• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA, ADVOKAT DAN HAK RETENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA, ADVOKAT DAN HAK RETENSI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

24 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA, ADVOKAT DAN HAK RETENSI

A. Pertanggungjawaban Pidana

Asas paling dasar tentang pertanggungjawaban pidana adalah geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Tindak pidana hanya

menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, namun apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan, akan sangat bergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.47

Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri.48

Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan dengan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids), dan kesengajaan dengan kepastian (opzet bij noodzakelijkheids).

Kesengajaan dengan maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya. Kesengajaan dengan kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan

47Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum, Genta Press, Yogyakarta, 2016, hlm.61.

48Ibid.

(2)

menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Sedangkan kesengajaan dengan kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.49

Dilihat dari bentuknya, Modderman mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (ionbewusrte culpa). Dia mengatakan bahwa corak kelapaan yang paling ringan adalah orang menggunakan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berfikir dengan panjang dan bijaksana. Tetapi corak kelapaan yang lebih berat adalah kealpaan yang disadari, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau ditiadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak timbul.50

Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, menurut Sauer, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu:

pertama, sifat melawan hukum (unrecht); kedua kesalahan (schuld); ketiga pidana (straff). Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jeias terlebih dahulu

49Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.175.

50Ibid., hlm.178.

(3)

siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.51

Dalam KUHP sendiri tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan menurut ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP bahwa "seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu: pertama karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan; kedua jiwanya terganggu karena penyakit”. Orang dalam keadaan demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.52

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunya i kesalahan. Keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya dapat membeda- bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, oleh karena itu terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.53

51Tommy J. Bassang, “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Deelneming”, Lex Crimen Journal, Volume 4 Nomor 5, 5 Juli 2015, hlm.125.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/9015

52Ibid.

53Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.171.

(4)

Dalam hukum, dikenal sebagai dasar atau prinsip dari tanggungjawab hukum, yaitu :

1. Prinsip tanggungjawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability basen on fault principle). Prinsip ini membebankan pada korban untuk membuktikan bahwa pelaku itu telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan dirinya.

2. Prinsip tanggungjawab berdasarkan adanya praduga (rebuttable presumption of liability principle). Prinsip ini menegaskan bahwa tanggungjawab si pelaku bisa hilang jika dapat membuktikan tidak bersalah kepada korbannya.

3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict liability principle), yaitu tanggungjawab tanpa harus membuktikan kesalahannya.

Walaupun unsur-unsur tiap-tiap delik berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu :

1. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif.

2. Akibat (khusus delik-delik yang dirumuskan secara materiil)

3. Melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan melawan hukum materiil (unsur diam-diam), dan

4. Tidak adanya dasar pembenar.54

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pembuat delik adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan bertanggungjawab.

2. Kesalahan pembuat; kesengajaan dalam tiga coraknya dan culpa lata dalam dua coraknya, dan

3. Tak adanya dasar pemaaf55

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.

54Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.221.

55Ibid., hlm.222.

(5)

Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.56

Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.57

B. Advokat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

“Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun non- ligitasi.”58

Sukris Sarmadi menguraikan bahwa yang disebut advokat adalah “seorang yang berprofesi sebagai ahli hukum di pengadilan”. 59Pasal 1 huruf a Kode Etik Advokat Indonesia menentukan advokat adalah orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktik, ataupun sebagai konsultan hukum. Setelah

56Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.181.

57Ibid.

58Yahman dan Nurtin Tarigan, Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2019, hlm.8.

59Nadzib Asrori, Tanggung Jawab Advokat Dalam Menjalankan Jasa Hukum Kepada Klien, Deepublish, Sleman, 2018, hlm.10.

(6)

adanya UU Advokat, maka istilah advokat, penasehat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum yang berpraktik di muka pengadilan ditetapkan sebagai advokat, yang pengangkatannya menurut UU Advokat dilakukan oleh organisasi advokat.60

Untuk diangkat sebagai advokat, haruslah berlatar belakang pendidikan ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003, dinyatakan sebagai berikut:

1. Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi ilmu hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.

2. Pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat.

3. Salinan surat pengangkatan advokat sebagaimana dimaksud ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah agung dan Menteri.61

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2003, setelah seorang advokat dinyatakan lulus dalam suatu saringan yang dilakukan oleh organisasi advokat, maka sebelum menjalankan profesinya, wajib mengangkat sumpah. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pengucapan sumpah advokat merupakan suatu yang hakiki, karena dengan pengangkatan sumpah tersebut, babak baru sebagai seorang penggembala hukum telah resmi dimulai.62

60Ibid., hlm.10.

61Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.58.

62Ibid., hlm.61.

(7)

Hak dan kewajiban Advokat menurut Undang-Undang Advokat antara lain:

1. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

2. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

3. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

4. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undang.

5. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

6. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

7. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

(8)

8. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

9. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

10. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

11. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.63

Konsekuensi dari profesi advokat sebagai pemberi jasa dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam melakukan pemberian jasa layanan hukum kepada klien, tentunya mendapatkan imbalan jasa. Sebab sudah menjadi ketentuan bahwa orang yang memberi jasa layanan apapun namanya, mesti mendapatkan imbalan jasa berupa honorarium.64 Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dinyatakan bahwa : “Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya. Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.”

63Yahman dan Nurtin Tarigan, Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2019, hlm.7.

64Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.68.

(9)

C. Hak Retensi

Menurut Subekti, hak retensi merupakan hak yang diberikan kepada juru kuasa untuk menahan barang kepunyaan si pemberi kuasa, sampai yang terakhir ini memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap dia, suatu hak seperti yang diberikan juga kepada seorang tukang yang mengerjakan sesuatu barang seorang.65

Selain itu, berkaitan dengan pengertian hak retensi, Sukris Sarmadi berpendapat bahwa : “Hak retensi adalah hak seorang advokat untuk menahan surat-menyurat, dokumen tertentu ataupun menunda pekerjaannya dalam ketika kliennya ingkar janji dalam pembayaran fee atau honorarium kepada dirinya.”66

Hak retentie (recct van terughouding) ini adalah hak yang diberikan oleh undang-undang atau karena perjanjian kepada kreditor untuk menahan sesuatu kebendaan di dalam penguasaannya sampai piutang pemilik kebendaan itu dilunasi oleh debitur yang bersangkutan. Hak yang demikian ini timbul karena adanya piutang atau tagihan (vordering) yang belum dibayar oleh debitur kepada kreditor, karenanya kreditor menahan kebendaan yang bertalian dengan piutang tersebut.67

Menurut J. Satrio, menyatakan: “Hak menahan tersebut memberikan tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya. Kreditor dengan hak

65Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.150.

66Rizki Nugraha Samar Dwi Saputra, “Analisis Ukuran Kewenangan Menahan dan Menjual Benda Milik Pemberi Kuasa Guna Pelunasan Hutang Pemberi Kuasa”, Skripsi Sarjana

Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2018, hlm.7.

https://repository.unsri.ac.id/1164/1/RAMA_74201_02011181419499_0001116501_01_front_ref.

pdf

67Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.524.

(10)

retentie sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya. Karena ada sarana yang mudah untuk itu, walaupun secara tidak langsung, mengambil pelunasan atau ada sarana untuk memberikan tekanan kepada debitur untuk melunasi hutang- hutangnya dan karenanya memberikan jaminan yang lebih besar untuk pelunasan atau secara tidak langsung merupakan hak untuk didahulukan untuk mengambil pelunasan.”68

Selain dari itu, menurut Djuhaendah Hasan yang juga dikutip oleh Rachmadi Usman menyebutkan, ketentuan hak retensi juga dikenal dalam hukum inggris, yaitu retention of title clauses, yang sebenarnya diambil (imported) dari Civil Law, serta dikenal pula dalam hukum Jepang, demikian pula hukum Taiwan mengenal right of retention dalam Civil Code Book III tentang Rights Over Things.69

Dalam kaitannya dengan hak advokat, hak retensi ini sendiri diatur di dalam Pasal 1812 KUHPerdata, yang mana Pasal tersebut berbunyi, “Si kuasa adalah berhak untuk menahan segala apa kepunyaan si pemberi kuasa yang berada di tangannya, sekian lamanya, hingga kepadanya telah di bayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa”.70

Berdasarkan rumusan dari Pasal 1812 KUHPerdata tersebut di atas, bahwa advokat memiliki hak untuk menahan benda kepunyaan dari kliennya sebagai

68Mauritius Gusti Pati Runtung, I Gusti Ngurah Parwata, “Kedudukan Hak Retensi Benda gadai Oleh PT.Pegadaian Dalam hal Debitur Wanprestasi”, Journal Ilmu Hukum, Volume 1

Nomor 3,3 Oktober 2013, hlm.2.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/6709/5116

69Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.525.

70Rizki Nugraha Samar Dwi Saputra, “Analisis Ukuran Kewenangan Menahan dan Menjual Benda Milik Pemberi Kuasa Guna Pelunasan Hutang Pemberi Kuasa”, Skripsi Sarjana

Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2018, hlm.8.

https://repository.unsri.ac.id/1164/1/RAMA_74201_02011181419499_0001116501_01_front_ref.

pdf

(11)

jaminan apabila nantinya klien tersebut wanprestasi atau ingkar janji dalam hal pemberian fee atau honorarium yang telah disepakati sebelumnya. Adapun pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau di lakukan tidak menurut selayaknya.71

71Ibid., hlm.9.

Referensi

Dokumen terkait

Kita bisa menemukan lingkaran pada alat musik, peralatan rumah, bagian mobil, benda logam, roda, dan beberapa istilah yang menggunakan kata

Berangkat dari transformasi dari menggambar Teknik Scribble kaligrafi pada saat itu, Khoirul Anwar masih terbawa dengan corat-coretan yang penuh ketika menggambar objek

Penelitian ini menganalisis pendapatan, efisiensi usaha, dan Break Event Point ( BEP) pada Agroindustri milik Abdori yang dianalisis biaya, produksi dan harga

Oleh yang demikian, dalam usaha untuk merapatkan jurang kajian berkenaan, maka makalah ini diusahakan untuk menganalisis aspek komunikasi bukan lisan dalam adat dan ritual

Menurut Sonny (2011: 2), pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU.No 32 Tahun

[r]

aktivnost putem koje utje č u na realni sektor.. Naravno, banke mogu imati i negativan utjecaj na gospodarstvo. kada one ne izvršavaju svoje funkcije na na č in koji