1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman, keinginan seseorang untuk tampil lebih cantik merupakan suatu hal yang wajar. Keindahan dan kecantikan telah menjadi salah satu kriteria penilaian dalam melihat seseorang.
Untuk menunjang penampilan yang cantik dan indah maka diperlukan sesuatu sebagai penunjang kecantikan seseorang salah satunya adalah kosmetik.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar, atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
1Definisi senada juga tercantum dalam pedoman Food and Drug Administration USA yaitu bahan yang dimaksudkan untuk diterapkan pada
tubuh manusia untuk membersihkan, mempercantik, mempromosikan daya tarik atau mengubah penampilan tanpa mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh.
2Definisi ini juga mencakup bahan yang dimaksud untuk digunakan sebagai komponen produk kosmetik dan FDA secara khusus mengecualikan
1
Peraturan BPOM Nomor 23 Tahun 2019 Pasal 1 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika
2
Majalah Farmasetika, Vol.2 No.3, 2017, Judul Krim Pemutih Wajah dan Keamanannya oleh Retno
Haryanti
2 sabun dari kategori ini. Komponen kosmetik biasanya merupakan campuran senyawa kimia yang aman untuk kesehatan konsumen dan beberapa berasal dari sumber alami maupun sintetis.
Pada setiap produk kosmetika yang diedarkan terdapat penandaan sebagai pemberian informasi kepada konsumen. Penandaan mengenai kosmetika dapat berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetika. Penandaan informasi kosmetika tersebut dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan, serta yang dicetak langsung pada produk. Demi terjaminnya keamanan dan kesehatan konsumen terhadap penggunaan produk kosmetik pemerintah juga memberikan peraturan perundang-undangan bagi para pelaku usaha di bidang kosmetika. Terdapat Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 23 Tahun 2019
3yang berbunyi pelaku usaha wajib menjamin kosmetika yang diproduksi untuk diedarkan di dalam negeri dan/atau yang diimpor untuk diedarkan di wilayah Indonesia memenuhi persyaratan teknis bahan kosmetika. Pasal 3 (1) Persyaratan teknis Bahan Kosmetika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. keamanan; b. kemanfaatan; dan c. mutu.
(2) Pemenuhan terhadap persyaratan keamanan dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dibuktikan dengan: a. hasil uji laboratorium; dan/atau b. referensi ilmiah/empiris lain yang relevan. (3) Pemenuhan terhadap persyaratan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3
Peraturan BPOM No 23 Tahun 2019 Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika
3 huruf c harus sesuai dengan standar yang diakui atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai negara berdaulat yang tentunya menjunjung tinggi prinsip negara hukum, pemerintah Indonesia seyogyanya wajib memberikan perlindungan serta jaminan terhadap warga negaranya agar tetap aman dalam menggunakan produk kosmetik yang beredar di pasaran. Maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan kepastian hukum berkaitan dengan hal ini, yakni dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945
4yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan demikian, secara konstitusional berdasarkan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 tersebut berimplikasi pada kegiatan monitoring/pengawasan oleh negara terhadap jenis-jenis makanan dan obat-obatan termasuk produk kosmetik yang akan digunakan oleh masyarakat luas.
Secara yuridis, mengenai regulasi kosmetik dan bahannya telah diatur sedemikian rupa berdasarkan susunan hirarki peraturan perundang-undangan.
Oleh karena orientasinya terhadap kesehatan tubuh, maka yang menjadi induk peraturan yakni berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam BAB II Rumusan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 2 dan Pasal 3 memuat asas dan tujuan,
4
Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4 adapun Pasal 2
5berbunyi “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”. Sedangkan Pasal 3
6, berbunyi
“Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
Ditinjau dari segi realitasnya dengan melihat kasus-kasus yang pernah terjadi sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, masih banyak produk kosmetika yang tidak memiliki izin edar dan mengandung bahan yang berbahaya. Terlebih pada jaman digital saat ini, bahwa kegiatan pasar khususnya jual-beli produk kosmetika dilakukan melalui jaringan internet yang mana kegiatan tersebut tidak mempertemukan kedua belah pihak (penjual- pembeli) secara tatap muka. Contoh lain yang menggambarkan masih banyaknya produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yaitu di kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Sekar Ayu
7menyatakan bahwa peredaran kosmetik selama periode Desember 2016 hingga November 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 26 jenis kosmetika mengandung bahan berbahaya dimana temuan tersebut didominasi oleh produk kosmetika dekoratif dan produk perawatan kulit dengan jenis bahan berbahaya
5
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
6
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
7
Priaji, Sekar Ayu Amiluhur. Perlindungan Hukum terhadap Peredaran Kosmetik yang
Merugikan Konsumen, 2018. UII Yogyakarta
5 yang teridentifikasi di dalamnya mengandung merkuri, bahan pewarna merah K3 dan merah K10. Para pelaku usaha yang telah diketahui memperjualbelikan produk kosmetik berbahaya selanjutnya akan dikenai tindakan hukum secara bertahap, pertama pelaku akan diperingatkan kemudian diberikan pembinaan bagi pelaku usaha dan terakhir dilakukan pemusnahan, penarikan sampi dengan penyitaan barang atau produk.
Sejalan dengan jaman digital, memperdagangkan produk-produk kosmetik melalui media sosial, maka permasalahan yang dihadapi ialah semakin maraknya produk-produk kosmetik yang berbahaya atau tidak memiliki izin edar sehingga melalui media sosial dapat luput dari pengawasan BPOM. Sepatutnya pihak BPOM dalam rangka pengawasan produk-produk berbahaya wajib bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, terutama pengawasan yang dilakukan di media elektronik demi kelancaran tugas pengawasan BPOM yakni post-market. BPOM selaku pengawas bahan obat dan makanan termasuk juga kosmetik telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya masih mengalami problematika yaitu masih maraknya bahan-bahan komsetik berbahaya yang masih beredar. Hal ini, patut menjadi koreksi serta evaluasi oleh BPOM selaku badan yang berwenang untuk mengawasi bahan-bahan obat, pangan, maupun kosmetik berbahaya yang beredar di masyarakat.
Contoh permasalahan lainnya yaitu dalam beredar luas produk kosmetik
Korea secara illegal masuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh
6 Zuraida Himmatul Ulya
8mengatakan bahwaa permaslaahan tersebut ada karena faktor dar permintaan konsumen, dan faktor lainnya yang mempengaruhi adalah para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Korea kembali ke Indonesia dengan membawa produk kosmetik yang belum tentu terjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatannya. Dan telah ditemukan beberapa produk kosmetik yang beredar tanpa label BPOM sehingga dapat merugikan konsumen.
Menurut penelitian yang ditulis oleh Adek Pitri
9menyatakan bahwa:
Pengawasan yang dilakukan oleh BBPOM Kota Pekanbaru terhadap sarana distribusi kosmetik belum menyeluruh, hal ini menyebabkan adnaya sarana penjualan kosmetik yang lepas dari pengawasan. BBPOM Kota Pekanbaru melakukan beberapa metode dalam melakukan penilian kinerja yang diukur memalui terpenuhinya indicator kinerja yang mendukung pencpaian sasaran strateginya yaitu:
1) Menguatnya Sistem Pengawas Obat dan Makanan
2) Meningatnya Kemandirian Pelaku Usaha, Kemandirian dengan Pemangku Kepentingan dan Partisipasi Masyarakat
3) Menngkatnya Kualitas Kapastitas Kelembagaan BBPOM di Kota Pekanbaru
Dalam melakukan penilaian kinerja terhadap sasaran stragtegi tersebut, pengawasan peresaran kosmetik dilakukan melalui pemantauan peredaran kosmetik dengan cara melakukan pemeriksaan sarana distribusi, yang kedua metode digunakan dalah penilaian kosmetik yang beredar dengan cara melihat dan memastikan kosmetik yang beredar sesuai dengan persyaratan yang ditentukan serta membeli sampel dan melakukan pengujian di laboratorium.
Dalam hal penyusunan dan program, sebagaimana dimaksudkan dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Organisasi dan tata Kerja Unit Pelaksana Teknis DI
8
Zurada Himmatul Ulya, Peran BPOM Dalam Pengawasan Kosmetik Produk Korea Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang BPOM Dalam Perspektif Maslahah, UIN Walisongo Semarang
9
Adek Pitri, 2019 “Pengawasan Peredaran Kosmetik Ilegal oleh Balai Besar Obat dan Makanan
(BBPOM) Di Kota Pekanbaru”, JOM FISIP Vol.6
7 Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan Pasal 25 yang menjelaskan bahwa Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan BPOM bertugas untuk melakukan penyusunan rencana dan program evaluasi dan laporan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh untuk pengujian, Pemeriksaan Sarana Produksi dan Distribusi, Sarana Pelayanan Kesehatan serta penyelidikan pelanggaran hukum dibidang produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pengan, dan bahan berbahaya. Terkait pada indicator penilaian kosmetik yang layak untuk di distribusikan dipasaran dijelaskan bahwa BPOM menjalankan peraturan evaluasi yang telah ditetapkan dan harus melalui prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan agar tidak terjadinya kesalahan dalam pendistribusian kosmetik.
10Langkah-langkah yang menjadi bahan evaluasi terhadap kasus seperti ini, sebagaimana diuraikan di muka bahwa BPOM dalam mengawasi bahan obat, pangan, maupun kosmetik menggunakan metode post-market. Harapannya, bahwa untuk waktu ke depan monitoring/pengawasan bahan-bahan obat dan makanan maupun kosmetik dapat diawasi secara ketat sehingga diperlukan adanya upaya peningkatan dalam kegiatan post market.
Dalam penulisan skripsi/tugas akhir ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam perihal peredaran kosmetik baik usaha kecil maupun usaha besar yang tidak memiliki Surat Izin Edar dan mengandung bahan berbahaya khususnya di Kabupaten Kotawaringin Barat. Kota ini merupakan salah satu pusat
10
Rezky Nur Amelia, Peran Balai Bsar Pngawas Obat dan Makanan (BBPOM) Dalam
Pengawasan Kosmetik Tanpa Izin Edar di Kota Makassar, 2018
8 ekonomi, kebudayaan dan pendidikan di wilayah Kalimantan Tengah. Melihat segi peluang tak heran jika para pelaku usaha kosmetik beramai-ramai mengambil hati mayarakat dengan mengolah produk kosmetik sedemikian rupa mengikuti perkembangan zaman, namun banyak masyarakat juga ragu dalam membeli produk-produk kosmetik karena masih maraknya produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sesuai dengan aturan pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku terkait izin edar bahan pangan, makanan, produk kosmetik, obat hingga alat kesehatan, diputuskan bahwa semua produk pangan, dan kesehatan serta kosmetik harus memiliki surat izin edar yang sah dari lembaga yang berwenang, dalam hal ini BPOM dan Dinas Kesehatan, sebelum melakukan aktivitas jual beli terhadap produk tersebut.
11Di Kabupaten Kotawaringin Barat peredaran kosmetik yang sudah terdaftar ataupun yang belum terdaftar, masih terbilang cukup banyak lepas dari pengawasan BPOM. Di kota ini masih banyak dijumpai kosmetik yang tidak memiliki izin edar ataupun mengandung bahan-bahan berbahaya yang terkandung di dalamnya. Seperti krim pemutih wajah dan tubuh, lipstik serta produk riasan wajah lainnya yang diperjualbelikan yang mengandung bahan kimia atau zat berbahaya. Adanya efek samping berbahaya yang dialami masyarakat semakin tahun semakin meningkat dan semakin membuat
11
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (PKBPOM) Nomor HK.00.05.1.23.3516
tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan, dan Makanan yang
Bersumber dari Bahan Tertentu atau Mengandung Alkohol.
9 masyarakat resah karena keraguan masyarakat untuk membeli produk-produk yang tidak memiliki izin edar yang akhirnya akan dapat mengganggu keselamatan serta kesehatan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai pelaksanaan dan kendala dalam proses pengawasan BPOM terhadap produk kosmetik di Kabupaten Kotawaringin Barat, dengan mengajukan judul penelitian hukum “Tinjauan Yuridis Sosiologis Pengawasan Post-Market BPOM Produk Kosmetik Ditinjau dari Perlindungan Konsumen (Studi Kasus di Loka Pengawas Obat dan Makanan Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, adapun Rumusan Masalah yang diajukan Penulis dalam penulisan Hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi pengawasan post market terhadap kosmetik yang dilakukan oleh Loka POM Kotawaringin Barat ?
2. Apa saja bentuk penegakan hukum yang diberikan Loka POM Kotawaringin Barat terhadap adanya pelanggaran yang dilakukan ? C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini yang hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tugas Loka POM dalam melakukan pengawasan post-
marker kosmetik .
2. Untuk mengetahui bentuk penegakan hukum yang diberikan Loka POM
kepada pelanggar.
10 D. Manfaat Penelitian Bagi Mahasiswa
1. Manfaat Teoritis
Menambah ilmu pengetahuan melalui penilitian sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat dalam bidang ilmu hukum, yang secara khusus berkaitan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil dari penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi mahasiswa serta masyarakat terhadap produk kosetik yang akan digunakan.
b. Dari penulisan penelitian hukum ini diharapan dapat dijadikan bahan kajian praktis pemerintah untuk memaksimalkan kinerja pengawasan BPOM, khususnya di Loka POM Kabupaten Kotawaringin Barat.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan sebagai syarat untuk memenuhi predikat lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 Hukum.
2. Bagi Instansi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
badan instansi yang terkait khususnya Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
11 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait dengan peredaran kosmetik di Kabupaten Kotawaringin Barat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian ini digunakan agar berpengaruh pada pengolahan bahan hukum dalam penelitian yang bersangkutan, untuk selanjutnya dapat diolah dan dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya tujuan penelitian yang dirumuskan. Metode penelitian adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan dengan cara mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis, sampai menyusun laporan.
121. Metode Pendekatan
Pendekatan adalah persoalan yang berhubungan dengan cara seseorang meninjau dan dengan cara bagaimana dia menghampiri persoalan tersebut sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.
13Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis artinya penelitian hukum yang menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Meneliti efektivitas suatu Undang-Undang dan penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai gejala atau variabel sebagai alat pengumpul datanya
12
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hlm.1
13
Bahder Johan Nasution, 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung. Mandar Maju. Hlm. 127
12 terdiri dari studi dokumen dan wawancara (interview).
14Dalam hal ini penulis ingin mengetahui sejauh mana pengawasn BPOM dalam mengawasi peredaran kosmetik di Kabupaten Kotawaringin Barat.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Loka POM Kabupaten Kotawaringin Barat. Lokasi tersebut dipilih dikarenakan lokasi penelitian merupakan asli daerah peneliti.
3. Sumber Data
Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan beberapa bahan hukum sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber penelitian baik berupa wawancara langsung dengan responden serta berupa dokumen lainnya yang diperoleh dari instansi terkait.
b. Sumber Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang- undangan.
15c. Sumber Data Tersier
14
Amiruddin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hlm.25
15