• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan orde baru terhadap etnis Tionghoa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan orde baru terhadap etnis Tionghoa."

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA

Oleh:

Daud Ade Nurcahyo Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang bersifat deskriptif analisis.

(2)

ix ABSTRACT NEW ORDER POLICY AGAINST CHINESE ETHNIC

By:

Daud Ade Nurcahyo Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.

The research method used was factual historic usius steps as follows: selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report the study descriptive analysis writing.

(3)

i

KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat MemperolehGelarSarjanaPendidikan

Program StudiPendidikanSejarah

Oleh:

DAUD ADE NURCAHYO NIM : 111314013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagaiungkapankasih, skripsiinisayapersembahkankepada:

1. Kedua orang tuasaya, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidanIbunda Anastasia DasilahS.Pd.

2. Ketigasaudarasaya, Yohanes Ari Wibowo, Veronica RiaMerdekaS.Pddan Lea PuriDaniatiS.Pd.

(7)

v MOTTO

Kedisiplinan, hargadiri, dankepedulianmerupakanawaldarikeberhasilan (George Washington)

Sayamemangberpendidikan di Barat, tapisayatetaplah orang Jawa (Sri Sultan HB IX)

Sabarituilmutingkattinggi, belajarnyatiaphari, latihanyatiapsaat, ujiannyamendadak, sekolahnyaseumurhidup, hadiahnyakebahagiaan

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA

Oleh:

Daud Ade Nurcahyo Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang bersifat deskriptif analisis.

(11)

ix ABSTRACT NEW ORDER POLICY AGAINST CHINESE ETHNIC

By:

Daud Ade Nurcahyo Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.

The research method used was factual historic usius steps as follows: selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report the study descriptive analysis writing.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi.

4. HendraKurniawanM.Pd. selaku dosen pendampingyang telah sabar mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi.

(13)

xi

6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Kedua Orang tua penulisan, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidan Ibunda Anastasia DhasilahS.Pd yang telah banyak memberikan dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat meyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

8. Ketiga kakak penulis Yohanes Ari Wibowo, Veronica Ria Merdeka, S.Pd. dan Lea Puri Daniati, S.Pd. yang telah memberikan dukungan selama menyelesaikan skripsi.

9. Teman – teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi

10.Kekasih saya, Chatarina Adventi Rose Susanta yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini.

11.Temanteman brotherhood, Esti, Bayu, Ardi,IndraPoku, dan Inayang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Landasan Teori ... 9

G. Metodologi Penelitian Dan Pendekatan ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA ... 23

A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru ... 23

B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 ... 25

(16)

xiv

D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ... 34

BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA ... 39

A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 ... 39

B. Bidang Sosial dan Budaya ... 42

1. Instruksi Presiden No. 14/1967 ... 42

2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 . 46 3. Peraturan Menteri Perumahan No.55.2-360/1988 ... 49

C. Bidang Ekonomi ... 50

D. Bidang Politik ... 53

BAB IV DAMPAK DARI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAPETNIS TIONGHOA ... 56

A. Bidang Sosial dan Budaya ... 56

1. Masalah SBKRI ... 56

2. Diskriminasi Agama Konghucu ... 58

3. Masalah Kelenteng ... 60

B. Bidang Ekonomi ... 64

C. Bidang Politik ... 68

BAB V KESIMPULAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada masa Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan masalah yang krusial. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia. Citra Etnis Tionghoa akhirnya dinilai negatif di kalangan pemerintahan Orde Baru yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.1

Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :

1. Instruksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.

2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia

3. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang pelarangan Impor, penjualan, dan Penggunaan bahasa Cina.

4. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum.

5. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbarui Kelenteng.

6. Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 juli 1996. Isinya, semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus.2

1 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint,1988. hlm.63

2 Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus

(18)

Orde Baru memberikan perlakuan diskriminatif dan membatasi golongan etnis Tionghoa. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru melanjutkan kebijakan pembaharuannya dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) yang ditunjukkan kepada media agar tidak memberikan hal-hal yang menyangkut dengan konsep tersebut. Dalam kenyataannya, proses pembaruan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Malahan yang terjadi sebaliknya, selama Orde Baru terjadi sentimen anti Tionghoa yang menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada akhir kekuasaan Soeharto sekitar bulan Mei 1998.3

Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan asumsi bahwa sikap anti Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis lainnya dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alami. Dalam masyarakat sentimen anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi. Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Tionghoa telah melahirkan mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul ratataan bahwa WNI etnis Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan dan keistimewaaan dari pemerintah kolonial.4 Pandangan yang lain justru membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau direkayasa melalui kebijakan negara sebagai alat peredam yang dipakai oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Prasangka anti Tionghoa begitu mendalam dibandingkan terhadap

3 Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan

Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. hlm. 206 4

(19)

pendatang asing lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya berasal dari sudut pandang ekonomi.

Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru mengakibatkan kesengsaraan bagi etnis Tionghoa sendiri. Kesempatan etnis Tionghoa untuk berwirausaha dibebaskan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru. Hal tersebut memicu ketidakpuasan kaum pribumi terhadap pencapaian ekonomi etnis Tionghoa yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh masa untuk melakukan kerusuhan dengan bentuk pengerusakan. Bila dirunut jauh ke masa lalu sentimen yang menimpa etnis Tionghoa berpangkal pada politik devide et impera atau politik pecah belah yang pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak menginginkan etnis-etnis non-pribumi yang ada di negeri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan. Atas dasar warisan kolonial tersebut terciptalah ketidaksengajaan di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa.

(20)

negara. Stereotip5 yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan

„minoritas‟, bahkan di Indonesia sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan

berakulturasi menjadi warga negara Indonesia.

Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sehingga mitos-mitos dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa tertanam lekat dalam benak kita sampai sekarang. Berkembangnya sentimen anti “Tionghoa” tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara dalam hal ini pemerintah, merupakan suatu institusi yang selalu membuat isu-isu rasial demi mempertahankan status quo. Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan

segregasi6 sosial terhadap Etnis Tionghoa. Langsung atau tidak langsung negara memelihara prasangka dan memanipulasinya untuk mempertahankan kekuasaannya.

5

Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan atau dapat juga berupa prasangka positif dan juga negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.

6 Segregasi adalah pemisahan kelompok rasa atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk

(21)

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa? 3. Bagaimana dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?

C.Tujuan Penulisan

Penulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Maka penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

(22)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut : 1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, skripsi ini diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah.

2. Bagi Penulis

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya ilmiah khususnya tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. 3. Bagi Pembaca

Skripsi ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

E. Tinjauan Pustaka

(23)

1. Dilema Minoritas Tionghoa7

Buku karangan Leo Suryadinata tentang Minoritas Etnis Tionghoa ini menjelaskan tiga hal pokok. Pertama, peresepsi tentang bangsa Indonesia dan minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi ekonomi orang Tionghoa serta analisis sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan tentang kebijakan pemerintah Indonesia, dan persepsi orang Indonesia terhadap pengambilan kebijakan Misalnya, peresepsi kaum nasionalis sekuler mengenai etnis Tionghoa pada masa Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan setelah kudeta tahun 1965.

Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi dan politik pada waktu itu, terwujud dalam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijakan Indonesia terhadap RRC.

2. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa8

Buku karangan Leo Suryadinata ini berisi tentang persoalan-persoalan etnis Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni di Indonesia dan Malaysia. Buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan integrasi nasional yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertiannya menciptakan identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial. Kebijakan terhadap kelompok “minoritas asing” berbeda. Pemerintah

7 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint 1988 8

(24)

menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan

identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas „pribumi‟ Indonesia.

Dengan kata lain, kecinaan dianggap „asing‟ dan „berbahaya‟ bagi pembentukan kebudayaan Indonesia. Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih merupakan perubahan total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan, dan peraturan pergantian nama.

3. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis9

Buku karangan Charles A. Coppel ini berisi tentang latar belakang sejarah

keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam pemerintahan. Selain itu kehidupan etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde Baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembaruan dan asimilasi secara konsekwen.

4. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKR10

Buku karangan Wahyu Efendi ini berisi tentang permasalahan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SBKRI, sebagai sebuah dokumen tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor. Persoalannya tidaklah sederhana dan terbatas sebagai dokumen yang “diharuskan” untuk dimiliki ketika seorang anak dari orang tua warga Negara Indonesia etnis

9

Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993 10

(25)

Tionghoa beranjak 18 tahun atau sudah menikah, biarpun orang tua atau kakek nenek buyutnya sudah menjadi warga Negara Indonesia dan mempunyai bukti

kewarganaegaran Indonesia. Layaknya sebuah “ritual generasi” ketika anak sudah

menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.

5. Setelah Air Mata Kering “Masyarakat Tionghoa Pasca –Peristiwa Mei

1998”11

Buku ini merupakan hasil seminar “Setelah Air Mata Kering” Sebagaimana

jelas dari judul tersebut, sesudah Tragedi Mei berlalu 10 tahun, dan sesudah air mata banyak orang disiksa. Sumbangan gagasan dalam buku ini dapat menambah sedikit pemikiran tentang kelompok etnis Tionghoa di Indonesi, yang selama 10 tahun terakhir telah ikut mengalami “reformasi”. Dari buku ini tampak bahwa kelompok etnis Tionghoa tidak tinggal diam, tetapi telah berpikir dan berbuat banyak.

F. Landasan Teori

Skripsi ini berjudul Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Untuk menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi dibutuhkan beberapa teori konsep sebagai berikut:

11 Wibowo I dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa

(26)

1. Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan berasal dari kata dasar bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi. Kata dasar bijak ini diberi imbuhan ke – an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian, kemahiran.12

Kebijakan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan dari suatu organisasi atau institusi. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dan kesempatan yang diharapkan dapat mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencapai sebuah cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.13 Kebijakan di sini adalah arah tindakan yang direncanakan untuk mencapai suatu sasaran.14 Kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mecapai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.15 Selanjutnya kebijakan selalu menyangkut keputusan dan tindakan , dengan pengertian bahwa keputusan adalah unsur yang lebih penting. Tindakan untuk mencapai sasaran dapat dihasilkan dari kebijakan, apabila keputusan menunjukkan dengan jelas apa yang terkandung dari pikiran pembuat kebijakan baik sebagai sasaran ataupun sebagai prosedur.16

12 Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994,

hlm 131.

13 Soenarko, Public Policy,Surabaya, Ailangga University Pres: 2000, hlm 32

14 Dhlan Nasution, Politik Internasional : Konsep dan Teori, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm 9.

15

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm 12.

