Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD REYHAN DARU QUTHNI NIM: 11170430000045
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
IMPLEMENTASI NAFKAH HADHANAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI TEBET JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD REYHAN DARU QUTHNI NIM: 11170430000045
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
IMPLEMENTASI NAFKAH HADHANAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI TEBET JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD REYHAN DARU QUTHNI NIM: 11170430000045
Pembimbing
Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A.
NIP. 19581110 198803 1 001
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:
Nama : Muhammad Reyhan Daru Quthni NIM : 11170430000045
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Alamat : Jalan Lapangan Roos Timur IV RT 018 RW 005 No. 12, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Nomor HP : 082232676203
Email : [email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Mei 2021
Muhammad Reyhan Daru Quthni
v
ABSTRAK
MUHAMMAD REYHAN DARU QUTHNI. NIM 11170430000045.
“IMPLEMENTASI NAFKAH HADHANAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI TEBET JAKARTA SELATAN”. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah ketidakefektifan dan kurang terlaksananya implementasi nafkah hadhanah anak oleh ayah kandungnya di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan nafkah hadhanah untuk anak menurut Hukum Islam, dampak yang ditimbulkan tidak terlaksananya nafkah hadhanah untuk anak di wilayah Tebet, hambatan dalam penerapan putusan Pengadilan serta penilaian implementasi kesesuaian dengan Syariah Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research).
Penelitian ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah objek penelitian guna memperoleh data yang berhubungan dengan implementasi nafkah hadhanah anak di wilayah Tebet.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan wawancara dengan 15 informan, pada prakteknya di wilayah Tebet masih banyak ayah yang tidak bertanggung jawab dengan berbagai alasan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada anak baik nafkah maupun kasih sayang padahal di Hukum Islam menjelaskan bahwa ayah yang bertanggung jawab secara penuh dalam hal memelihara dan mendidik anaknya sedangkan sang ibu hanya menyusui dan merawatnya. Kemudian, dampak tidak terlaksananya nafkah hadhanah di wilayah Tebet menimbulkan efek dan akibat langsung kepada anak dengan tidak dipenuhi hak-haknya oleh ayahnya dan ketidakadilan yang dirasakan oleh si anak. Kemudian juga, kewajiban ayah terhadap anak sangatlah belum berjalan dengan baik karena masih banyak ayah yang lepas tanggung jawab dan tidak memberikan nafkah kepada anaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Faktor lain yang menghambat penerapan putusan Pengadilan secara penuh adalah terdapat hubungan antara ayah dengan ibu maupun dengan anak terjalin tidak begitu baik dan dengan adanya Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa majelis Hakim memerintahkan kepada tergugat yaitu ayah kandung untuk membiayai nafkah anaknya maka dari itu pelaksanaan hadhanah terhadap anak inilah sangatlah diwajibkan dan dianjurkan demi kebaikan bersama sesuai dengan syari’ah Islam.
Kata Kunci : Implementasi, Nafkah Hadhanah, Anak, Tebet.
Pembimbing Skripsi : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1975 sampai Tahun 2018.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam selalu dipanjatkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI NAFKAH HADHANAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI TEBET JAKARTA SELATAN”. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari masukan, arahan, dukungan, serta bimbingan yang diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Siti Hanna, M.A. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hidayatulloh M.H. Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A. Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kemudahan, didikan, ilmu serta saran yang diberikan kepada peneliti.
4. Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi.
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Pusat Perpustakaan Nasional yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Tommy Diansyah, S.Ag., M.Pd. dan Ibunda Dr. Hj. Ida Sajidah Dhiyauddin, Lc., M.Si. yang selama ini telah
vii
memberikan dukungan baik moral maupun materil serta doa yang tak pernah putus sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta adikku tercinta Reysa Nabila Daru Quthni yang selalu memberi semangat kepada peneliti.
7. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.
Jakarta, 19 Mei 2021 Peneliti
Muhammad Reyhan Daru Quthni
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 5
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KERANGKA TEORI A. Kerangka Konseptual ... 11
1. Implementasi ... 11
2. Hadhanah ... 11
3. Anak ... 15
4. Hukum Islam ... 15
5. Tebet ... 15
B. Kerangka Teori ... 16
1. Teori Keadilan ... 16
2. Teori Perlindungan Anak ... 18
3. Teori Maslahah dalam Islam ... 19
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 19
ix
BAB III HAK-HAK ANAK PASCA ORANG TUA BERCERAI
A. Nafkah Anak ... 24
1. Pengertian Nafkah Anak ... 24
2. Dasar Hukum Nafkah Anak ... 24
3. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak ... 28
B. Perceraian ... 30
1. Pengertian Perceraian ... 30
2. Perceraian Menurut Undang-Undang ... 31
3. Akibat Perceraian Dalam Hukum Islam ... 32
C. Pemenuhan Hak Anak Setelah Orang Tua Bercerai ... 33
BAB IV PENERAPAN PUTUSAN PENGADILAN TENTANG NAFKAH HADHANAH ANAK DI TEBET JAKARTA SELATAN A. Implementasi Pelaksanaan Nafkah Hadhanah Anak ... 35
B. Dampak Tidak Terlaksananya Nafkah Hadhanah Anak di Wilayah Tebet ... 38
C. Hambatan Penerapan Putusan Pengadilan ... 46
D. Penilaian Implementasi Kesesuaian Dengan Syariah Islam .... 48
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 51
B. Rekomendasi ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 54
LAMPIRAN ... 85
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penciptaan sesuatu pasti selalu berpasangan dan berlawanan yang dijadikan oleh Allah Swt di dunia ini.1 Ada siang, pasti ada malam, ada laki-laki, pasti ada wanita, ada hitam, pasti ada putih. Begitu pula dalam hubungan suatu pernikahan, pasti ada perpisahan baik karena pisah dalam keadaan masih hidup ataupun pisah karena kematian. Walaupun Kedua perpisahan ini tidak diinginkan oleh setiap pasangan, tetapi kembali kepada hukum alam yang disebutkan di atas, maka selayaknya bagi pasangan, setiap kita menerima ketentuan yang digariskan oleh Allah Swt. Tugas pasangan adalah bagaimana menjaga kelanggengan dalam sebuah hubungan berumah-tangga. Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk mencari jalan keluar, apabila terdapat pertentangan dalam rumah tangga.
Perceraian merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Memang Islam tidak melarang adanya perceraian dalam rumah tangga, tetapi Allah tidak menyukai perceraian. Menurut data BPS 2019, trend perceraian terus meningkat di setiap tahunnya, contohnya pada tahun 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun penyebab perceraian pada tahun 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus degan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi sebanyak 17,55%, KDRT (2,15%) dan mabuk (0,85%).2
Dalam Alquran yang merupakan pedoman bagi umat Islam, telah diatur tentang ketentuan-ketentuan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan
1 Q.S. 36:36
2 Badan Pusat Statistik (BPS), 2019
sebagainya, demikian pula tentang hukum pernikahan dan perceraian.3 Dan lebih spesifik lagi tentang pemberian nafkah oleh ayah bagi istri yang dicerai dalam masa hidup dan memiliki anak yang sedang dikandungnya atau sedang disusui termasuk di dalamnya adalah anak yang dalam masa pengasuhan istri pasca perceraian, diterangkan juga ketentuan hukumnya di dalam Alquran.4 Dan Kewajiban ayah atas nafkah kepada anaknya, baik selama pernikahan berlangsung (pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun pasca perceraian, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa, yaitu ketika berusia 21 tahun (pasal 156 d KHI dan pasal 41 b UUP).5
Kategori pemberian nafkah tersebut adalah bagian dari hadhanah dalam hukum Islam. Hadhanah merupakan suatu bentuk kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya, yaitu dengan cara mengasuh anak-anak yang terlahirkan dari rahim seorang ibu. Karena pengasuhan anak merupakan suatu manifestasi dari berbagai bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia yang menjadi makhluk yang paling mulia dan merupakan karunia-Nya atas manusia dibanding terhadap makhluk lainnya.6 Menurut Zainuddin, bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak atau memberikan nafkah kepada anak yang belum mampu hidup mandiri berupa aspek kebutuhan yang diperlukannya, baik dalam melaksanakan kebutuhan hidup maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pemeliharaan anak memenuhi beberapa aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.7 Hadhanah ini terjadi, apabila suami dan istri bercerai dan dari hubungan tersebut, mereka menghasilkan
3 Q.S. 2:228-237
4 Q.S. 65:6
5 Departemen Agama Republik Indonesia, KHI di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Islam, 1997/1998), h. 41.
6 A. Muhajir, Hadhanah dalam Islam, Jurnal SAP, Volume 2, Nomor 2, (Desember 2017), h. 165.
7 Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 64- 65.
anak yang belum dewasa atau yang belum mandiri,8 maka istri lah yang berhak untuk memelihara dan merawat anak tersebut sehingga dewasa dan hendaklah anak tinggal bersama sang ibu, kendati demikian, nafkah tetap menjadi kewajiban ayahnya.9 Berdasarkan Alquran, Hadis, Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, bahwa nafkah dalam hadhanah setelah perceraian adalah kewajiban para suami, namun pada prakteknya di sebagian masyarakat kewajiban ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, padahal putusan Pengadilan Agama telah ditetapkan.
Fenomena yang terjadi adalah banyak diantara para suami yang menceraikan istrinya melalaikan kewajibannya selepas putusan pengadilan agama perihal pemberian nafkah hadhanah anak, yang pada akhirnya hal tersebut harus ditanggung oleh satu pihak, dalam hal ini adalah istri yang dicerai. Alasan peneliti memilih wilayah tebet sebagai lokasi penelitian, disebabkan saat ini diberlakukan pembatasan bersosialisasi karna terjadinya pandemi Covid-19, maka peneliti memfokuskan penelitian ini di wilayah tebet yaitu tempat peneliti berdomisili. Selain itu juga, karena ada beberapa anak di wilayah tempat domisili peneliti yang terkena dampak dari perceraian kedua orang tuanya, salah satunya adalah tidak diberikannya nafkah oleh bapak kandungnya untuk kebutuhan anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang nafkah hadhanah anak dengan judul “IMPLEMENTASI NAFKAH ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DI WILAYAH TEBET JAKARTA SELATAN”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti memberikan identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian antara lain sebagai berikut:
8 Lihat pasal 156 d KHI.
9 Seikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, penerjemah: Abdul Ghafur, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2006), h. 391.
a. Tingginya angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya.
b. Perselisihan dan faktor ekonomi menjadi faktor penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya perceraian.
c. Lepasnya tanggung jawab seorang ayah kepada anak setelah bercerai.
d. Tidak terpenuhinya nafkah hadhanah untuk anak akibat perceraian.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas bagaimana pengimplementasian nafkah hadhanah untuk anak di wilayah Tebet.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah yang diangkat adalah tidak terlaksananya nafkah hadhanah anak akibat perceraian. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti menguraikan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan nafkah hadhanah untuk anak menurut Hukum Islam?
b. Apa saja dampak yang ditimbulkan tidak terlaksananya nafkah hadhanah untuk anak di wilayah Tebet?
c. Bagaimana hambatan dalam penerapan putusan Pengadilan?
d. Bagaimana penilaian implementasi kesesuaian dengan Syariah Islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari penelitian ini, antara lain:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan nafkah hadhanah untuk anak menurut Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan tidak terlaksananya nafkah hadhanah untuk anak di wilayah Tebet.
c. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan putusan Pengadilan.
d. Untuk mengetahui penilaian implementasi kesesuaian dengan Syariah Islam.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum keluarga Islam, dengan cara menyajikan penelitian berdasarkan data yang akurat, berlandaskan norma agama Islam dan aturan yuridis perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang pentingnya implementasi nafkah hadhanah anak menurut Hukum Islam.
2. Secara praktis, untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S1 Prodi Perbandingan Mazhab dan memberikan informasi serta penjelasan kepada masyarakat luas tentang nafkah hadhanah anak dan sebagai referensi atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
E. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan analisis.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam kontak sosial dengan proses komunikasi antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.10
10 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2012), h. 9.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research).
Penelitian ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah objek penelitian guna memperoleh data yang berhubungan dengan implementasi nafkah hadhanah anak di wilayah Tebet.11
2. Sumber data
Data adalah suatu pernyataan yang dapat diterima secara nyata, jelas, dan apa adanya. Berdasarkan sumber penelitian hukum, peneliti telah membagi menjadi 2 yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berikut penjelasannya:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama atau bersifat otoritas. Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) 4) Wanita yang diceraikan
2. Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang mencakup buku-buku, penelitian-penelitian baik yang berbentuk skripsi maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan sampel penelitian. Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Buku 2) Jurnal
11 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 46.
3) Literatur 4) Artikel
3. Metode pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang valid, maka dalan pengumpulannya digunakan metode sebagai berikut:
a. Wawancara
Dalam Penelitian ini ada 15 orang yang akan di wawancarai antara lain:
1) Ibu Siti Ruhikmah (Jalan Layang RT 007 RW 02 No. 25, Tebet, Jakarta Selatan).
2) Ibu Rima Astika (Jalan Lapangan Ross Barat 4 RT 002 RW 05, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan).
3) Ibu Zulianti (Jalan Sawo Kecil 6 RT 007 RW 004, Bukit Duri Selatan, Tebet, Jakarta Selatan)
4) Ibu Dewi Lutfia (Jalan Lapangan Roos III RT 004 RW 05 No.
5, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan)
5) Ibu Nurjanah (Jalan Roos Barat 4 RT 002 RW 05, Tebet, Jakarta Selatan)
6) Ibu Nur Sulehah (Jalan Lapangan Roos IV RT 10 RW 05 No.
30, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan)
7) Ibu Asmayanti (Jalan D5/35 RT 15 RW 04, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan)
8) Ibu Jamila (Jalan Lapangan Roos III RT 04 RW 05 No. 12, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan)
9) Ibu Nur Rohmah (Jalan Sawo Kecik No. 28, Tebet, Jakarta Selatan)
10) Ibu Eko Retno Sari (Jalan Manggarai Selatan VI RT 006 RW 010 No. E 57, Tebet, Jakarta Selatan)
11) Ibu Rumiati (Jalan Lapangan Roos I RT 011 RW 05 No. 12B, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan)
12) Ibu Adjimah Sumiyati (Jalan Crucuk RT 004 RW 02 No. 23, Tebet, Jakarta Selatan)
13) Ibu Laras Kawista (Jalan Manggarai Utara RT 008 RW 004 No. 20, Kelurahan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan)
14) Ibu Rifa Pahlevi (Jalan Manggarai Utara 2 RT 007 RW 004, Tebet, Jakarta Selatan)
15) Ibu Dyan Dwi Santoso (Jalan Keselamatan RT 003 RW 003, Tebet, Jakarta Selatan)
Lima belas orang responden yang disebutkan di atas dipilih secara acak (random) dan dipandang mewakilkan (representative) untuk menggambarkan secara objektif implementasi hadhanah di Tebet Jakarta Selatan. Dengan wawancara ini, peneliti memperoleh data yang valid dari sumbernya langsung.
b. Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan terhadap catatan atau sejenisnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi dokumentasi dengan mengumpulkan data langsung dari sumbernya yang berupa Akta Perceraian.
4. Metode analisis data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Dalam hal ini data yang diperoleh akan dianalisa dengan metode deskriptif analisis, yaitu sebuah metode yang menggambarkan implementasi nafkah hadhanah anak berdasarkan data-data.13 Kemudian data tersebut dianalisa secara sistematis dalam implementasi nafkah hadhanah anak menurut Hukum Islam.
13 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 51.
5. Teknik Penulisan
Pada penulisan ini, peneliti menggunakan metode penelitian skripsi yang mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah peneliti dalam menyusun skripsi, maka peneliti menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini membahas tentang tentang latar belakang masalah, Identifikasi masalah, Pembatasan masalah, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Metode penelitian, dan Sistematika penulisan.
BAB II : KERANGKA TEORI
Dalam bab ini akan dijelaskan kerangka teori tentang implementasi nafkah hadhanah anak. Maka peneliti akan mengkaji dengan dua konsep teori hukum yang terdiri dari teori keadilan dan teori perlindungan hukum. Selanjutnya mengkaji dengan satu konsep teori Islam yaitu teori maslahah dalam Islam.
BAB III: HAK-HAK ANAK PASCA ORANG TUA BERCERAI
Dalam bab ini menjelaskan tentang Nafkah Anak yang meliputi pengertian, dasar hukum, dan batas usia pemberian nafkah anak. Selain itu juga akan membahas mengenai Perceraian meliputi pengertian, Hukum Perceraian menurut Undang-Undang, dan akibat perceraian dalam Hukum Islam serta pemenuhan hak anak setelah orang tua bercerai.
BAB IV: PENERAPAN PUTUSAN PENGADILAN TENTANG NAFKAH HADHANAH ANAK DI TEBET JAKARTA SELATAN
Dalam bab ini merupakan pembahasan utama dalam penelitian yang berisi tentang analisis implementasi pelaksanaan, dampak yang ditimbulkan tidak terlaksananya nafkah hadhanah untuk anak, hambatan dalam penerapan putusan Pengadilan serta penilaian implementasi kesesuaian dengan Syariah Islam.
BAB V: PENUTUP
Dalam bab ini berisi hasil akhir dari penelitian berupa kesimpulan dan rekomendasi sesuai dengan pokok pembahasan yang dikaji oleh peneliti.
11 BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kerangka Konseptual
Dalam penjelasan ini, peneliti akan menjabarkan konsep terkait istilah yang akan sering digunakan, antara lain:
1. Implementasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)1, implementasi adalah pelaksanaan. Muhammad Joko Susila mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu penerapan ide dan konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga mendapatkan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun sikap.2 Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya implementasi secara langsung ada tindakan untuk mencapai tujuan.
Hubungan implementasi dengan objek ini adalah apakah benar-benar dilakukannya hak hadhanah ini di masyarakat dan terlebih di masyarakat wilayah tebet.
2. Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “نضحلا” yang artinya pendamping.
Dimana seorang pendamping mendampingi anak yang ada dalam asuhannya.3 Pemeliharaan anak mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.4 Kompilasi
1 KBBI, Implementasi, diakses dari https://kbbi.web.id/implementasi, pada tanggal 10 Oktober 2020.
2 Muhammad Fathurrohman dan Sulistyorini, Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Islam Peningkatan Lembaga Pendidikan Islam Secara Holistik, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 189-191.
3 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari- Hari, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Ahmad Ihwani, Budiman Musthofa), (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 748.
4 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 204.
Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.5
Dalam Kitab Al- Syariah al- Islamiyah, Muhammad Husain Zahabi menjelaskan bahwa hadhanah adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang- orang yang berhak mendididknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukanya sendiri.6 Sedangkan menurut Muhammad Bin Ismail al- Amir ash- Shan’ani dalam kitabnya Subulussalam hadhanah adalah mengasuh, memelihara dan menjaga siapa yang tidak bias mengurus dirinya sendiri dari hal- hal yang membinasakan baginya.7
Dalam kitab Syarah Hudud ibn ‘Arafah, dijelaskan bahwa:
ةناضحلا ه
فح ي ظ يف دلولا هتيبم ؤمو ت فيظنتو هعجضمو هسابل و هماعط ة همسج
Artinya: “Hadhanah adalah pemeliharaan anak mengenai tempat tinggalnya, pemberian makannya, pakaiannya, tempat tidurnya dan kebersihan badannya.”8
Ulama Fiqih sepakat menyatakan bahwa pada prinsip hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua9. Maka dari itu hadhanah sangat penting bagi anak terlebih lagi anak yang masih kecil (belum mumayyiz) jika tidak dirawat maka akan berakibat buruk di masa depan si anak. Oleh sebab itu, anak-anak tersebut wajib dipelihara, diberikan kasih sayang, dan lebih terpenting dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya.
5 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 285.
6 Muhammad Husain Zahabi, al- Islamiyah: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja’fariyah, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, tth, 2000), h. 398.
7 Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulussalam asy-Syarh al-Bulughu al- Marami, jilid III, cet. 6, terj. Ali Nur Medan, Darwis, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2012), h. 198.
8 Abu Abdillah Muhammad al-Anshari al-Rasha’, Syarah Hudud Ibnu ‘Arafah (al-Hidayah al-Kafiah al-Syafiyah), (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1993), h. 324.
9 Andi Syamsul Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta Kencana,2008), h. 114.
Para fuqaha menjelaskan bahwa urutan yang berhak mengasuh hak hadhanah meliputi:10
a. Ibu
b. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas c. Nenek dari pihak ayah
d. Saudara kandung perempuan anak e. Saudara perempuan se-ibu
f. Saudara perempuan se-ayah
g. Anak perempuan ibu yang sekandungnya h. Anak perempuan ibu yang seayah
i. Saudara perempuan ibu yang sekandungnya j. Saudara perempuan ibu yang se-ibu (bibi) k. Saudara perempuan ibu yang se-ayah (paman) l. Anak perempuan dari saudara perempuan se-ayah m. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung n. Anak perempuan dari saudara lai-laki se-ibu o. Anak perempuan dari saudara laki-laki se-ayah p. Saudara perempuan ayah yang sekandung q. Saudara perempuan ayah yang se-ibu r. Saudara perempuan ayah yang se-ayah s. Bibinya ibu dri pihak ibunya
t. Bibinya ayah dari pihak ibunya u. Bibinya ibu dari pihak ayahnya v. Bibinya ayah dari pihak ayahnya,
Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan muhrim di atas, atau ada juga tetapi tidak mengasuhnya, maka pengasuhan anak tersebut beralih kepada kerabat laki-laki yang masih muhrimnya atau
10 Kamil Muhamad Uwaidah (terjemah) Abdul Gofur, Fiqih Wanita, (Jakarta: Al Kautsar, 2006), h. 456.
berhubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing- masing dalam persoalan waris, yaitu pengasuhan anak beralih kepada:11
a. Ayah anak tersebut
b. Kakek dari pihak ayah tersebut dan seterusnya ke atas c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki se-ayah
e. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung f. Anak laki-laki dari anak laki-laki se-ayah g. Paman yang sekandung dengan ayah h. Paman yang seayah dengan ayah i. Pamannya ayah yang sekandung
j. Pamannya ayah yang searah dengan ayah
Jika tidak ada seorang pun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut, atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu:
a. Ayahnya ibu (kakek) b. Saudara laki-laki se-ibu
c. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki se-ibu d. Paman yang seibu dengan ayah
e. Paman yang sekandung dengan ibu f. Paman yang seayah dengan ibu
Jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga sama sekali, maka Hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup untuk mengasuh dan mendidiknya.12
11 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. V, 2006), h.
394.
12 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga,… h. 457.
3. Anak
Anak dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai n manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.13 Yang dimaksud anak-anak menurut R.A. Kosnan adalah manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya. Oleh karena itu, anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali di tempatkan dalam posisi yang paling di rugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-haknya.14 Hadhanah anak ini agar sih anak mendapatkan hak- haknya agar anak tidak terlantar.
4. Hukum Islam
Hukum Islam atau syariat Islam adalah sistem dalam kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulnya mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.15
5. Tebet
Tebet adalah nama kecamatan yang terletak di Kota Administrasi Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Indonesia. Wilayah Tebet memiliki luas wilayah 9.53 km², yang terdiri atas 7 kelurahan antara lain Tebet Barat, Tebet Timur, Kebon Baru, Bukit Duri, Manggarai,
13 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Amirko, 1984), h. 25.
14 Arif Gosita, Masalah perlindungan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 28.
15 Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Volume 17, Nomor 2 (2017). h. 24.
Manggarai Selatan, dan Menteng Dalam, Kepala keluarga wilayah tebet berjumlah 64312, jumlah peribadatan di tebet masjid:69, musholla: 195, gereja:13, jumlah sekolah di wilayah tebet; SD berjumlah 72, SMP berjumlah 26, SMA berjumlah 16, SMK berjumlah 6, dan Universitas berjumlah 3.16
B. Kerangka Teori
Peneliti menggunakan teori-teori dalam penelitian ini, antara lain:
1. Teori Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil. Adil menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas nilai keadilan. Pada dasarnya, keadilan berartikan setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu keadilan diakui.17
Pada pokoknya, pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.18
Agama yang ada di dunia ini sangat menjunjung tinggi keadilan, salah satunya adalah agama Islam. Dalam bahasa arab, adil berasal dari kata al-
16 Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, “Kecamatan Tebet dalam Angka Tebet Subdistrict In Figures 2019”, BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan.
17 M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 85.
18 Ugun Guntari, 2011, Teori Keadilan Dari Perspektif Hukum Nasional, diakses dari http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektif-
hukum.html#:~:text=Teori%20keadilan%20menjadi%20landasan%20utama,pengertian%20kesam aan%2C%20namun%20bukan%20kesamarataan.&text=Hans%20Kelsen%20mengemukakan%20 keadilan%20sebagai%20pertimbangan%20nilai%20yang%20bersifat%20subjektif.,-
Sebagai%20aliran%20positivisme, pada tanggal 10 Oktober 2020.
adl yang artinya tidak berat sebelah atau sama dan di Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam yang pertama dan utama banyak sekali menyebutkan keadilan. Seperti dalam surah An-Nisa ayat 58 dan surah An-Nahl ayat 90.
An-Nisa: 58
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”19
An-Nahl: 90
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”20
Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-‘adlu). Karena Islam menghendaki agar setiap orang menerima hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan kebutuhan hidupnya.21 Dengan demikian, sifat adil harus dimiliki oleh manusia dan berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban, hak yang dimiliki oleh seseorang
19 https://tafsirweb.com/1590-quran-surat-an-nisa-ayat-58.html
20 https://tafsirweb.com/4438-quran-surat-an-nahl-ayat-90.html
21 Fauzi Almubarok, Keadilan Dalam Perspektif Islam, Jurnal Istighna, Volume I, Nomor 2, (Juli 2018), h. 115.
termasuk hak asasi, wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait dengan diberikan kepada yang berhak menerimanya.22
Sejalan dengan pemikiran filsuf dari Amerika Serikat pada Abad ke- 20 yaitu John Rawls. Ia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila Negara melaksanakan asas keadilan, yaitu setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung dan semua orang mendapatkan persamaan kesempatan yang layak.23
Hubungan teori keadilan ini dengan skripsi ini. Apakah benar keadilan untuk anak ini seperti nafkah hadhanah sudah terlaksana dengan baik atau belum pasca perceraian kedua orang tuanya.
