UTANG DAN KEBERLANJUTAN FISKAL
”Utang Indonesia Mengancam Diskresi Fiskal”
Utang menjadi cara membiayai kebutuhan pembangunan disebabkan rendahnya pemasukan negara dari pengelolaan sumber daya alam dan pajak. Bila pajak dan pengelolaan sumber daya alam berhasil dilaksanakan secara optimal dan benar-benar keuntungan untuk biaya pembangunan, maka utang tidak diperlukan lagi.
Keterlibatan masyarakat dalam hal penentuan utang adalah penting. Karena utang bukan sebuah harga gratis, ia bisa menjadi pemecah persoalan atas rendahnya pendapatan dibanding pengeluaran belanja. Tetapi, ia sekaligus bisa menjadi beban di masa depan. Semakin besar utang yang dimiliki, maka semakin kecil peluang membangun karena kewajiban membayar. Lebih dari itu, utang sekaligus bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan atau kemandirian.
Pertanyaannya, apakah utang Indonesia saat ini menjadi solusi bagi rendahnya pendapatan negara? Atau sebaliknya, utang menjadi beban bagi pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat? Dalam bahasa pengelolaan pendapatan dan belanja negara, apakah utang menjadi alternatif pembiayaan yang menguntungkan atau sebaliknya menjadi beban fiskal?
Bila melihat perkembangan utang dalam struktur APBN, maka kita bisa mencatat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, sampai saat ini utang menjadi elemen utama untuk membiayai defisit APBN. Yang beralih adalah bentuknya, sejak tahun 2005 utang dalam negeri menjadi instrumen pengganti utang luar negeri. Menurut data Dirjen Pengelolaan Utang (Juli 2010), pada tahun 2005 bahkan utang dalam negeri melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN. Dari Rp. 14 triliun defisit APBN (audited), pemerintah telah menarik utang dalam negeri sebesar Rp. 23 triliun. Keadaan ini masih berlangsung sampai tahun 2009. Tahun 2008 paling mencengangkan, dari defisit APBN sebesar Rp. 4 triliun, pemerintah mendulang utang dalam negeri sebesar Rp. 86 triliun. Dan dalam APBN 2009 (realisasi), utang dalam negeri sebesar Rp. 99 triliun untuk membiayai defisit Rp. 87 triliun.
Kedua, utang Indonesia terus mengalami kenaikan. Dengan asumsi nilai rupiah 9.275 per US dollar, dalam kurun waktu antara 2004-2009 utang luar dan dalam negeri mengalami kenaikan dari Rp. 1,300 trilliun menjadi Rp. 1,591 trilliun rupiah. Angka tersebut naik lagi, tercatat per Juni 2010 menjadi Rp. 1,613 trilliun.
Dengan melihat postur APBN, tidak tampak ada upaya serius pemerintah untuk mengurangi utang. Seperti tersebut di poin sebelumnya, pemerintah masih mengandalkan utang sebagai mekanisme pembiayaan APBN yang selalu direncanakan defisit, sekaligus untuk membayar utang lama yang harus dicicil dan banyak jatuh tempo.
100 502 652 661 655 649 662 693 743 803 906 979 1036 453 438 583 613 570 583 637 620 559 586 730 611 577 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008+ 2009+ + J uni '10+ + +
S urat B erharga Negara P injaman
Ketiga, pemerintah belum memiliki perencanaan yang matang sehingga pendapatan utang selalu lebih besar dari kebutuhan pembiayaan dan daya serap utang juga rendah. Utang bukan diusahakan untuk membiayai rendahnya pendapatan atas pengeluaran. Tetapi, utang digali terus menerus seolah untuk utang itu sendiri. Sebagai contoh, daya serap Belanja Negara tahun 2009 sebesar 95,6 %. Tetapi penggalian pembiayaan dilakukan secara agresif tanpa perhitungan hingga mencapai 100% untuk pembiayaan dalam negeri dan 132% untuk pembiayaan luar negeri (netto).
Dalam % Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008+ 2009++ Juni '10+++ Pinjaman 82% 47% 47% 48% 47% 47% 49% 47% 43% 42% 45% 38% 36% Surat Berharga Negara 18% 53% 53% 52% 53% 53% 51% 53% 57% 58% 55% 62% 64% Total Utang Pemerintah Pusat 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Kebutuhan Pembiayaan (83,722) (89,970) (144,129) (99,420) (163,042) (252,218) Defisit (14,408) (29,141) (49,844) (4,121) (87,433) (133,748) Pembayaran Utang (61,569) (77,741) (100,705) (103,768) (113,331) (124,677) Jatuh Tempo dan Buyback
Surat Berharga Negara (24,456) (25,060) (42,783) (40,333) (45,300) (70,541) Pembayaran Cicilan Pokok
Pinjaman Luar Negeri (37,112) (52,681) (57,922) (63,435) (68,031) (54,136) Lain-Lain (7,745) 16,913 6,420 8,470 37,722 6,206 Perbankan Dalam Negeri (2,550) 18,913 8,420 16,159 55,562 45,477 Dana Invest, pemerintah dam
Restrukturisasi BUMN (5,195) (2,000) (2,000) (2,500) (12,085) (12,924) Dana kontinjensi dan
Cadangan Pembiayaan - - - - - (1,050) Dana Pengembangan Pendidikan Nasional - - - - - (1,000) Pinjaman kepada PT. PLN - - - - - (7,500) Penerusan Pinjaman - - - (5,189) (5,755) (16,797) Sumber Pembiayaan 80,435 90,244 136,742 179,370 201,391 252,218 Utang 73,871 87,160 134,025 176,468 201,701 249,818 Penerbitan Surat Berharga
Negara, bruto 47,031 61,046 99,955 126,249 144,742 178,041 Pinjaman Program 12,265 13,580 19,607 30,100 28,565 29,422 Pinjaman Proyek 14,576 12,535 14,463 14,929 22,639 24,559 Pinjaman Dalam Negeri - - - - - 1,000 Penerusan Pinjaman - - - 5,189 5,755 16,797 Non Utang 6,564 3,084 2,717 2,902 (310) 2,400 Privatisasi - 400 304 82 - 1,200 Pengelolaan Aset 6,564 2,684 2,413 2,820 (310) 1,200 Kelebihan / (Kekurangan) Pembiayaan (3,287) 274 (7,388) 79,950 38,349 -
Cash flow surat berharga
negara neto 22,575 35,985 57,172 85,916 99,442 107,500
Cash Flow Pinjaman Luar
Negeri Neto (10,272) (26,566) (23,852) (13,217) (16,848) (156)
Cash Flow Pinjaman Dalam
Negeri - - - - - 1,000
Cash Flow Non Utang (1,181) 19,997 9,137 11,372 37,392 25,403
Catatan : APBN 2005-2006 PAN/LKPP – Audited *) APBN Realisasi 2009 Rev.1 **) APBN-P 2010
Bila kita cermati, pada tahun 2008 dan 2009, kebutuhan pembiayaan adalah Rp. 99,420 triliun (2008) dan Rp. 163,042 triliun (2009). Tetapi, pemerintah terlalu bersemangat sehingga memperoleh utang sebesar Rp. 176,468 triliun (2008) dan 201,701 triliun (2009). Keduanya jauh melebihi jumlah dana pembiayaan yang dibutuhkan.
Sementara di sisi lain, penyerapan atas ketersediaan pembiayaan tersebut di bawah 100 %. Lihat grafik berikut ini, meskipun pemerintah menyatakan bahwa pemanfaatan utang luar negeri semakin efisien, namun tetap menunjukkan serapan di bawah 100 %. Gambar ini juga menceritakan bahwa jumlah
pinjaman yang dicairkan (disbursement) selalu di bawah yang disepakati (net commitment), dan yang dimanfaatkan selalu di bawah yang dicairkan menyisakan undisbursement. Seperti tahun 2009, ada Rp. 205,5 milyar dolar utang luar negeri yang disepakati (net commitment). Tetapi, yang dicairkan hanya Rp. 194,7 milyar dolar (disbursement). Dan dari dana tersebut, masih menyisakan Rp. 10,8 milyar dolar yang tidak dimanfaatkan. Padahal utang dalam kategori net commitment sudah harus dibayar fee meskipun tidak cair, dan yang cair harus dibayar bunganya meskipun tidak semua dimanfaatkan. Jadilah tumpukan utang, kemudian melakukan utang lagi untuk membayar tumpukan utang sebelumnya.
Keempat, utang Indonesia membebani rakyat Indonesia. Sampai saat ini pemerintah tidak memiliki skenario bagaimana membebaskan diri dari utang, atau bagaimana membiayai pembangunan dari utang. Padahal utang membebani rakyat Indonesia. Pada tahun 2004 utang per kapita Indonesia sebesar Rp 5,8 juta per kepala, dan Februari 2009 melonjak menjadi Rp 7,7 juta per kepala.
Kelima, utang membebani fiskal dan mengurangi diskresi untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat. Selain utang membebani warga negara dalam itungan rata-rata perkapita, utang juga mengurangi diskresi pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dari tahun ke tahun, selalu ada jumlah dana yang besar untuk membayar utang, sementara pokok utang tidak kunjung habis bahkan terus bertambah. Dalam APBN 2009 (realisasi) misalnya, pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 93,8 triliun (9,8 % dari total realisasi pengeluaran negara) hanya untuk membayar bunga utang, tidak termasuk pokok utang. Pada tahun 2010, APBN-P juga mengalokasikan dana sebesar Rp. 105,7 triliun (9,38 % dari total pengeluaran anggaran) untuk membayar bunga utang. Pada saat bersamaan, bandingkan dengan dana yang dialokasikan untuk fungsi kesehatan yang naik turun. Alokasi belanja fungsi kesehatan hanya sebesar Rp 17,46 triliun pada tahun 2007, turun menjadi Rp. 17,27 triliun pada tahun 2008, dan naik sedikit menjadi Rp. 17,30 triliun pada tahun 2009. Terkait dengan utang, Presiden SBY sendiri pernah melontarkan pernyataan “government is broke”, saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta pada Selasa (10/03/09). Jika Government is broke, mengapa terus menambah utang? Bila pemerintah hanya mengalihkan model beli utang baru untuk menutup utang lama –seperti halnya menggalakkan SBN untuk menutup sebagian utang luar negeri— dan terus mengurangi diskresi fiskal, mengapa utang terus dilakukan?
Selain itu, kiranya pemerintah perlu mencatat tebal bahwa ketergantungan terhadap utang tidak cukup diukur dari rasio terhadap PDB. Apalagi, bertambahnya PDB itu sendiri adalah akibat bertambahnya utang secara signifikan (Dirjen Pengelolaan Utang, Juni 2010). Pemerintah perlu mendasarkan pada kemampuan bayar dan sumbernya. Bila pemerintah hanya mampu membayar bunga utang dan sekedar mengalihkan utang luar negeri ke dalam utang dalam negeri, sebaiknya pemerintah berpikir keras bagaimana berhenti utang sambil terus melakukan pembangunan.
Rekomendasi Alternatif
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana melanjutkan pembangunan, apakah tetap menggunakan utang sebagai instrumen pembiayaan? Persoalan sebelum itu adalah apakah benar pendapatan tidak bisa ditingkatkan dan belanja tidak bisa dikurangi dan fokus pada prioritas-prioritas? Kenyataan bahwa realisasi APBN selalu di bawah 100 %, kiranya patut menjadi pertimbangan. Dan bilapun harus defisit, pertanyaan kembali pada apakah harus menggunakan instrumen utang yang telah terbukti mengancam diskresi fiskal bagi upaya pembangunan, pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan, dan menyediakan lapangan kerja.
Pemerintahan yang malas akan menempuh dua cara. Pertama, mengurangi belanja subsidi bukan pengurangan belanja bunga utang. Dan kedua, menutup defisit dengan penambahan utang, bukan secara kreatif berusaha memperoleh pemasukan untuk kepentingan jangka pendek dan panjang.
Pemerintah ke depan harus mengubah kecenderungan di atas. Pemerintahan harus digerakkan untuk memenuhi amanat konstitusi sebagai lembaga pelayanan dan pemberdayaan warga negara. Bahkan pemerintahan harus berani bertaruh untuk melakukan negosiasi dan lobi di level internasional untuk melindungi kepentingan nasional. Selain itu di level dalam negeri juga harus serius mengelola seluruh sumber daya untuk kepentingan warga negara. Oleh karena itu, dalam konteks utang, hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, menghentikan utang baru.
Pemerintah bersama lembaga legislatif harus serius berpikir bagaimana mengatasi problem defisit. Apakah menguatkan sumber pendanaan dalam negeri melalui pengelolaan sumber daya alam yang mandiri, atau melakukan penghematan dan mengurangi porsi belanja yang tidak penting. Bila optimalisasi sumber daya alam yang dipilih, maka akan banyak kebijakan yang harus direvisi. Ada banyak perundang-undangan yang tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional harus dirombak, seperti Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang tidak mengatur pentingnya DMO (Domestic Market Obligation) bagi kepentingan nasional, dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95 %.
Kedua, rekayasa keuangan terhadap utang lama.
Terhadap utang lama, bila mengikuti ketentuan bunga yang berlaku, maka Indonesia akan terus mengalami penurunan kapasitas fiskal disebabkan beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Tengoklah tabel berikut ini, rasanya sudah tidak masuk akal utang baru Indonesia berada jauh di bawah kewajiban membayar bunga dan cicilan utang lama. Jadi, sekedar untuk “gali lubang tutup lubang” saja, Indonesia sudah tidak mungkin mampu melunasi semua utang.
Dalam posisi demikian, rasanya nyaris tidak mungkin Indonesia melunasi utang kecuali ada tindakan tertentu yang lebih radikal, bukan sekedar penjadwalan ulang. Penjadwalan ulang juga hanya menunda masalah, mengulur waktu pembayaran, dan sekaligus memperbesar rentetan bunga yang harus dibayarkan. Jika scenario penghapusan utang (debt cancellation) tidak memungkinkan, maka harus ada upaya yang serius untuk mengurangi pokok utang melalui berbagai bentuk rekayasa keuangan seperti debt to equity swap atau pengurangan debt stock melalui jalan arbitrase internasional.
Ketiga, pemerintah harus lebih agresif melakukan negosiasi bilateral terutama dengan Jepang.
Mengapa Jepang, karena 44,4% utang luar negeri berasal dari Jepang. Tujuan negosiasi adalah mengurangi pokok utang atau bahkan menghapus pokok utang. Argumen geopolitik dan strategik bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mendekati Jepang. Bukankah argumen ini yang dalam waktu lama dipakai oleh pemerintah untuk mendapatkan penambahan utang? Mengapa tidak bisa dipakai pula untuk mengurangi atau menghapus utang? Dalam konteks ini, memang strategi negosiasi utang perlu memanfaatkan faktor non teknis ekonomi.
Keempat, sebagai pengelola utang, Pemerintah ke depan juga harus mengembangkan indikator tambahan.
Outstanding utang tidak hanya dilihat dengan rasio terhadap PDB, karena debt ratio mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang mempunyai konsekuensi terhadap penurunan pelayanan negara terhadap masyarakat. Setiap rupiah yang dibayarkan ke utang, sebenarnya harus didistribusikan bagi pencapaian kesehatan dan akses pendidikan masyarakat yang bermutu.
Menurut Dradjat Wibowo (2003)1, indikator tambahan yang dimaksud adalah rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang (debt services) terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini merupakan Debt Service Ratio To Fiscal Revenues (DSRFR). Kalau rasio ini dibandingkan dengan proprosi pos penerimaan dan/atau pengeluaran fiskal lainnya, maka diperoleh gambaran mengenai seberapa terakomodasinya aspek keadilan sosial dalam manajemen utang. Untuk kasus Indonesia, rasio ini juga semakin menunjukkan perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan re-fokus kepada pengurangan debt stock, bukan pengalihan utang ke generasi mendatang dan/atau penambahan utang baru. Ini juga membawa konsekuensi tambahan, yaitu utang baru seyognyanya tidak digunakan untuk sisi konsumsi dalam APBN. Tapi justru lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur seperti listrik, jalan dan komunikasi.
Akhirnya, untuk kelanjutan pembangunan Indonesia yang lebih baik, sekali lagi pemerintah harus menghentikan utang baru, luar negeri maupun dalam negeri. Terhadap utang luar negeri lama, pemerintah harus melakukan negosiasi serius untuk pemotongan pokok utang atau setidaknya penghentian pembayaran bunga pokok utang. Upaya penjadwalan kembali bukan jawaban strategis, karena hanya menunda masalah dan memberi tambahan beban untuk generasi yang akan datang.
Cara demikian akan meningkatkan kapasitas fiskal untuk pembangunan. Akan ada banyak dana yang semula untuk membayar utang direalokasi menjadi dana untuk mendekatkan masyarakat pada sekolah berkualitas, pada pelayanan kesehatan yang memadai dan merata, mendorong pertumbuhan ekonomi riil masyarakat, dan sekaligus mengurangi kemiskinan substantif. Selain itu, mengurangi beban utang juga bermakna mengurangi intervensi kreditur (asing dan dalam negeri) dalam perencanaan dan pembuatan keputusan penting di bidang ekonomi, seperti penyesuaian kebijakan makroekonomi (structural adjustment) dan reformasi struktural.