• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam Tifoid RS Panti Rapih Yogyakarta dengan metode Body Surface Area dan pedoman terapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam Tifoid RS Panti Rapih Yogyakarta dengan metode Body Surface Area dan pedoman terapi"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Regina Asri Cahyaningtyas NIM : 138114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

HALAMAN JUDUL

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Regina Asri Cahyaningtyas NIM : 138114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Your true success in life begins only when you make

the commitment to become excellent at what you do

- Brian Tracy -

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus sebagai sumber kekuatan dan pengharapanku, Bunda

Maria bunda pendengar, penolong, dan penghantar permohonanku, serta

Santa Regina santa pelindungku.

Papi & mami yang senantiasa mendoakan dan mendukungku, serta adikku

yang selalu menyayangi dan menyemangatiku

Sahabat – sahabat yang tiada henti menjadi penghibur, penyemangat, dan

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih yang telah memberikan rahmat dan anugerah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Kesesuaian Dosis Antibiotika Pasien Pediatrik Demam Tifoid RS Panti Rapih dengan Metode Body Surface Area dan Pedoman Terapi (Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Juni 2015-Juni 2016)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi. Diharapkan juga dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembaca tentang kesesuaian dosis antibiotik pasien pediatrik demam tifoid dengan metode Body Surface Area dan Pedoman Terapi.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan tenaga, pikiran, waktu, kasih saying, dan bantuan berbagai pihak, maka dengan penuh syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, waktu, semangat dan masukan untuk penyelesaian penelitian ini.

3. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam penelitian ini.

4. Ibu Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam penelitian ini.

5. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. sebagai Bapak DPA FSM B yang senantiasa mengayomi, mendukung, dan membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

(9)

viii

6. Kedua orang tua, Bapak Tri Santosa, Ibu Sri Resminingsih, Adik Tarcisius Risang Pratana, dan saudara–saudara penulis yang telah memberikan semangat, doa, dan kasih.

7. Ervin, Sakti, dan Sara yang menjadi rekan berjuang bersama; atas kerjasama dan dinamika selama penelitian berlangsung, Lexy yang selalu memberi semangat dan masukan; Elwy, Tasha, Dipta, Fidel, Ellin, Ajeng, Lia, Oka, Eta, Fenny, Lia Eliza, Wilda, Vania yang menjadi tempat saling berbagi dan mendukung.

8. Sahabat-sahabat penulis yaitu Novi, Shanny, Angel, Ceria,Winner, Sensa, Dea, Yovita, Febe, Titi, Yola, dan Inggih yang setia mendampingi selama ini dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini walaupun kita terpisah oleh selat, benua, dan samudera, terimakasih atas doa dan semangat yang kalian berikan. Terimakasih atas keceriaan dan pengalaman yang membuat rindu.

9. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitasi Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.

10. Teman-teman FSM B dan FKK B serta semua angkatan 2013 yang telah bersama-sama berbagi pengalaman, suka, dan duka selama berkuliah di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan di dalam skripsi ini. Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan selamat membaca.

Yogyakarta, 20 Mei 2017

(10)

ix

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016) Regina Asri Cahyaningtyas

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529 reginaasri24@gmail.com

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Obat antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak digunakan di masyarakat. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional yang bersifat retrospektif yang membandingkan dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi untuk mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik antara dosis resep dengan dosis BSA dan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi.Terdapat 41 (58,57%) kasus obat yang tidak sesuai berdasarkan pedoman terapi dan 53 (75,71%) kasus obat tidak sesuai berdasarkan BSA dari total 70 kasus obat. Hasil uji Chi-Square (p=0,248) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis pedoman terapi dan dosis BSA. Uji hipotesis komparatif kategorik dilakukan dengan uji Cohen’s Kappadimana hasil uji Cohen’s kappa ( -0,128) menyatakan bahwa tidak ada hubungan keeratan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi.

(11)

x ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease that is a health problem in developing countries, including Indonesia. An antibiotic drug is one of the most widely used drugs in the community. This was an observational analytical study with a retrospective cross-sectional design that compared prescription doses with BSA doses and prescribed doses with therapeutic dose guidelines to determine the association of agreement dose of antibiotics between prescription doses and BSA doses and between prescription doses and therapeutic dose guidelines. There were 41 (58.57%) unsuitable drug cases based on therapeutic guidelines and 53 (75.71%) of unsuitable drug cases based on BSA of a total of 70 drug cases. Chi-Square test results (p = 0.248) showed no significant difference in the dosage of antibiotics of pediatric patients with typhoid fever on therapeutic dose and BSA dosage. The categorical comparative hypothesis test was performed by Cohen's Kappa test wherein the Cohen's kappa test (-0.128) stated that there was no correlation between the dosage of prescribed dose prescribing with BSA dose and prescription dose with therapeutic dose of therapy.

