• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP TINDAKAN EUTHANASIA MENURUT KUHP DAN RUU KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP TINDAKAN EUTHANASIA MENURUT KUHP DAN RUU KUHP"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP TINDAKAN EUTHANASIA

MENURUT KUHP DAN RUU KUHP

(Jurnal)

Oleh

Sri Dewi Nawang Wulan Arum Sari NPM 1412011407

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP TINDAKAN EUTHANASIA

MENURUT KUHP DAN RUU KUHP

OLEH

Sri Dewi Nawang Wulan Arum Sari, Heni Siswanto, Rini Fathonah Email : Sridewiarum@gmail.com

Pengaturan Euthanasia diperlukan untuk mengatur secara khusus dilarang atau

tidaknya Euthanasia karena itu pemerintah harus mengeluarkan aturan dalam

KUHP agar terjadi hubungan yang baik antara Dokter dan Pasien

.

Permasalahan

penelitian ini adalah bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap tindakan Euthanasia menurut KUHP dan RUU KUHP, dan bagaimanakah perspektif

pandangan masyarakat terhadap tindakan Euthanasia ? Penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Narasumber terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Lampung, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Lampung, dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan suatu perumusan ketentuan pidana tentang suatu tindakan dokter yang bertujuan mempercepat kematian seseorang dalam keadaan tertentu, yang disetujui baik dari pihak tenaga medis dan pihak keluarga pasien. Perspektif pandangan masyarakat terhadap

tindakan Euthanasia tidak dibenarkan baik Euthanasia Pasif dan Aktif karena

Euthanasia bertujuan untuk mempercepat kematian seseorang dengan menghentikan medis yang disepakati oleh pihak keluarga dan dokter. Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya pemerintah membuat aturan khusus tentang Euthanasia supaya para tenaga medis tidak dilema dan bila Euthanasia nantinya disahkan sebaiknya dokter dan tenaga medis agar kembali pada KODEKI (Kode Etik Kedokteran).

(3)

ABSTRACT

FORMULATION POLICY ON EUTHANASIA ACTION BY CRIMINAL CODE AND CRIMINAL CODE DRAFT LAW

By

Sri Dewi Nawang Wulan Arum Sari, Heni Siswanto, Rini Fathonah Email : Sridewiarum@gmail.com

The regulation of Euthanasia is necessary to specifically regulate prohibited or not Euthanasia. Therefore, the government must issue rules in the Criminal Code so that there is a good relationship between the Doctor and the Patient. The problem of this research is: what is the formulation policy for Euthanasia actions according to the Criminal Code and the Draft Law of the Penal Code, and how is the perspective of society view on Euthanasia action? This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. Data type consists of primary and secondary data. The speakers consisted of members of the Provincial Legislative Council of Lampung Province, the Chairman of the Indonesian Doctor Association of Lampung Province, and the Lecturer of the Criminal Unit of the Law Faculty of the University of Lampung. Data analysis in this research using Qualitative Descriptive method. The results of this study and discussion indicate a formulation of criminal provisions concerning a physician's actions aimed at speeding up the death of a person under certain circumstances, which is approved by both the medical personnel and the patient's family. The perspective of society's view on Euthanasia action is not justified either Passive and Active Euthanasia because Euthanasia aims to speed up the death of a person by stopping the medical agreed upon by the family and the doctor. Suggestions in this study is that the government should make special rules on Euthanasia so that the medical staff is not dilemma and if Euthanasia will be approved then doctors and medical personnel should return to KODEKI (Medical Code of Conduct).

(4)

I. PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) telah membawa perubahan besar dalam sejarah peradaban umat manusia di

muka bumi ini. Dengan ilmu

pengetahuan tersebut, manusia telah

berhasil melakukan berbagai

penemuan dan menghasilkan

teknologi berkualitas untuk

menunjang dan mempermudah

kehidupannya. Berkembangnya

teknologi dan kemajuan zaman, maka dibutuhkan suatu kebijakan

formulasi untuk mengatur

berjalannya kegiatan dalam

masyarakat agar suatu perkembangan diikuti oleh peraturan hukum yang mengikat, baik bagi para pihak pembuat keputusan maupun pihak yang terkait dalam suatu bidang kegiatan dalam masyarakat.

