio kulit kokon maka kokon itu dikategorikan baik. Beberapa hasil penelitian yang dirangkum
Nuraeni (1993), persilangan ulat sutera yang baik dan mempunyai nilai komersial adalah apabila persentase kulit kokon berkisar antara 14%-23%. Penelitian yang dilakukan menunjukkan nilai yang masih dalam kisaran tersebut yaitu antara 18%-23%.
Kedua hibrid ulat menunjukkan nilai ratio kulit kokon yang tidak berbeda
nyata. Namun hibrid BS 09 menunjukkan nilai yang lebih tinggi yaitu sebesar 22,29% dibanding hibrid C301 sebesar 20,89%. Kedua hibrid yang digunakan merupakan hibrid unggul hasil persilangan.
Semua variabel pengamatan tidak menunjukkan adanya interaksi antara
kombinasi perlakuan pada taraf 0,05 (Lampiran 7) tetapi terdapat kecenderungan V0P2B2 (tanpa virus, pupuk organik, hibrid C301) menunjukkan hasil yang baik dengan mortalitas larva instar besar terendah dan persentase larva mengokon tertinggi, sedangkan V0P2B1(tanpa virus, pupuk organik, bibit BS 09) menunjukkan ratio kulit kokon tertinggi. Pupuk organik yang digunakan
31
Kandungan Nutrisi Pakan
Menurut Shankar et al. (1999) diacu dalam Chandrakala et al. (2007)
Mineral seperti kalium, magnesium, besi, kalsium dan fosfor merupakan gizi
yang penting untuk ulat sutera dan kandungannya dalam pakan dapat mempengaruhi kerentanan ulat sutera terhadap penyakit. Sedangkan kandungan protein disamping mempengaruhi daya tahan larva terhadap penyakit juga mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera (Tajima 1978). Hasil analisis kandungan nutrisi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf uji 0,05
pada kandungan protein, fosfor dan kalium antara penggunaan pupuk organik, anorganik dan kontrol (Tabel 3).
Tabel 3 Kandungan nutrisi tanaman murbei setelah pemupukan
Jenis pupuk
Kandungan air dan nutrisi daun (%) Kadar
air
Protein Kalsium Magnesium Fosfor Kalium
P0 (kontrol)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (DMRT).
Perlakuan pupuk organik menunjukkan nilai tertinggi pada kandungan air, protein, fosfor, kalium dan kalsium.sedang pupuk anorganik tertinggi pada kandungan magnesium dan terendah kontrol (Tabel 3).
Kandungan protein dari perlakuan yang dilakukan rata-rata berkisar antara
17-21%. Menurut Tazima (1978), daun murbei dengan kandungan protein optimal yaitu 24-36% diperlukan bagi pertumbuhan ulat sutera. Protein berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera dan proses sintesa dalam tubuh ulat sutera. Daun yang kandungan proteinnya rendah apabila diberikan sebagai pakan ulat, maka daya tahan ulat terhadap penyakit sangat rendah. Kandungan protein
32
Kandungan nutrisi daun murbei disamping dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, juga ditentukan oleh keadaan lingkungan tempat tumbuh (Tazima 1978).
Kandungan fosfor dari perlakuan pemupukan yang dilakukan berkisar antara
0,18-0,31%. Menurut Shankar et al. (1999) diacu dalam Chandrakala et al. (2007) kandungan fosfor dalam pakan mempengaruhi kerentanan ulat sutera terhadap
penyakit. Sedangkan menurut Murtidjo (1992) pada kasus Salmonellosis
ditemukan bahwa untuk menunjang pertumbuhan yang optimal guna meningkatkan daya hidup ternak yang terinfeksi, membutuhkan fosfor sekitar 2-3
kali kebutuhan normal.
Kandungan kalsium dari perlakuan pemupukan yang diuji rata-rata berkisar
antara 1,44-1,76%. Menurut Kirkby dan Pilbeam (1984) diacu dalamSyarif (2008)
Kebanyakan kalsium terdapat di dalam daun dan batang yang berfungsi untuk mengatur permeabilitas dari dinding sel. Kandungan kalsium yang tinggi sesuai
untuk dijadikan sebagai pakan induk ulat sutera. Kalsium berfungsi dalam proses peneluran dari kupu-kupu.
