• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN BERUPA BAHAN AJAR KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 9 KABUPATEN BURU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN BERUPA BAHAN AJAR KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 9 KABUPATEN BURU"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

29

PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN BERUPA BAHAN AJAR KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS

VII SMP NEGERI 9 KABUPATEN BURU

DEVELOPMENT OF LEARNING MATERIALS WITH INDONESIAN VERSION TEACHING MATERIALS FOR VII GRADE STUDENTS OF

SMP NEGERI 9, BURU DISTRICT

𝐀. 𝐈𝐫𝐦𝐚𝐰𝐚𝐭𝐢𝟏, 𝐌𝐮𝐬𝐲𝐚𝐰𝐢𝐫𝟐 Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

FKIP Universitas Iqra Buru (UNIQBU)

Email: andiirmawati202@gmail.com musyawir.rs@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan materi pembleajaran berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII. Subjek penelitian ini adalah siswa smp Negeri 9 Kabupaten Buru yang berjumlah 57 orang, Penelitian ini diawali dengan analisis kebutuhan siswa dengan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah rancangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu 1) analisis kebutuhan siswa, kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi bagaimana kesantunan dalam penggunaan bahasa Indonesia siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Informasi didapatkan melalui kuesioner, wawancara dengan guru dan siswa, dan observasi langsung. 2) membuat desain produk, 3) penilaian produk oleh ahli, 4) revisi produk, 5) uji coba produk di lapangan, 6) revisi produk. Dari proses tersebut dihasilkan sebuah produk materi bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII.

Perbaikan uji coba produk hanya didasarkan pada hasil penilaian dosen ahli dan guru bahasa Indonesia. Setelah dilakukan perbaikan dan konsultasi dengan dosen bahasa Indonesia dihasilkan produk materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

Kata kunci: Pengembangan Materi; Kesantunan;Berbahasa Indonesia ABSTRAC

This study aims to assess the development of learning materials in the form of Indonesian politeness teaching materials for grade VII students. The subjects of this study were 57 students of SMP Negeri 9 Buru Regency. This study began with an analysis of student needs using questionnaires, observations, and interviews. The results of this study were the design of Indonesian politeness learning materials for grade VII students of SMP Negeri 9 Buru Regency was developed through several stages, namely 1) analysis of student needs, this activity was carried out to obtain information on how politeness in the use of Indonesian students both in class and in outside the classroom. Information is obtained through questionnaires, interviews with teachers and students, and direct observation. 2) making product designs, 3) product assessment by experts, 4) product revisions, 5) product trials in the field, 6) product revisions. From this process, a product of Indonesian politeness teaching materials for grade VII students was produced. Product trial improvements are only based on

(2)

30 the results of the assessment of expert lecturers and Indonesian language teachers. After repairs and consultations with Indonesian language lecturers, Indonesian language politeness learning materials were produced for grade VII students of SMP Negeri 9 Buru Regency.

Keywords: Material Development; Politeness; Indonesian Language

PENDAHULUAN

Bahasa pada dasarnya dapat disebut sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang paling utama. Oleh karena itu, dengan bahasa orang dapat menyampaikan pesan kepada orang lain.

Tarigan (2004:2) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa terdapat empat jenis aspek, yakni keterampilan berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.

Selanjutnya, Gorys Keraf (2001:6) menyatakan bahwa dalam berbahasa itu bergantung pada bahasa yang dipakai dan hubnungan antara partisipan yang terlibat dalam tuturan. Terdapat dua ragam dalam berbahasa, yakni ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ragam lisan merupakan ragam bahasa yang dituturkan secara langsung oleh penutur kepada mitra tutur. Sedangkan, ragam bahasa tulis termsuk ragam bahasa yang tertulis seperti buku, majalah, surat kabar dan lain sebagainya yang mempunyai beberapa pedoman penulisan pada setiap ragam tulis. Mengungkapkan gagasan melalui tulis tidaklah mudah karena dalam bahasa tulis tidak terdapat intonasi, gerak-gerik ataupun mimik yang dapat membantu pemahaman terhadap isi atau gagasan yang diungkapkan oleh penulis. Oleh karena itu, bahasa tulis harus lebih baik dan lebih jelas daripada bahasa lisan. Tulisan termasuk media komunikasi antara penulis dan pembaca.

Penulis mengungkapkan segala ide, maksud, tujuan, gagasan ke dalam wujud wacana atau tulisan. Selanjutnya, pembaca dapat menafsirkan makna yang tersirat dari wacana atau tulisan tersebut.

Bahasa pada dasarnya dapat disebut sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang paling utama. Oleh karena itu, dengan bahasa orang dapat menyampaikan pesan kepada orang lain. Tarigan (2004:2) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa terdapat empat jenis aspek, yakni keterampilan berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.Selanjutnya, Gorys Keraf (2001:6) menyatakan bahwa dalam berbahasa itu bergantung pada bahasa yang dipakai dan hubnungan antara partisipan yang terlibat dalam tuturan. Terdapat dua ragam dalam berbahasa, yakni ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ragam lisan merupakan ragam bahasa yang dituturkan secara langsung oleh penutur kepada mitra tutur. Sedangkan, ragam bahasa tulis termsuk ragam bahasa yang tertulis seperti buku, majalah, surat kabar dan lain sebagainya yang mempunyai beberapa pedoman penulisan pada setiap ragam tulis. Mengungkapkan gagasan melalui tulis tidaklah mudah karena dalam bahasa tulis tidak terdapat intonasi, gerak-gerik ataupun mimik yang dapat membantu pemahaman terhadap isi atau gagasan yang diungkapkan oleh penulis. Oleh karena itu, bahasa tulis harus lebih baik dan lebih jelas daripada bahasa lisan. Tulisan termasuk media komunikasi antara penulis dan pembaca. Penulis mengungkapkan segala ide, maksud, tujuan, gagasan ke dalam wujud wacana atau tulisan. Selanjutnya, pembaca dapat menafsirkan makna yang tersirat dari wacana atau tulisan tersebut.

(3)

31 Ragam bahasa tulis maupun lisan tentu saja tidak akan terlepas dari aspek kesantunan.

Dalam aspek ini kesantunan sangat diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial penutur dan mitra tutur. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma- norma budaya yang ada, tidak hanya sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan.

Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila bahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya yang ada, ia akan mendapatkan nilai negatif, seperti dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Cara berbahasa yang baik sangat urgen diperhatikan para peserta komunikasi (penutur dan mitra tutur) demi kelancaran komunikasi.

Berbahasa yang baik adalah ketika kita dapat berbahasa dengan baik dan benar.

Berbicara yang baik dapat terlihat ketika mitra tutur dapat mengerti secara jelas apa yang kita bicarakan, dan tentunya tidak membuat mitra tutur menjadi rendah diri. Di sinilah wujud kesantunan menjadi perlu dalam sebuah tuturan dengan mitra tutur. Dewasa ini perilaku berbahasa yang baik belum terdapat pedoman pasti. Namun, cara berbahasa yang baik sudah tersosialisasikan secara luas di kalangan masyarakat. Dengan pembelajaran kesantunan berbahasa yang dipadukan dengan pelajaran bahasa Indonesia di dalam kelas dapat meningkatkan kesantunan berbahasa siswa di sekolah. Di dalam pembelajaran di kelas, terkadang ada siswa yang berbicara atau bertanya kurang santun terhadap gurunya (biasanya guru tersebut yang tidak disukai siswa). Sehingga terkesan murid kurang menghargai guru yang sedang mengajar di kelas tersebut. Sehingga, materi kesantunan yang ada perlu dikembangkan dan ditingkatkan di sekolah yang nantinya dapat digunakan tidak hanya di lingkungan sekolah. Namun, dapat digunakan di lingkungan masyarakat.

Pengembangan materi kesantunan ini selain dapat meningkatkan kualitas tuturan antara penutur dan mitra tutur juga merupakan target dalam kurikulum baru (2013) tentang aspek sikap sosial dan keterampilan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimanakah pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP Negeri 9 Kabupaten Buru?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengembangkan materi pembelajaran berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis.

1. Secara Teoretis

a. Memberi masukan dan juga memperluas wawasan dalam kerangka berpikir terutama dalam pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

b. Mengetahui wujud pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

c. Menambah pengembangan teori kebahasaan khususnya pada bidang pragmatik;

kesantunan berbahasa.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi refenrensi kepada para pembaca untuk mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

b. Kepada guru, menjadikan referensi untuk pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

(4)

32 1. Hakikat Pragmatik

Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Bila dikaitkan dengan semantik, studi semantik bersifat komplementer yang berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya, Leech (dalam Nababan, 2008).

Selanjutnya, Levinson (dalam Nababan, 2008) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa.

Pragmatik akan selalu berkaitan dengan penutur dan makna yang dipengaruhi oleh situasi. Oleh karena itu, sebuah tuturan bisa memiliki makna yang berbeda dari makna secara semantis. Hal itu berarti bahwa makna dalam pragmatik bersifat eksternal karena dipengaruhi oleh konteks, sedangkan makna dalam semantik bersifat internal. Terjadinya perbedaan makna tersebut disebabkan oleh konteks yang digunakan. Konteks yang dimaksud adalah perihal siapa yang mengatakan, kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan menututrkan kalimat.

2. Teori Tindak Tutur

Austin (dalam Nababan, 1987) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari munculnya teori tindak tutur. Yule (2006) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang berisi tindakan.

Ada dua jenis ujaran menurut Austin (dalam Nababan, 1987), yaitu ujaran konstatif dan performatif. Ujaran konstantif ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin, ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu.

Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah, contoh: “Kamu terlihat bahagia”. Ujaran performatif yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah- benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berkaitan dengan perilaku atau perbuatan si penutur, contoh: “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah”. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang.

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut.

a. Asertif (Assertives) itu wujudnya berupa tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

b. Direktif (Directives) itu wujudnya berupa bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).

c.Ekspresif (Expressives) itu wujudnya berupa bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).

d.Komisif (Commissives) itu wujudnya berupa bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah

(vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(5)

33 e.Deklarasi (Declarations) itu wujudnya berupa bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

3. Prinsip Kesantunan

Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan mitra tutur dalam pertuturan itu menaati segala prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983).

Tuturan yang santun menurut Leech, ditandai oleh adanya enam jenis maksim yang menyertainya sebagai berikut.

a. Maksim kebijaksanaan

Maksim ini menghendaki bahwa setiap pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

b. Maksim penerimaan

Maksim ini menginginkan setiap peserta pertuturan hendaknya memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

c. Maksim kemurahan hati

Maksim ini menginginkan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.

d. Maksim kerendahan hati

Maksim ini menginginkan setiap peserta tuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

e. Maksim kesetujuan

Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan diantara mereka, dan meminimalkan ketidaksetujuan diantara mereka.

f. Maksim simpati

Maksim ini menghendaki setiap penutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya.

Teori Leech (1983) menyebutkan ada enam maksim kesantunan. Namun, pada penelitian dan pembuatan materi ajar ini, peneliti menyebutkan lima maksim yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan hati, maksim kerendahan hati, dan maksim kesetujuan.