16

(27)

2. Orde Baru

Orde Baru adalah bangunan sistem politik kekuasaan yang tidak terlepas dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarahnya Orde Baru memiliki dua pola kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan dua kali pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik yang konkrit dan kokoh. Pada pola kedua, Presiden perlahan namun pasti mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral kekuasaan.17

Pada awal perjalanannya pemerintahan Orde Baru menunjukkan langgam libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada

bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap

sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai menampilkan politik otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan.18

Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional, menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita

17 Saefulah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru:Masalah dan Masa Demokrasi

Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. hlm 46. 18

(28)

versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan, cendikiawan, seniman, dan pejabat yang dipekerjakan oleh rezim diarahkan untuk menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto. Publikasi-publikasi yang ada membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta

PKI‟. 19

Intinya pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto berupaya menjaga stabilitas politik dan sosial yang dilakukan secara keras sehingga dirasakan sebagai pemerintahan yang posesif dan represif. Siapa yang berani mengkritik Orde Baru dianggap musuh Panscasila atau pro-komunis dan G-30S, sehingga harus disingkirkan dari kehidupan umum. Pada waktu itu, Soeharto sebagai presiden berhasil menguasai semua lembaga pengawasan, termasuk MPR, DPR, ABRI, Bepeka, BPKP, pengadilan, Pres, dan media masa lainnya. Pengawasan hanya diperbolehkan terhadap pihak-pihak yang di luar lingkaran kekuasaan Presiden termasuk yang bertentangan dengan kepentingannya. Semua itu terbuka waktu negara Indonesia pada pertengahan tahun 1997 diserang oleh krisis moneter dan krisis ekonomi yang menggetarkan seluruh masyarakat.20

Dari paparan di atas dapatlah ditegaskan, bagaimana politik atau kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakukan Soeharto tampak untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih untuk stabilitas nasional dan agar masyarakat dapat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, maka

19 Ibid., hlm 262. 20

(29)

siapa pun yang menentang kebijakan Soeharto, termasuk organisasi manapun, dianggap sebagai pembangkang negara dan berbahaya bagi negara. Di sini tampak tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mengontrol kebijakan Soeharto. Untuk itu dapat dianggap bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto layaknya raja yang diktator.

3. Etnis Tionghoa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa dan sebagainya. Narrol, menyatakan bahwa yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai berikut:

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelomok populasi lain.

Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan definisi etnis, yang menujukkan pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayannya.21 Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep

21

(30)

budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya. Terbentuknya “suku bangsa” bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak sebagaian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.22 Sedangkan dalam penelitian ini etnis merupakan sebuah komunitas atau kelompok yang memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktek budaya.

Sebelum membahas mengenai kata Tionghoa, haruslah membahas dahulu kata Cina yang merupakan sumber dari Tionghoa. Cina adalah sebuah negara yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan Rusia. Asal mula penggunaan kata Cina diperkirakan terjadi pada Dinasti Chin , dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil membangun tembok besar. Pada masa itu, orang di daratan China seringkali mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa, mereka menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika bangsa Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka bangsa Chin. Dalam dialek Hok-kian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan

akhiran “a” atau”ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dihafalkan menjadi

“Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata Cina.23

22 Baker, Cultural Studies,Yogyakarta: Kresai Wacana, 2005, hlm 201.

23

(31)

Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri sebenarnya merupakan istilah yang dibuat oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhonggua dan sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. Kadang istilah Zhongguo dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya dengan penamaan kota di bawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar. Kemudian istilah Zhongguo juga dipakai sebagai singkatan penamaan dari republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1949, ketika diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo.

Istilah ini kemudian menjadi populer setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah Negara rakyat Chungwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

(32)

ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah Manchu ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok. Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga diri bangsa dan negara yang telah lama terpuruk.24

Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK(Tiong Hoa

Hwee Koan/”Tjung Hwa Hwei Kwan”/Zhonghua Huiguan). Pada masa itu,etnis

Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjin” oleh masyarakat.

Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popoler dengan bangkitnya nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke -20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah Zhonghua di daratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolah-sekolahnya dan juga pres, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa. Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan Tionghoa saja.

24

(33)

Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen, dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur Jendral Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi.

Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pres pribumi. Pres peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi, sebutan “Hindia Belanda”

dan “Hindia Oland” diganti dengan sebutan Indonesia. Sebutan Indonesia mulai

dipergunakan pres peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Febuari 1927 pada Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru popular pada tahun 1930-an.

Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pres.25

Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari Cina yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia.

25

(34)

G.Metodologi Penelitian dan Pendekatan 1. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah melalui tahap-tahap berikut:

a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik atau mengumpulkan sumber sejarah adalah tahap lanjutan setelah tema dipilih. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung bukti baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin dapat dilakukan tanpa tersedianya sumber sejarah.26 Dalam pengumpulan sumber ini dilakukan beberapa teknik pengumpulan sumber, yaitu:

1.Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara mencari dan membaca buku- buku dan literatur yang relevan dengan tema penelitian.

2.Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap informan, agar yang akan diwawancari mau menjawab dengan lancar pertanyaan- pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan

26

(35)

terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis dapat menggali dan memperoleh informasi yang sesungguhnya dan informasi yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh tokoh etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru

b. Kritik sumber (Verifikasi)

Kritik sumber adalah upaya mendapatkan otentitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.27

Dalam usaha mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar atau palsu, apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Supaya memperoleh sumber yang benar, sejarawan harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu (skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan inteligen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.28

Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal (otentitas dan integritas) dan kritik internal.

27 Ibid., hlm 35 28

(36)

c. Interprestasi

Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterprestasikan untuk menghasilkan cerita sejarah. Sebenarnya interprestasi atau tafsir sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Walapun datanya sama, tetapi interprestasinya bisa berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan interprestasi terjadi karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, Jadi interpretasi sangat subjektif, tergantung masing-masing pribadi.29

Dalam melakukan interpretasi, sejarawan tetap berada di bawah bimbingan metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya supaya pembaca dapat mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.

Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis menganalisis sama dengan menguraikan. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis berlawanan dengan analisis. Sintesis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian disimpulkan.30

d. Penulisan (Historiografi)

Tahap penulisan mencangkup interprestasi sejarah, eksplanasi sejarah, sampai presentasi atau pemeparan sejarah sebenarnya. Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil

29

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, hlm 55. 30

(37)

penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi (penulisan sejarah).31

1. Pendekatan Penelitian

Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain maka penelitian sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian tertentu. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan,yaitu pendekatan sosial dan pendekatan politik.

a. Pendekatan sosial

Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa sosial dengan segala implikasinya. Pendekatan sosial ini digunakan untuk melihat teori- teori sosial yang sesuai dengan konsep kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Pendekatan sosial ini juga digunakan untuk melihat masalah- masalah sosial yang melatarbelakangi timbulnya kebijakan Orde baru terhadap etnis Tionghoa

b. Pendekatan politik

Dalam sejarah kebijakan pemerintah yang berdampak ke etnis Tionghoa, pendekatan politik disini artinya suatu pendekatan yang muncul berupa kebijakan politik untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru.

31

(38)

H.Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul “Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I. Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan.

Bab II Menyajikan uraian tentang latar belakang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa

Bab III Menyajikan uraian tentang pelaksanan dari kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa.

Bab IV Menyajikan uraian tentang dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa

(39)

23 BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A.Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru

Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun warga Tionghoa dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian warga Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada Kabinet 100 menteri.

Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi yang efektif antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Akibatnya beberapa konflik serius terjadi. Masalah utama adalah kesenjangan kemakmuran

(40)

meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.32 Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan orang asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari sistem Benteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor. Sebenarnya pemerintahan Soekarno ini ingin meminimalisir kebijakan ekonomi politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya sentimen anti Tionghoa. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun dana-dana politik, bahkan memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba”. Dalam kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin dan lisensi kepada pedagang warga etnis Tionghoa. Dengan cara ini orang Tionghoa tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan, sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional.

Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa.

32

(41)

Implikasinya, orang - orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan ditunjukkan kepada WNA Cina, dalam praktiknya pembedaan dengan mereka yang peranakan tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960 kampanye pengusiran berlangsung dengan dukungan pihak TNI-AD. Sebanyak 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia, sementara 100.000 orang di antaranya pulang ke tanah leluhur Tiongkok.33

Kerusuhan anti Tionghoa tahun 1966 terjadi di berbagai daerah terutama di Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi. Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo, Surabaya, Malang, dan Medan. Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan kemakmuran, etnis Tionghoa terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok, frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Soekarno yang berantakan. Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah bagian dari pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan kanan.34

B.Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965

Setelah peristiwa 30 September 1965, banyak timbul konflik-konflik politik dan sosial di Indonesia. Konflik yang timbul merupakan usaha yang dilakukan

33 J.A.C.Mackie,”Anti Chinese Outbreak in Indonesia1959-1968”,dalam The Chinese in

Indonesia:Five Essays, Melbourne: Thomas Nelson, 1976, hlm.82-85.

(42)

oleh TNI AD untuk terus menekan kepemimpinan Soekarno, setelah peristiwa 30 September 1965. TNI AD menggunakan kelompok mahasiswa untuk melakukan hal tersebut, dengan mengizinkan demonstrasi-demontrasi yang mengakibatkan semakin panasnya suhu perpolitikan Indonesia. Dengan kondisi perpolitikan yang semakin memanas dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soekarno, terhitung semenjak tanggal 22 Febuari 1967, Soekarno mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.35

Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa 30 September 1965, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat. Pembunuhan masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada masyarakat pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwa-peristiwa tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang Tionghoa lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orang-orang Indonesia yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta milik, seperti perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.36

Setelah peristiwa 30 September 1965, demonstrasi anti-Tionghoa pertama kali terjadi di Makassar, pada tanggal 10 November 1965. Dalam aksi ini mahasiswa dan pemuda anggota HMI dan Ansor berdemonstrasi di konsulat Republik Rakyat Cina (RRC), kemudian aksi berlanjut ke pertokoan dan pemukinan etnis Tionghoa. Para demonstran membakar mobil dan menjarah

35 Tim Penulis, Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Jakarta: Departemen Komunikasi dan

informatika, 2005, hlm,139. 36

(43)

pertokoan serta rumah milik orang Tionghoa. Demonstrasi anti-Tionghoa berikutnya terjadi di Medan, pada 10 Desember 1965. Dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Makasar, peristiwa yang terjadi di Medan lebih brutal dan menyebabkan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan tembakan yang ditujukan kepada para demonstran di Konsulat RRC, yang mengakibatkan masa marah dan menikam orang-oang Tionghoa yang mereka temui di jalan. 37

Munculnya prasangka di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka ini seperti aktivitas Baperki38 suatu organisasi etnis Tionghoa yang ideologinya condong ke arah komunis. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya kegiatan anti Tionghoa, karena tuduhan-tuduhan yang berkembang di masyarakat bahwa Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC). Baperki sendiri dianggap sebagai organisasi yang mewakili kepentingan Tionghoa di Indonesia. Selain itu, dalam susunan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa yang diwakili oleh Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung paham komunis dan peristiwa 30 September 1965.

Anggapan tersebut muncul karena tindakan - tindakan yang dilakukan Baperki pasca peristiwa 30 September 1965, yang mengutuk gerakan tersebut

37 Ibid,hlm.128

38

(44)

atapun mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya para Jendral. Anggapan ini diperkuat dengan dugaan yang belum terbukti, bahwa baperki merupakan penyandang dana bagi PKI. Selain itu, ketidaksukaan masyarakat terhadap etnis Tionghoa semakin besar karena adanya provokasi yang dilakukan oleh RRC melalui siaran radio Peking, terhadap revolusi Indonesia dan sikap mendukung gerakan 30 September yang ditunjukkan.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris, untuk mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia dari kegiatan anti Imperialisme Amerika Inggris. Kedua negara tersebut melaksanakan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak lagi mengarah kepada RRC yang dianggap sebagai musuh rakyat Indonesia yang sebenarnya. Oleh sebab itu bisa dikatakan masa-masa setelah Peristiwa 30 September 1965/PKI, merupakan masa genting bagi etnis Tionghoa Indonesia, akibat prasangka-prasangka masyarakat terhadap etnis ini.

(45)

kesetiannya kepada Negara Republik Indonesia.39 Dalam aksi ini, demonstran juga bergerak ke arah kedutaan besar Cina, merusak pintu gerbang, menghancurkan peralatan kantor, dan melukai beberapa orang staf.

Menanggapi aksi demonstran yang dilakukan oleh orang Tionghoa Indonesia yang menghasilkan pernyataan kesetiaan kepada Indonesia, pers Indonesia menanggapinya dengan positif. Akan tetapi, menurut pers Indonesia, kesetiaan tersebut akan menjadi tidak ada artinya jika mereka masih mempertahankan keeksklusifan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diharapkan orang Tionghoa Indonesia, merubah cara hidup mereka yang cenderung eksklusif untuk menghilangkan prasangka yang berkembang di masyarakat.40

Aksi-aksi anti Tionghoa terus berlanjut, dan mengarah kepada masyarakat pribumi untuk mengusir orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina. Tuntutan tersebut merupakan reaksi dari perdebatan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina. Perdebatan berisi tuntutan pemerintah RRC kepada pemerintah RI untuk menyediaan kapal bagi Tionghoa yang ingin kembali ke Cina. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia dinilai gagal menjaga kepentingan orang Tionghoa asing di Indonesia. Jawaban terhadap tuntutan ini ialah pada prinsipnya orang-orang Tionghoa asing bebas untuk pergi ke Tiongkok. Pemerintah RI juga menolak untuk menanggung seluruh biaya pemulangan orang Tionghoa asing

39 Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2005, hlm.958. 40

(46)

kembali ke negaranya.41 Akhirnya permasalahan terpecahkan dengan pengiriman kapal Kuang Hua oleh pemerintah RRC, pada akhir September 1966.

Di Aceh, Iskandar Muda Brigjen Iskah Djuarsa mengumumkan ke seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan asing untuk segera meninggalkan Aceh, sebelum tanggal 17 Agustus 1966. Pengumuman tersebut disampaikan pada 8 Mei 1966. Hal tersebut mengakibatkan 15. 000 orang Tionghoa meninggalkan tempat tinggalnya, menuju ke Medan. Tuntutan untuk memulangkan orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina, terus berkembang hingga daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di Yogyakarta, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) menuntut kepada kepala daerah istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam, untuk mengusir orang Tionghoa asing. Di Banjarmasin pemerintah telah memutuskan untuk segera mengambil langkah-langkah dalam pemulangan orang Tionghoa asing. Pemerintah daerah juga mengambil tindakan pengawasan terhadap kegiatan mereka, sebelum kembali ke negeri asalnya.

Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, Angkatan Darat RI menyelenggarakan suatu seminar bertempat di Bandung. Tujuan seminar adalah merumuskan kembali doktrin Angkatan Darat dengan mengingat perubahan-perubahan politik dan program Angkatan Darat karena perubahan politik yang terjadi semenjak diadakannya Seminar Angkatan Darat I, Pada April 1965.42 Meskipun bertemakan

41

Ibid.,hlm.139.

42 Coppel,op. cit.,hlm. 171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti Dr.Widjaja

(47)

perumusan kembali dokrin Angkatan Darat, seminar tersebut justru menghasilkan keputusan yang berbeda jauh dengan tema yang diangkat. Dalam seminar tersebut, diputuskan untuk mempergunakan kembali kata Cina untuk Republik Rakyat Cina dan warga negaranya. Keputusan mengenai hasil seminar ini sebagai berikut:

“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian Tjina telah

lazim terdapat di mana - mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan Warga Negara. Maka patut pula kami laporkan bahwa Seminar telah memutuskan untuk kembali memakai penyebutan bagi Republik Rakyat Tiongkok dan warga negara, dirubah menjadi Republik rakyat Tjina dan warga negara Tjina. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan

secara historis dan sosiologis”

Hasil dari seminar tersebut, sebenarnya ditunjukkan kepada warga negara Cina beserta negaranya, yang dianggap sebagai pendukung PKI serta Gerakan 30 September, serta sikap bermusuhan yang ditunjukkan kepada pemerintah Indonesia, terutama kepada AD.43 Akan tetapi, pada perkembangannya sebutan ini juga dipergunakan untuk menyebut WNI keturunan Tionghoa. Konotasi yang terkandung dalam penyebutan Cina kepada etnis Tionghoa Indonesia, memiliki makna menghina dan merendahkan, suatu hal yang tidak pernah diakui secara eksplisit selama ini.44 Hal ini pun diakui oleh Muchtar Lubis seorang penulis terkenal dan mantan pemimpin redaksi Indonesia Raya, melakukan aktiitasnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun mereka sudah berkewarganegaraan Indonesia,statusnya masih disamakan dengan warga negara asing.

43

Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 34. 44

(48)

yang mengatakan bahwa pemakaian istilah Cina mungkin sesuai untuk menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia kepada Peking.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penggunaan istilah ini tidak dapat dibatasi pada warga negara RRT saja, akan tetapi juga akan berdampak pada warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.45 Menurut Dr. Lie Tek Tjeng, penggunaan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berwarganegaraan Cina, tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan penyebutan kata Cina juga akan ditujukan kepada WNI keturunan Tionghoa. Hal tersebut menurutnya akan membahayakan stabilitas ekonomi/politik Kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya pembangunan Orde Baru.

C.Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Rezim ini membungkam keanekaragaman kelompok etnis, salah satunya etnis Tionghoa. Pembungkaman dilakukan karena kelompok etnis dianggap sebagai ancaman politik yang dapat mengguncang kekuasaan. Jika ada kelompok etnis yang menentang kekuasaan akan segera ditindas. Meski berada dalam kontrol kekuasaan, kebijakan politik Orde Baru terhadap satu kelompok etnis dengan lainnya tidak seragam, diperlukan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

45

(49)

Pada awal masa pemerintahannya Orde Baru menjalin hubungan dengan orang Tionghoa untuk kepentingan ekonomi. Bersama dengan konsolidasi kekuasaan Orde Baru orang Tionghoa, terutama kalangan pemilik modal, merapat ke kekuasaan dan memperoleh keuntungan ekonomi. Proteksi politik ini membuat pengusaha Tionghoa memonopoli sektor ekonomi sampai akhirnya dapat membangun imperium bisnis di Indonesia. Dari sinilah muncul Cukong, taipan, dan konglomerat. Bukan rahasia lagi, dalam menjalankan bisnisnya cukong, taipan, dan konglomerat bekerjasama dengan petinggi- petinggi militer yang saat itu menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh.

Akibatnya orang Tionghoa mendominasi sektor ekonomi yang luar biasa besar. Orang Tionghoa menjadi masyarakat apolitis dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial politik. Pada saat yang sama penguasa Orde Baru selalu menempatkan orang Tionghoa menjadi kambing hitam dari setiap persoalan politik. Dengan demikian jika terjadi gejolak politik, apalagi yang berkaitan dengan masalah ekonomi, orang Tionghoa selalu menjadi target kemarahan kalangan pribumi. Meskipun ditempatkan dalam posisi sosial sedemikian rupa, orang Tionghoa menganggap kekuasaan tetap melindungi mereka.

(50)

barang kebutuhan pokok, toko bahan bangunan dan jenis toko lainnya. Sikap anti politik etnis Tionghoa yang dibentuk oleh rezim Orde Baru membuat etnis Tionghoa menjadi semakin giat meningkatkan usaha di bidang ekonomi. Hal inilah yang membuat kecemburuan bagi masyarakat pribumi, karena etnis

Tionghoa dianggap „lebih kaya‟ dibandingkan masyarakat pribumi. Interaksi yang

pada awalnya dilandasi kerja sama antara penjual yakni etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi sebagai pembeli menjadi sebuah rasa curiga dan benci terhadap etnis Tionghoa dan begitu sebaliknya.

D.Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, mengklaim bahwa seluruh orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda merupakan warga negaranya. Selain itu, Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, menyebutkan bahwa seluruh orang Tionghoa, di mana pun mereka dilahirkan merupakan warga negara Cina. Oleh karena itu, etnis Tionghoa pada masa tersebut memiliki dua kewarganegaraan.

(51)

dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.46 Akan tetapi ,warga Indonesia keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan Cina dan Indonesia.

Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang – orang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat berasimilasi.

Pada tanggal 22 April 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan atau yang dikenal dengan Perjanjian Sunario-Chou En Lai, ditandatangani. Perjanjian ini kemudian dijadikan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, pada tanggal 27 Januari 1958.47 Undang –Undang No. 2 Tahun 1958 mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutan-kedutan atau di konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri, untuk mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Setiap

46 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116

47 Titi Sumbung,”Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwikewarganegaraan”,Sinar

(52)

orang yang memiliki kewarganegaraan ganda sebelum tanggal 20 Januari 1960, harus menolak kewarganegaraan Cina atau Indonesia dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 20 Januari 1960-20 Januari 1962.48

Diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan pro dan kontra di kalangan partai - partai politik. PNI dan PKI yang mendukung diberlakukannya undang-undang tersebut menilai, bahwa Perjanjian Dwi Kewarganegaraan merupakan cara yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan ganda masyarakat Tionghoa. Partai oposisi yang menentang berpendapat bahwa dengan berlakunya perjanjian tersebut, maka dikhawatirkan akan semakin banyak orang asing yang menetap di Indonesia.

Sutan Mangkuto, salah satu anggota parlemen dari Masyumi berpendapat bahwa, Tionghoa Indonesia mempunyai kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang ilegal. Oleh sebab itu, pengakuan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia, dapat membahayakan bangsa Indonesia. Undang-undang mengenai kewarganegaraan ini baru bisa dijalankan pada tanggal 20 Januari 1960, setelah Soekarno menguasai keadaan pada waktu itu.49

Kondisi hubungan diplomasi yang semakin kritis dan adanya tuntutan dari pemuda dan mahasiwa, maka melalui sidang 9 oktober 1967, pemerintah Indonsia memutuskan untuk membekukan hubungan diplomatik dengan RRC.50

48

Isi dari Perjanjian Dwi Kewarganegaran: 1. Orang Tionghoa asing yang telah memilih kewarganegaran Cina,sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut, tidak mempunyai hak untuk memilih lagi; 2. Orang Tiongoa yang memiliki kewarganegaraan ganda,akan diberi waktu 2 tahun untuk memilih. Jika ia bertindak pasif,maka ia menjadi warga negara RRC; 3. Anak-anak yang akan memilih kewarganegaraan saat berusia 18 tahun, untuk sementara akan dianggap

berkewarganegaraan seperti ayahnya. Suryadinata,Dilema Minoritas…,op.cit,hlm.125

49

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.124-125.

50

(53)

Hal ini kemudian menyebabkan pemerintah Indonesia memutuskan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan secara sepihak. Pemerintahan Soeharto memiliki pandangan yang sama dengan partai oposisi di jaman Soekarno, saat mereka menolak untuk pemberlakuan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan.

Pemerintah Soeharto menilai diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya memiliki kewarganegaraan Cina untuk menjadi warga negara Indonesia, sampai anak-anak tersebut mencapai umur 18 tahun, tanpa penyaringan secara ketat dari pemerintah. Selain itu pemerintah juga berpendapat diberlakukannya perjanjian tersebut memberikan suatu perlakuan khusus kepada golongan tertentu dari penduduk Indonesia yang tidak dinikmati oleh golongan lainnya. Hal tersebut sudah tentu menyimpang dari asas kesamaan kedudukan di muka hukum.51

Pencabutan secara sepihak Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan permasalahan baru. Dalam artikel yang ditulis oleh Titi Sumbung secara bersambung, pada tanggal 26 dan 27 Febuari 1969 di Koran Sinar Harapan, dinyatakan bahwa dicabutnya Perjanjian Dwi Kewarganegaran menyebabkan status kewarganegaran yang kabur. Hal ini dikarenakan bagi anak-anak dari orang tua yang telah memilih kewarganegaraan Cina, diharuskan untuk memilih kewarganegaraan apa yang ia pilih saat ia telah mencapai usia umur 18 tahun.

‟‟….kalau ia memilih kewarganegaraan RI ia harus melepaskan RRT,

demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik antar RI-RRT, melepaskan kewarganegaraan RRT sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih

51

(54)

kewarganegaraan RRT, praktis sudah tidak ada yang menampung

lagi”52

Dengan dihapuskannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka setiap anak dari orang tua yang berkewarganegaraan Cina, jika memilih kewarganegaraan Indonesia harus melalui proses naturalisasi, berdasarkan Undang – Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Undang-undang tersebut juga menyebutkan bagi anak-anak yang orang tuanya telah memilih kewarganegaran Indonesia, atau salah satu orang tuannya merupakan warga negara Indonesia, maka anak-anak mereka tetap menjadi warga negara Indonesia.53

52 Sumbung ,loc.cit

53

(55)

39 BAB III

PELAKSANAAN KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998

Orde Baru memulai kekuasaannya setelah Soeharto menjadi presiden . Saat itu dimulailah penerapan kebijakan yang melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Sebuah rezim pro-Barat yang kemudian membawa Indonesia menjadi negara yang sangat diskriminatif pada etnis Tionghoa.54

Sejak peristiwa 30 september 1965, ada trauma yang mendalam di kalangan warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan bidang politik. Mereka bahkan enggan berbicara tentang hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Orang - orang keturunan Tionghoa distigmatisasikan sebagai kelompok yang berkiblat (komunis) ke Tiongkok selama Orde Baru.55 Sejak awal berdirinya rezim Soeharto, ada keyakinan umum bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki sentimen kebangsaan. Orang-orang keturunan Tionghoa dicurigai telah mendukung politik kaum kiri karena RRT adalah negara komunis. Terjadi identifikasi yang esensialis dan umum antara etnis Tionghoa dan komunisme. Stigma sebagai Tionghoa dan keadaan sebagai Tionghoa karena telah terlibat dalam kudeta komunis 1965 dianggap menular dan menurun ke generasi selanjutnya.