Kandungan Mg yang diperoleh pada penelitian ini adalah berkisar antara 0,44-0,79%. Mg pada tanaman berperan dalam pembentukan khlorofil (Sutrisno 1989). Sedangkan menurut Murtidjo (1992) magnesium berperan dalam produksi zat kebal pada ternak. Kekurangan magnesium dapat menyebabkan tertekannya produksi zat kebal, yaitu berkurangnya jumlah zat kebal yang dihasilkan oleh
sel-sel.
Kandungan P dan K di haemolymph membantu mempertahankan pH darah pada tingkat optimal mulai dari 6,2 sampai 6,8%. Pada kondisi pH alkalis
polyhedron mudah pecah sehingga menimbulkan serangan penyakit. Kandungan kalium yang diperoleh berkisar antara 1,41% - 1,72%..
Temperatur dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan
33
Tabel 4 Rata-rata temperatur dan kelembaban ruang pemeliharaan saat penelitian berlangsung (bulan Mei tahun 2009)
Waktu Suhu (0C) Kelembaban (%) Sumber: Data primer diolah (2009).
Rata-rata temperatur saat penelitian berlangsung berkisar 26,37 oC – 29,75
o
C, sedang kelembaban rata-rata berkisar antara 64% – 77% (Tabel 4).
Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan ulat kecil adalah 24-28 oC dan
kelembaban udara 80-90%, sedangkan untuk ulat besar membutuhkan temperatur
yang lebih rendah yaitu 23-25 oC dan kelembaban udara antara 70-75% (Kaomini
2002). Kondisi yang terjadi saat penelitian berlangsung kurang optimal baik ulat kecil maupun ulat besar karena lokasi penelitian berada pada ketinggian kurang dari 400 m di atas permukaan laut dan termasuk ketinggian yang kurang optimal untuk pemeliharaan ulat dan ketinggian tersebut akan berpengaruh terhadap
rata-rata temperatur dan kelembaban.
Analisa Biaya
Pemupukan adalah salah satu cara intensifikasi lahan disamping cara lain seperti pemilihan bibit unggul, pengairan dan pengendalian hama dan penyakit.
Dengan pemupukan diharapkan hasil produksi daun meningkat sehingga meningkatkan kapasitas kemampuan dukung lahan terhadap jumlah ulat yang mampu dipelihara. Peningkatan jumlah ulat yang mampu dipelihara diharapkan dapat meningkatkan produksi kokon yang pada akhirnya meningkatkan
pendapatan usaha.
Analisa biaya diperlukan guna melihat apakah aplikasi pemupukan memberikan peningkatan pendapatan usaha atau tidak. Secara garis besar pemberian pupuk organik dan anorganik memberikan peningkatan produksi daun sebesar 1,72 ton/ha dan 1,60 ton/ha, (kontrol 750 kg). Jika satu box ulat sutera
34
Tabel 5 Analisa usaha berdasarkan produktivitas tanaman murbei dan ulat sutera /ha/tiga bulan
1 Oorganik 2470 51.458 1,31 67,409 25.000 1.685.225.000
2 Anorganik 2350 48.958 1,30 63,645 25.000 1.591.125.000
3 Kontrol 750 15.625 1,27 19,853 20.000 397.060
Asumsi: Jumlah kebutuhan pakan ulat /box(25.000 ekor) adalah 1200 kg Jumlah kebutuhan pakan per ekor ulat 0,048 kg
Harga kokon kelas B Rp. 25.000/kg Harga kokon kelas C Rp. 20.000/kg
Hasil analisa usaha yang dilakukan (Tabel 5), setelah dikurangi biaya produksi (Lampiran 10) untuk pembelian bahan-bahan pupuk, bibit ulat sutera, kaporit dan kapur tohor, aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan keuntungan kurang lebih sebesar Rp 583.065/ha/tiga bulan dibanding kontrol. Aplikasi pupuk
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pemberian pakan dengan tanaman murbei yang diaplikasi pupuk jenis
organik dan anorganik dapat meningkatkan daya tahan larva, persentase larva mengokon dan ratio kulit kokon dibanding kontrol.
2. Hibrid ulat sutera C301 menunjukkan nilai yang tinggi pada daya tahan
larva instar kecil, persentase larva mengokon dan persentase kokon abnormal, sedangkan hibrid BS 09 menunjukkan nilai yang tinggi pada daya
tahan larva instar besar, bobot kokon dan ratio kulit kokon.
3. Pemberian pupuk organik dan anorganik dapat meningkatkan kandungan
nutrisi pakan.
4. Tidak ada interaksi antara kombinasi virus, jenis pupuk dan kontrol, tetapi
terdapat kecenderungan bahwa perlakuan kontrol, pupuk organik dan hibrid
ulat C301 (V0P2B2) meberikan nilai yang baik pada daya tahan larva.
Saran
Perlu dianjurkan pada petani sutera penggunaan pupuk organik pada tanaman murbei karena disamping bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman juga
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2004. Panduan Produk Kualitas, Kuantitas, Kelestarian. Jogjakarta: PT.Natural Nusantara.
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W dan Murdoko W. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Arisanti D. 2008. Uji ketahanan bibit induk ulat sutera (Bombyx mori L.) terhadap
BmNPV (Bombyx mori Nuclear Polyhedrosis Virus)[Skripsi]. Makassar:
Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin.
Budisantoso H dan Nuraeni S. 1994. Pengaruh bibit ulat sutera dari berbagai produsen dan periode pemeliharaan terhadap pertumbuhan dan produksi ulat sutera. Jurnal Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan 8: 6-12.
Budisantoso H. 1997. Standardisasi mutu kokon dan benang sutera. Buletin Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan. hlm 1-24
Budisantoso H. 1998. Pedoman teknis pengujian dan klasifikasi mutu kokon. Informasi Teknis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan.
Chandrakala, Maribashetty, Gururaj, Dharani and Sekharappa. 2007. Nutritional Aspects and Survival in The Silkworm, Bombyx mory, L- A New Perspective. Review. India: Karnataka State Sericulture Research and Development Institute, Bangalore.
Dermawati M. 2006. Patogenitas mikroorganisme entomopatogen dari kebum
murbei terhadap ulat sutera (Bombyx mori L) dan pengaruhnya pada kualitas
kokon[Tesis].Bogor: Program Studi Biologi. Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademi Pressindo.
Indrayani IGAA. 1990. Standarisasi dan Penyimpanan Isolat NPV(Nuclear Polyhedrosis Virus). Bogor: Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan.
Ignoffo CM and Cough TI. 1981. The Nucleopolyhedrosis Virus of Heliothis spp. As a Microbial Insecticide. In: Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. London and New York. Acabemic Press. P 329-362.
[JICA]Japan International Cooperation Agency. 1985. Laporan Umum Proyek
37
[JOCV]Japan Overseas Cooperation Volunteers. 1975. Textbook of Tropical
Sericulture. Japan Tokyo: 4-2-24 Hiroo, Sibuya-ku.
Kaomini M. 2002. Pedoman Teknis Pemeliharaan Ulat Sutera. Bandung: Samba Project A CARE UNBAR Collaborative program of USAID funded Project for BDSs and MFLs Development on Silk Industry in West Java. 29 hlm.
Katsumata F. 1975. Petunjuk Sederhana bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Japan:
Tokyo.
Khurad A, Mahuikar MA, Rathod MK, Raj MM, Kanginakudru S and Nagaraju J. 2004. Vertical Transmission of Nuclearpolyhedrovirus in The Silkworm (Bombyx mory L). India: Departmen of Zoology, Nagpur University Campus, Nagpur.
Krishnaswami S, Natasimhana MN, Suryanarayan SK. 1973. Silkworm rearing,
manual on sericulture agric. India: Seri Bull, Mysore 15:71-73.
Lee Y. 2000. Silk Reeling and Testing Manual. Republik of Korea: Nation
Sericulture and Entomology Institute Seoul.
Madjid H, Anwar A dan Inoue H. 1980. Petunjuk Praktis Cara Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Ulat Sutera. Proyek Kerjasama Pembinaan Persuteraan Alam. ATA-72. Japan International Cooperation Agency.
Moscardi F.1988. Possibilities of Using Enthomopathogens in Cotton IPM in
Indonesia. FAO. 60p.
Nataraju B, Balavenkatasubbaiah M, Sharma SD, Selvakumar T, Thiagarajan V, Datta RK. 2002. A practical technology for diagnosis and management of diseases in silkworm rearing. Int J Indust Entomol 2:169-173.
Nurhaedah dan Nuraeni S. 1997. Uji ketahanan bibit ulat sutera terhadap penyakit NPV. Laporan Hasil Penelitian. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan.
Omura. 1980. Silkworm Rearing. Japan Tokyo: Fuji Publishing Co.ltd.
Purnama R. 2002. Meningkatkan pendapatan petani serta mendukung penciptaan
ketahanan nasional http://www.cheteng.ui.ac.id-sntpk/pdf/phonska-Raup-
Purnama.pdf.[15 Nopember 2008].