Keywords: Typhoid Fever, Body Surface Area, Therapeutic Guidelines,

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

KESIMPULAN ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

LAMPIRAN ... 17

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Formula Perhitungan Dosis dengan BSA ... 3 Tabel II. Karakteristik Pasien berdasarkan Umur, Berat Badan,dan

Jenis Kelamin ... 5 Tabel III. Karakteristik Ketepatan Antibiotik ... 6 Tabel IV. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis

Pedoman Terapi ... 7 Tabel V. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ... 17

Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ... 18

Lampiran 3. Surat Legalitas SPSS 22 ... 19

Lampiran 4. Definisi Operasional Penelitian... 20

Lampiran 5. Kesesuaian Dosis Antibiotik (70 kasus obat) ... 21

Lampiran 6. Uji Statistika Chi-Square dan Cohen’s Kappa ... 24

(16)

1 PENDAHULUAN

Demam tifioid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di negara berkembang. Manusia merupakan satu-satunya host bagi bakteri Salmonella typhi. Infeksi demam tifoid bersumber dari konsumsi makanan ataupun minuman yang terkontaminasi (WHO, 2011). Rata-rata kejadian kasus demam tifoid di Indonesia sebanyak 900.000 per tahun dengan angka kematian mencapai 20.000 jiwa. Pada area endemik demam tifoid banyak ditemukan kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun (WHO, 2003). Menurut Anggraini, (2014) data tahun 2010 menunjukkan bahwa demam tifoid menduduki peringkat ke-3 dari 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian demam tifoid sebanyak 55.098 kasus dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 2,06% (KEMENKES, 2012). Insiden demam tifoid di Indonesia sebesar 108,3 tiap 100.000 orang tiap tahun direntang usia 5-15 tahun (Ochiai et al., 2008).

Antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak digunakan di masyarakat. Hal ini karena menurut KEMENKES RI (2011) penyakit infeksi termasuk dalam sepuluh penyakit terbesar di Indonesia. Peresepan yang tidak tepat dapat berkontribusi dalam kejadian resistensi antibiotik. Sebesar 30%-50% indikasi terapi, pemilihan antibiotik atau durasi terapi antibiotik tidak tepat (Ventola, 2015). Pemberian terapi antibiotika yang kurang tepat dapat menimbulkan masalah resistensi dan potensi adanya adverse reaction sehingga diperlukan peran apoteker untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik (CDC, 2015). Angka kejadian efek samping yang muncul saat pengobatan demam tifoid pada anak menurut penelitian tahun 2009 sebesar 5% (Pratiwi, 2010). Aspek farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi) pada pediatrik dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan organ pediatrik. Perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antara pediatrik dan dewasa menjadi dasar dalam penyesuaian dosis terapi (Kimble, 2013).

Perhitungan dosis untuk antibiotik dapat menggunakan formula Body Surface Area (BSA). Rumus BSA diperkirakan lebih akurat dibandingkan dengan rumus yang lain,

(17)

2 2008).

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta memiliki 345 tempat tidur, dengan nilai Bed Occupancy Ration (BOR) sebesar 78.65%. Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta diharapkan dapat mewakili salah satu rumah sakit di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai ada atau tidaknya hubungan keeratan kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pada pedoman terapi rumah sakit dan dosis resep dengan dosis yang dihitung berdasarkan BSA khususnya di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, sehingga formula ini dapat digunakan sebagai acuan para teknisi untuk penyesuaian dosis jika tidak ada guideline.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan pola peresepan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap penderita demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015-Juni 2016. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui persentase ketidaksesuaian dosis antibiotik yang dihitung menggunakan rumus BSA dan pedoman terapi serta mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis resep dengan dosis BSA.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan cross-sectional yang bersifat retrospektif dimana pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi ataupun perlakuan terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2015 – Juni 2016. Pengambilan data dilakukan dengan cara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran data rekam medik pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Juni 2015 – Juni 2016. Penelitian ini mengobservasi adanya hubungan keerataan kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis resep dengan dosis BSA.

(18)

3

yang diambil dari rekam medik dalam penelitian ini adalah nomer rekam medik pasien, umur, jenis kelamin, berat badan, nama dan dosis antibiotik, frekuensi pemberian dan durasi pemberian antibiotik. Penelitian ini memiliki Ethical Clearence dari Fakultas Kedokteran Universitas Duta Wacana Yogyakarta dengan nomor 292/C.16/FK/2017.

Metode pengukuran dosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan dosis yang dihitung menggunakan rumus BSA dan dosis yang didapat dari pedoman terapi yang digunakan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta untuk pasien pediatrik demam tifoid.

Tabel I. Formula Perhitungan Dosis dengan BSA

BSA =

Dosis =

(Ogden, 2008) Kesesuaian dosis antibiotik yang didapat pasien berdasarkan resep dokter (dosis resep) kemudian akan dibandingkan dengan dosis yang dihitung dengan rumus BSA dan pedoman terapi yang dipakai oleh rumah sakit sebagai acuan pengobatan untuk pasien pediatrik demam tifoid yaitu Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia (IDAI,2009), Standard an Pelayanan Medik Diagnosis & Tatalaksana Demam Tifoid pada Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (2013), MIMS 2016, dan Drug Information Handbook 17th edition. Referensi-referensi ini juga digunakan untuk menentukan ketepatan

dosis pasien (tepat dosis, tepat indikasi, tepat frekuensi, dan tepat durasi). Pasien pediatrik penderita demam tifoid dapat diketahui dari diagnosa dari pemeriksaan dokter dan ICD 10 dengan nomer A01.0 pada rekam medik.

(19)

4

untuk demam tifoid terdapat 40 sampel yang diambil.

Catatan : RM= Rekam Medik; RS : Rumah Sakit

Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode Juni 2015-Juni 2016

Pengumpulan data berupa dosis antibiotik, umur, berat badan, jenis kelamin, frekuensi dan durasi pemberian antibiotik dari lembar data pasien. Data tersebut akan dimasukkan dalam formula untuk perhitungan dosis yaitu BSA. Hasil perhitungan formula BSA ini akan dibandingkan dengan dosis resep yang diberikan oleh dokter. Dosis resep tersebut juga akan dibandingkan dengan dosis yang ada pada pedoman terapi Rumah Sakit. Untuk mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik antara dosis resep dengan dosis BSA dan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi, maka digunakan uji komparatif kategorik menggunakan uji Cohen’s Kappa dengan SPSS (Santoso, 2005). Data pada penelitian ini dianalisin dengan menggunakan IBM SPSS Statistics 22 Lisensi UGM. Syarat ketentuan nilai kappa (interpretasi kappa) adalah jika nilai kappa ≤0 maka tidak ada hubungan keeratan (Less than chance agreement), 0,01-0,20 maka sedikit sesuai (Slight agreement), 0,21-0,40 maka lumayan sesuai (Fair agreement), 0,41-0,60 maka cukup sesuai (Moderate agreement), 0,61-0,80 maka hampir sesuai (Substantial agreement), dan 0,81-1,00 maka keeratan tinggi/sempurna (almost perfect agreement).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteriatik Demografi Pasien

Karakteristik pada penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, dan profil antibiotik pasien pediatrik demam tifoid. Diperoleh 40 data Rekam Medis pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni 2016. Keseluruhan populasi tersebut diambil sebagai sampel penelitian. Pasien yang

645 RM pasien

2 RM tidak menggunakan Antibiotik 1 RM tidak ditemukan

(20)

5

digunakan dalam penelitian ini memiliki rentang umur dari 0 – 12 tahun. Data yang masuk dalam kriteria inklusi adalah sebesar 37 data (92,5%). Terdapat 70 kasus peresepan antibiotik untuk pasien pediatrik demam tifoid dari 37 data yang diambil dalam penelitian ini.

Tabel II. Karakteristik Pasien berdasarkan Umur, Berat Badan, dan Jenis Kelamin

Karakteristik Jumlah Pasien

n = 37

Persentase (%) Rerata±SD

(21)

6

dengan rentang berat badan 11 – 20 kg. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) bahwa diperoleh hasil persentase kasus demam tifoid banyak diderita anak pada rentang berat badan 11 – 20 kg dan pada rentang umur >5 – 12 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada rentang umur >5 – 12 tahun merupakan kelompok anak sekolah yang memiliki kebiasaan jajan di sekolah atau tempat lain di luar sekolah yang kebersihannya kurang terjamin. Bila diamati kebanyakan kejadian demam tifoid banyak terjadi pada usia anak sekolah karena pergerakan anak sangat aktif dimana memungkinkan anak untuk mengenal jajanan yang belum tentu terjamin kualitas dan kebersihannya (Artanti,2013).

