viii ABSTRAK
Riyanti, Catarina Erni. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas bentuk-bentuk tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (c) maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.
Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian dan sumber data penelitian ini adalah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan antaranggota keluarga pada keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta dalam rentang waktu bulan April sampai bulan Juni 2013. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik observasi, teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Sesuai dengan rumusan masalahnya, hasil dari penelitian ini adalah pertama
ix
ABSTRACT
Riyanti, Catarina Erni. 2014. Impoliteness of Linguistic and Pragmatic in Domain of Family Educators in the Yogyakarta Municipality. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This study discusses the forms of verbal utterances which are impolite among family within the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality. This study answers three issues, namely: (a) what are form of linguistic and pragmatic impoliteness which contained in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality, (b) what are the linguistic and pragmatic markers impoliteness used by families of educators in the Yogyakarta municipality, (c) what are the underlying intentions of speakers use linguistic forms that are impolite in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality.
Based on the methods, this study is included to the qualitative descriptive research. Subject of the study and data sources of this study is families of educators in the Yogyakarta Municipality. The data of this research is taken from impolite utterances spoken among family members in families of educators in the Yogyakarta municipality within the period of April to June 2013. The data collection methods used in this study refers to the See method and the Capable method with observation techniques, tapping techniques, and inducement techniques. The instrument in this study is a guideline or interview guide (list of questions), inducement, the list of cases, and the researchers themselves. Analysis of the data in this study uses contextual methods.
According to the problems formulation, the results of this study is first,
i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PENDIDIK
DI KOTAMADYA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh: Catarina Erni Riyanti
091224093
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv MOTTO
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk
mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan
belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
(Oleh Mario Teguh)
Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau
menjadi bijak di masa depan.
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini kepada:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menemani
dengan penuh kesetiaanNya.
Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Nuryanto dan Ibu Trimurni
yang selalu memberi kasih tanpa batas.
Kedua saudariku tercinta, Yuk Yeni (alm.) dan Dik Tika yang
selalu memberi dukungan.
Teristimewa, Bayu Saputra yang selalu mendukung dengan segala
macam bentuk perhatiannya.
Teman sekolaboratif, Tina, Ita, Clara, dan Idang, kebersamaan
viii ABSTRAK
Riyanti, Catarina Erni. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas bentuk-bentuk tuturan lisan tidak santun antaranggota keluarga dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta, (c) maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.
Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian dan sumber data penelitian ini adalah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan antaranggota keluarga pada keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta dalam rentang waktu bulan April sampai bulan Juni 2013. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik observasi, teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Sesuai dengan rumusan masalahnya, hasil dari penelitian ini adalah pertama
wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan antaranggota keluarga maupun antarkeluarga yang tidak santun dan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan. Kedua penanda
ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2) tekanan, (3) intonasi, (4) kata fatis, dan (5) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tujuan tuturan, (4) tindak verbal, dan (5) tindak perlokusi. Ketiga maksud
ix
ABSTRACT
Riyanti, Catarina Erni. 2014. Impoliteness of Linguistic and Pragmatic in Domain of Family Educators in the Yogyakarta Municipality. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This study discusses the forms of verbal utterances which are impolite among family within the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality. This study answers three issues, namely: (a) what are form of linguistic and pragmatic impoliteness which contained in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality, (b) what are the linguistic and pragmatic markers impoliteness used by families of educators in the Yogyakarta municipality, (c) what are the underlying intentions of speakers use linguistic forms that are impolite in the domain of families of educators in the Yogyakarta municipality.
Based on the methods, this study is included to the qualitative descriptive research. Subject of the study and data sources of this study is families of educators in the Yogyakarta Municipality. The data of this research is taken from impolite utterances spoken among family members in families of educators in the Yogyakarta municipality within the period of April to June 2013. The data collection methods used in this study refers to the See method and the Capable method with observation techniques, tapping techniques, and inducement techniques. The instrument in this study is a guideline or interview guide (list of questions), inducement, the list of cases, and the researchers themselves. Analysis of the data in this study uses contextual methods.
According to the problems formulation, the results of this study is first,
manifestation of the linguistic form of utterances spoken impoliteness among family members and between families that are impolite and form a description impoliteness pragmatic context surrounding each utterance. Both, impoliteness
linguistic markers found in the form of (1) tone, (2) pressure, (3) intonation, (4) the word phatic, and (5) word choice (diction). Impoliteness pragmatic markers can be seen based on the context surrounding the speech. The context includes (1) the speaker and hearer, (2) the situation and atmosphere, (3) the purpose of the speech, (4) acts of verbal, and (5) the effect of speech . Third, the purpose of
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta
dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Kaprodi PBSI dan pembimbing II yang telah memberikan pendampingan, saran, dan nasihat kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakaprodi PBSI yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang telah mendampingi, membimbing, mengarahkan, dan memberikan berbagai masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma yang telah membagi ilmu dengan penuh kebijaksanaan selama kegiatan perkuliahan.
7. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrative.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Sistematika Penyajian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8
2.1 Penelitian yang Relevan ... 8
2.2 Pragmatik ... 13
2.3 Fenomena Pragmatik ... 15
2.3.1 Praanggapan ... 15
2.3.2 Tindak Tutur ... 16
2.3.3 Implikatur ... 18
2.3.4 Deiksis ... 19
xiii
2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa ... 23
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan ... 25
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 25
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 27
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 29
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 30
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts ... 31
2.5 Konteks Tuturan ... 33
2.6 Unsur Segmental ... 44
2.6.1 Diksi ... 44
2.6.2 Gaya Bahasa ... 47
2.6.2.1 Majas Hiperbola ... 48
2.6.2.2 Majas Perumpamaan ... 48
2.6.2.3 Majas Metafora ... 48
2.6.2.4 Majas Eufemisme ... 49
2.6.3 Kategori Fatis ... 49
2.7 Unsur Suprasegmental ... 51
2.7.1 Tekanan ... 51
2.7.2 Intonasi ... 52
2.7.3 Nada ... 52
2.8 Maksud dan Makna ... 53
2.9 Kerangka Berpikir ... 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 60
3.1 Jenis Penelitian ... 60
3.2 Data dan Sumber Data ... 61
xiv
3.4 Instrumen Penelitian ... 64
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 64
3.6 Sajian Hasil Analisis Data ... 66
3.7 Trianggulasi data ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67
4.1 Deskripsi Data ... 67
4.1.1 Melanggar Norma ... 68
4.1.2 Mengancam Muka Sepihak ... 68
4.1.3 Melecehkan Muka ... 69
4.1.4 Menghilangkan Muka ... 70
4.1.5 Menimbulkan Konflik ... 71
4.2 Hasil Penelitian ... 72
4.2.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 72
4.2.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 73
4.2.1.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 75
4.2.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 79
4.2.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 83
4.2.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 85
4.2.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 96
4.2.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 96
4.2.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 98
4.2.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 101
4.2.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 105
4.2.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 106
4.2.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur ... 139
4.2.3.1 Maksud supaya tidak Dimarahi ... 140
4.2.3.2 Maksud Protes ... 140
4.2.3.3 Maksud Kesal ... 141
4.2.3.4 Maksud Memotivasi ... 143
4.2.3.5 Maksud Bercanda ... 144
xv
4.2.3.7 Maksud Khawatir ... 146
4.2.3.8 Maksud Menolak ... 146
4.2.3.9 Maksud Melarang ... 147
4.2.3.10 Maksud Menunda ... 148
4.2.3.11 Maksud Mengancam ... 148
4.2.3.12 Maksud Kagum ... 149
4.2.3.13 Maksud Memaksa ... 149
4.2.3.14 Maksud Kecewa ... 150
4.2.3.15 Maksud Asal Bicara ... 150
4.2.3.16 Maksud Menuduh ... 150
4.2.3.17 Maksud Mengingatkan ... 151
BAB V PENUTUP ... 152
5.1 Simpulan ... 152
5.2 Saran ... 154
5.2.1 Bagi Keluarga ... 155
5.2.2 Bagi Peneliti Lanjutan ... 155
DAFTAR PUSTAKA ... 156 LAMPIRAN
xvi
DAFTAR BAGAN
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Data Tuturan Kategori Melanggar Norma ... 68
Tabel 2: Data Tuturan Kategori Mengancam Muka Sepihak ... 69
Tabel 3: Data Tuturan Kategori Melecehkan Muka ... 70
Tabel 4: Data Tuturan Kategori Menghilangkan Muka ... 71
1 BAB I
PENDAHULIAN
Bab pendahuluan ini berisi uraian mengenai (1) latar belakang; (2)
rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; dan (5)
sistematika penyajian. Berikut adalah uraiannya.
1.1 Latar Belakang
Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik.
Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja. Pada dasarnya
linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan
makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa
tersebut, sedangkan makrolinguistik mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu
yang lain, seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan
sebagainya.
Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Pragmatik adalah studi
tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh
pendengar (atau pembaca). Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa
yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks
itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan
disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam
keadaan apa. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual (Yule, 2006:3).