4. Etika Berbahasa dalam Kegiatan Bertutur

Kesantunan berbahasa sangat erat kitannya dengan substansi bahasanya, sedangkan etika berbahasa selalu erat kaitannya dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur.

Geertz (dalam Chaer, 2010) mengatakan bahwa sistem tindak laku berbahasa menurut norma- norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.

Etika berbahasa berkaitan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Berbahasa akan mengatur kita dalam hal apa yang harus dikatakan pada seseorang mitra tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu, kapan dan bagaimana kita menggunakan waktu untuk menyela atau bergantian berbicara dengan mitra tutur, kapan kita harus diam dan mendengarkan tuturan mitra tutur, dan bagaimana kualitas suara dan gerak fisik kita ketika bertutur.

5. Kesantunan dalam Berbahasa Indonesia

Secara singkat ada beberapa kaidah yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan tuturan kita agar terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita, diantaranya sebagai berikut.

a. Formalitas, bermakna ketika bertutur dengan mitra tutur kita hendaknya jangan memaksa atau jangan angkuh.

(6)

34 b. Ketidaktegasan, bermakna kita harus membuat tuturan yang sedemikian rupa agar lawan tutur kita dapat menemukan pilihan (option).

c. Kesamaan atau kesekawanan, bermakna kita harus bertindak seolah-olah kita dan mitra tutur kita menjadi sama atau mitra tutur menjadi senang.

Santun atau tidaknya tuturan kita dapat dilihat dari penggunaan bahasanya. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang berupa rangkaian kata-kata atau tuturan yang membentuk wacan/ teks baik secara lisan maupun secara tertulis. Sedangkan, bahasa nonverbal adalah bahasa yang dinyatakan berupa tindakan, kinesik, kinestetik, gestur, nada, mimik, dan sebagainya ketika seseorang sedang berbicara.

Berbahasa kita akan terlihat santun apabila pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa yang kita gunakan tepat. Pilihan kata adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek pada mitra tutur.

Sedangkan, yang dimaksud dengan gaya bahasa dalam tuturan yaitu kesanggupan penutur menggunakan gaya bahasa bukan hanya sekadar untuk mengefektifkan maksud pemakaian bahasa, melainkan juga memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur.

6. Penentu Kesantunan Berbahasa

Pranowo (2009), kesantunan berbahasa ditentukan oleh beberapa faktor, yakni:

a. Faktor Penentu Kesantunan

Faktor penentu kesantunan merupakan segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, aspek pilihan kata, dan aspek struktur kalimat.

b.Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi

Banyak faktor yang menyebabkan sehingga komunikasi gagal mencapai tujuan, faktor penyebabnya, yakni; (a) mitra tutur tidak mempunyai informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan oleh penutur, (c) mitra tutur tidak berkenan dengan cara penyampaian informasi penutur, (d) apa yang diinginkan atau diharapkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami apa yang dimaksud oleh penutur, dan (f) ketika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melakukan kesalahan atau melanggar kode etik.

c.Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan

Faktor yang menentukan santun atau tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yakni faktor kebahasaan, dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan adalah faktor yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa secara verbal maupun nonverbal.

d. Faktor Nonkebahasaan sebagai Penentu Kesantunan

Faktor nonkebahasaan yang ikut menentukan kesantunan berbahasa yakni topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Konteks situasi komunikasi adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berkaitan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya.

7. Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia

Indikator merupakan penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa penutur itu santun atau tidak. Penanda tersebut, dapat berupa unsur kebahasaan maupun nonkebahasaan. Berikut indikator kesantunan menurut para ahli, yaitu:

a.Indikator kesantunan menurut Dell Hymes (1978)

Dell Hymess (dalam Pranowo, 2005) mengatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memperhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan

(7)

35 dengan istilah SPEAKING. Masing-masing huruf dalam akronim merupakan inisial dari istilah berikut.

1. (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.

2. (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi.

3. (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang akan dicapai dalam komunikasi.

4. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk pesan yang ingin disampaikan dalam wujud bahasa tulis atau bahasa lisan.

5. (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan yang terjadi.

6. (I) Instrument sesuatu yang mendukung maksud.

7. (N) Norms (norma) mengacu pada pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.

8. (G) Genres (ragam/register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan.

b.Indikator kesantunan menurut Grice (2000)

Grice menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa komponen, yakni:

1. Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.

2. Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal–hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra

tutur.

3. Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.

4. Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra

Menurut Kunjana (2005: 66-68), indikator kesantunan Leech terdapat lima macam diantaranya:

1. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh suatu tindak tutur pada sebuah pertuturan.

Semakin tuturan tersebut merugikan penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan diri penutur, maka semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut.

2. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Semakin memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak maka semakin santunlah tuturan tersebut.

3. Indirectness scale atau istilah lainnya skala ketidaklangsungan, menunjuk pada langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan bersifat tidak langsung, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.

4. Authority scale atau istilah lainnya skala keotoritasan, menunjuk pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak status sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial antara keduanya, akan cenderung berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

5. Social distance scale atau istilah lainnya skala jarak sosial, menunjuk pada hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Semakin dekat jarak sosial diantara keduanya,tuturan yang digunakan akan cenderung kurang santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin jauh jarak sosial antara keduanya maka cenderung semakin santunlah tuturan tersebut.

d.Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005)

Indikator lain yang dikemukakan oleh Pranowo, bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut:

(8)

36 1.Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra

tutur berkenan (angon rasa).

2.Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama- sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu rasa).

3. Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati (empan papan).

4.Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (rendah hati).

5.Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat).

6. Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa salira).

Selain itu, indikator tersebut juga dapat dilihat melalui penggunaan kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang mampu mencerminkan rasa santun, misalnya:

1.Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan kepada orang lain.

2.Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.

3.Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan menyinggung perasaan orang lain.

4.Gunakan kata “beliau”untuk menyebut orang ketiga yang lebih dihormati.

5.Gunakan kata “Anda” untuk menyebut orang lain yang belun dikenal.

8. Kurikulum 2013 (SMP)

Kurikulum dikembangkan dan diterapkan secara periodik setiap tahunnya, ini berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang pesat. Dalam penyusunan kurikulum tersebut sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan nasional, melainkan harus dikembangkan dalam konteks internasional.

Terdapat beberapa karakteristik kebaruan dalam kurikulum 2013, yakni:

a. Cara pandang kurikulum 2013 berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Pada kurikulum 2013 memiliki orientasi pada siswa, fokus pembelajaran terdapat pada siswa bukan pada guru.

b.Menggunakan pendekatan ilmiah (scientific) yang menekankan pada lima langkah, yakni mengamati, menanya,menalar/mengumpulkan informasi, mencoba/eksperimen, dan komunikasi (lisan/tulis).

c. Kurikulum 2013 juga memperkenalkan Kompetensi Inti yang terbagi menjadi empat, yaitu.

c.1. KI 1 berisi tentang sikap religius c.2. KI 2 berisi tentang sikap sosial

c.3. KI 3 berisi tentang pengetahuan faktual, konseptual, dll c.4. KI 4 berisi tentang keterampilan

d. Penilaian kurikulum 2013 dilakukan untuk seluruh KI. KI 1 dan KI 2 dinilai dengan menggunakan nontes (observasi, angket, dan skala sikap). Penilaian dengan tes biasanya digunakan untuk KI 3. Sedangkan, untuk KI 4 bisa menggunakan penilaian dalam bentuk tes maupun nontes (unjuk kerja, proyek, dan portofolio).

e. Tugas guru dalam kurikulum 2013 selain sebagai fasilitator juga menyusun RPP sedangkan silabus tidak disusun oleh guru tetapi disediakan oleh pemerintah.

9. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari peserta didik. Secara khusus, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan sikap atau nilai. Materi pembelajaran atau pokok-pokok materi perlu dirinci atau diuraikan kemudian diurutkan. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam merinci atau menguraikan materi pembelajaran adalah

(9)

37 menentukan jenis materi pembelajaran. Isi mata ajar memberikan informasi yang diperlukan dalam pokok bahasan. Pada gilirannya, informasi menumbuhkan pengetahuan yang merupakan tata hubungan antara rincian fakta.

Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya kompetensi inti dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.

10. Tipe-tipe Materi

Tipe-tipe materi pembelajaran dapat diklasifikasi sebagai berikut.

1. Fakta

Fakta merupakan segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi nama, objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainya.

2. Konsep

Konsep merupakan segala hal yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, inti /isi dan sebagainya.

3.Prinsip

Prinsip dapat berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antarkonsep yang menggambarkan implikasi sebab-akibat.

4. Prosedur

Prosedur adalah langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem.

5. Sikap atau Nilai

Sikap adalah hasil dari proses belajar aspek sikap, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar, dan bekerja.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian adalah termasuk penelitian pengembangan pembelajaran (Learning Development Research). Penelitian ini ingin mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP, sehingga tuturan yang terjadi di dalam kelas pada saat kegiatan belajar mengajar dapat santun.

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata atau tuturan. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai teknik pengumpulan data, yakni wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus atau obesrvasi.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer, peneliti mengumpulkan data secara langsung dari sumber datanya. Subjek uji coba dari penelitian ini adalah siswa kelas VII 1 yang berjumlah 29 orang dan kelas VII 2 yang berjumlah 28 orang.

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode (1) observasi (untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan proses belajar mengajar), (2) analisis kebutuhan siswa, dan (3) wawancara dengan siswa dan guru.Intrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara dan angket. Analisis kebutuhan materi pembelajaran kesantunan. Peneliti membuat rambu-rambu wawancara dan observasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.

(10)

38 Teknik analisis data yang dilaukan dalam penelitian ini mengacu pada kajian analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis dengan rincian dan menjelaskan secara runtut keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Langkah teknik analisis data dalam penelitian ini, yakni:

a. Tahap tabulasi data

Kegiatan pengolahan data diawali dengan tabulasi data dalam suatu table induk.

b. Tahap identifikasi

Peneliti melakukan identifikasi terhadap data yang telah terkumpul c. Tahap interpretasi

Pemaknaan temuan-temuan dalam penelitian.

d. Tahap deskripsi

Peneliti memaparkan hasil kajian yang telah dilakukan.

Metode penelitian dan pengembangan merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiono,2010:408). Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakanlah penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi pada masyarakat luas. Penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk tertentu untuk bidang pendidikan dan sosial masih rendah/kurang.

Menurut para ahli, penelitian pengembangan adalah penelitian yang bertujuan untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (Punaji,2010:196).

Pengembangan dalam pengertian secara umum berarti pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolusi), dan perubahan secara bertahap. Selain itu, menurut Nana (2005) penelitian dan pengembangan adalah sebuah proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang mampu dipertanggungjawabkan. Produk tidak selalu berbentuk benda atau perangkat keras seperti buku, modul, dan sebagainya, tetapi dapat berbentuk perangkat lunak. Penelitian dalam bidang pendidikan umumnya tidak diarahkan pada pengembangan suatu produk, tetapi ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru berkenaan dengan fenomena- fenomena yang bersifat fundamental, serta praktik-praktik pendidikan. Berikut langkah- langkah penelitian dan pengembangan yang dapat digunakan dalam penelitian pendidikan.

Penelitian dapat berawal dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila dimanfaatkan akan memiliki nilai tambah. Sedangkan, masalah adalah penyimpangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Kenakalan remaja adalah salah satu contoh masalah dewasa ini. Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa ketidaksantunan atau ketidaksopanan antara guru dan murid. Sehingga potensi untuk memasukkan kesantunan berbahasa Indonesia dalam pembelajaran sangat perlu untuk dilakukan. Potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara faktual dan terkini, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.

Produk yang dihasilkan dalam penelitian dan pengembangan tentu saja bervariasi.

Dalam dunia pendidikan, produk yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pendidikan. Produk pendidikan misalnya buku ajar, modul, metode mengajar, kurikulum, dan lainnya.

Validasi desain termasuk proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan produk, dalam hal ini metode mengajar baru secara rasional akan lebih efektif dari yang lama atau tidak. Validasi produk dapat dilakukan dengan menghadirkan beberapa pakar atau tenaga ahli yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang dirancang tersebut.

Desain produk telah divalidasi melalui diskusi dengan pakar dan para ahli, maka akan diketahui kelemahannya. Dari kelemahan tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan cara memperbaiki desain oleh peneliti itu sendiri.

(11)

39 Secara khusus dalam bidang pendidikan desain produk bisa langsung diuji coba setelah divalidasi dan direvisi. Pengujian dilakukan untuk mendapatkn informasi apakah metode baru tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode mengajar yang lama. Desain metode belajar perlu direvisi agar kreatifitas murid dalam belajar meningkat. Setelah direvisi, maka perlu diuji coba pada kelas yang lebih luas. Setelah diperbaiki maka dapat diproduksi masal, atau digunakan pada lembaga pendidikan yang lebih luas.Pengujian terhadap produk telah berhasil dilakukan, maka produk baru tersebut dapat diterapkan dalam lingkup lembaga yang lebih luas. Revisi produk ini dilakukan apabila dalam pemakaian di lembaga pendidikan yang lebih luas terdapat kekurangan dan kelemahan.

Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia didasarkan pada teori Sugiono (2010). Oleh Karen itu, peneliti mengembangkan produk dengan beberapa tahapan sebagai berikut.

a. Melakukan observasi dan mengumpulkan data terhadap masalah ketidaksantunan di sekolah

Pada tahap ini, peneliti melakukan observasi awal terhadap masalah kesantunan siswa di SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Peneliti menggunakan teknik observasi kelas, kuesioner, dan wawancara sebagai instrumennya. Teknik observasi kelas digunakan agar penelti dapat mengetahui sejauh mana interaksi kesantunan bahasa antara guru dan siswa, maupun siswa dan siswa yang terjadi selama proses belajar-mengajar berlangsung.

Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan angket kuesioner kepada seluruh siswa. Siswa diharapkan menjawab beberapa pertanyaan dengan mengisi kolom yang tersedia dengan jawaban yang sejujurnya, mengenai kesantunan bahasa yang mereka kuasai dan mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Langkah yang terakhir adalah wawancara dengan siswa dan guru. Langkah ini digunakan sebagai respons balik dari langkah sebelumnya. Pada langkah wawancara ini peneliti melakukan klarifikasi beberapa pertanyaan dari kuesioner bagaimana pendapat siswa dan guru mengenai kesantunan bahasa yang mereka ketahui.

Berdasarkan langkah tersebut, pada tahap ini peneliti membuat modul pembelajaran kesantunan berbahasa untuk siswa. Pada tahap penilaian ini, modul dinilai oleh seorang ahli di bidangnya. Penilaian dilakuakan guna mengetahui layak atau tidaknya modul tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kesantunan berbahasa siswa. Bila modul belum layak dan belum memenuhi kriteria yang semestinya, maka dilakukan revisi.Tahap selanjutnya ialah uji coba lapangan. Pada tahap ini modul yang telah dinilai oleh para ahli, dan direvisi menurut saran ahli akan diujicobakan di lapangan pada proses belajar-mengajar.

Sesuai dengan hasil uji coba lapangan tersebut, maka diperoleh saran dan masukan agar modul yang dihasilkan nantinya akan lebih baik. Setelah mendapat saran dan masukan, dilakukanlah revisi produk.Penilaian dari ahli telah dilakukan dan terhadap subjek lapangan maka modul tersebut dapat digunakan untuk sarana pembelajaran kesantunan berbahasa Indoensia.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP khususnya di SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Hal tersebut dilakukan karena belum ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP. Pengembangan kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP dirasa perlu karena akhir-akhir ini sering sekali terjadi tawuran antar pelajar atau bahkan antar sekolah, yang mungkin penyebabnya adalah sebuah celotehan atau gurauan antarsiswa.

(12)

40 Data diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan. Data dalam penelitian ini berjumlah 57 untuk kuesioner, 4 untuk wawancara, dan 2 untuk observasi. Ini terbagi atas siswa kelas VII 1 berjumlah 29 siswa, dan siswa kelas VII 2 berjumlah 28 siswa. Peneliti menggunakan metode observasi, analisis kebutuhan siswa, dan angket.

Data dalam penelitian ini terdiri atas tiga jenis. Data pertama berupa hasil kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dan empat pilihan jawaban yaitu ya, tidak, sering, dan kadang-kadang. Dari data kuesioner tersebut akan dihitung jawaban terbanyak dari setiap pertanyaan yang diajukan. Jawaban tersebut nantinya akan menjadi rujukan peneliti dalam menyusun sebuah bahan ajar yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa siswa.

Hasil yang diperoleh, yakni lebih dari 50% siswa terkadang siswa menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa gaul serta bahasa daerah dalam berinteraksi dengan sesama teman di kelas maupun diluar kelas. Lebih dari 50% siswa dengan sengaja maupun tidak menyinggung perasaan dan mencela barang maupun orang lain. Sebagian besar dari siswa bahkan dapat dikatakan semunya telah menggunakan bahasa Indonesia dengan frasa atau kata yang beraura santun diantaranya tolong, maaf, dan terimakasih.

Namun, kata “beliau” dan “Anda” masih belum dapat digunakan untuk menyebut orang lain yang lebih dihormati. Siswa lebih cenderung berbicara secara langsung pada pokok permasalahan dibandingkan dengan berbicara secara panjang lebar. Kurang dari 50%

siswa lebih suka berbicara secara langsung daripada berbicara panjang lebar, sedangkan kurang dari 50% siswa yang lain masih suka berbicara secara tidak langsung.

Data kedua berupa wawancara dengan guru dan siswa yang terdiri atas tiga pertanyaan.

Data ini digunakan sebagai umpan balik (cross check) dari pertanyaan kuesioner yang diajukan kepada siswa. Sehingga diperoleh data yang akurat tentang permasalahan yang sedang diteliti. Hasil yang diperoleh, yakni siswa sebenarnya mengetahui bahwa berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari itu sangat penting dilakukan dan bahasa merupakan sebuah identitas dari orang tersebut.

Semakin santun bahasa yang digunakan, akan semakin dihargailah orang tersebut. Data ketiga berupa observasi kegiatan belajar-mengajar di kelas. Jika data pertama dan kedua bersumber langsung dari objek penelitian, maka data yang ini merupakan termasuk hasil dari pengamatan peneliti terhadap objek penelitian itu sendiri. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana mereka berinteraksi dengan teman dan guru di dalam kelas maupun di luar kelas.

Hasil observasi tersebut diperoleh data di kelas, yakni siswa menggunakan bahasa yang kurang santun kepada guru dan sesama siswa yang lain. Ketika siswa berbicara dengan sesama teman, dan menegur teman yang salah, dengan kata yang tidak santun seperti “goblok (bodoh)”, ada pula yang menyoraki teman yang mendapat nilai jelek, tidak sedikit pula yang memenggal atau memotong kalimat teman atau guru yang sedang menjelaskan sesuatu.

2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP kelas VII diperolehlah hasil sebagai berikut. Pada kelompok bahasa Indonesia dengan menggunakan pilihan kata yang beraura santun cukup banyak siswa yang menggunakan kata maaf, tolong, dan terima kasih.

Tetapi pada penggunaan kata Anda dan beliau masih banyak yang kurang. Hal tersebut disebabkan karena siswa belum terbiasa menggunakan kata yang beruara santun tersebut dalam percakapan sehari-hari. Siswa terbiasa menggunakan kata sapaan kamu atau dia dalam berbicara. Perlu adanya pembiasaan dalam penggunaan kata yang beraura santun sebagaimana dalam percakapan sehari-hari dimulai dari lingkungan kelas.

(13)

41 Pada kelompok penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari hasilnya, ternyata masih banyak siswa yang kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia. Artinya dalam percakapan sehari-hari siswa tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia. Siswa lebih sering menggunakan bahasa daerah dan sedikit bahasa anak muda atau istilahnya bahasa gaul. Hal tersebut disebabkan oleh kebiasaan siswa sehari-hari dari lingkungan sudah akrab dan terbiasa menggunakan bahasa daerah dibandingkan dengan berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kesantunan itu sendiri sering dikaitkan dengan kebudayaan suku bangsa.

Suku Jawa dianggap logat berbahasanya lebih santun dibandingkan dengan yang lain, seperti logat Batak, logat Papua, logat Surabaya, logat Makassar dan lainnya. Memang dapat kita perhatikan bahwa logat-logat tersebut jika kita dengarkan lebih identik dengan kasar dan penggunaan nada yang tinggi. Indonesia ini merupakan negara yang kaya akan budaya, tetapi bukan berarti budaya satu lebih unggul daripada budaya yang lain. Sehingga, dalam kesantunan berbahasa Indonesia logat Jawa tidak lebih unggul dibandingkan dengan logat bahasa dari budaya yang lain.

Melihat dari definisi kebudayaan tersebut, jika dikaitkan antara kebudayaan dan berbahasa santun, tidak dibenarkan apabila berbahasa dengan sesama manusia dalam anggota masyarakat tidak berpegang pada aturan kesantunan berbahasa. Meskipun, ada beberapa budaya yang memang mempunyai kebiasaan logat berbahasa dengan nada yang tinggi, jika ia masuk dalam masyarakat yang mempunyai kebiasaan menggunakan bahasa dengan nada yang rendah, pasti ia akan berusaha untuk memelankan suaranya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada.

Dewasa ini, perilaku santun berbahasa Indonesia dinilai kurang dalam penerapannya di lapangan. Jangankan berbahasa Indonesia yang santun, seseorang menggunakan bahasa Indonesia saja merasa malu atau minder. Mereka akan bangga jika menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris, Mandarin, dan sebagainya). Apalagi remaja sekarang, cenderung menggunakan bahasa gaul sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, baik dirumah maupun di sekolah. Hanya sebagian kecil dari mereka saja yang masih mempertahankan untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta santun dapat dimulai dari lingkungan keluarga atau sering disebut dengan bahasa ibu (B1). Dalam kasus ini, bahasa Indonesia untuk siswa SMP cenderung lebih banyak digunakan untuk dunia kerja dan di lingkungan sosial, Saat ini mitra tutur yang dihadapi semakin beragam. Dengan demikian, kesantunan berbahasa Indonesia tidak lagi diukur dari budaya dan logat berbicara dari masing-masing daerah, melainkan kesantunan diukur dari norma-norma kesantunan, dan etika berbahasa secara santun.

Pada kelompok penggunaan maksim kemurahan hati siswa sudah mampu mengaplikasikan dalam percakapan sehari-hari. Pada dasarnya siswa sudah mengetahui bahwa berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik akan dinilai lebih menghormati mitra tutur. Berbicara dengan santun tidak harus menggunakan kalimat yang panjang dan berbelit-belit. Penggunaan kalimat yang panjang dapat menjadikan mitra bosan atau merasa jenuh mendengarkan bahkan ada yang dengan sengaja pergi meninggalkan penutur. Alasan lain, kalimat yang panjang dan berbelit-belit dapat menyamarkan makna dan maksud dari kalimat yang ingin disampaikan.

Pada penggunaan makim kebijaksanaan ini siswa sudah banyak yang menggunakan metode berbicara yang ringkas, langsung pada pokok persoalan. Dalam penerapannya tidak semua siswa berbicara dengan metode tersebut, masih terdapat beberapa siswa yang masih menggunakan metode berbicara yang menggunakan kalimat yang panjang dan cenderung berbasa-basi. Hal tersebut tentu saja sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal.

Bahasa Indonesia yang santun tidak selalu menggunakan kalimat yang panjang dan berbelit.

(14)

42 Pada kelompok maksim kemurahan hati banyak siswa yang sudah menerapkannya dalam percakapan sehari-hari. Namun jawaban kadang-kadang masih lebih tinggi dibandingkan jawaban tidak. Siswa sudah mampu mengetahui jika berbicara santun bertujuan untuk menghormati mitra tutur. Jika seseorang berbicara santun pada mitra tutur maka apa yang kita ucapkan merupakan cerminan dari kita sendiri. Penggunaan maksim ini perlu pembiasaan pada saat berbicara dengan mitra tutur. Siswa yang sudah menerapkan maksim ini perlu mempertahankan dan lebih meningkatkan agar tuturan yang tercipta tetap santun.

Kesetujuan atau kesepakatan dalam berbicara itu sangat penting, bahkan dalam hal sekecil apapun. Jika kesetujuan tidak diperoleh, maka dapat menimbulkan perselisihan atau pertengkaran. Dalam hasil observasi banyak siswa yang sudah menerapkan maksim kesetujuan dalam berbicara. Banyak siswa yang sudah membuat orang lain senang ketika berbicara. Namun, pada saat orang lain berbicara masih ada beberapa siswa yang dengan sengaja memotong kalimat mitra tutur yang belum selesai. Ini merupakan pelanggaran dari maksim kesetujuan. Memotong kalimat orang lain merupakan tindakan yang tidak santun, mitra tutur belum sepenuhnya menyampaikan pendapat dan maksud dari kalimat yang dituturkan, tiba-tiba dipaksa berhenti. Perlu adanya peningkatan cara berbahasa yang santun agar hal tersebut tidak terulang bahkan menjadi kebiasaan.

Pada kelompok maksim penerimaan siswa sudah banyak yang menerapkan dalam percakapan sehari-hari. Dalam berbicara, ketika membuat orang lain merasa tidak percaya diri dan minder merupakan tindakan yang tidak santun. Hal tersebut dapat menjatuhkan harga diri seseorang jika dilakukan di depan banyak orang. Dalam hal ini siswa perlu mempertahankan penerapan maksim penerimaan ini ketika berbicara.

Penelitian ini, mewujudkan sebuah pengembangan materi pembelajaran sebagai produk berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia untuk siswa SMP/MTs/sederajat kelas VII disusun dengan berdasar pada kurikulum 2013 lebih terkhusus pada siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang tetap diterapkan pemerintah untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang telah berlaku selama 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaan pada tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah sebagai percobaan. Pada tahun 2014, kurikulum 2013 sudah diterapkan untuk siswa kelas VII, VIII dan IX. Kurikulum 2013 ini memiliki tiga apek penilaian yakni, aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku.

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan modul berupa bahan ajar materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa khususnya di SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan materi kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP , terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan pada siswa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa secara santun di kelas maupun di luar kelas.

Produk dalam hal ini berupa bahan ajar yang baik tentu saja telah melewati beberapa tahap penilaian yang dilakukan oleh ahli. Peneliti telah melakukan dua tahap uji coba produk pengembangan, yaitu: 1) uji coba oleh ahli dan 2) uji coba lapangan.

Uji ahli dilakukan oleh dosen ahli materi Universitas Iqra Buru, guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Penilaian dilakukan melalui kuesioner dan observasi. Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh para ahli, maka didapatkan hasil penilaian yang digunakan sebagai acuan atau rujukan untuk menilai baik atau tidaknya produk pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia tersebut bagi siswa SMP.

Dengan demikian dalam penelitian ini yang dikembangkan adalah produk materi berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMP/MTS/Sederajat dalam hal ini terkhusus di kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Produk tersebut tersebut telah dinilai oleh ahli. Penilaian tersebut dilihat dari aspek, 1) ketepatan pilihan kata, 2) keefektifan

(15)

43 kalimat dalam media, 3) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, 4) kejelasan petunjuk dalam setiap kegiatan, 5) kesesuaian materi dengan kompetensi dan indikator, 6) kemenarikan urutan materi sehingga mudah untuk dipahami,

7) kemenarikan ilustrasi media, 8) kemenarikan komposisi huruf, tata letak dan warna dalam media, 9) kebermanfaatan media, dan 10) variasi model latihan.

Nilai dari masing-masing aspek adalah baik pada poin 1,2,3,9,dan 10. Namun, ada beberapa nilai yang kurang baik, yakni pada poin 4,5,6,7,dan 8. Setelah dilakukan perbaikan produk, dilakukan uji coba lapangan. Produk tersebut dinilai oleh Sri Wahyuni, S.Pd. selaku guru ahli bahasa Indonesia. Penilaian yang digunakan meliputi aspek, yakni 1) ketepatan pilihan kata, 2) keefektifan kalimat dalam media, 3) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, 4) kejelasan petunjuk dalam setiap kegiatan, 5) kesesuaian materi dengan kompetensi dan indikator, 6) kemenarikan urutan materi sehingga mudah untuk dipahami, 7) kemenarikan ilustrasi media, 8) kemenarikan komposisi huruf, tata letak dan warna dalam media, 9) kebermanfaatan media, dan 10) variasi model latihan. Nilai pada poin 4,9 dan 10 mendapat nilai “baik sekali”, poin 1,2,3,5,6, dan 8 mendapat nilai “baik”, dan poin 7 mendapat nilai “kurang baik”.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan, dapat disimpulan sebagai berikut.

Rancangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru dikembangkan melalui beberapa tahap, yakni1) analisis memperoleh informasi bagaimana kesantunan dalam penggunaan bahasa Indonesia siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Informasi diperoleh melalui kuesioner, wawancara dengan guru dan siswa, dan observasi langsung. 2) membuat desain produk, 3) penilaian produk oleh ahli, 4) revisi produk, 5) uji coba produk di lapangan, 6) revisi produk. Dari proses-proses tersebut dihasilkan sebuah produk materi bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII di SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

Produk akhir materi pembelajaran berupa bahan ajar kesantunan berbahasa Indonesia ini bertujuan untuk mempermudah siswa memahami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan bernar serta santun. Produk ini berisi materi pembelajaran kesantunan yang dilengkapi dengan latihan dan gambar-gambar. Materi pembelajaran tersebut kemudian dinilai oleh dosen ahli materi dan guru bahasa Indonesia. Penilaian dilakukan terhadap produk materi secara umum. Hasil dari penilaian tersebut adalah baik dan ada beberapa hal yang perlu perbaikan-perbaikan. Perbaikan uji coba produk hanya didasarkan pada hasil penilaian dosen ahli dan guru bahasa Indonesia. Setelah dilakukan perbaikan dan konsultasi dengan dosen bahasa Indonesia dihasilkan produk materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru.

Selanjutnya, produk materi yang dihasilkan penelitian ini berupa bahan ajar pembelajaran kesantunan ini kemudian diimplementasikan sebagai berikut. Produk pengembangan materi ini dapat diterapkan atau diperaktikkan untuk peningkatan pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia untuk siswa kelas VII SMP Negeri 9 Kabupaten Buru, karena pengembangan tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan di SMP Negeri 9 Kabupaten Buru. Jika produk pengembangan materi berupa bahan ajar ini diterapkan atau dipraktikkan pada kelas VII, IX, atau sekolah SMP/MTs/sederajat lain, maka harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

a. Ada kesesuaian materi dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar di setiap kelas.

b.Ada kesesuaian metode belajar yang digunakan pada setiap kelas.

c. Ada kesesuaian taraf berpikir siswa.

(16)

44 DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. (2010). Kesantunan Berbahasa.Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A., & Agustina, L. (2014). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

Rineka Cipta.

Hymes, Dell. 1989. Foundations In Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelphia Keraf, Gorys. 1994. Komposisi: Sebuah pengantar kemahiran bahasa. Flores: Nusa

Indah.

Leech, G. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Levinson; Stephen. 1983, Pragmatics. Cambrige, London.

Nababan, P.W.J. (2010). Ilmu Pragmatik ( Teori dan Penerapannya). Jakarta.

Nababan. P. W. J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Pranowo. (2010). Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardi, Kunjana. (2010). Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Setyosari, Punaji. (2010). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Sugiono. (2010). Metode Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R &

D).Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Henry Guntur. (2010). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung:

Penerbit Angkasa.

Wijana, I Dewa Putu. (2011). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta. Penerbit: Andi.

Yule, George. (2010). Pragmatik (Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi tersebut dapat dipahami karena menulis kisah/dari peristiwa sejarah tidak mudah karena tidak ada sumber yang memuat secara runtut tentang suatu peristiwa.Hal

Identifikasi hama dan patogen penyakit dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dengan menggunakan

Pendapat mengenai respon pemerintah daerah ini orang akan lebih berhemat dalam nya sendiri dibanding pendapatan yang diberikan Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil

Implementasi penggunaan e-learning pada saaat ini sangat bervariasi. Hal tersebut didasarkan pada prinsip atau konsep bahwa e- learning sebagai upaya

Dokumen Pengadaan dapat diambil dalam bentuk cetakan dan/atau softcopy di Sekretariat Pengadaan Barang/Jasa Pusdiklat Migas.. Informasi selengkapnya dapat dilihat pada

Perusahaan memanipulasi laba lebih besar kemungkinannya apabila memiliki dewan komisaris yang didominasi oleh manajemen dan lebih besar kemungkinannya memiliki Chief Executive

Dalam penelitian ini, untuk mengukur efektivitas transmisi kebijakan moneter, berdasarkan eksekusi model ECM pada jalur suku bunga, nilai tukar dan kredit, diperoleh

Jenis Barang /Nama Barang Kode Barang. Buku /