54

Nurani soyomukti,”Soekarno & cina”,Yogyakarta: Garasi,2002.hlm.304.

55 Chang - Yau hoon,Inentitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya,Politik dan media, Jakarta:

(56)

Pengakuan terhadap identitas kultural sebagai hak yang perlu dimiliki oleh setiap kelompok etnis juga dirasakan oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Keberadaan mereka hingga sekarang masih menjadi persoalan. Orang-orang keturunan Tionghoa belum diterima secara penuh sebagai bagian dari anggota bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya istilah baku bagi orang-orang keturunan Tionghoa yang telah menanggalkan akar-akar kultur mereka dari negeri asal.56

Pengakuan terhadap identitas kultur (keturunan Tionghoa) merupakan salah

satu bagian dari „masalah Tionghoa‟ yang belum terselesaikan. Pada masyarakat

pribumi berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan orang-orang keturunan Tionghoa yang cenderung eksklusif dan mempertahankan

hubungan „kekerabatan‟ dengan negeri leluhurnya. Selain masih berkembangnya

stereotip negatif di kalangan pribumi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa, kebijakan pemerintah yang tidak jelas dalam menangani persoalan berbasis kultur,

merupakan wujud nyata dari “masalah Tionghoa” yang belum terselesaikan.

Masalah Tionghoa di Indonesia sangat berkaitan dengan sikap dan kebijakan pemerintah yang tidak cukup tegas dalam persoalan kewarganegaran orang-orang keturunan Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan menjadi salah arah, karena muncul pandangan bahwa loyalitas orang-orang keturunan Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran terhadap cirri - ciri kultur mereka. Dalam kenyataannya, keragaman adalah sebuah fakta kehidupan, dan

56 Turnomo Rahardja, Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina, dalam Dialogue, JIAKP: l2,

(57)

kesatuan dalam keberagaman dapat dicapai tanpa harus melakukan penyeragaman.

Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menaruh curiga atas hubungan – hubungan yang dijalin oleh etnis Tionghoa dengan Republik Rakyat Tiongkok. Pemerintah Indonesia begitu bersemangat untuk menciptakan sebuah “bangsa

yang homogen” sehingga pemeritah mengambil kebijakan asimilasi terhadap

kelompok etnis Tionghoa. Penting untuk dicatat bahwa yang disebut “bangsa

homogen” disini ditegakkan atas model pribumi. Kelompok etnis Tionghoa

dipandang sebagai “nonpribumi” dan karena itu harus menanggalkan identitas

ketionghoaan mereka jika mereka ingin menjadi “orang Indonesia tulen”. Namun, identitas pribumi Indonesia yang harus diikuti oleh kelompok etnis Tionghoa itu tidak didefinisikan dengan jelas.

Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru didasarkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Indonesia mempunyai masyarakat yang beraneka ragam, bergabung bersama sebagai

kesatuan Indonesia seperti yang digambarkan dalam lambang “Binneka Tunggal

Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Makna semboyan Bhineka Tunggal Ika berarti

berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu, sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Semantara semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa57 memiliki makna

57

(58)

yaitu tidak ada kebenaran yang bermuka dua, sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandasan pada kebenaran satu.58

Orang-orang keturunan Tionghoa diharapkan meleburkan kebudayaannya, adat istiadat serta ciri-ciri lainnya ke dalam kebinekaan masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menghendaki kesatuan bangsa, termasuk juga kesatuan antara minoritas dan mayoritas. Golongan minoritas tidak bisa hanya menuju ke suatu masyarakat yang adil dan makmur, tetapi harus juga memenuhi dan melaksanakan cita-cita negara Indonesia yaitu arah kesatuan. Menuju ke arah kesatuan ini hanya dapat dicapai dengan jalan asimilasi, sehingga ekslusiisme dari minoritas hancur, sehingga hubungan –hubungan antara minoritas dan mayoritas dipe

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Sejarah singkat kedatangan masyarakat Etnis Tionghoa ke Deli Tua, interaaksi sosial masyrakat Etnis Tioghoa dengan

Dalam Skripsi ini saya menggunakan istilah Tionghoa untuk menyebut orang Tionghoa keturunan Cina karena istilah Tionghoa lebih halus dibandingkan dengan Cina yang

1) Orientasi politik perempuan etnis Cina (Tionghoa) ditinjau dari orientasi kognitif masih superfisial atau masih jauh dari yang diharapkan. Hanya dalam tiga tema

Respons baik dan antusias terhadap berbagai kebijakan pemerintah juga terjadi pada bidang politik, namun respons etnis Tionghoa di Jember cukup rendah karena kebebasan

286/1978 yang berisi tentang larangan impor, memperdagangan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf/aksara dan bahasa Cina; (3) Dampak pengaktualisasian

Secara tidak langsung telah terjadi kebijakan asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah sejak Presiden Soekarno sampai dengan Megawati Soekarno Putri, yaitu melalui

Dari hasil pembahasan yang dilakukan oleh penulis menganai faktor pendorong lahirnya kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Dwikewarganegaraan Etnis Tionghoa, maka dapat

Penggantian nama tidak diwajibkan, akan tetapi selama tahun-tahun pertama dari masa Orde Baru, sebagian besar dari orang Indonesia keturunan Tionghoa mengganti nama mereka, karena