Tabel III. Karakteristik Ketepatan Antibiotik

Karakteristik Jumlah Antibiotik

n = 70

Pada penelitian ini juga memperlihatkan jumlah antibiotik yang tepat dosis sebesar 29 antibiotik (41,43%), tepat indikasi sebesar 56 antibiotik (80,00%), tepat frekuensi sebesar 56 antibiotik (80,00%) dan tepat durasi sebesar 4 antibiotik (5,71%). Pada penelitian ini yang dimaksudkan tepat indikasi adalah antibiotik yang diberikan untuk pasien pediatrik yang menderita demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi sesuai dengan diagnosa dokter. Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat

(22)

7

antibiotika dipengaruhi oleh sifat farmakokinetika obat dan kondisi klinis pasien. Hal yang perlu diperhatikan dalam farmakokinetika obat adalah waktu paro eliminasi (t ½ eliminasi) dari antibiotika. Waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat di dalam darah berkurang menjadi setengah (50%) dari kadar semula (Brutler et al, 2011). Interval pemberian obat bertujuan untuk menjaga konsentrasi obat di dalam cairan plasma agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal sehingga obat dapat bekerja dengan baik dan memberikan efek. Interval pemberian obat harus tepar agar pengobatan berjalan efektif, efisien dan aman bagi pasien (Kee and Hayes, 2009). Durasi pengobatan adalah waktu yang dibutuhkan agar pengobatan suatu penyakit maksimal. Durasi penggunaan antibiotika untuk pasien demam tifoid tidak sama untuk setiap golongan antibiotika. Menurut WHO (2011), durasi penggunaan krofamfenikol adalah 14-21 hari, ampisilin/amoksisilin selama 14 hari, siproflosasin/ofloksasin selama 5-7 hari (mild desease) dan 10-14 hari (severe illness), sefotaksime/seftriakson selama 10-14 hari, serta

sefiksime 7-14 hari (mild desease) dan 10-14 hari (severe illness).

Karakteristik Penggunaan Antibiotika

Jenis Antibiotika yang digunakan untuk pasien pediatrik yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni 2016 terdiri dari 14 antibiotik yaitu Cefotaxime, Chloramphenicol, Sultamicilin, Amoxicilin, Cotrimoxazol, Tricodazol, Cefixime, Amikasin, Erythromicin, Paromomycin Sulfate, Ciprofloxacin, Gentamycin, Thiamphenicol, dan Ceftriaxone.

Tabel IV. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis Pedoman Terapi

Antibiotik Kasus n(%)

n=70

Pedoman Terapi n(%)

Sesuai Tidak Sesuai

(23)

8

Antibiotik Kasus n(%)

n=70 Sesuai Tidak Sesuai

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jenis antibiotika yang paling banyak digunakan untuk terapi demam tifoid adalah chloramphenicol sebanyak 27 kasus (38,57%) yang diikuti oleh cefotaxime sebanyak 9 kasus (12,86%), cefixime sebanyak 8 kasus (11,43%), dan amikasin sebanyak 6 kasus (8,57%). Pemilihan antibiotik – antibiotik untuk demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni 2016 untuk Salmonella Typhi sudah tepat sesuai dengan pedoman terapi Rumah sakit, namun ada

(24)

9

Pada penelitian Haryanti dkk, (2009) Cefotaxime merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pengobatan demam tifoid pada anak. Cefotaxime termasuk antibiotik golongan cephalosporin gerenasi ketiga yang memiliki spectrum kerja yang sangat luas, aktivitas antibakterinya lebih kuat, dan efek sampingnya relative rendah. Cefotaxime juga merupakan antibiotik berspektrum luas yang lebih peka terhadap bakteri gram negative sehingga dapat digunakan dalam terapi eradikasi infeksi bakteri Salmonella dan dapat menjadi pilihan alternatif untuk terapi demam tifoid pada kasus multi drug resistant Salmonella typhi (Ajum, 2009; Sidabutar dan Santari, 2010). Gentamycin yang diberikan

untuk terapi demam tifoid pada penelitian ini digunakan karena memiliki aktivitas bakterisidal yang memiliki efek dapat membunuh bakteri Salmonella (Mandal, 2009). Amoxicilin termasuk golongan penicillin yang efektif untuk pengobatan demam tifoid karena dapat meningkatkan mortalitas akibat resistensi chloramphenicol (Utami, 2010).

Pemberian terapi antibiotik pada pasien pediatrik rawat inap demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ini dibagi dalam 2 kelompok pemberian yaitu diberikan secara oral dan parenteral. Antibiotik yang diberikan secara oral adalah chloramphenicol, sultamicilin, cotrimoxazol, cefixime, paromomycin sulfate, ciprofloxacin, gentamycin, thiamphenicol, erythromycin, dan amoxicillin. Antibiotik yang diberikan secara parenteral adalah chloramphenicol iv, cefotaxime, amikasin iv, metronidazole iv, amoxicillin iv, dan ceftriaxone iv. Menurut Rifai (2011) pemberian antibiotik demam tifoid didominasi oleh rute pemberian secara parenteral karena pemberian antibiotik secara parenteral memiliki keuntungan yaitu onset yang lebih cepat dan dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar. Hal ini sesuai dengan jumlah antibiotik untuk pengobatan pasien pediatrik demam tifoid yang digunakan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yaitu untuk pemberian rute secara oral sebanyak 23 antibiotik (32,86%) dan untuk pemberian rute secara parenteral sebanyak 47 antibiotik (67,14%). Pemilihan cara pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien (Djatmiko dkk, 2008). Rute pemberian antibiotika secara oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika secara parenteral (PERMENKES, 2011).

(25)

10

pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dengan 70 kasus antibiotik terdapat sebanyak 29 antibiotik yang sesuai dengan pedoman terapi (41,3%) dan sebanyak 41 antibiotik tidak sesuai dengan pedoman terapi (58,57%) sedangkan menurut BSA ada 17 antibiotik yang sesuai (24,29%) dan ada 53 antibiotik yang tidak sesuai (75,71%). Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa penyebab tidak sesuainya dosis menurut pedoman terapi didominasi oleh dosis resep yang lebih rendah (underdose) begitu juga dengan tidak sesuainya dosis menurut BSA juga didominasi oleh dosis resep yang lebih rendah (underdose) dimana jika dosis lebih rendah atau terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan karena efek dari obat yang diberikan tidak maksimal sebaliknya jika pemberian dosis yang berlebihan atau terlalu tinggi, khususnya untuk obat-obat dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping (Kee and Hayes, 2009). Hal ini bisa disebabkan karena antibiotik yang tertera pada rekam medis tidak ada dalam pedoman terapi rumah sakit karena beberapa antibiotik memakai nama dagang sehingga membuat peneliti harus mencari sumber lain untuk penyesuaian dosis, data yang tertera pada rekam medis berbeda-beda, dosis antibiotik yang tertera tidak ditulis dengan lengkap dan jelas, kurangnya kesadaran untuk menggunakan antibiotik yang tertera pada pedoman terapi, dan penyesuaian dosis karena berat badan pasien yang berlebih atau kurang. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa dosis resep (dosis pemberian) lebih dekat kesesuaiannya dengan dosis pada pedoman terapi yang dipakai di rumah sakit. Hal ini karena dokter lebih senang menggunakan pedoman terapi sebagai acuan untuk penyesuaian dosis karena lebih mudah dan cepat dibandingkan harus menghitung dosis menggunakan rumus BSA yang membutuhkan waktu lebih lama dan membutuhkan ketelitian dalam menghitung dosisnya.

Perbedaan Kesesuaian Dosis Antibiotika Antara BSA dan Pedoman Terapi

(26)

11

berdasarkan usia, berat dan luas permukaan, namun tidak ada yang akurat dan cukup sederhana untuk penggunaan rutin. Dengan perhitungan dosis menggunakan BSA diharapkan akan lebih sedikit kesalahan dari resep utama yang diberikan untuk pengobatan pasien. Dari 70 kasus antibiotik di bandingkan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis BSA kemudian diperoleh antibiotik yang mana pada resep yang sesuai atau tidak sesuai dengan pedoman terapi dan BSA. Setelah itu dilakukan uji statistik menggunakan uji Cohen’s Kappa dengan SPSS dan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel VI. Perbandingan Penilaian Dosis antara Pedoman Terapi dan BSA

Alat Ukur Kesesuaian Dosis Antibiotik Nilai p Nilai Kappa

Sesuai n (%) Tidak Sesuai n(%)

*p < 0,05 menunjukkan berbeda bermakna; p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna

Pada penelitian ini data yang dianalisis proporsi kesesuaian dosisnya adalah seluruh antibiotik yang digunakan untuk pengobatan pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan tabel diatas hasil yang diperoleh dari uji Chi-Square didapatkan p (0,248) atau p > 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis pedoman terapi dan dosis BSA. Berdasarkan hasil yang didapat maka dapat dikatakan bahwa pedoman terapi dan formula BSA dapat digunakan untuk menentukan dan menghitung kesesuaian dosis antibiotik karena kedua alat ukur tersebut tidak menghasilkan perbedaan yang berarti berdasarkan statistik.

(27)

12

pada tabel yang dilakukan oleh dua penilai (Silcocks, 1983). Dari hasil uji Cohen’s Kappa pada tabel di atas menunjukkan bahwa p.value yang didapat adalah – 0,128 (<0 less than chance agreement or poor agreement) dimana tidak ada hubungan keeratan atau

kesepakatan kesesuaian dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA. Maka rumus BSA juga belum bisa digunakan sebagai gold standart terapi demam tifoid karena dari hasil uji statistik menunjukkan hasil yang sangat

(28)

13

Persen kesetujuan dan kappa memiliki kekuatan dan keterbatasan. Persentase statistik kesetujuan mudah dihitung dan bisa ditafsirkan secara langsung. Keterbatasan utamanya adalah bahwa hal itu tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa para penilai menebak skor, dengan demikian penilai mungkin melebih-lebihkan kesepakatan sejati di antara para penilai. Kappa dirancang untuk mempertimbangkan kemungkinan tebakan, namun asumsi yang dibuat tentang independensi penilai dan faktor lainnya tidak didukung dengan baik, dengan demikian dapat menurunkan perkiraan kesepakatan secara berlebihan. Selanjutnya, Kappa tidak dapat ditafsirkan secara langsung, dan dengan demikian menjadi hal yang biasa bagi peneliti untuk menerima nilai kappa yang rendah dalam studi reliabilitas interrater mereka. Tingkat reliabilitas interrater yang rendah tidak dapat diterima dalam perawatan kesehatan atau dalam penelitian klinis, terutama bila hasil penelitian dapat mengubah praktik klinis dengan cara yang mengarah pada hasil pasien yang lebih buruk. Saran terbaik bagi peneliti adalah menghitung keduanya yaitu persen kesetujuan dan kappa. Jika mungkin ada banyak dugaan di kalangan penilai, mungkin masuk akal untuk menggunakan statistik kappa, namun jika penilai terlatih dan tebakannya kecil kemungkinannya ada, peneliti dapat dengan aman mengandalkan persen kesetujuan untuk menentukan reliabilitas interrater (McHugh, 2012).

(29)

14

tifoid ini dapat bermanfaat bagi klinisi kesehatan dan farmasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Bagi klinisi kesehatan dan farmasis penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa konsistensi dosis pada resep yang diberikan dokter dengan pedoman terapi yang dipakai oleh Rumah Sakit dan dosis BSA khususnya untuk antibiotik bagi pasien pediatrik demam tifoid sangat rendah, sehingga dapat dijadikan evaluasi untuk lebih teliti dan bijak dalam penyesuaian antibiotik untuk pasien pediatrik demam tifoid dan penelitian ini berguna untuk menghitung dan menyesuaikan dosis antibiotika yang akan diberikan kepada pasien pediatrik demam tifoid sehingga pasien dapat menerima terapi antibiotika yang tepat dan sesuai serta dapat menurunkan efek samping obat dan resistensi obat.

KESIMPULAN

1. Jumlah pasien pediatrik demam tifoid dengan umur <1 tahun sebesar 0%, rentang umur 1-5 tahun sebesar 48,65% dan rentang umur 6-12 tahun sebesar 51,35%, dengan jumlah pasien laki-laki sebesar 51,35% dan perempuan sebesar 48,65% dan jumlah pasien terbanyak terjadi pada rentang berat badan 11-20 kg (51,35%), 21-30 kg (21,62%), dan 41-40 kg (16,22%) serta antibiotik yang tepat dosis sebesar 41,43%, tepat indikasi sebesar 80,00%, tepat frekuensi sebesar 80,00%, dan tepat durasi sebesar 5,71%. Obat antibiotik yang paling banyak digunakan adalah chloramphenicol sebesar 38,57%, cefotaxime sebesar 12,86%, dan cefixime sebesar 11,43%.

2. Persentase obat antibiotik pasien pediatrik demam tifoid yang tidak sesuai berdasarkan pedoman terapi sebesar 58,57% dan berdasarkan formula BSA sebesar 75,71%.

(30)

15

DAFTAR PUSTAKA

Ajum, H.A., 2011, Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013, Skripsi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

American Pharmacist Association, 2009, Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp, United State.

Anggraini, A.B., Opitasari, C., and Sari, Q.A.M.P., 2014. The use of antibiotics in hospitalized adult typhoid patients in an Indonesian hospital. Health Science Indones., 5 (1), 40-43.

Artanti, N.W., 2013, Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmadu Kota Semarang Tahun 2012, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Brutler, T., 2011, Treatment of Thypoid Fever in the 21st Century: Promises and Shortcomings, Clinical Microbiology and Infection, pp. 959-963.

CDC.,2015. Community Pharmacicts. http://www.cdc.gov/getsmart/community/for-hcp/community-pharmacists.html diakses pada 1 Agustus 2016.

Cohen, J.,1960, A coefficient of agreement for nominal scales. Educational and Psychological Measurement 20: 37-46.

Djatmiko, M., Sugiyanti, dan Anas, Y., 2008, Analisis Biaya dan Gambaran Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di Puskesmas Telogosari Kulon Tahyn 2007, Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, Vol. 5 No. 2, hal. 23-26. Herawati, M.H., and ghani, L., 2009. Association of Determinant Factors with Prevalance

of Thypoid in Indonesia. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 19 (4), 165-173.

IDAI., 2009. Pedoman Pelayanan Medis. http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku PPM.pdf diakses pada 2 Agustus 2016.

Kee, J.L., dan Hayes, E.R., 2009, Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, hal. 28.

KEMENKES RI, 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik, Kementrian Kesehatan R.I., Jakarta, hal. 29.

KEMENKES RI., 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. http://www.depkes.go.id/ resources/download/pusdatin/profilkesehatanindonesia/ profilkesehatan-indonesia-2011.pdf diakses pada 1 Agustus.

KEPMENKES RI., 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Mentreri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006, Jakarta, hal. 27, 37.

Kimble, M.A., et al., 2013, Applied Therapeutic; The Clinical Use of Drugs, 9th ed, Lippincott Williams&Wilkins, Philladelphia, USA, p. 1773.

Lack, J. A., & Stuart-Taylor, M. E., 1997, Calculation of drug dosage and body surface area of children. British Journal of Anaesthesia, 78(5), 601-605.

Mandal, S., 2009. In Vitro Activity of Gentamicin and Amikacin Againts Salmonella enterica seroval Typhi: A Search For A Treatment Regimen For Thypoid Fever. East Mediterr Health J., 15 (2), 1.

McHugh, M. L., 2012, Interrater reliability: the kappa statistic. Biochemia medica, 22(3), 276 282.

(31)

16

Ochiai, et all., 2008. A study of typhoid fever in five Asian countries: Disease burden and implications for controls. Bulletin of the World Health Organization., 86 (4), 260– 268.

Ogden, 2008, Pediatric Dosage, American Medical Association, pp. 421-423.

PERMENKES, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011, hal. 8, 15-17, 34.

Pratiwi, E.P., 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Angoesdjam Ketapang.

Rifai, M. A., Sudarso, dan Anjar, M.K., 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto Tahun 2009. Portal Garuda: Pharmacy., 8 (1), 13-14.

RSUP Dr. Sardjito, 2013, Standar Pelayanan Medik, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Rufaldi, C.D., 2011, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari Desember 2010, Skripsi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hal. 39, 56.

Santoso, S., 2005, Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 233.

Sidabutar, S. dan Satari, H.I., 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid Pada Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri., 11(6), 434-439.

Silcocks, 1983, Measuring repeatability and validity of histologigal diagnosis-a brief review with some practical examples, J Clin Pathol, 36,1269-1275.

Utami, T.N., 2010, Demam Tifoid, Faculty of Medicine-University of Riau, Pekanbaru Riau, pp. 1-26.

Ventola, C.L., 2015. The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P & T : A peer reviewed journal for formulary management., 40 (4), 277–83.

Viera, A.J., dan Garrett, J.M., 2005, Understanding Interobserver Agreement: The Kappa Statistic, Family Medicine, 37(5), 360-3.

Wahab, S., 2011, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 1-4.

Wilburta, Q.L., et al., 2014, Delmar’s Comprehensive Medical Assisting: Administrative and Clinical Competencies, 5th ed., New York, Cengange Learning, p. 1025.

WHO, 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. World Health Organization, (Agustus).

WHO, 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. World Health Organization (Agustus).

(32)

26

Lampiran 1. Ethical Clearance

(33)

20

Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

(34)

20

Lampiran 3. Surat Legalitas SPSS 22

(35)

20

Lampiran 4. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran

Skala Pengukuran

Metode Pengukuran

Dosis

Instrumen yang digunakan untuk mengukur dosis obat pediatrik

Dosis = Luas permukaan tubuh anak/1,73 x Dosis Dewasa Pedoman Terapi: Dosis pada guideline dibandingkan dengan dosis yang dihitung dengan BSA

Kesesuaian Dosis Antibiotik

Antibiotik yang didapatkan oleh pasien berdasarkan resep dokter dengan

kelengkapan dosis pemberian yang dilihat dari rekam medik. Termasuk dalam

antibiotik adalah semua golongan antibiotik menurut WHO (2011). Dosis yang dipakai adalah dosis dalam 1 kali dosis per dosis harian.

Berdasarkan pedoman penyesuaian dosis pada pasien pediatrik demam tifoid yaitu Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI,2009), Standar Peyananan Medik RSUP Dr. Sardjito (2013, Drug Information Handbook 17th Edition, MIMS.com (2016)

Antibiotik yang diambil dari rumah sakit adalah antibiotik yang diberikan kepada pasien selama dirawat dirumah sakit. Kategori dosis sesuai : Dosis dan atau frekuensi pemberian antibiotik sesuai dan atau tidak melampaui pedoman terapi dan dosis yang dihitung berdasarkan BSA

Kategori dosis tidak sesuai: Dosis obat dan atau frekuensi pemberian antibiotik tidak sesuai dengan pedoman terapi dan dosis yang dihitung berdasarkan BSA

Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype Thyphi (S. typhi) dan penyakit ini masuk dalam klasifikasi ICD-10 : A01.0 (WHO,2016)

-

Diagnosa dari pemeriksaaan dokter dan ICD 10 dengan nomor A01.0 pada rekam medik

(36)

20

Lampiran 5. Kesesuaian Dosis Antibiotik (70 kasus obat)

No. Nomor RM (Tahun) Umur BB (Kg)

JK

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(37)

20

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(38)

20

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(39)

26

Lampiran 6. Uji Statistika Chi-Square dan Cohen’s Kappa

Dosis Resep vs BSA

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 17 4.0 24.3 24.3

2 53 12.6 75.7 100.0

Total 70 16.6 100.0

Missing System 351 83.4

Total 421 100.0

Dosis Resep vs Pedoman Terapi * Dosis Resep vs BSA Crosstabulation

Count

Dosis Resep vs BSA

Total

1 2

Dosis Resep vs Pedoman Terapi

1 5 24 29

2 12 29 41

Total 17 53 70

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.336a 1 .248

Continuity Correctionb .762 1 .383 Likelihood Ratio 1.375 1 .241

Fisher's Exact Test .275 .192

Linear-by-Linear

Association 1.317 1 .251

N of Valid Cases 70

(40)

20

Lampiran 6. Lanjutan

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.04. b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

Case Processing Summary Dosis resep vs Dosis BSA

31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%

Dosis resep vs Pedoman Terapi * Dosis resep vs Dosis BSA Rentang Umur 1 – 5 Tahun

Crosstabulation Count

Dosis resep vs Dosis BSA

Total

1 2

Dosis resep vs Pedoman Terapi

1 3 6 9

2 7 15 22

Total 10 21 31

(41)

20

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .007a 1 .935

Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .007 1 .935

Fisher's Exact Test 1.000 .625

Linear-by-Linear

Association .006 1 .936

N of Valid Cases 31

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.90. b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymptotic Standardized

Errora

Approximate Tb

Approximate Significance Measure of

Agreement

Kappa

.015 .180 .082 .935

N of Valid Cases 31

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

(42)

20 Dosis resep vs Dosis BSA

39 100.0% 0 0.0% 39 100.0%

(43)

20

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.41.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymptotic Standardized

Errora

Approximate Tb

Approximate Significance Measure of

Agreement

Kappa

-.160 .121 -1.327 .184

N of Valid Cases 39

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

(44)

20

Lampiran 7. Lembar Pengambilan Data

(45)

20

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Regina Asri Cahyaningtyas, dilahirkan di Sribhawono, 24 Oktober 1995 oleh pasangan suami-istri bernama Tri Santosa dan Sri Resminingsih. Penulis skripsi berjudul “Kesesuaian Dosis Antibiotika Pasien Pediatrik Demam Tifoid RS Panti Rapih Yogyakarta dengan Metode Body Surface Area dan Pedoman Terapi (Studi di Instalasi Rawat Inap

RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)” ini merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Bandar Agung pada tahun 2001-2007. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Xaverius Metro pada tahun 2007-2010. Setelah itu penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Fransiskus Bandar Lampung pada tahun 2010-2013 dan mengambil jurusan IPA. Lalu pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan mengambil minat Farmasi Klinik dan Komunitas.

Penulis cukup aktif dalam kegiatan di dalam dan di luar Kampus, baik kepanitiaan maupun organisasi. Selama menjalani pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan yaitu Panitia pelepasan wisuda tahun 2013 dan 2015, panitia Paskah tahun 2014, panitia PPRTOS (Pharmacy Performance and Pharmacy Road to School) tahun 2014, panitia Pharmacy 3 on 3 tahun 2015, Pelatihan dan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa I & II, Latihan Kepemimpinan I, Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi Fakultas Farmasi, dan menjadi Volunteer dalam acara Kunjungan Universitas Indonesia Timur Fakultas Farmasi pada tahun 2014. Penulis juga aktif dalam organisasi di Fakultas Farmasi yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode 16 Maret 2014-15 Maret 2015 sebagai anggota Divisi Advokasi dan periode 24 Maret 2015-23 Maret 2016 sebagai Koordinator Divisi Advokasi.

Gambar

Tabel VI. Perbandingan Penilaian Dosis antara Pedoman Terapi dan BSA ....... 11
Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode
Tabel I. Formula Perhitungan Dosis dengan BSA
Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode Juni 2015-Juni 2016
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini nilai jual Bangunan untuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan lebih besar dari nilai jual tertinggi Klasifikasi NJOP Bumi

[r]

mcmb,wa oros kchilsg kekihbmsd jiqa. suan dan bunyi netoluj sislcn krwat, optik, ndio, allu shren elekronik tainhya.r.. Psrkenbsgb retekonuihrsr sudajr dikenal sekih

Siswa bersama guru memberikan kesimpulan bahwa segi 3 menit empat adalah bangun datar yang memiliki empat sisi dan.. empat titik sudut, Segi empat memiliki jenis yang berbeda

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para responden telah melakukan prosedur auditing yang wajar dan memenuhi kriteria yang telah

1 Menurut pasal 41 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap