• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana Perintah Dalam Bahasa Jawa Wacana Perintah BJ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wacana Perintah Dalam Bahasa Jawa Wacana Perintah BJ"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

WACANA PERINTAH DALAM BAHASA JAWA

Oleh: Paina Partana

FSSR - UNS

Abstract

The Javanese Community, in general, is included in the group in emphasizing "feeling, opinion". When they communicate with other people, especially with those who ore not yet acquainted and having from different certain social status they always put the effect of feeling into their consideration. Thus, in giving instruction to other people, whether the expression woudld offend their feeling or not, would be considered. This is an effort to keep and harmonize the social statement by minimizing an open social and personal conflict whatever situasion.

There are sorts of instructional discourse, like (1) instructive discourse, (2) asking discourse, (3) inviting discourse, (4) challenge discourse, (5) persuading discourse, (6) message sending discourse, and (7) forbidding discourse. The result of this study is hopefull useful in the effort to keep effective communication.

Key-words:

A. Pendahuluan

(2)

harus dilihat sebagai serangkaian proses sosial yang menentukan kehadiran bentuk tuturan (Lihat Abdullah, 2001).

Masyarakat Jawa pada umumnya termasuk golongan masyarakat yang mengutamakan "rasa, perasaan" (Subroto, 1986:209). Dalam berkomunikasi dengan orang lain, terlebih-lebih kepada orang yang belum dikenalnya dan berjarak sosial tertentu, mereka selalu mempertimbangkan secara masak-masak adanya efek rasa. Demukian pula dalam bertindak tanduk dan bertingkah laku lainnya, selalu dipikirkan apakah tutur kata dan tingkah lakunya itu menyinggung perasaan orang lain atau tidak. Semua itu usaha dalam rangka memelihara pernyataan sosial yang harmonis dengan memperkecil adanya konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apa pun (Geertz, 1983:154).

Kemampuan mengedalikan rasa atau perasaan emosi merupakan sesuatu hal yang dipenuhi agar tercapai keseimbangan yang harmonis dalam berkomonikasi. Hal itu tercermin dalam proses pemilihan bentuk tutur tertentu dalam berkomunikasi. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa, seorang anak berkomunikasi akan memilih tingkat tutur kromo jika berbicara dengan orang yang sudah tua. Jika pemilihan tutur itu tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, yang terjadi adalah sebuah komunikasi yang tidak harmonis karena tingkah laku anak tersebut menyinggung perasaan orang tua. Hal tersebut akan berakibat terjadinya kekacauan dalam berkomunikasi, bukan karena adanya kesalahan struktur bahasanya, melainkan akibat ketidaktepatan dalam pemilihan tingkat tutur yang sesuai dengan konteks tutur.

Keharmonisan dalam komunikasi yang menjaga "rasa, perasaan" itu sangat diutamakan dalam bentuk komunikasi tertentu. Hal itu akan menentukan tujuan atau harapan yang diperoleh dari komunikasi tersebut. Komunikasi yang mengutamakan "rasa, perasaan" itu misalnya berupa komunikasi direktif, yang berisi menyuruh orang lain, membujuk, dan merayu. Bentuk komunikasi seperti di atas sangat mengutamakan adanya keharmonisan hubungan antara si pembicara dan mitra bicaranya. Oleh karena itu, bentuk komunikasi (wacana) direktif (perintah) dalam bahasa Jawa itu perlu di kaji atau diteliti agar dapat diketahui sifat-sifat khusus yang terdapat dalam wacana tersebut.

(3)

persyaratan tertentu, seperti unsur komponen tutur yang di antaranya berupa pembicara, mitra bicara, topik pembicaraan, suasana, dan tempat.

Konsep komponen tutur itu pertama-tama dikemukakan oleh Hymes dalam bukunya yang berjudul Models of Interaction of Language and Social Life (1972), yang isinya berupa unsur-unsur tindak komunikasi. Adapun komponen tutur itu ada delapan unsur dan lazim diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni (a) setting, meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik di sekeliling tempat terjadinya suatu peristiwa tuturan; (b)

paticipant, meliputi penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca, (c)

end, berupa tujuan yang di harapkan, (d) act sequences, yaitu rangkaian kegiatan, (e) keys, cara mengenai sesuatu harus dikatakan oleh penutur (dapat secara serius, santai, dan sebagainya), (f) instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan serta bentuk tuturan yang dipakai, (g) norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam berinteraksi, dan (h) genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur. Di samping itu, Poedjosoedarmo (1979) telah menyempurnakan konsep komponen tutur berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hymes (1972) itu. Penyempurnaan teori itu dengan mengaitkan peranan bahasa dalam komunikasi. Ia berpendapat bahwa suatu pesan atau ide sebelum diungkapkan atau diekspresikan harus ditata sebelum dalam wujud penataan kode (encoding). Penataan kode ini merupakan salah satu tahap dalam proses berkomunikasi. Wujud pengungkapan ide atau gagasan itu berupa bentuk-bentuk tuturan atau wacana yang bervariasi bentuknya yang sesuai dengan unsur-unsur komponen tutur yang mempengaruhi dalam komunikasi. Dengan demikian, komponen tutur itu merupakan faktor penentu terjadinya bentuk tuturan atau wacana.

Berbicara mengenai banyaknya butir-butir komponen tutur, ternyata Poedjosoedarmo menemukan sejumlah tiga belas butir komponen tutur yang mempenga-ruhi terjadinya bentuk tuturan itu. Ketiga belas butir komponen itu adalah (1) pribadi penutur, (2) warna emosi, (3) kehendak tutur, (4) anggapan terhadap mitra tutur, (5) kehadiran orang ketiga, (6) nada dan suasana bicara, (7) adegan tutur, (8) pokok pembicaraan, (9) sarana tutur, (10) urutan bicara, (11) ekologi percakapan, (12) bentuk wacana, dan (13) norma kebahasaan yang lain.

(4)

komunikasi. Berkenaan dengan hal itu, penelitian ini akan cenderung memanfaatkan teori Podjosoedarmo.

Demikian juga pada wacana perintah yang berisi agar orang lain mengerjakan suatu tindakan tertentu itu, bentuk tuturannya juga dipengaruhi oleh faktor eksternal di samping oleh faktor internal. Oleh karena itu, dalam pembicaraan wacana perintah agar dapat diamati secara tuntas harus menganalisis faktor-faktor nonkebahasaan (eksternal) seperti komponen tutur dan tindak tutur. Dengan adanya penerapan kerangka teori sosio pragmatika ini diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang jenis-jenis wacana perintah dalam tindak komunikasi.

B. Kerangka Teori

Pembicaraan tentang wacana perintah dalam bahasa Jawa berarti sebuah pembahasan yang melihat fungsi bahasa dalam tindak komunikasi verbal. Hal itu berarti pula bahwa pembahasan ini berupa analisis wacana dan fungsi bahasanya melalui tuturan atau teks yang berdasarkan teori sosio pragmatika. Oleh karena itu, acuan teori yang akan digunakan dalam rangka menganalisis wacana perintah itu dengan memanfaatkan tiga teori sekaligus, yaitu : (1) teori fungsi komunikasi bahasa, (2) teori tindak tutur, dan (3) teori komponen tutur. Dengan demikian, dalam pembicaraan masalah ini teori yang digunakan berupa paduan teori sosiolinguistik dan teori pragmatik.

Austin dan Searle telah mengklasifikasikan fungsi bahasa dalam tindak ilokusi menjadi lima macam, yaitu: (1) fungsi direktif, adalah pemakaian bahasa dalam bentuk perintah halus, perintah langsung, memohon, menuntut, dan memberi nasehat, (2) fungsi komisif adalah penggunaan bahasa untuk menyajikan dan menawarkan, (3) fungsi representatif adalah pemakaian bahasa untuk menyatakan kebenaran seperti mengunkapkan pendapat, menyampaikan fakta dan sebagainya, (4) fungsi deklaratif adalah pemakaian bahasa yang di dalamnya mengandung pernyataan baru, dan, (5) ekspresif adalah pemakaian untuk menyatakan perasaan, seperti mengkritik, memuji dan sebagainya.

(5)

fungsinya. Oleh karena itu, setiap tuturan dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur, yaitu: (1) tindak lokusi berupa tuturan yang dihasilkan oleh penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud tuturan dan, (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh tuturan. Sebagai contoh tuturan " Anda merokok ?". Tindak lokusinya adalah sebuah pertanyaan; tindak ilokusinya dapat berupa permintaan, penawaran, dan larangan, tindak perlokusinya berupa pemberian, penolakan/penerimaan, dan juga tindakan penghentian merokok. Berkaitan dengan uraian tindak tutur, teori komponen tutur tidak dapat dilepaskan begitu saja. Komponen tutur sangat mendukung dalam penganalisisan suatu tindak tutur.

Analisis wacana perintah dalam bahasa Jawa ini menggunakan pendekatan kualitatif. Agar tujuan pembahasan ini dapat dicapai perlu ditentukan data yang dijadikan objek penelitian, yaitu tuturan bahasa Jawa yang mengandung informasi (makna) berupa perintah untuk melakukan suatu tindakan, baik lisan maupun tertulis. Data itu dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode dan teknik. Dalam tahap pengumpulan data digunakan metode simak dengan ditunjang beberapa teknik, seperti teknik catat dan teknik simak. Dalam tahap analisis data digunakan metode agih dan metode padan. Metode agih adalah cara menganalisis data bahasa yang pelaksanaannya dengan menggunakan unsur penentu yang berupa unsur bahasa itu sendiri, sedangkan metode padan adalah cara menganalisis data yang pelaksanaannya dengan menggunakan unsur-unsur nonkebahasaan (Sudaryanto, 1993:31 dan 54).

C. Jenis-jenis Wacana Perintah Dalam Bahasa Jawa

Berdasarkan hasil pengolahan data yang didapat ternyata wacana perintah dalan bahasa Jawa dapat di bedakan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah : (1) wacana instruksi; (2) wacana permintaan atau perintah halus; (3) wacana ajakan; (4) wacana nasihat; (5) wacana larangan; (6) wacana bujukan; dan (7) wacana tantangan.

3.1. Wacana Instruksi

(6)

(1) + Aja kedereng Dhimas, lerena sawethara. Mengko Prabu Pratika aku sing bakal ngadhepi.

Inggih sendika dhawuh, Kangmas.

+ Jangan terburu nafsu, Dhinda, istirahatlah sebentar. Nanti Prabu Praptika saya akan menghadapi.

Iya, baik, Kakanda!.

Wacana (1) merupakan bentuk wacana yang cukup sederhana, kalimatnya pendek-pendek dan bahasanya lugas, sehingga mudah dipahami. Hal itu merupakan salah satu ciri dari sebuah wacana instruksi. Di samping itu, ciri lain adalah pemilihan verba yang mendapat imbuhan

-a/-na seperti kata lerena 'beristirahatlah' yang merupakan suatu perintah atau instruksi. Biasanya instruksi itu berasal dari penutur yang usianya lebih tua atau kedudukanya lebih tinggi. Hal itu dapat dibuktikan bahwa penutur (yang memberi instruksi) itu lebih tua yaitu kangmas ‘kakanda’, dan yang diperintah adalah adiknya, yaitu dhimas 'adinda'. Di lihat dari segi pemilihan ragam ternyata ada dua macam ragam yang digunakan yaitu ragam ngoko di pakai oleh penutur dan ragam krama di pakai oleh mitra tutur. Hal itu menandakan bahwa hubungan antara penutur dan mitra tutur relatif kurang akrab atau status sosialnya berbeda . Dengan demikian wacana (1) diterangkan sebagai berikut.

a) Penutur:

1) Usia : lebih tua (lebih di tuakan)

2) Watak : biasa (netral)

3) Emosi : biasa

4) Aspirasi : kofiguratif 5) Kemampuan bahasa : biasa 6) Status : lebih tinggi b) Mitra tutur:

1) Usia : lebih muda

2) Watak : setia, patuh

3) Emosi : biasa

4) Aspirasi :

(7)

d) Maksud tuturan : perintah/instruksi

e) Situasi : formal (dalam medan perang) f) Tingkat tutur : ngoko dan krama.

3.2. Wacana Perintah Halus

Wacana perintah halus pada dasarnya sama dengan wacana instruksi. Hanya terdapat perbedaan pada pemilihan verbanya. Jika pada wacana instruksi verbanya selalu mendapat akhiran [-a/-na], dalam wacana perintah halus itu dengan memilih kata-kata tertentu, seperti paring dhawuh, njaluk tulung dan sebagainya. Untuk jelasnya perhatikan wacana (2) berikut.

(2) + "Bangsa Walanda pancen tansaya ngambra-ambra. Dhimas Koja, ingsun paring dhawuh marang sliramu yen bangsa Walanda puguh dirampungi, budi disembadani".

"Menawi ngaten, kula namung sendika dhawuh, Njeng Pangeran".

'+ Bangsa Belanda itu memang semakin menjadi-jadi (banyak tingkahnya). Adinda Koja, saya memberi tugas kepada anda jika bangsa Belanda tidak mau diajak baik, sebaiknya kita layani apa saja maunya'.

‘

Kalau begitu, saya hanya siap mengemban tugas, Kanjeng Pangeran'.

Dalam wacana (2) di atas, tampak bahwa bentuk wacana perintah halus itu berisi suatu perintah yang dituturkan oleh penutur yang mempunyai aspirasi atau pandangan hidup yang luas. Hal itu tercermin pada wujud wacananya menggunakan bahasa Jawa yang halus, indah, dan santun. Misalnya pemilihan kata dhimas 'adinda', paring dhawuh 'memberi tugas', sliramu ‘anda' merupakan kata-kata yang halus dan hanya diucapkan oleh panutur yang mempunyai kemampuan berbahasa Jawa yang tinggi. Semuanya itu merupakan cerminan dari latar belakang penutur sebagai seorang bangsawan atau orang yang dihormati. Keindahan wacana itu juga dapat diketahui dari pemilihan idium yang

(8)

Adapun komponen tutur yang terkandung dalam wacana (2) tersebut adalah sebagai berikut.

a) Penutur

1) usia : tua

2) emosi : agak marah

3) aspirasi : postfiguratif 4) kemampuan berbahasa : lengkap dan baik 5) status sosial : tinggi

6) watak : tegas

b) Mitra tutur

1) usia : lebih muda (netral) 2) hubungan : netral/tidak akrab 3) status sosial : rendah

c) Maksud tuturan : perintah halus d) Tempat/suasana : formal

e) Tingkat tutur : ngoko dan krama 3.3. Wacana Ajakan

Jenis wacana ajakan ini adalah tuturan yang berisi agar orang lain mengerjakan seperti yang dikerjakan oleh si penutur. Dalam bahasa Jawa tuturan yang berisi ajakan itu biasanya ditandai dengan pemakaian kata

ayo 'mari', atau mangga (K) 'mari'. Untuk jelasnya perhatikan wacana (3) berikut.

(3) + Cah-cah saiki becike gegaman awake dhewe iki di wadhahi jodhang. Awake dhewe kudu bisa memba-memba dadi wong kepatihan sing arep kirim cadhong marang prajurit kang nembe maju perang menyang tlatah manca negara. Ayo enggal dilaksanani.

Yen kabeh padha sarujuk, aku mung manut wae. Lak ngono ta Pong!.

(9)

kepada prajurit yang sedang maju perang ke manca negara. Mari segera dilaksanakan!.

Jika semuanya setuju, saya menurut saja. Begitu kan Pong!.

Wacana (3) di atas dapat digolongkan sebagai wacana ajakan yang berisi perintah. Hal itu dapat diketahui di pemakaian kata becike 'baiknya' dan kata ayo 'mari'. Di samping itu, ajakan ini mengandung makna yaitu menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindakan bersama-sama dengan si penutur. Tindakan yang dilakukan bersama-sama itu tercermin pada penggunaan kata awake dhewe 'kita', yaitu antara penutur dan mitra tutur.

Jika diperhatikan wacana (3) tersebut merupakan bentuk tutur dari seorang penutur yang sudah tua (dituakan) kepada mitra tutur yang lebih muda. Hal itu dapat diketahui dari pemakaian unsur pilihan katanya, misalnya kata panggilan cah-cah 'anak-anak'. Yang biasanya digunakan untuk menyapa kepada anak-anak (orang muda).

Berdasarkan unsur komponen tutur, wacana (3) dapat di analisis sebagai berikut.

a) Penutur:

1) usia : lebih tua

2) watak : terbuka

3) asperasi : kofiguratif 4) status : sebagai pimpinan 5) kemampuan bahasa : baik

b) Mitra tutur:

1) usia : lebih muda

2) watak : setia;patuh

3) emosi : biasa (netral)

4) status : anak buah

c) Hubungan : akrab

d) Situasi : nonformal

(10)

3.4. Wacana Tantangan

Jenis wacana tantangan ini sebenarnya juga merupakan jenis wacana perintah, tetapi ada sedikit perbedaan. Dalam wacana tantangan ini di samping dimanfaatkan kata-kata yang berfungsi sebagai pemarkah perintah, tetapi digunakan kata-kata yang berisi suatu tantangan. Oleh karena itu, wacana yang seperti itu digolongkan sebagai wacana tantangan. Untuk jelasnya perhatikan wacana (4) berikut ini.

(4) + Raden Koja, prayata kowe lan aku ora ana sing menangake peperangan iki. Mula yen kowe pancen lanang tenan, besuk tekaa ing papan kene menawa wis tekan ing wayah purnama katelu. Diterusake peperangan iki nganti sapa sejatine sing dadi patih kang tan ana sing ngalahake. Mula aja lali, tekaa ing papan kene.

Yah, kapan wae lan ing ngendi wae mesthi tak ladeni.

'+ Raden Koja, ternyata kita ini tidak ada yang dapat memenangkan peperangan ini. Oleh karena itu, jika memang anda itu benar-benar laki-laki, besok datanglah di tempat ini jika sudah sampai pada bulan ketiga. Diteruskan peperangan ini sampai ada yang menjadi pemenang dan sebagai patih yang tanpa tanding. Maka dari itu, jangan lupa datanglah di tempat ini.

‘

Ya, kapan dan dimana saja, di mana saja, saya selalu siap.

Berdasarkan wacana (4) di atas dapat dikatakan bahwa wacana (4) itu merupakan jenis wacana direktif yang berupa wacana tantangan. Hal itu dapat diketahui dengan adanya pemilihan unsur kalimat yang berarti perintah sekaligus tantangan, seperti mula yen kowe pancen lanang tenan, tekaa… 'Oleh karena itu, jika Anda benar-benar laki-laki datanglah… Dengan demikian, wacana (4) itu dapat digolongkan wacana yang berisi tantangan. Adapun pemarkah wacana tantangan itu berupa suatu bentuk perintah dengan persyaratan tertentu kepada mitra tuturnya. Persyaratan itu dapat ditemukan pada wacana (4) itu adalah yen kowe pancen lanang tenan 'jika Anda benar-benar laki-laki'. Sebagai bentuk pemarkah perintah adalah afiks (-a) pada kata tekaa 'datang'.

(11)

a) Penutur:

1) Usia : sebaya

2) Watak : terbuka dan sombong

3) Aspirasi : postfiguratif

4) Status : sejajar

b) Mitra tutur:

1) Usia : sebaya

2) Status : sejajar

c) Maksud tutur : tantangan

d) Urutan tutur : ngoko

e) Hubungan : tidak akrab

f) Tempat/suasana : formal

Selain itu wacana yang berisi tantangan juga dapat dilihat pada wacana (5) berikut ini.

(5) + Iki Raden Wurkudara. Beja kemayangan aku bisa nyernakake kowe. Pancen kowe sembada, nanging aja kesusu gedhe sirahmu. Aku pinilih dadi Senopati Kurawa kanthi petung. Mula majua kowe Werkudara yen pancen Senopati Pendawa. Sirahmu bakal tak gludhungake ing pabaratan kene.

'Inikah Raden Werkudara. Bernasib baik saya dapat menghabisi kamu. Memang kamu dapat diandalkan, tetapi jangan segera berbesar kepala. Saya jadi Senopati dari Kurawa dengan penuh perhitungan. Oleh karena itu, majulah kamu Werkudara jika memang kamu Senopati Pendawa. Kepalamu akan saya penggal di peperangan ini.

+ Apa sing tak wedeni. Tak antem sepisan ambyar gundhulmu.

'Apa yang saya takuti. Saya pukul sekali hancur kepalamu.

(12)

perintah dengan ditambahi adanya persyaratan tertentu. Hal itu dapat dilihat pada kalimat ke (4) wacana (5) di atas yang berupa Mula majua kowe Werkudara, yen pancen kowe senopati Pandhawa 'Oleh karena itu, majulah kamu Werkudara, jika memang kamu senopati Pandhawa'. Hal itu berarti penutur memerintah Werkudara dengan syarat jika memang Werkudara itu sebagai senopati dari Pndhawa. Dengan demikian, wacana (5) dapat dikategorikan sebagai jenis wacana tantangan.

Berdasarkan komponen tutur, wacana (5) dapat dianalisis dengan hasil sebagai berikut.

a) Penutur:

1) Watak : kasar

2) Emosi : mudah marah

3) Aspirasi :

-4) Kemampuan bahasa : baik

5) Usia : sebaya

b) Mitra tutur:

1) Status : tinggi

2) Hubungan : tidak akrab c) Maksud tutur : tantangan

d) Urutan tutur : ngoko

e) Tempat/suasana : formal 3.5. Wacana Bujukan

Jenis wacana direktif yang berisi bujukan ini secara eksplisit memang sulit untuk diketahui. Mengingat wacana itu tidak memiliki pemarkah yang jelas. Pada wacana bujukan ini penanda cenderung berupa kata-kata yang berarti harapan. Untuk jelasnya perhatikan wacana (6) berikut.

(13)

'Bagaimanapun juga Bapak jangan mempunyai anggapan bahwa saya ini hanya seperti barang mati. Saya tidak memiliki hak untuk memilih pria yang sangat saya cintai dengan tulus. Oh, Bapak. Mengapa Bapak tega melihat saya hidup menderita dengan orang tidak saya cintai. Oleh karena itu, saya mohon semoga Bapak memikirkan hal ini'.

Wacana (6) di atas merupakan jenis wacana yang berisi suatu pengharapan agar mitra tutur dapat menerima saran atau permohonan si penutur. Hal itu dapat diketahui dari pemakaian unsur kebahasaan seperti

mugi-mugi 'mudah-mudahan, semoga'. Namun, yang jelas bahwa wacana (6) di atas berisi tentang sesuatu harapan yang menginginkan mitra tutur bersedia melakukan suatu tindakan dengan didasari rasa kasihan, kasih sayang dan sebagainya. Jadi, wacana (6) itu dapat dinamakan wacana direktif yang berisi bujukan.

Berdasarkan unsur komponen tutur, wacana (6) dapat dianalisis dengan hasil sebagai berikut.

a) Penutur:

1) Usia : lebih muda

2) Watak : pasrah, lemah

3) Aspirasi : kofiguratif

4) Emosi : sedih

5) Kemampuan bahasa : baik b) Mitra tutur:

1) Usia : lebih tua

2) Aspirasi : postfiguratif 3) Status : lebih tinggi c) Maksud tutur : bujukan

d) Hubungan : akrab (anak dan ayah) e) Urutan tutur : krama inggil

f) Tempat/suasana : nonformal 3.6. Wacana Nasihat atau Pesan

(14)

memberikan petujuk, seeperti cara-cara melakukan dan sebagainya. Dengan demikian, mitra tutur itu tidak merasa diperintah tetapi justru mereka itu diberi nasihat atau petujuk dalam melakukan suatu hal. Untuk jelasnya perhatikan wacana (7) berikut.

(7) + Ora maido menawa dheweke ora tedhas pusaka lan gegaman landhep liyane. Dak kandhani ya Dhimas, coba wengi iki uga kethoken wit asem ing alun-alun Kabupaten Jepara. Mengko ing tengah-tengah ing glondhongan wit asem bakal kok temokake gada ireng wernane. Ya gada kuwi kang bisa kanggo ningkes satrumu

Iinggih kakangmas, mugi sedaya wau saget kasemabadan.

'+ Memang kita percaya bahwa orang itu kebal terhadap pusaka dan senjata tajam. Saya beri saran ya Dhimas, coba pada malam ini juga potonglah pohon asam di alun-alun Kabupaten Jepara. Nanti di tengah-tengahnya pohon asem itu akan ditemukan gada yang berwarna hitam. Gada tersebut yang dapat dipakai untuk meringkus musuhmu itu.

‘ – Iya Kakanda, semoga semua itu dapat berhasil dengan baik’

Wacana (7) di atas merupakan contoh wacana direktif yang berisi pesan atau nasihat. Hal itu dapat diketahui dari maksud tuturan itu yaitu suatu perintah dengan disertai beberapa cara melaksanakan perintah itu agar berhasil. Pemarkah sebagai tanda wacana direktif adalah pemakaian kata coba 'cobalah' dan afiks (-en) pada kata kethoken 'potonglah'. kata

coba 'cobalah' menyatakan suatu saran atau pesan kepada mitra tutur, sedangkan afiks (-en) pada kata kethoken 'potonglah' menyatakan suatu perintah. Dengan demikian, wacana (7) tersebut dapat digolongkan sebagai wacana direktif yang berisi pesan atau nasihat.

Berdasarkan unsur komponen tuturnya, wacana (7) di atas dapat dianalisis dengan hasil sebagai berikut.

a) Penutur:

1) Usia : lebih tua

(15)

5) Kemampuan bahasa : baik b) Mitra tutur:

1) Usia : lebih muda

2) Status : sejajar

c) Maksud tutur : nasihat atau pesan d) Urutan tutur : ngoko dan krama e) Tempat/suasana : nonformal

3.7. Wacana Larangan

Wacana direktif yang berisi agar orang lain untuk melakukan suatu tindakan dengan jalan atau cara melarangnya. Hal itu berarti bahwa wacana perintah itu berisi larangan agar orang lain jangan melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur. Untuk jelasnya perhatikan wacana (8) berikut ini.

(8) Rasah dipikir jero-jero, ta! Jer wong urip mung saderma nglakoni lan digaris dining Pangeran kang Maha Kuwasa. Mula sing baku wong urip iki seneng gawe becik marang sapadha-padha. Awake dhewe bakal entuk dalan kang kepenak. Ning kosok baline yen wong urip iki mung gawe susahe liyan, iya padha karo kowe rupake dalane dhewe.

'Janganlah dipikir terlalu mendalam, ya. Karena orang hidup itu hanya sekedar menjalani dan sudah ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, yang baku orang hidup

harus berbuat baik dengan sesama manusia. Kita akan mendapatkan jalan kehidupan yang lurus. Tetapi sebaiknya jika orang sering membuat susah orang lain berarti nantinya akan menyusahkan dirinya sendiri'.

(16)

wujudnya bukan sebagai wacana larangan, melainkan berupa wacana permohonan atau permintaan.

Berdasarkan unsur komponen tuturnya, wacana (8) di atas dapat dianalisis dengan hasil sebagai berikut.

a) Penutur:

1) Usia : lebih tua

2) Status : lebih tinggi

3) Watak : terbuka

4) Aspirasi : kofiguratif 5) Kemampuan bahasa : sedang b) Mitra tutur:

1) Usia : lebih muda

2) Status : lebih rendah

3) Hubungan : akrab

c) Maksud tutur : larangan

d) Urutan tutur : ngoko

e) Tempat/suasana : nonformal

D. Latar Belakang Peserta Tutur

Masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang mengutamakan perasaan dalam berkomunikasi. Segala tutur kata (berbahasa) dan tingkah lakunya selalu diusahakan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Semuanya itu dilakukan dalam rangka memelihara suatu pernyataan sosial yang harmonis dan jauh dari konflik (Geerzt, 1983). Kerangka berpikir semacam itu diterapkan dalam menyuruh orang lain untuk melakukan tindakan yang dikehendaki oleh si penutur. Hal itu menyebabkan munculnya bentuk tuturan atau wacana yang berbeda-beda, dengan maksud yang sama. Semua itu disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang si peserta tutur. Adapun latar belakang peserta tutur itu meliputi watak, usia, status sosial, kemampuan berbahasa, dan aspirasi (Suwito, 1987).

4.1. Sifat atau Watak Penutur

(17)

kalanya seorang penutur bersifat pemurung, berjiwa tertutup, dan pesimis terhadap masa depan. Di samping itu, ada pula penutur berwatak sabar, halus dan santun, tetapi ada pula penutur yang bersifat kasar, mudah marah atau tersinggung dan sombong. Adanya perbedaan watak yang dimiliki oleh masing-masing penutur itu membawa pengaruh terhadap wujud bentuk tuturan dalam memerintah orang lain. Penutur yang bersifat sabar, santun, halus jika menyuruh atau memerintah orang lain akan menggunakan bentuk wacana permohonan atau permintaan, ajakan, bujukan, nasihat dan sebagainya. Adapun penutur yang berwatak kasar, sombong dan sebagainya, wacana perintahnya akan cenderung berupa instruksi, larangan dan sebagainya.

4.2. Kondisi Diri Penutur

Keadaan atau kondisi diri penutur akan tampak jelas pada bentuk tuturannya. Misalnya seorang penutur yang sedang gembira, bentuk tuturannya akan kurang tertib dalam pemilihan kosakatanya dan struktur kalimatnya, bentuk kalimatnya pendek-pendek dan sebagainya. Sebaliknya, penutur yang sedang berduka akan berpengaruh juga pada bentuk tuturannya, yaitu tuturannya kurang jelas maksudnya, kalimatnya terpotong-potong, tidak selesai atau tidak utuh informasinya. Biasanya penutur yang sedang suka ria akan cenderung menggunakan bentuk perintah dengan wacana ajakan atau permintaan halus, bujukan, dan tantangan. Sebaliknya, orang yang sedang berduka akan cenderung menggunakan bentuk wacana instruksi, ajakan, pesan dan sebagainya. 4.3. Aspirasi Penutur

(18)

4.4. Usia Penutur

Usia penutur akan berpengaruh kepada bentuk tuturannya. Orang yang sudah tua dalam berkomunikasi akan berbeda dengan orang yang masih muda. Orang masih muda cenderung memilih bahasa yang lugas, terus terang, dan langsung, sebaliknya orang sudah tua lebih hati-hati dalam berkomunikasi. Kehati-hatian itu dapat diketahui dengan bentuk tuturannya yang memggunakan bahasa yang tidak lugas (tembung miring), memilih ungkapan yang tidak langsung, dan sebagainya. Dengan demikian, orang yang sudah tua akan cenderung menggunakan bentuk perintah yang berupa wacana permintaan atau penawaran, bujukan, ajakan, dan nasihat. Adapun orang muda cenderung menggunakan bentuk perintah intruksi, tantangan, dan larangan.

4.5. Kemampuan dalam Berbahasa

Adanya tingkat kemampuan dalam berbahasa pada seseorang akan mempengaruhi pada bentuk tuturan dalam memerintah seseorang. Seorang yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik tentunya akan mempertimbangkan tingkat efektivitas dalam berkomunikasi, sehingga mereka dalam memerintah cenderung akan memilih bentuk-bentuk perintah tidak langsung, misalnya dengan menggunakan wacana permintaan, ajakan, bujukan, nasihat, dan sebagainya. Adapun orang yang kurang menguasai bahasa Jawa dengan baik akan cenderung memilih bentuk perintah yang langsung atau lugas seperti wacana instruksi, dan larangan.

E. SIMPULAN

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1962. Introduction to Research in Education. Holt: Renerhart and Winston.

Geerzt, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafitipress. (terjemahan). Hymes, Dalle. 1972. "On Communicative Competence". Dalam

Sociolinguistics. Pridge dan Holmes (editor). Harmondswarth: Penguin.

Morris, C.W. 1960. Signification and Significance. Cambridge: MIT Press. Pranawa. 1997. "Fungsi Komunikatif Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dalam Konteks Kedwibahasaan". Malang: Desertasi IKIP Malang. Poedjosoedarmo, S. 1979. Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa. Jakarta:

Pusat Bahasa.

Searle, J.R. 1969. Speech Acts: an Essey in the Philosophy of Language.

Cambridge: Cambridge University Press.

Subroto, Edi. 1986. "Eksplorasi Pengungkapan Rasa secara Morfologis pada Sistem Adjektive Bahasa Jawa". Dalam Kesenian, Bahasa, dan Foklor. Sudarsono (Editor). Yogyakarta: Proyek Javanologi.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suwito. 1987. "Berbahasa dalam Situasi Diglosik". Jakarta: Universitas Indonesia (Disertasi).

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Bank Indonesia, rahn adalah akad penyerahan barang harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau

Penelitian dilakukan dengan simulasi untuk melihat apakah sistem yang disarankan bisa mengontrol aliran paket data jaringan komputer sehingga.. dapat mengurangi

Hasil dari penelitian ini adalah Sistem Informasi Kegiatan Sekolah telah memenuhi standar ISO 25010 pada karakteristik functional suitability dengan nilai 100% (sangat

mempunyai nilai odds ratio sebesar 0,14, hal ini berarti responden yang menggunakan alat tangkap cantrang mempunyai kecendrungan 0,14 kali lebih tinggi melakukan kegiatan

dalam ekonomi Islam, ada beberapa etika yang mengaturnya yaitu sebagai berikut: 1) Tauhid (Uniy atau Kesatuan) yaitu kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada

yaitu jenis herbisida yang diaplikasikan pada lahan pertanian setelah tanaman budidaya tumbuh di lahan tersebut, dengan tujuan untuk menekan pertumbuhan gulma yang tumbuh

Kelompok usia paling banyak menggunakan alat kontrasepsi dalam penelitian yang dilakukan Oddens et al (1994) bahwa wanita usia kurang dari 25 tahun lebih

Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan