• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks Cinta: antara pengorbanan dan perpisahan (kebertahanan perempuan korban kekerasan dalam perspektif kelekatan bowlby) T2 832013016 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks Cinta: antara pengorbanan dan perpisahan (kebertahanan perempuan korban kekerasan dalam perspektif kelekatan bowlby) T2 832013016 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Pada setiap penelitian, penyusunan latar belakang permasalahan dari sebuah fenomena yang hendak dikaji merupakan dasar dan langkah awal dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan. Bab I berikut ini menjelaskan tentang fenomena kebertahanan perempuan korban kekerasan dalam pacaran yang dikaji dengan teori kelekatan Bowlby untuk melihat dinamika pola kelekatan yang terjalin diantara korban dan orang tua di masa lampau dengan korban dan pacar di masa kini yang membuat korban bertahan dalam lingkaran kekerasan.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

(2)
[image:2.516.86.442.138.566.2]

Pernyataan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara terburuk ketiga untuk disinggahi perempuan turut didukung oleh data nasional yang dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komnas Perempuan mencatat, pada tahun 2011 ada 119.107 kasus KTP (Komnas Perempuan, 2012). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2012 menjadi 216.156 kasus (Komnas Perempuan, 2013). Pada 2013, kasus kekerasan kembali meningkat menjadi 279.688 kasus (Komnas Perempuan, 2014). Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi peningkatan tajam pada jumlah kasus KTP. Kenaikan jumlah kasus ini tidak hanya terjadi pada tiga tahun terakhir. Sebelumnya, Komnas Perempuan melaporkan kenaikan yang sama terjadi sejak tahun 2002. Berdasarkan jumlah tersebut, terlihat bahwa ada peningkatan yang cukup besar pada jumlah kasus KTP. Jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 meningkat tajam sekitar 80% dari tahun 2011, pada tahun 2013 meningkat sebesar +30% dari tahun 2012, dan jika diakumulasi dari tahun 2011-2013 telah terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan sebesar 135%.

(3)

Hasil laporan dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2013, dari total 279.688 kasus yang terhimpun, sebanyak 263.285 kasus atau 94% data tersebut bersumber dari data kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama (PA), dan sisanya sebanyak 16.403 kasus atau 6% data yang lain berasal dari data kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan. Kemudian dari 263.285 data kasus yang diambil dari PA, keseluruhannya tercatat sebagai kekerasan yang terjadi di ranah personal, sedangkan dari 16.403 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat ada 11.719 kasus atau 71%. Kasus kekerasan dalam ranah personal berarti pelakunya adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban (Komnas Perempuan, 2014).

(4)

kekerasan pada perempuan yang terjadi setelah menikah bisa berawal dari kekerasan yang diterima pada masa pacaran.

Namun demikian, kasus kekerasan dalam pacaran kurang mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Menurut laporan yang diproses di Bagian Pengaduan Masyarakat pada Biro Hukum dan Humas Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011), kasus KDRT merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat dengan persentase 31,29%, menyusul kasus seksualitas sebesar 9,54%,

trafficking sebanyak 3,05%, perceraian sebesar 6,87%, kekerasan terhadap anak 7,63%, kekerasan terhadap TKI sejumlah 6,49%, kekerasan dalam pekerjaan 3,05%, kasus perebutan hak asuh anak sebesar 1,53%, keberatan atas hukum sebesar 3,82%, permohonan untuk perlindungan hukum sebanyak 7,63%, penelantaran ekonomi sejumlah 5,34%, perkara hutang-piutang 1,53%, konflik SDA sebesar 2,29%, kasus kriminalitas 0,76, sengketa tanah sebesar 1,91%, sedangkan kasus kekerasan dalam pacaran ialah kasus yang paling sedikit diadukan dengan persentase 0,38%. Data tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran masih sedikit terjadi di masyarakat.

(5)

terkait sehingga angka yang diproses dalam Kementrian Pemberdayaan Perempuan sangat rendah yakni 0,38% dan berbanding terbalik dengan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga terkait lainnya, yakni mencapai angka tertinggi sebesar 26%.

Fenomena kekerasan dalam pacaran ialah persoalan yang sangat serius. Terdapat berbagai konsekuensi negatif yang berkepanjangan dari fenomena tersebut, seperti terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), tindakan aborsi, atau pernikahan usia dini. Ada pula dampak psikis dan sosial yang muncul seperti stres, depresi, cemas berlebih, sulit konsentrasi, sulit tidur, memiliki harga diri yang rendah (Safitri, 2013). Di Indonesia, diperkirakan ada 1 juta remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah, sedangkan di seluruh dunia diperkirakan 15 juta remaja setiap tahunnya hamil, 60% di antaranya hamil di luar nikah (Hidayat dalam Tinceuli, 2010). Laporan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011) mengungkapkan bahwa dari 1.189 remaja (berusia 13-19 tahun) yang belum menikah di daerah Jawa Barat dan 922 remaja di Bali, ditemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan 5% perempuan di Bali mengakui pernah mengalami kehamilan. Ketua Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah, Widanti (2011) mengatakan bahwa jumlah siswi yang hamil akan terus meningkat, tercermin dari penelitiannya pada sekolah jenjang SMP dan SMA tahun 2010 yang menunjukkan dalam tiap sekolah rata-rata ditemukan empat hingga tujuh siswa yang hamil, bahkan pada tahun yang sama kenaikannya mencapai 10% hingga 15%.

(6)

tersebut. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2007, terdapat 70.000 kematian remaja melakukan aborsi tidak aman setiap tahun, sementara 4 juta lainnya mengalami kesakitan (Sinaga, 2007). Namun, banyak juga korban yang memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan menikah dalam usia yang masih muda. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2013, persentase tertinggi perempuan menikah dari usia 15-19 tahun, yaitu 41,9% dari total jumlah pernikahan di Indonesia disebabkan oleh adanya kehamilan di luar pernikahan. Pernikahan di usia muda ini juga memiliki konsekuensi yang panjang, karena pada usia tersebut, kondisi emosional yang dialami remaja masih meledak-ledak dan dapat berdampak buruk bagi perkembangan psikis anak (Santrock, 2002). Oleh sebab itu, kasus kekerasan dalam pacaran ini sangat penting untuk disoroti dan diteliti lebih lanjut agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif yang berkepanjangan bagi kehidupan korban, keluarga, dan negara.

(7)

mereka mampu bertahan dalam hubungan tersebut karena anggapan bahwa dalam mencintai pasangan itu memerlukan suatu pengorbanan.

Berbagai studi terdahulu telah mengaji tentang penyebab munculnya perilaku kekerasan, diantaranya terkait pembentukan kepribadian yang berpotensi memicu terjadinya lingkaran kekerasan, relevansi antara trauma, rasa bersalah, rasa malu dengan potensi munculnya tindak kekerasan, dan pengaruh mood dalam pembentukan perilaku kekerasan, hingga keterkaitan antara perilaku kekerasan dengan pola kelekatan (attachment) dengan orang tua di masa lampau. Mood atau suasana hati menjadi salah satu kajian yang dikaitkan dengan perilaku kekerasan. Millon (1981) melihat kedalaman dan keberagaman mood yang ada dalam diri seorang pelaku kekerasan, yakni: 1) Intense endogenous moods– kegagalan berulang kali untuk mengelola mood dan kegagalan ini biasanya ditunjukkan dalam bentuk kemarahan, kecemasan, atau euphoria; 2) Dysregulated activation – energi yang dikeluarkan dalam berbagai aktivitas tidak stabil dan memiliki pola tidur yang tidak biasa; 3) Self-condemnatory conscience – adanya pemikiran untuk melukai diri; 4)

Dependency anxiety – menunjukkan keterpisahan yang intens, merasa ketakutan akan pengasingan dan kehilangan; 5) Cognitive-affective ambivalence – kesulitan untuk mengekspresikan perasaan seperti rasa bersalah dan cinta.

(8)

Pada suatu kesempatan, Bowlby (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut. Pola kelekatan yang terjalin di masa kanak-kanak berkembang hingga masa remaja. Bowlby juga menyatakan bahwa pada masa remaja, kelekatan yang terjalin dalam relasinya dengan orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Holmes, 1993).

Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure) direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985). Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku secure-base sekaligus mengindikasikan level keamanan (security) yang dimiliki individu dari proses kelekatan di sepanjang rentang perkembangannya. Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat tetap dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982).

(9)

negatif pada anak, ketidakmampuan untuk memberikan toleransi yang termanifestasikan dalam bentuk kemarahan dan kecemasan.

Berbagai studi terkait faktor anteseden dari perilaku kekerasan telah menyebutkan bahwa salah satu pemicu munculnya kecemasan, kemarahan, rasa malu, trauma yang dialami seorang anak di masa dewasa ialah pola kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) antara anak dan kedua orang tua di masa lampau. Dodge et al (dalam Dutton, 2007) merumuskan beberapa tendensi perilaku kekerasan individu yang muncul sebagai akibat dari pola kelekatan yang tidak aman, yakni individu lebih mudah merasa cemburu terhadap orang lain, memiliki kemarahan yang meledak-ledak, memusatkan diri pada kemarahan dalam suatu relasi intim dengan pasangan, memuaskan ego pribadi, cemas akan penolakan, konsep diri yang terganggu, dan depresi.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Bowlby (1973) meyakini bahwa pola kelekatan antara anak dan orang tua merupakan hal fundamental yang berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak di sepanjang rentang kehidupannya. Sementara itu, Hazan dan Shaver (1987) turut menjelaskan bahwa semenjak masa remaja, figur lekat seorang individu mulai ditransfer kepada teman maupun pasangan dan pada masa ‘transfer’ ini akan muncul pola kelekatan yang telah dimilikinya, baik itu kelekatan

secure maupun insecure. Lebih lanjut, Fraley & Shaver (1998) mendefinisikan gaya kelekatan dengan pacar sebagai pola dari berbagai harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku sosial yang merupakan hasil dari pengalaman kelekatan masa lalu yang biasanya diawali dari hubungan dengan orangtua.

(10)

ketidakmampuan dalam meregulasi emosi ketika terjadi ketidaksesuaian atau konflik dengan pasangan. Kemudian, penelitian yang lain juga dilakukan oleh Smeltzer (2009) dalam bidang neurobiologi, perilaku kekerasan dalam suatu hubungan bukanlah perilaku atas dasar kognitif, melainkan adanya suatu hal tidak sadar (unconscious) yakni manifestasi dari gaya kelekatan yang tidak aman (insecure attachment).

Berdasarkan teori tersebut, maka penulis berasumsi bahwa ‘pengorbanan’ yang dilakukan korban kekerasan dalam pacaran sebenarnya adalah bentuk manifestasi dari kelekatan tidak aman (insecure) individu terhadap dunia di luar dirinya. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran dengan menelusuri pola kelekatan korban dengan orangtuanya di masa lampau dan pola kelekatan korban dengan pacarnya. Korban kekerasan yang menjadi subyek dalam penelitian ini ialah perempuan di Salatiga yang berada di batas peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal dan mendapatkan tindak kekerasan dari pacarnya. Penulis memilih rentang usia tersebut dengan pertimbangan bahwa salah satu tugas perkembangan individu di masa-masa tersebut ialah memilih pasangan dan mempersiapkan diri untuk membina keluarga.

Penelitian ini difokuskan peneliti di Kota Salatiga. Pemilihan lokasi didasarkan pada survei pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada mahasiswi di Kota Salatiga menemukan bahwa fenomena kekerasan dalam relasi pacaran banyak dialami oleh perempuan di rentang usia remaja akhir hingga dewasa awal. Beberapa korban tersebut bahkan masih berstatus pelajar sehingga akan mempengaruhi kelanjutan pendidikannya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan paparan dari fenomena yang dikemukakan, maka rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut:

(11)

2. Bagaimanakah gambaran pola kelekatan perempuan korban kekerasan dengan orang tua?

3. Bagaimana dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran?

C. TUJUAN PENELITIAN

Terkait dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memberikan gambaran tentang kekerasan yang dialami perempuan sebagai korban dalam relasi berpacaran.

2. Memberikan gambaran tentang pola kelekatan perempuan korban kekerasan dengan orang tua.

3. Menggambarkan dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang dinamika pola kelekatan yang muncul pada perempuan korban kekerasan dan turut memberi kontribusi positif dalam upaya meminimalisir kekerasan dalam pacaran yang memiliki konsekuensi panjang bagi korban maupun keluarga serta lingkungan di sekitar korban.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Para Perempuan Korban Kekerasan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para perempuan korban kekerasan terkait jerat lingkaran kekerasan yang dialami sehingga menumbuhkan kesadaran untuk keluar dari lingkaran kekerasan tersebut.

b) Para Orangtua dan Calon Orangtua

Gambar

Gambar 1.1 Jumlah kasus KTP tahun 2001-2013 (Komnas Perempuan, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

artinya sebuah program disusun berdasarkan objek-objek. Dengan demikian, peristiwa apa yang sedang terjadi, operasi apa yang dilakukan, dan seluruh aktivitas dalam program

yang menjadi pusat perhatian utama ( main point of interest ), baru kemudian memperhatikan pusat perhatian kedua ( secondary point of interest ), dan pusat perhatian ketiga (

Ruang luar akan menjadi merupakan bagian dari perancangan Galeri Foto, akan menjadi sebuah ruang menjadi tempat berkumpulnya para penikmat fotografi, untuk melihat foto,

Tingkat arus lalu lintas total 2 lajur 2 arah pada tahun 2009 adalah.. 31617 kendaraan per hari, tingkat arus harian tahun

Dalam memberikan pemahaman terhadap masyarat tentang situasi perkembangan judicial review Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, sebaiknya LBH APIK Jakarta

Pada penelitian ini dihasilkan rendemen 52.62 %, total padatan terlarut 66,19 0Brix, kadar vitamin C 0,29 mg, kadar air 25,05%, organoleptik hedonik (warna, aroma, rasa) dan uji

Jika ada politisi mengatakan , “a a tidak korupsi itu juga fakta erita da e pu ai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau salah. Yang jelas ada

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain