• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MODEL OBSERVASI DAN SIMULASI (OBSIM) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGAJAR AWAL MAHASISWA PENDIDIKAN GURU FISIKA SEKOLAH MENENGAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI MODEL OBSERVASI DAN SIMULASI (OBSIM) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGAJAR AWAL MAHASISWA PENDIDIKAN GURU FISIKA SEKOLAH MENENGAH."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Penelitian ……….. B. Rumusan Masalah Penelitian ……… C. Hipotesis ………... D. Tujuan Penelitian ………. E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ……….

1

BAB II. PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN

MENGAJAR ……….. ………. A. Belajar untuk Mengajar IPA/Fisika Sekolah Menengah 1. Pengertian Belajar dan Mengajar ………...

2. Kemampuan Mengajar untuk Mahasiswa Calon Guru Fisika ……….. B. Ukuran Kemampuan Mengajar Mahasiswa ……..……. C. Model Pembelajaran Mata Kuliah SBM Fisika……….

1. Pembelajaran pada Mahasiswa sebagai Orang Dewasa……….……… 2. Model Tradisional ……… 3. Model Obsim (Observasi dan Simulasi) .……… 4. Perbandingan Perkuliahan Model Tradisional dan

(2)

…………. Lanjutan

D. Instrumen Penelitian ………. 1. Instrumen Pengumpulan Data ……….. a. Daftar Cek dan Rekaman Video ………. b. Catatan Lapangan Pribadi (personal field

notes) ………..………

BAB IV. ANALISIS DATA, HASIL DAN PEMBAHASAN, DAN TEMUAN PENELITIAN ………. A. Analisis Data ………. 1. Analisis data Uji Utama Model Obsim ………. 2. Analisis data Uji banding Model Obsim dengan

Model Tradisional ………... B. Hasil dan Pembahasan ………. 1. Hasil Penelitian ………

a. Hasil Uji Utama Model Obsim ……….. b. Hasil Uji Banding ..……….. c. Hasil Tanggapan Mahasiswa Terhadap Model

Pembelajaran………….. ……….. d. Hasil Tanggapan Dosen terhadap Model Obsim . 2. Pembahasan Hasil Penelitian ………. a. Pembahasan Implementasi Uji Utama Model .. b. Pembahasan Hasil Implementasi Uji Banding . c. Keterbatasan-keterbatasan Penelitian ………. C. Temuan Penelitian ………

(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1: Daftar perbandingan penyebaran MKPBM Fisika …… 4

Tabel 2.1: Perbandingan Perkuliahan SBM Model Tradisional dan

Model Simobs ..……….. 70

Tabel 3.1: Keterpaduan pemilihan materi belajar mengajar dan

tujuan mata kuliah SBM Fisika ………. 80

Tabel 3.2: Kisi-kisi tes obyektif penguasaan teori belajar mengajar 81

Tabel 3.3: Keterpaduan komponen materi PBM dan komponenn

materi fisika ……….. 86

Tabel 3.4: Karakteristik materi fisika dan siswa hubungannya dalam

mentukan strategi pembelajaran dalam RP pada setiao

Model Obsim ..……….. 94

Tabel 3.5: Komponen pengembangan instrumen model Obsim … 97

Tabel 4.1: Peningkatan kemampuan mengajar (PKM) pada uji

utama Model Obsim berdasarkan kategori kelompok ... 124

Tabel 4.2a: Peningkatan kemampuan mengajar (PKM) kelompok

eksperimen berdasarkan kategori kelompok tinggi,

sedang, dan rendah ……… ... 129

Tabel 4.2a: Peningkatan kemampuan mengajar (PKM) kelompok

eksperimen berdasarkan kategori kelompok tinggi,

sedang, dan rendah ……… ...

Tabel 4.2b: Peningkatan kemampuan mengajar (PKM) kelompok

kontrol berdasarkan kategori kelompok tinggi, sedang,

dan rendah …………..………..… ..

122

130

Tabel 4.3 Hasil peningkatan kemampuan mengajar pada uji utama

Model Obsim…………. ………. 143

Tabel 4.4: Hasil peningkatan penguasan teori belajar mengajar

(PTBM) kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

(4)

... lanjutan Tabel 4.5: Harga χ2

hitung dengan Kruskal Wallis Test PTBM ……... 147

Tabel 4.6: Data perbedaan peningkatan KMJ ………….. ……….. 150

Tabel 4.7: Harga χ2 hitung KMJ dengan Kruskal Wallis Test ……..… 152

Tabel B.1: Hasil penilaian tiga pakar terhadap instrumen tes …… 197

Tabel B.2: Rekapitulasi skor tes penguasaan teori belajar mengajar (uji coba I) ………. 198

Tabel B.3: Rekapitulasi skor tes penguasaan teori belajar mengajar (uji coba II………. 200

Tabel E: Hasil penilaian tiga pakar terhadap instrumen pembelajaran 255 Tabel H-1a: Data hasil skor KMRP dan KMJ siklus 1 ……… 264

Tabel H-1b: Data hasil skor KMRP dan KMJ siklus 2 ……… 264

Tabel H-1c: Data hasil skor KMRP dan KMJ siklus 3 ……… 264

Tabel H-1d: Data hasil skor KMRP dan KMJ siklus 4 ……… 264

Tabel H-2: Data penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) ... 265

Tabel F-3: Data skor kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal dan akhir………. 266

Tabel H-4: Data skor keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal dan akhir ……… ….……… 267

Tabel I-1: Dataasangan (matching) kelompok eksperimen dan kelompok kontrol atas dasar IPK semester I & II…….. ….. 271

Tabel I-2a: Rerata skor PTBM kelompok eksperimen .. ………... 272

Tabel I-2b: Rerata skor PTBM kelompok kontrol …… …………... 273

Tabel I-3: Data hasil KMRP kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ………….………... 274

Tabel I-4a: Data skor rerata tiga pengamat KMJ kelompok eksperimen ………. 275

Tabel I-4b: Data skor rerata tiga pengamat KMJ kelompok kontrol…… ………. 276

Tabel J-1: Jawaban mahasiswa kelompok eksperimen ……... 280

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1: Bagan pembelajaran sistematik dalam IPA Sekolah

Menengah (Farmer & Farrel, 1980) ……… 31

Gambar 2.2: Isu-isu kognitif inti yang penting untuk kerja ilmiah

(Reif, 1995) ………... 32

Gambar 2.3: Komponen proses yang mempengaruhi belajar

observasi dalam analisis belajar sosial (Bandura,

1977:23) ………... 61

Gambar 2.4: Bagan Sintaksis Model Obsim dalam Pembelajaran

SBM Fisika ………. 66

Gambar 2.5: Bagan dampak Instruksional dan dampak pengiring

Model Simobs (Pengembangan dari Model

Simulasi, Joyce & Weil, 2000:356) ……..………….. 69

Gambar 3.1: Bagan prosedur penelitian ………. 76

Gambar 3.2: Bagan pengembangan tes PTBM …………. ……….. 78

Gambar 3.3: Bagan pengembangan instrumen pembelajaran

model Obsim ………..…………. ……….. 85

Gambar 3.4: Bagan prosedur uji utama model ………. 105

Gambar 3.5: The one group pre-test post-test design (Fraenkel &

Wallen, 1990:236) ……….. 108

Gambar 3.5: The matching only pre-test post-test one control

group design (Fraenkel & Wallen, 1990:236) …….... 109 Gambar 4.1: Profil Model Obsim dalam meningkatkan

kemampuan mengajar awal mahasiswa untuk

kelompok tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R) ….. 126

(6)

………….. lanjutan

Gambar 4.2: Profil perbandingan peningkatan kemampuan

mengajar awal antara kelompok eksperimen (E)

dengan kelompok kontrol (K) untuk kelompok tinggi

(T), sedang (S), dan rendah (R) ……….. 131

Gambar 4.3: Grafik perbedaan rerata peningkatan setiap

komponen penguasaan teori belajar mengajar

(PTBM) antara kelompok eksperimen (E) dan

kelompok kontrol (K) ………..

146

A. Gambar 4.4: Grafik perbedaan rerata peningkatan

kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP)

antara kelompok eksperimen (E) dan kelompok

kontrol (K)

149

B. Gambar 4.5: Grafik perbedaan peningkatan setiap

komponen mengajar jelas (KMJ) antara kelompok

eksperimen (E) dan kelompok kontrol (K)

……….………….…….

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Silabus Mata Kuliah SBM Fisika ………. 183

Lampiran B: Instrumen Tes Penguasaan Teori Belajar Mengajar

dan Hasil Uji-cobanya ……… 186

Lampiran C: Lembar Observasi Perilaku Mengajar Jelas

(Metcalf, Kim. K, 1992) ………. 202

Lampiran D: Pedoman Wawancara ……… 204

Lampiran E: Instrumen Pembelajaran ……….. …… 206

Lampiran F: Reliabilitas tiga pengamat dalam mengamati

keterampian mengajar jelas mahasiswa ……….……

231

Lampiran G: Contoh hasil pemberian skor keramplan mengajar

jelas (KMJ) ………. 260

Lampiran H: Data Hasil Uji Utama Model Obsim ……. ……… 263

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan IPA sekolah menengah sampai saat sekarang dapat

dikatakan masih memprihatinkan. Nilai Ebtanas Murni (NEM) IPA SLTP dan

fisika SMU dari tahun ajaran 1997/1998 sampai dengan 2000/2001, sebagai

salah satu indikator keberhasilan belajar siswa, rata-rata masih di bawah

lima (Diknas Jabar, 2002). Hasil pengamatan dan temuan oleh Depdikbud

(1999) dan Sidi (2000) menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran

fisika di beberapa sekolah menengah belum baik, sebagian besar para guru

fisika mengajar dengan cara monoton (dengan ceramah dan tugas) dan

mengabaikan prinsip pembelajaran fisika sekolah menengah yang benar.

Dengan demikian, sewajarnya apabila hasil belajar siswa masih rendah atau

pembelajaran fisika kurang efektif atau secara umum dikatakan kualitas

pembelajaran fisika sekolah menengah belum baik. Oleh karena itu, kajian

tentang bagaimana upaya meningkatkan kualitas pembelajaran fisika

sekolah menengah perlu dilakukan.

Banyak faktor yang berpengaruh pada kualitas pembelajaran fisika

sekolah menengah. Guru merupakan faktor paling utama penentu kualitas

pembelajaran (Rosenshine & Furst, 1971; Butts & Yager, 1980; APEID,

1997; Zamroni, 2000) atau penerap prinsip mengajar yang tepat (Biehler &

(9)

menegaskan bahwa kualitas pendidikan IPA sangat tergantung pada kualitas

guru IPA bukan pada fasilitas dan material. Berikutnya berkaitan dengan

kegagalan pendidikan IPA/Fisika sekolah menengah, McDermott (1975;

1990) menyatakan bahwa salah satu alasan kekurang-berhasilan pendidikan

IPA adalah kegagalan fakultas dan universitas dalam menyiapkan

mahasiswa calon guru IPA sekolah menengah untuk dapat mengajar secara

efektif. Nasional Science Education Standards (NRC, 1996) menyatakan bahwa untuk menjadi guru IPA yang efektif tidak dapat dilakukan secara

tiba-tiba, tetapi harus diawali sejak dia menjadi mahasiswa calon guru atau

selama program prajabatan. Dengan demikian, membekali kemampuan

mengajar fisika dengan baik kepada para calon guru fisika sekolah

menengah perlu diupayakan dengan cermat oleh lembaga yang mengelola

program prajabatan agar lulusannya dapat mengajar fisika dengan baik.

Di Indonesia, program prajabatan tersebut dikelola oleh Lembaga

Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) khususnya pada FPMIPA di

Jurusan Pendidikan Fisika atau Jurusan PMIPA di Program Pendidikan

Fisika (Depdikbud., 1995). Dalam melaksanakan program studi, LPTK

berpedoman pada kebijakan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan atau Pendidikan Nasional Republik Indonesia,

berupa kurikulum yang terdiri atas kurikulum inti dan kurikulum institusional

(Kepmen. Nomor 232/U/2000 bab IV pasal 1 ayat 1). Berikutnya, pada ayat 2

(10)

pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan

dalam kurikulum yang berlaku secara nasional.

Dalam membekali kemampuan mengajar para mahasiswa calon guru

fisika, kurikulum LPTK dibagi dalam dua unsur utama, yakni: kurikulum

pendidikan akademis dan pendidikan profesi (Depdiknas, 2001). Unsur

pendidikan akademis disebut sebagai komponen bidang studi yang

diwujudkan dalam Mata Kuliah Bidang Studi (MKBS). Unsur profesi terdiri

atas dua komponen, yaitu: komponen Mata Kuliah Dasar Keguruan (MKDK)

dan komponen Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM). Kurikulum

untuk Pendidikan Bidang Studi (subject specific pedagogy curriculum), seperti kurikulum pendidikan bidang studi fisika termasuk pada kelompok

MKPBM.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 0217/U/1995 pasal 25 menyebutkan bahwa MKPBM untuk Program

Studi Pendidikan Fisika terdiri atas beberapa matakuliah dengan bobot 16

sks. Kelompok MKPBM ini terdiri atas empat matakuliah, yaitu: Dasar-dasar

dan Proses Pembelajaran Fisika (6 sks), Evaluasi Proses dan Hasil

Pembelajaran Fisika (3 sks), Telaah Kurikulum Fisika Sekolah Menengah (2

sks), dan Program Pengalaman Lapangan (PPL) (5 sks). Kemudian,

Depdiknas (2001) memberi bobot MKPBM sebanyak 14 sks, dengan

(11)

Tabel 1.1 Daftar perbandingan penyebaran MKPBM Fisika

No. Nama Matakuliah SKS Semester

1. Strategi Belajar Mengajar Fisika 4 3

2. Evaluasi Pendidikan Fisika 4 4

3. Perencanaan Pengajaran Fisika 3 5

4. Penelitian Pendidikan Fisika 3 6

Total 14

Sumber: Depdiknas. (2001).

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa dalam mengembangkan pengetahuan

dan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru fisika, LPTK memberikan

kepada mereka MKPBM selama empat semester yang dimulai sejak

semester III, yaitu: pada mata kuliah Strategi Belajar Mengajar (SBM) Fisika.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterampilan mengajar

mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah paling awal diberikan pada

matakuliah SBM Fisika di semester III.

Walaupun kurikulum MKPBM fisika telah dikemas dengan baik, tetapi

apabila strategi perkuliahannya tidak dirancang dengan baik oleh para

pembina matakuliah tersebut, maka diperkirakan Program Studi Pendidikan

Fisika LPTK akan menghasilkan lulusan yang kurang baik dalam mengajar.

Oleh karena itu, perlu upaya untuk merancang suatu strategi khusus atau

model perkuliahan MKPBM yang dimulai pada matakuliah SBM sesuai

(12)

hendaknya bertolak pada kelemahan-kelemahan dari model perkuliahan

yang telah dilakukan dan menggantikan atau mengembangkannya

berdasarkan pada beberapa kajian teoretik yang dimungkinkan sesuai.

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa matakuliah SBM Fisika diberikan pada

mahasiswa semester III, yaitu pada permulaan tahun kedua mereka menjadi

mahasiswa. Pada semester tersebut mereka baru pertama kali dibekali

tentang belajar untuk mengajar. Pengalaman pribadi menunjukkan bahwa

motivasi mahasiswa saat itu untuk menjadi guru belum tampak, bahkan

sebagian besar mahasiswa merasa terpaksa untuk menjadi guru.

Pengalaman tersebut didukung dari wawancara terhadap 12 mahasiswa

Program Pendidikan Fisika FKIP di salah satu universitas negeri di Jawa

Timur yang diambil secara acak pada tanggal 8 Pebruari 2001. Duabelas

mahasiswa tersebut berturut-turut adalah empat orang mahasiswa semester

II, tiga orang mahasiswa semester IV, dan lima orang mahasiswa semester

VI. Ketika mereka diberi pertanyaan, apakah anda senang menjadi guru? Hanya tiga dari 12 mahasiswa (25%) yang menjawab senang dan sisanya

(75%) menjawab kurang senang. Lebih lanjut ketika mereka diberi

pertanyaan, mengapa anda mendaftar di sini? Delapan dari 12 orang mahasiswa (sekitar 66,7%) menjawab terpaksa karena kondisi ekonomi

orang tua, dua dari 12 orang mahasiswa (sekitar 16,7%) menjawab daripada

tidak sekolah sebab di sini (Program Pendidikan Fisika) bukan pilihan

(13)

menjadi guru fisika yang baik. Berikut ini diberikan kutipan hasil tanggapan

seorang mahasiswa semester II terhadap pertanyaan yang diajukan.

Pertanyaan: apakah anda senang menjadi guru?

Respon M : kurang senang, kalau ada yang lain pilih selain guru. Pertanyaan: Mengapa anda mendaftar di sini?

Respon M: daripada tidak sekolah, sebab ini bukan pilihan saya.

Hasil wawancara tersebut menggambarkan bahwa motivasi mahasiswa

untuk menjadi guru fisika kurang, akibatnya pada mata kuliah yang berkaitan

dengan pengembangan profesi seperti pada mata kuliah SBM Fisika mereka

kurang antusias dalam mengikuti perkuliahan.

Hasil wawancara tersebut juga didukung dengan hasil pengamatan

terhadap perilaku dan sikap mahasiswa Program Pendidikan Fisika FKIP.

Mereka rata-rata menampakkan perilaku dan sikap kurang percaya diri,

mereka merasa sebagai masyarakat kelas dua dibandingkan mahasiswa

fakultas lain, seperti dengan mahasiswa Fakultas MIPA, Fakultas Pertanian,

Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) , atau yang lain.

Data hasil pengalaman pribadi, wawancara, dan pengamatan seperti

telah diuraikan di atas menggambarkan bahwa mahasiswa yang belajar di

Jurusan/Program Pendidikan Fisika sebagian besar kurang termotivasi dan

kurang percaya diri untuk menjadi guru. Sikap percaya diri dan motivasi

intrinsik pada mahasiswa akan mempengaruhi hasil belajarnya (Olivia,

1984). Hal tersebut merupakan tanggung jawab para dosen dalam

menumbuhkan sikap percaya diri dan motivasi mahasiswa untuk belajar

(14)

Oleh karena matakuliah SBM Fisika merupakan matakuliah pertama untuk

membekali kemampuan mengajar fisika pada mahasiswa, maka penyajian

matakuliah seyogianya dilakukan secara bijak agar mahasiswa termotivasi

untuk menjadi guru fisika yang baik.

Hasil beberapa kali pengamatan pada perkuliahan Strategi Belajar

Mengajar (SBM) Fisika sikap mahasiswa untuk menjadi guru yang baik

tersebut kurang bisa ditumbuhkan. Mata kuliah tersebut sering dibina oleh

pengajar yang tidak berlatar belakang pendidikan IPA/fisika, sehingga dalam

perkuliahan, mereka jarang dan mengalami kesulitan dalam mengaitkan teori

belajar mengajar (seperti tujuan, metode, media, evaluasi) dengan materi

fisika sekolah menengah. Jika diajar oleh pembina yang berlatar belakang

pendidikan IPA/Fisika, biasanmya mereka cenderung hanya menggunakan

metode ceramah dan tugas. Selain itu, pembelajaran cenderung berorientasi

pada buku teks (teks books oriented) kurang kontekstual dan strategi pembelajarannya hanya membahas bab demi bab yang ada dalam buku.

Keterampilan mengajar yang mereka berikan hanya secara teoretik. Tugas

yang diberikan cenderung pada ranah kognitif kategori rendah (C1 dan C2)

dan kurang operasional pada praktik bagaimana cara mengajar IPA/Fisika

sekolah menengah yang benar.

Pengamatan tersebut juga didukung dengan hasil wawancara

terhadap beberapa mahasiswa yang telah mengambil matakuliah SBM

Fisika. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa selama kuliah mereka

(15)

matakuliah tentang cara mengajar IPA/fisika sekolah menengah. Latihan

mengajar juga jarang mereka lakukan. Latihan mengajar hanya digunakan

sebagai alat evaluasi bagi dosen. Jika mahasiswa berkesempatan untuk

berlatih mengajar jarang diberi umpan balik yang mengarah bagaimana

mengajar fisika sekolah menengah yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa

mahasiswa sangat sedikit memperoleh pengalaman untuk berlatih mengajar

selama di bangku kuliah. Selain itu, mereka mengatakan bahwa perkuliahan

cenderung membahas bab demi bab dari buku teks yang telah ditetapkan

dan jarang mengaitkan dengan persoalan-persoalan yang terjadi dalam

pembelajaran fisika sekolah menengah.

Untuk dapat menjadi guru fisika yang terampil atau guru fisika yang

dapat mengajar dengan efektif, mahasiswa tidak hanya sekedar menguasai

materi (konten) fisika dan strategi pengajaran, tetapi juga harus mempunyai

pemahaman dan kemampuan khusus untuk memadukan pengetahuan

materi fisika, kurikulum, belajar, pengajaran, dan siswa (McDermott, 1975;

NRC, 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengetahuan semacam itu

disebut sebagai pengetahuan konten paedagogi (pedagogical content knowledge).

National Science Education Standards (NRC, 1996) menyatakan bahwa metode mengajar akan berhasil apabila disampaikan dengan contoh

nyata, yaitu contoh bagaimana menggunakan metode-metode mengajar

untuk mengajarkan materi-materi fisika pada konteks yang tepat. Dengan

(16)

dipelajari. Hal ini didukung oleh pendapat Bandura (1977) yang menyatakan

bahwa

“…most human behavior is learned observationally through modeling: from observing others one forms an idea of how new behaviors are performed, and on later occasions this coded information serves as a guide for action”.

Lebih jauh, ia menyatakan bahwa

modelling influences produce learning principally through their informative function. During exposure observers acquire representations of modeled activities which serve as guides for appropriate performances”.

Menurut Hudgins (1974), pemberian contoh mengajar (pemodelan)

akan berhasil apabila didiskusikan efektivitasnya. Melalui diskusi, mahasiswa

dapat mengungkapkan atau merefleksikan apa yang telah mereka terima

dan mengaitkan dengan pengalaman-pengalaman belajar mengajar yang

telah mereka miliki sebelumnya. Selain itu, pemodel (oleh pembina

matakuliah) juga dapat mengamati seberapa besar tingkat pemahaman

mahasiswa dalam menerima pesan pembelajaran yang dicontohkan

(didemonstrasikan).

Contoh keterampilan mengajar (pemodelan) tidak hanya diberikan

secara lisan tetapi juga dalam bentuk tertulis tentang deskripsi yang

dimodelkan (fakta, konsep, prinsip, prosedur) agar dapat memperkaya

pengetahuan dan keterampilan mengajar calon guru. Contoh tersebut secara

teoretik diberikan melalui hand-out dan Rencana Pengajaran (RP). Tillema dan Veenman (Cruickshank & Metcalf, 1990) menyatakan bahwa contoh

(17)

mahasiswa pada kesadaran awalnya tentang keterampilan yang

dicontohkan, mahasiswa dapat menggunakan melalui pemahaman

konseptualnya dan dapat mengimplementasikan keterampilan itu berupa

perilaku aktif mengajar. Dengan demikian, melalui pengamatan langsung

contoh mengajar (modeling) yang didiskusikan efektivitasnya dan diberi pengayaan tentang deskripsi contoh mengajar, mahasiswa diharapkan dapat

memperoleh gambaran kegiatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam

praktik mengajarnya di saat yang lain.

National Science Education Standards (NRC, 1996) mengemukakan bahwa selain pemberian contoh nyata mengajar, mahasiswa calon guru juga

perlu sering melakukan latihan mengajar. Kemampuan mengajar tidak dapat

dikembangkan secara tiba-tiba, tetapi perlu waktu dan bertahap, dimulai

sejak awal perkuliahan, dan dilakukan secara terus menerus. Thorndike

(Gagne, 1974:14) menyatakan: “ … as a major component of his learning theory the Law of Exercise. This principle stated that a learned connection was ‘strengthened’ each time it was repeated”. Hal ini menggambarkan bahwa apa yang dipelajari mahasiswa dalam mengajar dapat diperkuat

melalui pengulangan.

Mengajar merupakan bentuk keterampilan (Carr, 2003) yang perlu

dilatihkan kepada para calon guru secara terencana (Romiszowski, 1984;

Houston, 1990). Dengan sering atau banyak berlatih mengajar mahasiswa

calon guru akan menjadi terampil atau cakap dalam mengajar. Tillema dan

(18)

bahwa latihan mengajar bisa dilakukan dengan teman sebaya (peer teaching). Lebih lanjut, Tillema dan Veenman (Cruickshank & Metcalf, 1990) menyatakan bahwa latihan ini akan menjadi pengalaman bagi praktikan

apabila ada umpan balik segera. Umpan balik ini diberikan oleh instruktur

dan/atau teman untuk melihat apakah performansi mengajar praktikan sudah

benar, kurang benar, atau salah (Farmer & Farrell, 1980).

Uraian di atas menggambarkan bahwa dengan mahasiswa sering

melakukan latihan mengajar dan mendapat umpan balik tentang

mengajarnya, maka mereka akan memiliki banyak pengalaman tentang

mengajar yang benar dan diharapkan setelah menyelesaikan program

prajabatan mereka cakap atau terampil dalam mengajar. Oleh karena itu,

dalam matakuliah SBM Fisika hendaknya mahasiswa sudah mulai diajak

untuk berlatih mengajar melalui pemodelan atau contoh konkret.

Dalam berlatih mengajar seyogianya diarahkan pada cara

menyampaikan materi pelajaran fisika sekolah menengah dengan jelas.

Dengan berlatih mengajar materi fisika jelas, diharapkan mahasiswa calon

guru dapat berlatih memudahkan siswa untuk memahami materi fisika yang

diajarkan. Menurut Cole & Chan (1994) mengajar jelas merupakan suatu

penjelasan atau demonstrasi tentang bahan pelajaran yang tidak

membingungkan (unambiguous). Metcalf (1992) memaknai mengajar jelas sebagai kemampuan guru untuk menyajikan pembelajaran yang membantu

siswa pada suatu pemahaman yang jelas tentang suatu bahan pelajaran.

(19)

(Metcalf, 1992). Mereka menyatakan ada korelasi antara mengajar jelas

dengan hasil belajar siswa. Dengan berlatih mengajar jelas mahasiswa

dapat belajar mengajar efektif. Metcalf (1992) menyatakan bahwa kriteria

mengajar jelas dapat ditunjukkan dengan 16 perilaku yang dapat diamati (16 low inference behaviors).

Kemampuan mengajar yang diharapkan pada calon guru fisika

setelah mengikuti matakuliah SBM Fisika secara umum meliputi kemampuan

dalam tiga ranah pada taksonomi Bloom, yaitu ranah: kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Haladyna (1997) menyatakan bahwa kemampuan (ability) terdiri atas interaksi antara pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Dengan demikian kemampuan mengajar mahasiswa terdiri atas pengetahuan tentang mengajar dan keterampilan dalam mengajar.

Dalam setiap kegiatan mengajar tentu ada kegiatan belajar (Djamarah

& Zain, 1995). Haladyna (1997) juga menyatakan bahwa mengajar

merupakan proses formal untuk membantu siswa belajar. Dengan demikian,

dalam setiap kegiatan mengajar, guru perlu memiliki pengetahuan tentang

belajar dan mengajar. Oleh karena itu, dalam membekali kemampuan

mengajar mahasiswa, mereka tidak hanya dibekali pengetahuan mengajar

tetapi juga pengetahuan tentang belajar.

Seperti dijelaskan di atas bahwa mengajar pada dasarnya merupakan

bentuk keterampilan. Haladyna (1997) menyatakan bahwa keterampilan

merupakan kegiatan kompleks yang memerlukan pengetahuan dan

(20)

berupa keterampilan mental dan keterampilan fisik. Kedua keterampilan ini

bisa dilihat melalui perilaku mahasiswa. Perilaku mahasiswa tersebut ada

yang tampak dan ada yang kurang tampak. Perilaku yang tampak disebut

low inference behaviors dan perilaku yang kurang tampak disebut high inference behaviors (Haladyna, 1997). Seperti dijelaskan terlebih dahulu bahwa dalam penelitian ini perilaku yang diharapkan adalah low inference behaviors.

Semua uraian di atas menunjukkan bahwa strategi pembelajaran

pada matakuliah SBM Fisika belum secara utuh memenuhi kriteria

bagaimana seharusnya kemampuan mengajar awal mahasiswa calon guru

fisika di semester III dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, strategi

pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa

calon guru fisika perlu dirancang dengan baik sesuai dengan teori dan

prosedur belajar untuk mengajar fisika tanpa meninggalkan latar belakang

dan kondisi mahasiswa.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Uraian latar belakang masalah penelitian di atas menggambarkan

bahwa perlu upaya merancang suatu strategi pembelajaran pada mata

kuliah SBM Fisika yang dapat meningkatkan kemampuan mengajar awal

mahasiswa calon guru fisika dengan efektif. Agar strategi pembelajaran

efektif untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa calon guru fisika, maka

perlu bertolak pada kondisi mahasiswa, kelemahan-kelemahan proses

(21)

menengah maupun pembelajaran pada matakuliah SBM Fisika, dan

menggunakan teori belajar mengajar yang sesuai, serta mengacu pada

kurikulum yang berlaku.

Kemampuan mengajar calon guru fisika yang dimaksud adalah

kemampuan calon guru fisika untuk mengintegrasikan atau memadukan

antara pengetahuan pedagogik (belajar dan mengajar) dengan pengetahuan

bidang studi (fisika), atau disebut dengan kemampuan tentang pengetahuan

konten pedagogi (pedagogical content knowledge).

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan pada mahasiswa

dan pengamatan pada pelaksanaan pembelajaran pada mata kuliah SBM

Fisika yang telah diuraikan di atas, ditemukan beberapa kendala sebagai

berikut.

1. Mahasiswa kurang termotivasi untuk belajar mengajar fisika.

2. Pembelajaran cenderung teacher centered dan teksbook oriented,

sehingga mahasiswa cenderung hanya sebagai penerima informasi

bukan pengolah informasi dan jarang mereka diajak berpikir untuk

merencanakan dan menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan

pengajaran fisika sekolah menengah.

3. Pembelajaran kurang memadukan antara materi belajar mengajar

dengan materi fisika sekolah menengah.

4. Dosen jarang dan bahkan tidak pernah memberi contoh konkret

mengajar fisika untuk sekolah menengah.

(22)

6. Mahasiswa yang berlatih mengajar, jarang diberi umpan balik tentang

hasilnya.

7. Pengayaan juga jarang diberikan.

Tujuh temuan di atas diperkirakan merupakan penyebab

permasalahan dalam perkuliahan mata kuliah SBM Fisika. Berdasarkan

kajian teoretik tentang belajar mengajar IPA/Fisika yang telah diuraikan di

atas dapat ditemukan bahwa dalam meningkatkan kemampuan mengajar

mahasiswa seharusnya dosen memadukan antara materi pedagogik (belajar

mengajar) dengan materi bidang studi (IPA/Fisika). Strategi

pembelajarannya dapat dilakukan dengan memberikan contoh mengajar

secara nyata untuk siswa sekolah menengah, mendiskusikan contoh

mengajar, memberikan pengayaan, mahasiswa berlatih mengajar,

memberikan umpan balik dan pemantapan pada latihan mengajar

mahasiswa. Pendekatan dan strategi tersebut didukung dengan studi yang

dilakukan oleh (Hinduan, et. al., 2001) bahwa penggunaan model terpadu dengan strategi demonstrasi, diskusi, penyusunan rencana pembelajaran,

peer teaching, dan pengayaan (D2P3) direkomendasikan efektif digunakan untuk membekali kemampuan mengajar IPA SD mahasiswa D-2 PGSD

program prajabatan.

Joyce, et. al. (2000) menyatakan bahwa strategi khusus untuk mencapai suatu tujuan disebut model. Rober (Cole & Chan, 1994)

memberikan pengertian model sebagai sekumpulan pernyataan yang

(23)

diartikulasikan dengan baik. Joyce, et. al. (2000) dalam bukunya “Models of Teaching” menggolongkan model pembelajaran dalam empat kelompok, yaitu: Kelompok Model Pengolahan Informasi (The Information Processing Family), Kelompok Model Personal (The Personal Family), Kelompok Model Sosial (The Social Family), dan Kelompok Sistem Perilaku (The Behavioral System Family). Setiap kelompok model terdiri atas beberapa model.

Berkaitan dengan persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di

atas dan pengkajian terhadap beberapa model pembelajaran, maka

penggabungan antara model belajar sosial dan model simulasi (belajar

observasi) yang keduanya merupakan kelompok Model Sistem Perilaku

dipikirkan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mengajar awal

mahasiswa calon guru fisika dengan baik. Oleh karena model tersebut

merupakan gabungan dua model pembelajaran, maka diberi nama Model

Observasi dan Simulasi disingkat dengan Model Obsim. Dengan demikian

muncul masalah penelitian: Apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM

Fisika dapat meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa

pendidikan guru fisika sekolah menengah? Untuk memperoleh jawaban

masalah ini, rumusan masalah dijabarkan dalam beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat

meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa pendidikan

(24)

2. Apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat

meningkatkan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah?

3. Apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat

meningkatkan kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP)

awal mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah?

4. Apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat

meningkatkan keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal mahasiswa

pendidikan guru fisika sekolah menengah?

5. Apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat

meningkatkan kemampuan mengajar secara keseluruhan awal

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah?

6. Apakah dalam Perkuliahan SBM Fisika penggunaan Model Obsim

lebih baik dari Model Tradisional dalam meningkatkan penguasaan

teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa pendidikan guru fisika

sekolah menengah?

7. Apakah dalam Perkuliahan SBM Fisika penggunaan Model Obsim

lebih baik dari Model Tradisional dalam meningkatkan kemampuan

membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa pendidikan

guru fisika sekolah menengah?

8. Apakah dalam Perkuliahan SBM Fisika penggunaan Model Obsim

(25)

mengajar jelas (KMJ) awal pada mahasiswa pendidikan guru fisika

sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

9. Apakah dalam Perkuliahan SBM Fisika penggunaan Model Obsim

lebih baik dari Model Tradisional dalam meningkatkan kemampuan

mengajar secara keseluruhan awal pada mahasiswa pendidikan guru

fisika sekolah menengah?

C. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah,

dapat dihipotesiskan: Penggunaan Model Obsim dalam perkuliahan SBM

Fisika dapat meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa.

Hipotesis umum ini dijabarkan menjadi beberapa hipotesis khusus sebagai

berikut.

1. Ada perbedaan yang signifikan antara penguasaan teori belajar

mengajar awal dan akhir mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah

menengah dalam perkuliahan SBM Fisika dengan Model Obsim.

2. Ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan membuat rencana

pengajaran (KMRP) awal dan akhir mahasiswa pendidikan guru fisika

sekolah menengah dalam perkuliahan SBM Fisika dengan Model

Obsim.

3. Ada perbedaan yang signifikan antara keterampilan mengajar jelas

(KMJ) awal dan akhir mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah

(26)

4. Ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan mengajar secara

keseluruhan awal dan akhir mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah

menengah dalam perkuliahan SBM Fisika dengan Model Obsim.

5. Ada perbedaan yang signifikan peningkatan penguasaan teori belajar

mengajar (PTBM) mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah dalam

perkuliahan SBM Fisika antara yang diajar dengan Model Obsim dan

yang diajar dengan Model Tradisional.

6. Ada perbedaan yang signifikan kemampuan membuat rencana

pengajaran (KMRP) mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah dalam

perkuliahan SBM Fisika antara yang diajar dengan Model Obsim dan

yang diajar dengan Model Tradisional.

7. Ada perbedaan yang signifikan keterampilan mengajar jelas (KMJ)

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah dalam perkuliahan SBM

Fisika antara yang diajar dengan Model Obsim dan yang diajar

dengan Model Tradisional.

8. Ada perbedaan yang signifikan kemampuan mengajar secara

keseluruhan mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah dalam

perkuliahan SBM Fisika antara yang diajar dengan Model Obsim dan

yang diajar dengan Model Tradisional.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui apakah

Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika dapat meningkatkan

(27)

menengah. Tujuan umum tersebut dijabarkan dalam beberapa tujuan khusus

sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan Model Obsim pada perkuliahan SBM Fisika

dalam meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa

pendidikan guru fisika sekolah menengah.

2. Untuk mengakaji apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika

dapat meningkatkan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah.

3. Untuk mengkaji apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika

dapat meningkatkan kemampuan membuat rencana pengajaran

(KMRP) awal mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah.

4. Untuk mengkaji apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika

dapat meningkatkan keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah.

5. Untuk mengkaji apakah Model Obsim dalam perkuliahan SBM Fisika

dapat meningkatkan kemampuan mengajar secara keseluruhan awal

mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah menengah.

6. Untuk mengkaji apakah ada perbedaan peningkatan penguasaan

teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa pendidikan guru fisika

sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara

yang diajar dengan Model Obsim dengan yang diajar dengan Model

(28)

7. Untuk mengkaji apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan

membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa pendidikan

guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM

Fisika antara yang diajar dengan Model Obsim dengan yang diajar

dengan Model Tradisional.

8. Untuk mengkaji apakah ada perbedaan peningkatan keterampilan

mengajar jelas (KMJ) mahasiswa pendidikan guru fisika sekolah

menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara yang

diajar dengan Model Obsim dengan yang diajar dengan Model

Tradisional.

9. Untuk mengkaji apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan

mengajar secara keseluruhan mahasiswa pendidikan guru fisika

sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara

yang diajar dengan Model Obsim dengan yang diajar dengan Model

Tradisional.

E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan secara umum signifikan

untuk pengembangan keprofesionalan calon guru fisika sekolah menengah

dan secara khusus signifikan untuk pengembangan mutu strategi

meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa pendidikan guru fisika

yang menempuh mata kuliah SBM Fisika.

Manfaat dari hasil penelitian adalah untuk menambah informasi hasil

(29)

calon guru fisika sekolah menengah kepada berbagai pihak. Pertama, kepada para pembina matakuliah PBM umumnya dan khususnya pada

pembina mata kuliah SBM Fisika dapat digunakan sebagai model alternatif

untuk meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa. Kedua, kepada Program Studi atau Jurusan Pendidikan Fisika LPTK dapat digunakan

sebagai model alternatif meningkatan kualitas mengajar para mahasiswa

pendidikan guru fisika. Ketiga, kepada UPT PPL atau UPPL dapat digunakan sebagai model alternatif untuk pembekalan keterampilan mengajar jelas

pada mahasiswa PPL Jurusan atau Program Pendidikan Fisika. Keempat, kepada lembaga-lembaga pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan

IPA (seperti PPPG IPA) dapat digunakan sebagai alternatif untuk

meningkatkan mutu mengajar para guru fisika sekolah menengah. Kelima, kepada para supervisor pendidikan dan pengajaran IPA/Fisika dapat

digunakan sebagai model alternatif untuk membantu meningkatkan

keprofesionalan guru fisika dalam mengajar. Keenam, kepada para guru/calon guru fisika sekolah menengah dapat digunakan sebagai sumber

(30)

TRANSPARANSI BAB I

(31)

• KUALITAS PEMBELAJARAN IPA-FISIKA SEKOLAH MENENGAH

BELUM BAIK

• GURU SEBAGAI KONTRIBUSI UTAMA DALAM MENTUKAN

KUALITAS PEMBELAJARAN

• LPTK KURANG BERHASIL DALAM MEMBEKALI KEMAMPUAN

MENGAJAR MHSW CAGU

• KEMAMPUAN MENGAJAR DIBEKALKAN MELALUI MKPBM

• PELAKSANAAN MKPBM

o Komponen PBM dan komponen materi fisika terpisah

o Kurang contoh nyata mengajar

o Kurang latihan mengajar

• TEORI

o Perlu contoh mengajar

o Perlu mengaitkan komponen materi PBM dan komponen materi

fisika sekolah menengah

o Perlu sering latihan mengajar

• MODEL YANG DITAWARKAN CDPLU

o Ada contoh nyata mengajar dengan mengaitkan komponen

materi PBM dan komponen materi fisika

o Ada diskusi (hasil observasi & refleksi)

o Ada pengayaan

o Ada latihan mengajar

(32)

LA TA R BELA KA NG PENELITIA N

(33)

MMMMMMM

G URU

LPTK

MKPBM

STRATEG I PEMBELAJARAN

C a ra La m a

o Komponen PBM dan

komponen materi fisika terpisah

o Kurang contoh nyata

mengajar

o Kurang latihan mengajar

C a ra Ba ru

o Ada keterkaitan antara

materi PBM & materi fisika

o Ada contoh nyata mengajar

o Ada latihan mengajar

MO DEL C DPLU

MO DEL TRA DISIO NA L

TEO RI-TEO RI

o Belajar simulasi

o Belajar observasi

o Pengajaran reflektif

Dib anding kan

Ke m a m p ua n m e m g a ja r

(34)
(35)

Brophy, j. E. & Good, T. L. (1986). Teacher behaviour and student achievement,

in M. C. Wittrock (ed.). Handbook of research on teaching (3rd edn). New

York: Macmillan.

Carr D. ( ). Is Teaching a Skill? [Online]. Tersedia:

http://www.pantaneto.co.uk/issue8/Carr.htm[5 Desember 2003]

Biehler, R.. & Snowman, J. (1982). Psychology applied to teaching. Boston:

Houghton Mifflin.

Cole P. G. & Chan K. S. (1994). Teaching Principles and Practice. Second

edition. New York: Prentice Hall.

Depdikbud.(1995). Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 0217/U/1995 tentang Kurikulum yang Berlaku Secara Nasional Program Studi Sarjana Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas. ( ). Kurikulum Pendidikan Bidang Studi Mata kuliah Proses Belajar Mengajar Program S-1. Depdiknas. Dirjen. Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Gururu Sekolah Menengah. PGSM IBRD Loan 3979 – IND.

Diknas Jabar, (2002), Rata-rata Nilai Ebtanas Siswa Tahun 1994-1998), Tersedia:http:/www.diknasjabar.go.id/kebijakan/wajardikdas9th/output/m utu-relevansi/ta- hun94-98/nilai-ebtanas-9498.htm [19 Oktober 2002].

Fraenkel J. R. dan Wallen N. E. (1990). How to Design and Evaluate Research

in Education. New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Gagne. R. M. (1974). Essentials of Learning for Instruction. Hinsdale: The

Dryden Press.

Gall, M. D., Gall, J. P., dan Borg W, R. (2003). Educational Research: An

Introduction. Seventh Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Joyce B., Weil M., dan Calhoun E. (2000) . Models of Teaching, Sixth edition.

Boston: Allyn and Bacon.

(36)

McDermott L, C. (1990). Aperspective on teacher preparation in physics and other sciences: the need for special science courses for teachers. American Journal Physics. 58 (8), 734-741.

Metcalf, Kim, K. (1992). The effects of a guided training experience on the

instructional clarity of preservice teachers. Teaching and Teacher

Education. 8 (3), 275-286.

Romiszowski. A. J. (1984). Producing Instructional System. Kogan Page:

Nichols Publishing Company.

Rosenshine, B., & Furst, N. (1971). Research on teacher performance criteria.

In b. Smith (Ed.), Research in teacher education (37-72). Englewood

Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Joyce, et al (2000) menyatakan bahwa strategi khusus untuk mencapai

suatu tujuan tertentu disebut dengan model. Rober (Cole & Chan, 1994)

memberikan pengertian model sebagai sekumpulan pernyataan yang

memberikan ciri lengkap dan konsisten tentang suatu bidang yang dapat

diartikulasikan dengan baik. Dengan demikian, strategi perkuliahan untuk

membekali kemampuan mengajar fisika sekolah menengah mahasiswa calon

guru fisika dengan lima langkah tersebut dalam penelitian ini dinamai dengan

Model Perkuliahan CDPLU (Contoh Diskusi Pengayaan Latihan dan Umpan

balik) atau “Model CDPLU”.

Model CDPLU diuji-cobakan pada matakuliah SBM Fisika di semeser III

dengan bobot matakuliah 4 sks. Untuk menunjukkan apakah model ini baik

untuk membekali kemampuan mengajar mahasiswa calon guru IPA/fisika

(37)

Kemampuan mengajar yang diharapkan pada calon guru fisika setelah

mengikuti matakuliah SBM Fisika secara umum meliputi kemampuan dalam tiga

ranah pada taksonomi Bloom, yaitu ranah: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Karena dalam penelitian ini diharapkan mahasiswa calon guru dapat belajar

atau berlatih mengajar, dan mengajar cenderung merupakan bentuk

keterampilan, maka kemampuan mengajar di sini dibatasi pada ranah kognitif

dan psikomotorik.

Menurut Romiszowski (1984), ada tiga bentuk keterampilan, yaitu

keterampilan fisik, intelektual, dan interaktif atau antarpersonal. Selanjutnya

dalam buku yang sama dinyatakan bahwa ada keterkaitan antara ranah

kemampuan oleh Bloom dan kawan-kawan dengan pembagian tipe

keterampilan oleh Romiszowski. Keterkaitan itu adalah: ranah kognitif dan

psikomotorik dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual dan

keterampilan psikomotorik dengan keterampilan fisik (Romiszowski, 1984).

Dalam penelitian ini kemampuan kognitif dimaknai sebagai kemampuan

mengajar secara teoretik dan keterampilan fisik dimaknai sebagai kemampuan

mengajar secara praktik. Kemampuan mahasiswa mengajar teoretik adalah

kemampuan mengajar mahasiswa yang meliputi kemampuan kognitif pada

kategori C1 (pengetahuan) sampai dengan kategori C6 (evaluasi). Kemampuan

mahasiswa mengajar praktik dimaknai sebagai kemampuan mahasiswa

mengajar dengan jelas.

Menurut Cole & Chan (1994), mengajar jelas merupakan suatu

penjelasan atau demonstrasi yang tidak membingungkan (unambiguous)

(38)

menyajikan pembelajaran yang membantu siswa pada suatu pemahaman yang

jelas dari suatu bahan pelajaran. Menurut Rosenshine & Furst (Metcalf, 1992),

kriteria mengajar jelas digunakan karena ada korelasi antara mengajar jelas

dengan hasil belajar siswa. Dengan berlatih mengajar jelas mahasiswa dapat

belajar mengajar efektif. Untuk melihat kejelasan praktik mengajar mahasiswa

digunakan kriteria perilaku mengajar jelas yang diadopsi dari Metcalf (1992).

Metcalf (1992) lebih jauh menekankan bahwa perilaku kejelasan mengajar itu

terdiri atas 16 aspek perilaku guru mengajar jelas yang terbagi dalam empat

dimensi mengajar, yaitu: penetapan keterampilan, pengembangan konseptual,

pengembangan performansi, dan evaluasi.

Pada dimensi penetapan keterampilan diuraikan menjadi tiga perilaku,

yaitu: (1) memberitahukan tujuan pelajaran pada siswa, (2) menyajikan materi

secara logis, dan (3) mengajar dengan langkah demi langkah (pemilihan

metode tepat). Berikutnya untuk dimensi pengembangan konseptual dibagi

menjadi empat periku, yaitu: (1) menyampaikan hal-hal yang penting bagi siswa,

(2) mengulang hal-hal yang penting, (3) menuliskan hal-hal yang penting di

papan tulis, dan (4) menyimpulkan materi yang disajikan di kelas. Dimensi

ketiga yaitu pengembangan performansi dibagi menjadi empat perilaku, yakni:

(1) menggunakan contoh-contoh, (2) menjelaskan kata-kata yang tidak biasa

(asing), (3) menunjukkan persamaan dan perbedaan tentang sesuatu, dan (4)

menjelaskan segala sesuatu dan berhenti untuk memberi kesempatan siswa

untuk berpikir. Dimensi keempat, dimensi evaluasi terdiri atas lima perilaku,

yaitu: (1) mengulang sesuatu yang tidak dipahami siswa, (2) mengajukan

(39)

selang (berhenti) untuk memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan

pertanyaan dan menjawab pertanyaan siswa, (4) memberi kesempatan pada

siswa untuk latihan (mengerjakan contoh soal), (5) dan memeriksa tugas siswa.

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana peranan model perkuliahan

CDPLU pada kemampuan mengajar mahasiswa calon guru fisika, penelitian

dijabarkan dalam beberapa rumusan masalah dan pertanyaan penelitian.

Berdasarkan pada beberapa hasil pengamatan dan wawancara tersebut

dapat diperkirakan bahwa ada tiga kemungkinan penyebab ketidak-berhasilan

LPTK dalam membekali keterampilan mengajar mahasiswa calon guru

IPA/fisika sekolah menengah untuk dapat mengajar baik. Kemungkinan

pertama, prinsip dan teori belajar mengajar diajarkan secara terpisah atau

terlepas dari materi fisika sekolah menengah. Kemungkinan kedua,

kebanyakan pembina matakuliah untuk matakuliah PBM, seperti matakuliah

SBM tidak memberikan contoh nyata bagaimana menerapkan teori dan prinsip

belajar dan pembelajaraan dalam praktik mengajar. Kemungkinan ketiga,

dalam perkuliahan frekuensi latihan mengajar kurang banyak dilakukan oleh

(40)

Rumusan Masalah Penelitian

Apakah Model Simobs dapat meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh matakuliah SBM Fisika? Untuk memperoleh jawaban masalah ini, rumusan masalah dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah Model Simobs dalam meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

2. Apakah pembelajaran dengan Model Simobs dapat meningkatkan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

3. Apakah pembelajaran dengan besar Model Simobs dapat meningkatkan kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

4. Apakah model pembelajaran Model Simobs dapat meningkatkan keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

5. Apakah Model Simobs lebih baik dari Model Tradisional dalam meningkatkan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

(41)

7. Apakah Model Simobs lebih baik dari Model Tradisional dalam meningkatkan keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal pada mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika?

8. Apakah ada perbedaan tingkat hubungan penguasaan teori belajar mengajar dan keterampilan mengajar jelas antara mahasiswa yang diajar dengan Model Simobs dengan mahasiswa yang diajar dengan Model Tradisional?

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, dan asumsi penelitian secara umum dapat dihipotesiskan: Penggunaan Model Simobs pada perkuliahan mata kuliah SBM Fisika dapat meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa. Hipotesis tindakan umum ini dijabarkan menjadi beberapa hipotesis tindakan khusus sebagai berikut.

1. Penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika akan meningkat apabila dalam perkuliahan menggunakan pembelajaran Model Simobs.

2. Kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika akan meningkat apabila dalam perkuliahan menggunakan pembelajaran Model Simobs.

3. Keterampilan mengajar jelas (KMJ) mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika akan meningkat apabila dalam perkuliahan menggunakan pembelajaran Model Simobs.

4. Pembelajaran pada mata kuliah SBM Fisika dengan menggunakan Model Simobs akan meningkatkan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa lebih tinggi daripada menggunakan Model Tradisional.

5. Pembelajaran pada mata kuliah SBM Fisika dengan menggunakan Model Simobs akan meningkatkan kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa lebih tinggi daripada menggunakan Model Tradisional.

6. Pembelajaran pada mata kuliah SBM Fisika dengan menggunakan Model Simobs akan meningkatkan keterampilan mengajar jelas (KMJ) mahasiswa lebih tinggi daripada menggunakan Model Tradisional.

(42)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Model Simobs dalam meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh matakuliah SBM Fisika. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mendeskripsikan Model Simobs dalam meningkatkan kemampuan mengajar awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh matakuliah SBM Fisika.

2. Untuk mengkaji adanya peningkatan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika dengan Model Simobs.

3. Untuk mengkaji adanya peningkatan kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika dengan Model Simobs.

4. Untuk mengkaji adanya peningkatan keterampilan mengajar jelas (KMJ) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika dengan Model Simobs.

5. Untuk mengkaji perbedaan peningkatan penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara yang diajar dengan model Simobs dengan yang diajar dengan Model Tradisional.

6. Untuk mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan membuat rencana pengajaran (KMRP) awal mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara yang diajar dengan model Simobs dengan yang diajar dengan Model Tradisional.

7. Untuk mengkaji perbedaan peningkatan keterampilan mengajar jelas (KMJ) mahasiswa calon guru fisika sekolah menengah yang menempuh mata kuliah SBM Fisika antara yang diajar dengan model Simobs dengan yang diajar dengan Model Tradisional.

(43)

Implementasi Model Simobs untuk Meningkatkan Kemampuan Mengajar Awal Mahsiswa Calon Guru Fisika Sekolah Menengah

yang Menempuh Matakuliah SBM Fisika

ABSTRAK

(44)
(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Program Pendidikan Fisika, Jurusan

PMIPA, FKIP di salah satu universitas negeri di Jawa Timur. Sampel untuk

uji coba instrumen tes penguasaan teori belajar mengajar (PTBM) adalah 32

orang mahasiswa semester IV awal Program Pendidikan Fisika, Jurusan

PMIPA, FKIP di universitas tersebut yang baru saja menempuh matakuliah

SBM Fisika pada semester ganjil 2001/2002. Subyek untuk implementasi uji

utama model adalah 20 orang mahasiswa Program Pendidikan Fisika,

Jurusan PMIPA, FKIP di universitas tersebut yang sedang menempuh

matakuliah SBM Fisika pada semester III tahun ajaran 2002/2003. Subyek

yang digunakan untuk uji banding dengan model tradisional adalah 38 orang

mahasiswa Program Pendidikan Fisika, Jurusan PMIPA, FKIP di universitas

tersebut yang sedang menempuh matakuliah SBM Fisika pada semester III

tahun ajaran 2003/2004.

B. Prosedur dan Metode Penelitian

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian yang telah disebutkan

pada bab terdahulu, maka prosedur yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi enam tahap. Tahap-tahap tersebut dapat dibagankan seperti pada

(46)
(47)

Gambar 3.1 menunjukkan bahwa kegiatan antara tahap satu dengan tahap

yang lain tersusun secara hirarkis (dari kiri ke kanan)), yaitu dimulai dari

tahap I dan berakhir pada tahap VI. Penjelasan setiap tahap diuraikan

sebagai berikut.

1. Tahap I

Kegiatan tahap I atau kegiatan studi pendahuluan meliputi kegiatan

studi lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai

per-masalahan yang terjadi pada pembelajaran IPA/Fisika sekolah menengah

dan pada pembelajaran matakuliah kelompok MKPBM khususnya pada

matakuliah SBM Fisika. Telaah silabus mata kuliah MKPBM/SBM Fisika dan

silabus mata pelajaran IPA/Fisika sekolah menengah; studi lliteratur

meng-kenai pembelajaran IPA/Fisika sekolah menengah, standar pengembangan

profesional calon guru IPA/Fisika sekolah menengah, teori belajar dan

mengajar, telaah hasil-hasil penelitian terdahulu yang sesuai dengan

renca-na penelitian. Hasil studi pendahuluan ini digurenca-nakan untuk menyusun latar

belakang penelitian, kajian pustaka, dan merancang instrumen penelitian.

2. Tahap II

Berdasarkan kegiatan-kegiatan pada tahap pertama, dirancang

instru-men untuk instru-meningkatkan kemampuan instru-mengajar fisika awal mahasiswa.

Ins-trumen tersebut meliputi insIns-trumen untuk pengumpulan data dan insIns-trumen

untuk pembelajaran. Instrumen pengumpulan data yang dikembangkan

(48)

a. Perangkat Tes dan Pengembangannya

Langkah-langkah pengembangan tes penguasaan teori belajar

mengajar (PTBM) dapat dibagankan seperti Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Bagan pengembangan tes PTBM

Bagan gambar 3.2 dapat dijelaskan bahwa dari hasil analisis silabus

mata kuliah SBM Fisika ditemukan ada sebelas kemampuan yang

diharapkan dicapai oleh mahasiswa setelah selesai perkuliahan, yaitu:

mahasiswa (1) dapat mengidentifikasi karakteristik dan faktor yang mungkin

mempengaruhi perkembangan mental siswa dalam belajar fisika sekolah

menengah, (2) dapat mengidentifikasi perbedaan individual dalam hal Kemampuan belajar mengajar yang harus dikuasai cagu

Fisika dalam matakuliah SBM Fisika

Keterpaduan antara materi PBM dan materi fisika

Keterpaduan yang terpilih

Kemampuan teori belajar mengajar fisika

Tes penguasaan teori belajar mengajar Kajian teoretik

(49)

kemampuan/keterampilan intelektual, minat, dan sikap siswa dalam belajar

Fisika Sekolah Menengah; (3) memiliki keterampilan proses dan sikap

ilmiah, dan menguasai konsep, prinsip, hukum, dan teori Fisika Sekolah

Menengah; (4) dapat mengidentifikasi dan menganalisis komponen GBPP

dalam Kurikulum Fisika Sekolah Menengah; (5) dapat merumuskan TPK

dalam ranah dan jenjang yang sesuai untuk berbagai bahan kajian Fisika

Sekolah Menengah; (6) dapat menganalisis materi pelajaran dalam GBPP

dan buku teks Fisika Sekolah Menengah; (7) dapat memilih dan menerapkan

pendekatan dan metode yang sesuai untuk pembelajaran topik Fisika

Sekolah Menengah; (8) dapat membuat, memilih, mengguanakan, merawat,

menyimpan alat bantu pembelajaran Fisika sekolah Menengah; (9) dapat

mengembangkan model pembelajaran Fisika yang sesuai dengan

karakteristik bahan kajian yang akan diajarkan dan sesuai pula dengan

lingkungan sekolah dan siswa Sekolah Menengah; (10) memiliki

kemampuan memotivasi siswa dalam belajar Fisika; (11) memiliki

kemampuan membantu siswa memecahkan masalah belajar Fisika

(Depdiknas., 2001).

Seperti diuraikan dalam bab-bab sebelumnya bahwa mengajar atau

pembelajaran dapat dikatakan sebagai proses sistemik antara tujuan,

strategi pembelajaran (memuat antara lain metode dan media), dan evaluasi

(bisa menggunakan tes hasil belajar), maka materi pembelajaran yang pokok

ditanamkan sejak awal pada mahasiswa calon guru fisika untuk dapat

(50)

mahasiswa juga harus mampu membuat rencana pengajaran. Karena

mahasiswa yang menempuh mata kuliah ini adalah mahasiswa semester III

yang dapat dianggap sebagai awal mereka belajar mengajar, maka Rencana

Pengajaran yang dibuat mahasiswa adalah rencana untuk pengajaran mikro

yang dimungkinkan dapat membuat mahasiswa mudah menangkap pesan

pembelajaran yang disampaikan dan dapat menumbuhkan semangat pada

mahasiswa untuk berkeinginnan dapat mengajar IPA/Fisika sekolah

menengah dengan baik.

Dari sebelas target pembelajaran mata kuliah SBM Fisika tidak

semuanya secara eksplisit bisa diukur dengan tes kemampuan belajar

mengajar dalam bentuk obyektif (pilihan ganda), namun demikian

kemampuan-kemampuan yang lain bisa terukur melalui bentuk tes esai

berupa tugas membuat rencana pengajaran fisika untuk sekolah menengah.

Ketika mahasiswa membuat rencana pengajaran, secara tidak langsung dia

harus memadukan beberapa kemampuan yang diimplementasikan dalam

tujuan matakuliah SBM Fisika di atas. Keterpaduan pemilihan materi tes dan

tujuan mata kuliah SBM Fisika dapat ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Keterpaduan pemilihan materi belajar mengajar dan tujuan mata kuliah SBM Fisika

Materi Tujuan (nomor)

Tujuan 5

Metode 7

Media 8

Tes hasil belajar (*) Tidak ada

Rencana Pengajaran (*) 1 sampai dengan 9 dan

Keterangan:

(51)

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa hampir semua pilihan materi dapat

digunakan sebagai bahan untuk menyusun tes kemampuan yang diharapkan

(tujuan) pada mata kuliah SBM Fisika, selain tujuan nomor 10 dan 11. Materi

belajar mengajar yang terpilih pada Tabel 3.1 dipadukan dengan GBPP

Fisika Sekolah Menengah dan buku-buku teks Fisika Sekolah Menengah

digunakan untuk mengembangkan instrumen tes penguasaan teori belajar

mengajar fisika. Langkah-langkah pengembangan meliputi: membuat kisi-kisi

tes, menyusun tes, uji validasi, uji empiris, dan perbaikan/penyempurnaan.

1) Menyusun Kisi-kisi

Bentuk tes yang dibuat dalam penelitian ini adalah bentuk tes obyektif

dan tes esai. Sebelum perangkat tes dibuat, kisi-kisi tes dirancang. Kisi-kisi

tes dibuat hanya untuk tes obyektif, sedangkan tes esai tidak dibuat

kisi-kisinya karena berupa tugas membuat rencana pengajaran yang format

isinya sudah tertentu. Kisi-kisi tes obyektif yang dirancang memuat aspek

materi, nomor soal, kemampuan yang diukur, dan kunci jawaban seperti

ditunjukkan pada Tabel. 3.2.

Tabel 3.2 Kisi-kisi tes obyektif penguasaan teori belajar mengajar

Materi Nomor soal Jenjang

(52)

………. lanjutan

Selain kisi-kisi tes juga dibuat pedoman untuk menskor setiap butir tes

(marking scheme). Setiap butir tes mempunyai bobot skor tertentu. Pemberian bobot skor ini didasarkan pada tingkat kerumitan jawaban yang

diminta. Semakin rumit jawaban yang diminta, semakin besar bobot soal itu.

Dalam kisi-kisi tes obyektif setiap butir soal dirancang memiliki tingkat

kesukaran hampir sama. Dengan demikian, bobot skor untuk setiap butir

(53)

jawaban salah. Karena jumlah butir tes obyektif 40, bobot total skor untuk tes

obyektif adalah 40.

Walaupun pada tes esai tidak perlu kisi-kisi, tetapi pemberian bobot

skor setiap komponen dalam rencana pengajaran diberikan. Mengingat

dalam tes esai skor tidak bersifat diskrit, melainkan kontinu, maka setiap

komponen tes (rencana pengajaran) diberi skor berdasarkan cara

penyelesaiannya. Komponen dalam tes pembuatan RP ini meliputi delapan

aspek, yaitu aspek : menulis identitas mata pelajaran, menulis rumusan TPU, merumuskan TPK, memilih metode, memilih media/alat dan bahan,

prosedur pembelajaran (KBM), menetapkan alokasi waktu, dan merumuskan evaluasi. Dengan tingkat kerumitan tiap aspek yang berbeda, maka bobot skor yang diberikan untuk setiap aspek dari delapan aspek tersebut

berturut-turut adalah 1, 1, 3, 2, 2, 2, 1, dan 3, sehingga secara total bobot skor untuk

tes esai adalah 15.

3) Menyusun Perangkat Tes Tertulis

Berdasarkan kisi-kisi tes Tabel 3.2, perangkat tes tertulis yang

digunakan untuk mengukur penguasaan mahasiswa tentang teori belajar

mengajar terdiri atas butir-butir tes penguasaan kognitif pada kategori :

pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisis (C4).

Kemampuan sintesis (C5) dan evaluasi (C6) diberikan pada tes esai. Seperti

dijelaskan di atas bahwa tes disajikan dalam bentuk obyektif dan esai. Pada

(54)

soal untuk komponen metode, 9 butir soal untuk komponen media, dan 13

butir soal untuk komponen tes hasil belajar. Jumlah butir tes setiap

kom-ponen teori dibuat tidak sama dengan pertimbangan pada cakupan keluasan

materi. Dengan demikian skor maksimum untuk kemampuan tujuan, metode,

media, tes, dan RP berturut-turut adalah 8, 10, 9, 13, dan 15.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa tes esai yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah tes tentang kemampuan mahasiswa membuat rencana

pengajaran (RP) Fisika untuk sekolah menegah. Komponen dalam tes

pembuatan RP ini meliputi delapan aspek, seperti telah disebutkan. Karena

perumusan tujuan, pemilihan metode dan media, serta perumusan tes saling

terkait, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan mahasiswa membuat RP

merupakan kemampuan mahasiswa mengintegrasikan atau memadukan

empat komponen materi tersebut. Selain itu juga merupakan kemampuan

ganda mahasiswa dari sembilan kemampuan yang ditargetkan dalam tujuan

pembelajaran matakuliah SBM.Fisika.

Setelah kisi-kisi tes dan pedoman penskoran dibuat, perangkat tes

beserta lembar jawabannya, serta kunci jawaban disusun. Perangkat tes,

lembar jawaban, kunci jawaban tes semuanya dapat dilihat pada Instrumen Pengumpulan Data pada Lampiran B.

b. Instrumen Pembelajaran Model Obsim dan Pengembangannya

Instrumen pembelajaran untuk model pembelajaran Obsim berupa

Gambar

Gambar 4.3: Grafik perbedaan rerata peningkatan setiap
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa dalam mengembangkan pengetahuan
Gambar 3.2 Bagan pengembangan tes PTBM
Tabel 3.1 Keterpaduan pemilihan materi belajar mengajar dan
+6

Referensi

Dokumen terkait

(1) Dengan berlakunya Keputusan ini, mahasiswa yang sekarang sedang mengikuti Program Studi Akuntansi pada perguruan tinggi yang berhak memberikan sebutan Akuntan diberikan

Penelitian ini bertujuan adalah untuk menganalisis hubungan antara status gizi dengan usia menarche pada siswi kelas VII SMP Angkasa.. Metode penelitian

Hasilnya dipengaruhi adanya imperfection (non- linier geometri) dan kondisi inelastis (non-linier material).Dalam tugas akhir ini menggunakan analisis inelastic orde-2

Selain itu, untuk kualitas pelayanan lembaga pariwisata di Desa Wisata Penglipuran memiliki 62% wisatawan domestik yang mengatakan baik, 18% mengatakan cukup, 14% dari mereka

data hasil enkripsi (ciphertext) akan dikirim ke bagian penerima (receiver) melalui jaringan internet menggunakan socket programming dan selanjutnya dilakukan proses

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

Indikator keberhasilan dalam penelitian tentang penerapan pembelajaran dengan penggunaan strategi mind map untuk meningkatkan hasi belajar siswa kelas V SDN Plosogenuk I

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rasio keuangan tiap periode, serta kondisi keuangan perusahaan yang ditunjukkan dari rasio leverage, rasio profitabilitas dan