Ketidaksantunan berbahasa bukanlah bentuk pertentangan dari kesantunan
berbahasa. Kedua fenomena ini berbeda dan tidak bisa di sejajarkan. Jika
kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak
menyinggung perasaan orang lain, ketidaksantunan berbahasa merupakan
penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang
lain. Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam kajian
pragmatik. Pemahaman Culpeper (Bousfield, 2008) tentang ketidaksantunan
berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative
behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target
to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan
muka’.
Manusia berkomunikasi dengan menggunakan alat yang disebut bahasa.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi
oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang digabungkan menurut aturan tertentu
akan menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara
dalam bahasa itu. Bahasa yang digunakan hendaknya mudah dipahami oleh lawan
bicara supaya penyampaian informasinya tersampaikan dengan baik.
Keluarga adalah tempat manusia memperoleh bahasa pertamanya. Kualitas
bahasa yang diproduksi oleh seorang penutur dapat menggambarkan bagaimana
identitas keluarganya. Kualitas bahasa yang halus maupun kasar, santun ataupun
orang lain di luar lingkungan keluarga intinya. Meski demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa kekasaran atau kehalusan bahasa yang digunakan juga
dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarga inti.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga (ayah) dan beberapa orang (ibu dan anak) yang terkumpul dan tinggal di
suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga
semacam ini dikatakan sebagai keluarga inti. Keluarga merupakan wadah pertama
terjadinya komunikasi.
Status sosial atau strata sosial mempengaruhi cara berkomunikasi
masyarakatnya. Cara berkomunikasi dalam kelompok masyarakat terkecil yang
tidak lain adalah keluarga sangat erat kaitannya dengan status sosial yang telah
melekat pada keluarga itu sendiri. Status sosial ini membagi keluarga dalam
kelas-kelas sosial sesuai dengan lingkup pekerjaan dan lingkungannya. Secara
umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari
tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Midlle Class), dan bawah
(Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya
sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok
pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas
bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan
semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan
khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik
strata dalam satu lingkungan yang membedakannya dengan strata pada
lingkungan lainnya (Bungin, 2006:49−50).
Keluarga pendidik merupakan sebuah keluarga yang berprofesi sebagai
pendidik (guru ataupun dosen). Seorang pendidik hendaknya menggunakan
bahasa yang halus, santun, dan baik dalam berkomunikasi dengan anggota
keluarga maupun dengan orang lain di luar rumah. Orang tua yang mendidik anak
di rumah dengan bahasa yang halus, santun, dan baik, ketika mereka
berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah, mereka akan menggunakan
bahasa yang demikian juga. Secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara
santun, tidak hanya berlaku bagi keluarga pendidik saja. Setiap orang wajib
menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai
(Pranowo, 2009).
Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa masih jarang dilirik oleh
para ahli bahasa. Sedangkan penelitian mengenai kesantunan berbahasa sangatlah
banyak diteliti. Ketidaksantunan merupakan fenomena baru yang ada dalam
kajian pragmatik. Pendidik dianggap sebagai seseorang yang sering menggunakan
bahasa yang santun dalam berkomunikasi, terutama dalam kesehariannya di
lingkungan sekitar, seperti di lingkungan pendidikan. Profesi sebagai pendidik
dijadikan acuan dalam penggunaan bahasa yang santun. Inilah yang
menggerakkan niat peneliti untuk menguak adakah ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam ranah keluarga pendidik. Sumber data penelitian ini adalah
keluarga pendidik, baik itu guru TK, SD, SMP/ MTS, dan SMA/ MA, bahkan
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, kemudian dibuat
rumusan masalahnya sebagai berikut.
1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat
dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan
oleh keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya
Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya, Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam
ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga pendidik di
Kotamadya Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai
a. Manfaat Teoretis :
1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.
2) Berbagai kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat
memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru.
b. Manfaat Praktis
1) Kajian ini akan dapat digunakan oleh para praktisi dalam bidang keluarga
untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa
yang harus dihindari dalam praktik berkomunikasi.
2) Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup
keluarga yang merupakan faktor sangat penting dan berpengaruh bagi
pembentukan karakter bangsa.
1.5 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang diteliti, yaitu ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang
dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang
relevan, (2) teori pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) teori ketidaksantunan,
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data penelitian, (3) metode dan
teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis
data, dan (5) sajian hasil analisis data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data dan (2) hasil penelitian dan
pembahasan. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Berikut ini adalah uraian mengenai kajian pustaka meliputi penelitian yang
relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi
tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain.
Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk memecahkan
masalah dalam penelitian, teori-teori itu seperti teori pragmatik, fenomena
pragmatik, teori ketidaksantunan berbahasa, konteks, unsur segmental dan unsur
suprasegmental. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu dan teori yang relevan digunakan untuk
menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini belum banyak diteliti. Hal ini
menyebabkan peneliti sulit menemukan contoh penelitian yang relevan. Penelitian
mengenai ketidaksantunan berbahasa merupakan kajian baru yang belum banyak
diteliti oleh para ahli bahasa. Penelitian mengenai kesantunan berbahasa di
berbagai ranah kehidupan sudah banyak diteliti. Peneliti menemukan empat
penelitian yang relevan mengenai ketidaksantunan berbahasa. Peneliti yang
terdahulu adalah Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013), Olivia Melissa
Puspitarini (2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Agustina Galuh Eka
Penelitian yang relevan tentang ketidaksantunan pernah dilakukan oleh
Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang
digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata
Dharma. Peneliti menggunakan dua metode dalam penelitan ini, pertama metode
simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik
simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar
berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap
semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri
dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka.
Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
(penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan
tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada,
tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat
berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan
suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna
ketidaksantunan berbahasa, yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada
mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang
menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di
depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra
tutur.
Penelitian serupa dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang
diberi judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen
dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011.
Peneliti menjadikan dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber
data dari penelitian deskriptif kualitatif ini. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan
instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar
kasus. Penelitian ini juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumnya,
yakni pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan
wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa, yaitu uraian konteks tuturan
tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik, yaitu nada, intonasi, tekanan,
dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan, yakni
penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi: 1) melecehkan muka, yakni penutur
menyindir atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka, yakni penutur
membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja, yakni
penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan
tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara
depan banyak orang, dan 5) mengancam muka, yakni penutur memberikan
ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) juga melakukan penelitian yang sama dan
diberi judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru
dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.
Pengumpulan data pada penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan
metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa
Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan, yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka, yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur
hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka, yakni tuturan yang
membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap
penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja, yakni
penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan
memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan,
dan (5) menghilangkan muka, yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan
banyak orang.
Peneliti keempat adalah Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013) dengan judul
penelitiannya adalah Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa
Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis
penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti ini serupa dengan
penelitian sebelumnya, yaitu penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap
dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau
panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti
sendiri. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode
kontekstual. Penelitian ini menjawab tiga masalah tentang (a) wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh
antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan antarsiswa di SMA
Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah makna penanda ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antarsiswa di SMA Stella
Duce 2 Yogyakarta.
Penelitian ini tidak jauh berbeda dari penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya. Penelitian ini hanya dibedakan dari ranahnya saja. Penelitian
sebelumnya mengacu pada fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
berbahasa dalam ranah keluarga pendidik di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian
ketidaksantunan berbahasa ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif yang
menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam metode
simak adalah teknik catat dan rekam, serta teknik observasi. Sedangkan untuk
metode cakap adalah teknik pancing. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah panduan wawancara (daftar pertanyaan yang digunakan berupa kasus
yang dapat memunculkan tuturan ketidaksantunan berbahasa). Metode dan teknik
analisis data dilihat dari segi pragmatik dan linguistik. Pertama; linguistik,
menggunakan metode padan intralingual, teknik dasar teknik hubung banding
yang bersifat lingual. Kedua; pragmatik, menggunakan metode ekstralingual,
teknik dasar teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Data yang telah
dianalisis, hasilnya berupa wujud-wujud atau bentuk, penanda, dan maksud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga pendidik di
Kotamadya Yogyakarta.
2.2 Pragmatik
Pragmatik merupakan studi tentang bagaimana orang lain saling memahami
satu sama lain dalam bertutur. Selain itu, seseorang juga harus memahami apa
yang ada dalam pikiran orang lain sebagai lawan tuturnya. Pragmatik
mengarahkan supaya seseorang harus menggali makna/maksud yang masih
tersamarkan pada orang lain.
Yule menguraikan empat ruang lingkup dalam pragmatik. Ruang lingkup itu
adalah: pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur; kedua,
tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan;
dan keempat; pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan (Yule,
2006: 3-4). Konsep lain yang dikemukakan oleh Levinson (1983) via Nadar
(2009:4) tentang pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan
konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.
Jacob L. Mey (1983) via Rahardi mendefinisikan sosok pragmatik seperti
berikut ini. Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as
these are determined by the context of society. Jadi, pragmatik adalah ilmu bahasa
yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu
harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana
kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Rahardi, 2003:15).
Konsep lain tentang pragmatik oleh Huang (2007:2), yakni “Pragmatics is
the study of linguistic acts and the contexts in which they are performed.” Artinya
bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku linguistik dan
konteksnya dimana mereka digunakan. Definisi lain mengenai pragmatik yaitu,
“pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, dependent on, the use
of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature,
presupposition, speech acts, and deixis.” Artinya bahwa pragmatik adalah
pembelajaran yang sistematis mengenai arti terutama yang tergantung pada
penggunaan bahasa. Pokok bahasan yang utama dalam kajian pragmatik meliputi
implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan deiksis.
Seseorang harus memahami situasi dan kondisi lawan tutur saat terjadi
merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam situasi tertentu. Pragmatik tidak pernah lepas dari istilah
konteks yang menjadi pijakan utamanya.
2.3 Fenomena Pragmatik
Studi pragmatik mengajak seseorang untuk memahami orang lain ketika
bertutur kata. Seseorang harus mengerti bagaimana konteks saat itu.
Fenomena-fenomena yang sering muncul dalam ilmu pragmatik, yaitu praanggapan, tindak
tutur, implikatur, deiksis, dan kesantunan. Semua fenomena itu akan dijelaskan
sebagai berikut.
2.3.1. Praanggapan/ Presupposisi
Ada suatu anggapan bahwa ketika seorang penutur menyampaikan
informasi tertentu mengganggap bahwa pendengar telah mengetahuinya. Karena
informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, maka informasi yang demikian
biasanya tidak dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang
disampaikan tetapi tidak dikatakan. Praanggapan merupakan suatu fenomena
pragmatik mengenai beberapa aspek makna yang tidak tampak.
Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh Wahyuni
(2006:43–52) dengan judul Pragmatik mendeskripsikan praanggapan/ pesupposisi
adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum
menghasilkan suatu tuturan. Yule juga membagi presupposisi menjadi 6 jenis,
yaitu eksistensial, faktif, non-faktif, leksikal, struktural, dan konterfaktual/ faktual
bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain
apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran
atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan.
Berdasarkan uraian di atas, praanggapan/ presuposisi merupakan suatu
makna dari tuturan si penutur yang masih tersirat dan belum diungkapkan kepada
mitra tutur.
2.3.2. Tindak Tutur
Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak
tutur dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus,
misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.
Pada suatu saat, tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan
akan mengandung 3 tindak yang saling berhubungan. Yang pertama adalah tindak
lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan
linguistik yang bermakna.
Kebanyakan kita tidak hanya menghasilkan tuturan-tuturan yang terbentuk
dengan baik tanpa suatu tujuan. Kita membentuk tuturan dengan beberapa fungsi
di dalam pikiran. Ini adalah dimensi kedua, atau tindak ilokusi. Tindak ilokusi
ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Suatu tuturan itu bisa
berupa pernyataan, tawaran, penjelasan atau maksud komunikatif lainnya.
Tentu kita tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi
tanpa memaksudkan tuturan itu memiliki akibat. Inilah dimensi ketiga, tindak
perlokusi. Dengan bergantung pada keadaan, jika ada yang menuturkan “Saya
yang ditimbulkan (misalnya; untuk menerangkan suatu aroma yang luar biasa,
atau meminta pendengar untuk minum kopi). Ini biasanya juga dikenal sebagai
akibat perlokusi.
Sistem klasifikasi umum mencantumkan 5 jenis fungsi umum yang
ditunjukkan oleh tindak tutur, yaitu deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan
komisif (Yule, 2006:92–94). Pertama; deklarasi adalah jenis tindak tutur yang
mengubah dunia melalui tuturan, contoh: Pastor : Sekarang saya menyebut Anda
berdua suami-istri. Seperti contoh tersebut menggambarkan, penutur harus
memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan
suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur
mengubah dunia dengan kata-kata.
Kedua; representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang
diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan,
kesimpulan, dan pendeskripsian, contoh : Bumi itu datar. Itu merupakan contoh
dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada
waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan
dunia (kepercayaannya).
Ketiga; ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang
dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan, contoh: Sungguh, saya minta maaf.
Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur
Keempat; direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa
yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan,
permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan
negatif, contoh 1: Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit; contoh 2:
Jangan menyentuh itu!
Kelima; komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak
tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini
dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar, contoh: Saya akan kembali.
Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia
dengan kata-kata (lewat penutur).
2.3.3. Implikatur
Yule (2006:61) berpendapat tentang konsep implikatur, yaitu seorang
pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dan dia harus berasumsi
bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk
menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang lebih
banyak daripada kata-kata yang dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah yang
disebut dengan implikatur. Jadi bisa diartikan bahwa, implikatur merupakan
maksud yang tersirat di balik tuturan atau ujaran yang menyiratkan sesuatu yang
berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Implikatur merupakan contoh utama
dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Supaya
dasar harus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanaannya (Yule, 2006:62). Yule
juga mengklasifikasikan implikatur menjadi lima, yaitu implikatur percakapan,
implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus,
dan implikatur konvensional.
Mey (1993:99) via Nadar (2009:60) menjelaskan bahwa implikatur
“implicature” berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata bendanya adalah
implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold
“melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebutlah
haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang
dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu selalu melakukan
interpretasi pada tuturan-tuturannya.
Konsep lain diungkapkan Grice (1975) melalui Rahardi (2005:43)
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat
disebut dengan implikatur percakapan.
Berdasarkan pendapat di atas, konsep mengenai implikatur dapat dirangkum
menjadi suatu makna yang ada di balik tuturan seseorang yang masih tersamarkan
atau tersirat disebut implikatur.
2.3.4. Deiksis
Semua ungkapan deiksis ditemukan dalam ilmu pragmatik. Penafsiran
seseorang tentang suatu ujaran tergantung pada konteks, maksud penutur, dan
ungkapan-ungkapan itu mengungkapkan jarak hubungan. Ungkapan-ungkapan
Pemakaian kata-kata yang mengacu pada orang dan benda merupakan peristiwa
yang terjadi secara relatif langsung.
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal
mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui
bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut
ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga,
yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk
tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.
Yule (2006:26) juga menambahkan mengenai penafsiran deiksis yang
tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu
mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang
sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu
menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan.
Nadar (2009:54–55) mengungkapkan hal serupa mengenai deiksis, yaitu
seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan
kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang
lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjuk sesuatu, sehingga
keberhasilah suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan
tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur.
Ungkapan-ungkapan deiksis ada dalam kajian pragmatik. Penafsirannya
tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu
mengacu pada orang dan benda merupakan peristiwa yang terjadi secara relatif
langsung.
2.3.5 Kesantunan Berbahasa
Seseorang menyampaikan maksud kepada orang lain menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasinya. Penggunaan bahasa yang baik dan benar belumlah
cukup, namum harus disertai dengan kesantunan. Penggunaan bahasa yang santun
sudah sepantasnya diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi. Seseorang
yang mampu bertutur kata secara halus dan santun tentu akan mudah diterima di
masyarakat. Bahasa juga merupakan cermin kepribadian seseorang. Seandainya
perilaku bahasa setiap orang demikian santun ketika berkomunikasi menggunakan
bahasa yang verbal maupun non verbal, rasa kebencian, rasa curiga, sikap
berprasangka buruk pada orang lain tidak perlu ada. Jika demikian, terciptalah
kahidupan bermasyarakat yang bahagia dan sejahtera.
Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku. Selain penggunaan bahasa yang berupa kata-kata
atau ujaran, terdapat pula bahasa nonverbal berupa mimik, gerak gerik tubuh,
sikap atau perilaku yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang.
Ketika berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang baik dan benar,
perlu diterapkan juga kesantunan dalam setiap tindak bahasa. Struktur bahasa
yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak
secara baik, benar, dan santun dapat menjadi kebiasaan yang mampu membentuk
perilaku seseorang menjadi lebih baik.
Pada kenyataannya, penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan
dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut,
antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang
memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada
yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak
mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak
memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun (Pranowo,
2009:51).
Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal,
yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah
ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu
sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, untuk
memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur, seseorang dapat
menggunakan gaya bahasa. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk
melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain; majas
hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal
tersebut, Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu
kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan
meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara),
aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada
faktor struktur kalimat. Sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial
budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada
orang yang lebih tua), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan
mitra tutur).
Banyak ahli yang mengemukakan pendapat berkaitan dengan indikator
kesantunan dalam berbahasa. Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan
penentu apakah pemakaian bahasa seseorang dapat dikatakan santun atau tidak.
Dell Hymes menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya
memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan
komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan,
pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Berbeda
dengan Grice yang lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Kemudian
Leech, memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan alasan
penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.
Pranowo mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur yang
mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang
dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan
nilai-nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau
berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.
2.3.6. Ketidaksantunan Berbahasa
Kajian pragmatik mengandung lima fenomena yang terjadi dalam mengatasi
permasalah bahasa yang terjadi dalam kehidupan bersama di masyarakat. Seiring
untuk dikaji lebih dalam, yaitu fenomena ketidaksantunan berbahasa. Sepintas
lalu, kata ketidaksantunan merupakan lawan dari kata kesantunan. Namun, pada
dasarnya kata ketidaksantunan bukanlah lawan kata dari kesantunan.
Pranowo (2006:68––75) memaparkan tentang beberapa fakta yang
menunjukkan pemakaian bahasa secara tidak santun. Berikut ini akan diuraikan
fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat yang akhirnya
menimbulkan bahasa yang tidak santun.
Pertama; penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra
tutur) dengan kata-kata atau frasa kasar. Misalnya terdapat kata “payah” dan
“penakut” yang menunjuk pada seorang presiden/ pemimpin. Pemakaian bahasa
yang demikian dalam bertutur kata jelas dapat menyinggung perasaan mitra tutur
yang menjadi sasaran kritik.
Kedua; penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Ketika bertutur,
penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada
mitra tutur.
Ketiga; penutur protektif terhadap pendapatnya. Ketika bertutur, seseorang
kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar
tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur yang ingin
meyakinkan publik bahwa apa yang dilakukannya benar dan yang dilakukan oleh
mitra tutur salah, inilah yang membuat tuturan menjadi tidak santun.
Keempat; penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.
Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur.
kata-kata keras dan kasar, menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah,
rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur, inilah yang menggambarkan
pemakaian bahasa yang tidak santun.
Kelima; penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap
mitra tutur. Tuturan tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti
yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan.
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan
Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru yang menjadi
perhatian dalam kajian pragmatik. Dengan demikian, tidak banyak buku dan ahli
bahasa yang membahas tentang teori ketidaksantunan berbahasa. Namun, Rahardi
(2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik
dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”
memperlihatkan beberapa ahli telah mengkaji fenomena ini yang bersumber dari
buku yang berjudul Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power
in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008). Berikut
adalah pemaparan dari beberapa ahli tentang ketidaksantunan berbahasa.
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Dalam pandangan Miriam A Locher (Derek Bousfield & Mariam A.
Locher, 2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai
berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Jadi
intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’
Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak
definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau
sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving
Goffman (Rahardi, 2009).
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain
-mainkan muka’.
Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher
adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka,
sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu. Teori dari perilaku
ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.
Situasi:
Di dalam kamar ada ibu dan anak sedang bersiap-siap hendak pergi ke pesta
pernikahan saudara mereka di desa sebelah. Sang ibu mengomentari rambut anak
lelakinya.
Wujud bahasa:
Ibu : “Pulang dari Jogja kok rambutmu jadi gak hitam lagi, Bang?” Anak : “Ini model rambut tahun 2013, Bu. Aku kan anak gaul... Keren
kan, Bu... Hahaha”
Ibu : “Ooo, anak gaul itu kalau rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang! Sering panasan di luar po?”
Informasi indeksal :
Tuturan di atas disampaikan oleh seorang ibu kepada anak laki-lakinya
percakapan tersebut diketahui bahwa sang ibu mengejek rambut anak laki-lakinya
setelah pulang dari Jogja. Hal tersebut ditunjukkan dari tuturan ibu dengan
kalimat rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang! Sering panasan di luar
po?, kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan tidak santun, meskipun
disampaikan dengan nada sedang namun tuturan tersebut dapat menyinggung
perasaan mitra tutur. Berdasarkan contoh percakapan diatas dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher mengacu pada
bentuk penggunaan tuturan dari penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan
dan menyinggung perasaan mitra tuturnya.
2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield
Dalam pandangan Bousfield (Derek Bousfield & Mariam A. Locher,
2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of
intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are
purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa
yang tidak santun itu.
Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan
ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga
akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau
bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan
(purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.
Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi
Situasi :
Ketika sedang makan siang, bapak dan ibu bercakap-cakap di meja makan.
Ibu mengeluh karena sudah menunggu bapak yang tidak kunjung datang
menjemput hingga ibu pulang diantar salah satu guru di sekolahnya. Bapak tidak
kunjung datang, padahal sudah tidak ada jam mengajar lagi dan hanya ngobrol
dengan guru lainnya di kantor guru. Bapak dan ibu beda sekolah, tempat
mengajar.
Wujud bahasa :
Ibu : “Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput!” Bapak : “Enggak! Nongkrong di kantor.”
Informasi indeksal :
Tuturan di atas tampak bahwa ibu ingin mendapatkan respon langsung dari
bapak untuk menjelaskan mengapa tidak menjemput ke sekolah. Hal itu
diperlihatkan dengan tuturan Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput!
Tuturan tersebut dibalas dengan komentar bapak yang santai seolah-olah bukan
masalah besar bagi ibu. Hal itu dapat dilihat dari tuturan Nongkrong di kantor.
Yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak serius diucapkan oleh bapak. Jika
mitra tutur menanggapi dengan serius tuturan tersebut, tidak dipungkiri bahwa
akan timbul konflik diantara mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat
disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan menurut pandangan Bousfield ini lebih
menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan yang berupa tuturan oleh
penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra
tuturnya dengan tanggapan seenaknya sendiri secara sengaja dan dapat
2.4.3 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3)
tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it,
involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or
perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face
loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu
dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka).
Jadi, ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan
perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang
benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’
kehilangan muka. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
dicontohkan dalam situasi berikut ini.
Situasi:
Ketika ada arisan ibu-ibu di rumah, ibu yang menegur anak gadisnya yang
sudah semester 11 namun belum lulus kuliah S1. Anak tersebut baru pulang dari
kampus.
Wujud bahasa :
Ibu : “Dari mana saja, Mbak?” Anak : “Dari kampuslah, Bu.”
Ibu : “Kamu ini sudah semester 11 tapi kok gak lulus-lulus sih.”
Informasi indeksal:
Tuturan di atas tampak bahwa penutur mempermalukan mitra tutur
dihadapan banyak orang ketika acara arisan. Hal ini nampak dalam tuturan sudah
disampaikan secara tidak santun karena mempermalukan anak gadisnya sendiri
dihadapan banyak orang. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield ini lebih
menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang
memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tutur.
2.4.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi
Terkourafi (Derek Bousfield & Mariam A. Locher, 2008:3) memandang
ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not
conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the
addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by
the hearer.’ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak
santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan
muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman
muka itu dari mitra tuturnya. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini
dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini.
Situasi:
Di siang yang terik sang adik baru pulang kuliah. Ia membawa surat
undangan pernikahan mantan kekasih kakak perempuannya. Adik tahu bahwa
sang kakak baru putus cinta kira-kira dua bulan yang lalu, namun mantannya
tersebut sudah menemukan calon pasangan hidup. Sedangkan kakaknya belum
Wujud bahasa:
Adik : “Mbak, ini undangan pernikahan dari Abang. Calon pengantin perempuannya cantik kaya mbak.”
Mbak : “Iyalah, kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku?
Informasi indeksal:
Tuturan tersebut menunjukkan bahwa adik meminta tanggapan dari
kakaknya, namun tuturan yang dikeluarkan membuat sang kakak merasa jengkel
dan tidak nyaman yaitu dengan tuturan undangan pernikahan dari Abang. Calon
pengantin perempuannya cantik banget lho. Dari tuturan tersebut, kakak
menanggapinya dengan nada tinggi dan sinis yang mengancam muka secara
sepihak terhadap adik. Tanggapan itu membuat mitra tutur merasa terancam muka
dan malu dengan tuturan Iyalah. Kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku?
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan
berbahasa menurut pandangan Terkourafi lebih menekankan pada bentuk
penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki tujuan untuk
mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak
menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.
2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and
Watts
Locher and Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah
perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior),
lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Mereka
juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk
Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,
‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much
as this negation as polite versions of behavior.’ (Derek Bousfield & Mariam A.
Locher, 2008:5). Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
dicontohkan dalam situasi berikut ini.
Situasi:
Pagi hari di teras rumah berkumpullah bapak, ibu, dan anak-anaknya. Sang
bapak menyuruh anaknya mengambilkan kunci motor karena bapak akan pergi.
Pada prinsipnya, sang anak tahu jika memberikan sesuatu kepada orang lain
menggunakan tangan kanan. Ketika menyerahkan kunci motor, sang anak
menggunakan tangan kirinya.
Wujud bahasa:
Anak : “Ini kuncinya, Pak.” (memberikan kunci dengan tangan kiri)
Bapak : “Kamu sekolah dimana? Kalau memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri.”
Anak : “Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa.”
Informasi indeksal :
Tuturan disampaikan oleh anak dengan nada santai, namun membuat
bapaknya jengkel karena anak memberikan kunci motor dengan tangan kirinya.
Dari percakapan tersebut terlihat bahwa si anak tidak mengindahkan norma
kesopanan yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan
kanan. Sang anak tidak memperhatikan norma kesopanan yang diajarkan oleh
bapaknya yaitu dengan tuturan Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa. tuturan
tersebut merupakan tuturan tidak santun karena telah mengacuhkan dan