Kemudahan yang diberikan

teknologi hampir dirasakan dalam segala bidang kehidupan manusia. Dimulai dari bidang transportasi

yang mempermudah dan

mempersingkat perpindahan

manusia. Di bidang komunikasi,

yang mampu menghubungkan

manusia melalui media komunikasi, baik audio maupun visual tanpa terkendala oleh batas ruang dan waktu. Di bidang ekonomi, dengan terintegrasinya pasar global atau yang disebut pasar bebas, dan berbagai bidang lain, tak terkecuali

dalam bidang kesehatan

(kedokteran).

Melalui penelitian dan

pengembangan ipteks di bidang

kedokteran, saat ini banyak

ditemukan obat-obatan baru untuk

mengatasi berbagai penyakit,

sehingga secara umum tingkat

kesehatan dan harapan hidup yang dimiliki umat manusia semakin meningkat. Selain itu, dalam dunia kedokteran saat ini juga banyak digunakan peralatan-peralatan medis canggih untuk membantu pengobatan dan penyembuhan terhadap suatu penyakit yang diderita oleh manusia.

Seiring dengan majunya

perkembangan di dunia medis, maka semakin menjamin tingkat kesehatan manusia serta pencegahan yang dapat

dilakukan demi menghindari

berbagai macam jenis penyakit. Pada saat ini kesehatan menjadi kebutuhan utama bagi umat manusia karena

perkembangan ilmu kedokteran

memegang peranan yang sangat

penting. Seluruh kegiatan yang

dilakukan manusia apabila tanpa dukungan kesehatan, baik mental maupun fisik tidak akan berjalan

lancar dan berakibat dapat

menganggu keberlangsungan hidup manusia.

Berbagai kemajuan tersebut, selain mendatangkan manfaat yang besar, di sisi yang lain juga menimbulkan

suatu dampak negatif atau

memunculkan suatu masalah baru dalam kehidupan dan peradaban umat manusia itu sendiri. Salah satunya dalam dunia kedokteran

adalah masalah

euthanasia.Euthanasia atau

dipahami sebagai tindakan

mengakhiri hidup dengan suatu cara tertentu melalui praktek kedokteran adalah salah satu persoalan yang sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan panjang”.1 Dunia medis

euthanasia dapat diartikan sebagai

1 Imam Hilman, ”Euthanasia: Sebuah

(5)

“pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing) terhadap pasien yang tidak mempunyai harapan untuk

disembuhkan.2 Bagi dunia

kedokteran tindakan tersebut dapat

dianggap sebagai bagian dari

tindakan menghormati kehidupan insani, karenanya hal ini juga dapat diartikan sebagai upaya “mengakhiri

atau tidak memperpanjang

penderitaan pasien” yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Secara umum,

tindakan euthanasia digolongkan

menjadi dua macam, yaitu:3

1. Euthanasia aktif, yaitu berupa tindakan “mengakhiri kehidupan” misalnya dengan

memberikan obat dengan

dosis lethal kepada pasien. 2. Euthanasia pasif, yaitu

tindakan atau perbuatan

“membiarkan pasien meninggal” dengan cara misalnya tidak melakukan

intervensi medik atau

menghentikannya. Seperti

pemberian infus, makanan

lewat sonde, alat bantu

pernafasan, tidak melakukan resustasi, penundaan operasi dan lain sebagainya.

Beberapa negara, misalnya Belanda, Belgia dan di beberapa negara bagian

di Amerika Serikat, euthanasia ini

sudah mendapatkan pengesahan dari

negara. Alasan kemanusiaan

merupakan alasan yang utama

diperkenankannya euthanasia ini,

bahkan euthanasia dipandang

sebagai perbuatan yang harus dipuji dan dianggap sebagai satu bentuk rasa kasih, yaitu menolong sesama

2Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004

tentang Euthanasia, dalam

http://www.IDIonline.org. 3Ibid.

manusia untuk mengakhiri

kesengsaraannya atau dianggap

sebagai jalan keluar untuk

menghilangkan penderitaan

seseorang yang sudah tidak bisa

ditolong lagi. Kebijakan

diperkenankannya euthanasia di

belahan negara barat oleh beberapa negara di atas tak dapat dilepaskan

dari faktor ipteks di bidang

kedokteran serta kesadaran

masyarakat tentang hak individu

yang telah berkembang pesat.4 Selain

itu juga dikenal hak asasi manusia

(HAM) yang harus dijamin

pelaksanaannya oleh negara”.5

Indonesia sendiri, Euthanasia belum

memiliki kebijakan formulasi

ataupun aturan yang mengatur

khusus tentang Euthanasia.

Euthanasia di Indonesia tidak

diperbolehkan karena alasan

menghilangkan nyawa seseorang, didalam KUHP Indonesia usaha

apapun yang menyebabkan

hilangnya nyawa seseorang, baik disengaja atau tidak disengaja masuk

dalam kategori pembunuhan.

Euthanasia jelas adalah upaya menghilangkan nyawa dengan alasan medis yang sifatnya menolong pasien atau korban oleh pihak medis (kedokteran), apabila aturan tentang euthanasia ini dibuat secara khusus dan dimasukkan ke dalam RUU

KUHP sulit rasanya euthanasia

diperbolehkan di Indonesia, baik dinilai dari segi agama, norma, dan hukum yang berlaku di negara Indonesia, apalagi sifat RUU KUHP

4Chrisdinio. M. Achadiat, Pernak-pernik

Hukum Kedokteran: Melindungi pasien dan dokter, cetakan pertama, Widiya Madika, Jakarta, 1996, hlm. 47.

(6)

tidak boleh bertentangan dengan KUHP.

Kontroversi dan perdebatan panjang

mengenai keberadaan euthanasia

tersebut karena hukum adalah sebuah aturan yang bertujuan untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan keadilan

dalam masyarakat.6 Salah satunya

adalah hukum pidana, yaitu hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan

perbuatan-perbuatan tersebut

diancam dengan pidana/hukuman

sesuai aturan yang berlaku.7

Kebijakan formulasi euthanasia

sebagai bagian dalam proses publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi. Kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan

telah selesai, disamping itu

kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap formulasi. Aktifitas-aktifitas peranan formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan

kebijakan formulasi tentang

euthanasia. Perumusan kebijakan tesebut sangat bergantung seberapa

besar para pihak menggunakan

peranannya, baik pihak penguasa formal (pemerintah atau pembuat undang-undang) dan yang menjadi rival mitra (tenaga medis) dapat saling mengintervensi dan saling

membantu untuk mendapatkan

kesepakatan mengenai Euthanasia.

6Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 57.

7Daliyo, J.B., Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketiga, PT Prenhalindo, Jakarta, 2001, hlm. 73.

sesuai aturan yang berlaku.

Euthanasia sangat berkaitan dengan profesi medis, khususnya dalam hal ini adalah dokter. Bagi para dokter di

Indonesia, euthanasia merupakan

suatu dilema yang menempatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam posisi yang serba sulit,

meskipun dalam kaca mata

kedokteran dan sudut kemanusiaan euthanasia ini dibenarkan karena merupakan hak bagi pasien yang

menderita sakit akut (sesuai

Deklarasi Lisboa Tahun 1981), akan

tetapi dokter tidak dibenarkan

melakukan upaya untuk memenuhi keinginan pasien tersebut karena selain merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Kedokteran, “perbuatan menghilangkan nyawa orang lain” ini juga merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dalam hukum di Negara Indonesia.

kepastian mengenai euthanasiaini

merupakan hal yang sangat penting artinya bagi pasien yang mengalami penderitaan (kritis), maupun keluarga pasien. Selain itu, pada hakikatnya hukum juga menghendaki adanya penataan hubungan antara manusia, termasuk juga dalam hal ini adalah hubungan antara dokter dan pasien, sehingga kepentingan masing-masing dapat terjamin dan tidak ada yang terlanggar”.8Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji

lebih lanjut permasalahan euthanasia

ini, sehingga dipilih penelitian

skripsi berjudul Kebijakan Formulasi

Terhadap Tindakan Euthanasia

Menurut KUHP dan RUU KUHP.

8Komalawati Veronica, “Aspek Hukum

Dalam Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian”,

(7)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perlu dirumuskan permasalahan skripsi sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kebijakan

formulasi terhadap tindakan

euthanasia menurut KUHP dan RUU KUHP?

b. Bagaimanakah perspektif

pandangan masyarakat terhadap

tindakan euthanasia?

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Penentuan

narasumber dilakukan dengan

wawancara dengan responden.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi

lapangan. Analisis data yang

dipergunakan adalah deskriptif

kualitatif.

I. PEMBAHASAN

A. Kebijakan Formulasi

Terhadap Tindakan

Euthanasia Menurut KUHP Dan RUU KUHP

Penegakan hukum pidana (PHP) terdiri dari dua tahap inti. Tahap

pertama, Penegakan Hukum Pidanain

abstracto merupakan tahap pembuatan atau perumusan undang-undang oleh badan legislatif. Tahap ini dapat disebut tahap formulasi atau legislasi atau legislatif. Penegakan

Hukum Pidanain abstracto adalah

pembuatan undang-undang (law

making) atau perubahan

undang-undang (law reform). Tahap kedua,

Penegakan Hukum Pidanain

concreto (law enforcement). Kedua Penegakan Hukum Pidana perkara

Tindakan Euthanasia itu dalam

kerangka menunjang tercapainya

tujuan, visi dan misi pembangunan

nasional9 serta menunjang

terwujudnya Sistem Penegakan

Hukum Pidana secara nasional

khususnya dalam menghadapi

Tindak Pidana Euthanasia. Menurut

Barda Nawawi Arief 10adalah:

Penegakan Hukum Pidana in

abstracto (proses pembuatan produk perundang-undangan) melalui proses legislasi atau formulasi atau pembuatan

peraturan

perundang-undangan, pada hakikatnya merupakan proses Penegakan

Hukum Pidana in abstracto.

Proses legislasi atau

formulasi ini merupakan

tahap awal yang sangat

strategis dari proses

penegakan hukum in

concreto. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan pada tahap kebijakan legislasi atau formulasi merupakan

kesalahan strategis yang

dapat menghambat upaya

penegakan hukum in

concreto. Penegakan Hukum Pidana yang dilakukan pada tahap kebijakan aplikasi dan kebijakan eksekusi.

9

Dalam GBHN 1999 antara lain

dikemukakan, Visi Bangnas: Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum

dan lingkungan, menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin.

10

(8)

Proses legislasi atau formulasi merupakan tahap perencanaan awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum “in concreto”. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan pada tahap kebijakan legislasi atau formulasi merupakan

kesalahan strategis yang dapat

menjadi penghambat upaya

penegakan hukum “in concreto” yang dilakukan pada tahap kebijakan

aplikasi11 dan kebijakan eksekusi12.

Dikatakan kebijakan strategis karena

memberikan landasan, arah,

substansi dan batasan kewenangan dalam penegakan hukum yang akan

dilakukan oleh pengemban

kewenangan yudikatif maupun

eksekutif. Posisi strategis tersebut

membawa konsekuensi bahwa

kelemahan kebijakan formulasi

hukum pidana akan berpengaruh pada kebijakan Penegakan Hukum

Pidana dan kebijakan

penanggulangan kejahatan,

khususnya menghadapi Tindak

Pidana Euthanasia.13

Tahap formulasi itu, Penegakan Hukum Pidana perkara Tindakan Euthanasia secara in abstracto merupakan tahapan yang paling strategis dalam menyiapkan aspek

atau komponen substantif atau

normatif hukum pidana (norma hukum atau peraturan perundang-undangan hukum pidana) Tindakan Euthanasia untuk dilaksanakan pada

11

Kebijakan yudikatif/aplikatif, yaitu kebijakan terkait penerapan hukum, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana...ibid., hlm. 9.

12

Kebijakan eksekutif/administrasi, yaitu kebijakan terkait pelaksanaan/eksekusi hukum (pidana), ibid., 2012, hlm. 9.

13

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group, 2010, hlm. 25.

tahap pelaksanaan atau aplikasi yang lebih terkait dengan komponen struktural dan komponen kultural

pada tahap in concreto (tahap

aplikasi).Persoalan tindak pidana

menyangkut dasar patut dipidananya

perbuatan bentuk-bentuk tindak

pidana, khususnya terkait dengan

tindak pidana Euthanasia yang diatur

dalam KUHP dan RUU KUHP dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Dasar Patut Dipidananya Perbuatan

Barda Nawawi Arief,14 berpendapat

bahwa dasar patut dipidananya

perbuatan, berkaitan erat dengan

masalah sumber hukum atau

landasan legalitas untuk menyatakan

suatu perbuatan sebagai tindak

pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP, RUU KUHP tetap bertolak dari asas legalitas formal (bersumber pada undang-undang).

Namun RUU KUHP juga

memberikan tempat kepada “hukum yang hidup atau yang tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel).

Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan asas legalitas materiel itu, RUU KUHP juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal dan unsur melawan hukum materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana. Penegasan ini diformulasikan dalam KUHP dan RUU KUHP. Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan

hukum materiel

14Barda Nawawi Arief, Perkembangan

(9)

sebagaiperkembangan baru. Sebelumnya ketentuan umum seperti itu tidak terdapat dalam KUHP.

2) Bentuk-bentuk Tindak Pidana (Forms of Criminal Offence)

Barda Nawawi Arief15 berpendapat

bahwa aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang

melakukan perbuatan melanggar

hukum. Untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur tindak pidana dan ancaman sanksi pidana di antara KUHP dan RUU KUHP perlu

dipersandingkan dan

diperbandingkan.

a. Bab XIX Kejahatan Terhadap

Nyawa (KUHP) Pasal 344

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan

dengan kesungguhan hati,

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b. Bab XXII Tindak Pidana

Terhadap Nyawa (RUU KUHP) Pasal 583

Setiap orang yang merampas

nyawa orang lain atas

permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

15

Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm. 53.

tahun dan paling lama 9

(sembilan) tahun.

RUU KUHP 2015 Pasal 36, pengertian pertanggungjawaban pidana atau kesalahan adalah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan

secara subjektif kepada

seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Pasal 37 RUU KUHP menegaskan pentingnya pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, yaitu

tidak seorang pun yang

melakukan tindak pidana

dipidana tanpa kesalahan.

Kesalahan terdiri dari

kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Barda Nawawi Arief16 berpendapat

bahwa masalah pemidanaan atau

pengenaan sanksi pidana atau

penegakan hukum pidana,

merupakan bagian dari proses

pemidanaan. Ini berarti, pengenaan

sanksi pidana tidak sekedar

menetapkan atau menjatuhkan jenis dan lamanya pidana sebagaimana telah di tetapkan dalam perumusan delik dalam undang-undang, tetapi terkait erat dengan syarat-syarat

pemidanaan, asas dan tujuan

pemidanaan, dan bahkan terkait pada keseluruhan sistem pemidanaan.

Euthanasia harus dimasukan kedalam KUHP, agar ada aturan

hukum khusus untuk mengatur

16Barda Nawawi Arief, Penegakan Hukum

(10)

unsur-unsur dan sanksi pidana bagi

pelaku Euthanasia baik dari pihak

dokter maupun keluarga pasien. Di

dalam hukum positif Indonesia

khususnya pada aturan pidana di

Kitab Undang-undang Hukum

Pidana sudah cukup dapat menjerat

pelaku euthanasia. Karena tindakan

euthanasia menyangkut dengan nyawa seseorang yang dalam hukum Indonesia sangat dijunjung tinggi akan hak untuk hidup seseorang.

Untuk melengkapi kajian ini penulis kutipkan pula pasal-pasal di dalam RUU-KUHP yang ada kaitannya

dengan masalah euthanasia. Hal ini

sebagai pembanding ketentuan

hukum yang berlaku dengan yang akan datang. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 32 (48 KUHP). “Barang siapa melakukan tindak pidana dalam

keadaan darurat tidak dipidana”.

Pasal 42 (48 KUHP).“Barang siapa melakukan tindak pidana karena

daya paksa tidak dipidana”. Pasal

443 ayat 1 (338 KUHP). “Barang siapa merampas nyawa orang lain, ia dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun

dan paling rendah 3 tahun”. Pasal

445 (344 KUHP).“Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang

jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati atau atas

permintaan keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.

Pasal 448 (345 KUHP). “Barang siapa mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda

paling banyak katagori IV, kalau orang itu mati karena jadi bunuh diri”. Pasal 458 ayat 3 (359 KUHP). “Barang siapa karena kealpaan

menyebabkan orang lain mati,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahunan paling rendah 1 tahun atau denda paling banyak katagori IV”. Pasal 413 (531 KHUP). “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan

kepadanya tanpa selayaknya

menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipidana, jika kemudian orang itu meninggal, dengan denda paling banyak katagori IV”.

B. Perspektif Hukum Pidana

Terhadap Tindakan

Euthanasia di Indonesia

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter

sebagai pelaku utama euthanasia,

khususnya euthanasia aktif dan

dianggap sebagai pembunuhan

berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan

dalam tindakan euthanasia, tanpa

melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli

apakah tindakan tersebut atas

permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya, untuk mengurangi

penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat

hebat yang belum diketahui

pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup dan

tidak menghendaki kematiannya

(11)

tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

Toni Eka Chandra17 menyatakan

bahwa Euthanasia adalah tindakan

yang tidak dibenarkan, baik

Euthanasia Pasif Dan Euthanasia Aktif. Karena, perbuatan apapun

yang disengaja maupun tidak

menyebabkan hilangnya nyawa

seseorang masuk ke dalam pidana

pembunuhan, dimana Euthanasia

bertujuan untuk mempercepat

kematian seseorang dengan

menghentikan tindakan medis yang di sepakati oleh pihak keluarga dan dokter. Menurut pendapat Toni Eka

Chandra menyatakan setuju

Euthanasia harus di masukan ke dalam KUHP, agar ada aturan hukum khusus untuk mengatur unsur-unsur dan sanksi pidana bagi pelaku Euthanasia baik dari pihak dokter maupun keluarga pasien.

Asep Sukohar18 menyatakan bahwa

menolak tindakan Euthanasia , baik

Euthanasia Aktif dan Euthanasia Pasif karena Kode Etik Kedokteran

tidak memperbolehkan

menelantarkan pasien, apalagi

menyebabkan hilangnya nyawa

seseorang. Euthanasia menurutnya

adalah suatu tindakan pembunuhan berencana, seharusnya sebagai dokter memaksimalkan tindakan kesehatan terhadap seseorang adalah langkah yang paling tepat. Bagi para dokter

di Indonesia, Euthanasia merupakan

suatu dilema yang menempatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam posisi yang serba sulit,

17Wawancara Toni Eka Chandra, Anggota

DPRD Provinsi Lampung, 6 November 2017.

18Wawancara Asep Sukohar, Ketua IDI

(Ikatan Dokter Indonesia) Provinsi Lampung, 7 November 2017.

meskipun dalam kaca mata

kedokteran dan sudut kemanusiaan. Euthanasia ini dibenarkan karena merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit akut, tetapi dalam

kaca mata hukum Euthanasia

melanggar hak seseorang untuk hidup “ dengan menghilangkan nyawa orang lain “ ini juga merupakan salah satu perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan

hukuman dalam hukum di negara Indonesia.

Nikmah Rosidah19 menyatakan

pendapatnya tentang Euthanasia

yang sebenarnya adalah hak pasien apabila keluarga pasien tidak mampu dalam hal materi dan keadaan pasien yang sudah tidak memungkinkan lagi, dilakukan tindakan medis.

karena hal itu pendapatnya

Euthanasia seharusnya ada kebijakan khusus bagi keluarga yang kurang mampu atau pasien yang sudah kritis

terlalu lama untuk mengambil

langkah Euthanasia pasif karna

alasan kemanusian membantu

meringankan beban pasien dan

keluarga pasien.

Euthanasia belum dapat dilakukan di

Indonesia karena belum ada

kepastian hukum yang mengatur

secara khusus tentang Euthanasia

dan unsur-unsur Euthanasia

berlawanan dengan asas-asas hukum

yang berada di dalam KUHP

Indonesia. Di dalam dunia medis kedokteran yang sering terjadi ialah Euthanasia pasif, karena bila dilihat dengan sudut pandang kemanusiaan Euthanasia pasif memang terkadang menjadi ambigu/dilema dalam dunia kedokteran. Di satu sisi sudah

19Wawancara Nikmah Rosidah, Dosen

(12)

menjadi kewajiban tenaga medis untuk mengobati pasiennya, di sisi

laen pasien yang sudah tidak

memungkinkan pulih kembali

kesehatannya terus menerus bertahan

hidup menggunakan alat bantu

medis.

II. PENUTUP

A. Simpulan

1). Kebijakan Formulasi Terhadap Tindakan Euthanasia Menurut KUHP dan RUU KUHP adalah

suatu perumusan ketentuan

pidana tentang suatu objek yang belum diatur didalam KUHP dan peraturan lain diluar KUHP. Tentang suatu tindakan dokter yang bertujuan mempercepat

kematian seseorang dalam

keadaan tertentu, yang disetujui baik dari pihak tenaga medis dan pihak keluarga pasien. Tetapi dalam hukum pidana Indonesia barang siapa yang melakukan

tindakan pembunuhan atau

merampas nyawa orang lain meskipun itu permintaan diri sendiri dan sudah disetujui oleh

korban atau keluarganya

tindakannya tetap tidak dapat dibenarkan dihadapan hukum karena perbuatan apapun yang menyebabkan hilangnya nyawa

seseorang memenuhi

unsur-unsur pembunuhan . pasal-pasal

yang berhubungan dengan

tindakan Euthanasia di Indonesia yakni Pasal 344, Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dan Pasal

583, Setiap orang yang

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 9

(sembilan) tahun.

2). Pandangan Masyarakat terhadap Euthanasia di Indonesia adalah Euthanasia adalah tindakan yang tidak dibenarkan, baik Euthanasia Pasif Dan Euthanasia Aktif. Karena,

perbuatan apapun yang

disengaja maupun tidak

menyebabkan hilangnya nyawa seseorang masuk ke dalam pidana pembunuhan, dimana Euthanasia bertujuan untuk

mempercepat kematian

seseorang dengan menghentikan tindakan medis yang di sepakati oleh pihak keluarga dan dokter.

Sebaiknya Euthanasia harus di

masukan ke dalam KUHP, agar ada aturan hukum khusus untuk mengatur unsur-unsur dan sanksi

pidana bagi pelaku Euthanasia

baik dari pihak dokter maupun keluarga pasien.

B.Saran

1) Pertama, sebaiknya pemerintah membuat aturan

khusus tentang Euthanasia

supaya para tenaga medis

tidak dilemma dalam

penanganan kesehatan

dalam kondisi tertentu,

pembaharuan dalam

undang-undang kesehatan

(13)

selama ini banyak sekali

kasus dalam dunia

kesehatan yang mengaruh

kepada tindakan Euthanasia

namun karena tidak adanya aturan maka baik pihak

dokter maupun keluarga

pasien tidak dapat

mengambil keputusan yang

mengkibatkan pasien disahkan sebaiknya seburuk

apapun keadaan pasien

dokter atau tenaga medis harus tetap melaksanakan tugas semaksimal mungkin dan seluruh keputusan yang senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani ”.

Kedokteran, cetakan pertama, Bandung: CV Madar Maju.

Soeroso, R. 2005. Pengantar Ilmu

Hukum, cetakan kelima, Jakarta: Sinar Grafika.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Ilmu

Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: PT Prenhalindo.

Barda Nawawi Arief. 2008. Masalah

Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana.

Barda Nawawi Arief, 2010. Masalah

Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group.

Barda Nawawi Arief, 2009.

Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,

Semarang: Badan Penerbit

Referensi

Dokumen terkait

Dampak Penggunaan Alasan Penetapan Skor mengenai Kriteria Kinerja Subjektif dan Aktivitas Grup terhadap Penilaian Kinerja Subjektif dalam.. Upaya Mengurangi Bias Kemurahan

Hasil penelitian dari 30 keluarga bayi tentang gangguan buang air besar pada masa nifas di BPM Ratijah Telukwetan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara Tahun 2012

Parkland Word Mayong Jepara dalam usahanya untuk mempertahankan mutu atau kualitas dari produk yang dihasilkan yaitu sepatu adidas dalam upayanya untuk

( STUDI KASUS RUAS JALAN WAIWADAN – WAIWERANG, WAIWADAN - BUKIT SABURI, KECAMATAN ADONARA BARAT, KABUPATEN FLORES TIMUR ).. DISUSUN

Data Primer diperoleh langsung dari 38 responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan, dan observasi di lapangan untuk memperoleh data tentang

Pembuktian adanya validitas konstruk alat ukur pada dasarnya merupakan usaha untuk menunjukan bahwa skor yang dihasilkan suatu alat ukur benar-benar mencerminkan konstruk

Bogor taun ajaran 2015/2016, média bonéka jadi salah sahiji alternatif dna. pangajaran ngaregepkeun hususna

Dengan ditolaknya H0 pada hipotesis H1, H2 serta H3, maka hasil penelitian ini secara empiris memiliki cukup bukti yang signifikan dan dapat memprediksi bahwa ketidakpastian