2. Teori Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Arief Gosita, perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi.24
Dengan teori perlindungan anak ini akibat dari anak yang tidak diberikan nafkah oleh bapaknya yaitu hak-hak anak pun juga tidak
22 Nurlaila Harun, Makna Keadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang- Undangan, article.
23 Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 11, Nomor 3, (September 2011), h. 528.
24 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademindo Pressindo, 1993), h.
76.
terpenuhi agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
3. Teori Maslahah dalam Islam
Maslahah secara etimologi kata jamaknya Mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Maslahah kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar. Hal yang pokok dalam maslahah adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.25 Dengan adanya teori maslahah dalam Islam ini agar tidak terjadinya keburukan baik kepada anak maupun orang tuanya sehingga kebutuhan anak dapat terlaksana dengan baik oleh orang tuanya sehingga menimbulkan kemaslahatan dan terjalinnya hubungan yang baik pula antar keduanya.
Teori teori tersebut digunakan untuk mengukur dan mengetahui apakah benar nafkah ini sudah terimplementasikan dengan baik kepada anak yang terkena dampak perceraian orang tuanya khususnya di wilayah penelitian peneliti yaitu wilayah Tebet.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Peneliti memaparkan penelitian-penelitian yang terdahulu, karena terdapat hampir kesamaannya dalam pembahasan perihal hadhanah pasca perceraian dan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun penelitian- penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hidayat Al-Anam dalam Skripsinya yang berjudul “Implementasi Pemberian Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian tahun 2014-2015 (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Ambarawa)” yang dipublikasikan pada tahun 2016. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan
25 M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, (Medan: USU Pers, 2002), h. 27.
bahwa hasil penelitian di wilayah hukum Pengadilan Agama Ambarawa yang terjadi perihal hak nafkah anak pasca perceraian adalah semua anak hasil perkawinan yang sah, maka akan ikut dengan ibunya dan dalam pemenuhan hak-hak nafkah anak hanya bersifat pemenuhan yang sementara tidak sepenuhnya, bahkan ada juga yang tidak memenuhinya.
Dalam hal ini yang banyak berperan pasca perceraian adalah ibunya yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, terlepas dari itu seharusnya ayahnya yang menanggung hak nafkah anak yang sudah ditetapkan oleh hakim pengadilan agama Ambarawa. Dalam memutus perkara pertimbangan hakim yaitu dengan melihat dari kemampuan ekonomi seorang ayah yang berkaitan dengan pekerjaan dan gaji. Oleh karena itu, dalam setiap memutus perkara yang menyangkut biaya nafkah anak, majelis hakim pengadilan agama Ambarawa dalam mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan kepada penghasilan seorang ayah. Kemudian hasil selanjutnya adalah ada hal-hal yang menyebabkan seorang mantan suami tidak memenuhi hak nafkah anak pasca perceraian selepas putusan hakim pengadilan agama, yaitu pertama, faktor ekonomi yaitu rata-rata suami tidak memiliki penghasilan tetap.
Kedua adalah faktor mantan istri sudah mampu menafkahi anaknya pasca perceraian. Ketiga adalah faktor komunikasi, dalam gambarannya adalah setelah perceraian banyak sekali mantan suami dan istri yang tidak lagi menjalin komunikasi, sehingga sangat berpengaruh dalam hal pembiayaan anak.26
2. Dewi Fitriyana dalam Skripsinya yang berjudul “Pemenuhan Hak-hak Hadhanah Anak Pasca Perceraian ditinjau dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlimdungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam” yang dipublikasikan pada tahun 2016. Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan, pertama, bahwa selama ini upaya pemenuhan hak anak pasca
26 Hidayat Al-Anam, Implementasi Pemberian Hak Nafkah Anak Pasca Perceraian tahun 2014-2015 (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Amabarawa), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, tahun 2016.
perceraian belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak-hak anak, disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua dan rendahnya pendidikan orang tua serta pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim, terbukti dengan pengetahuan hak anak yang hanya sebatas tentang biaya hidup saja. Kesimpulan kedua adalah bahwa pemenuhan hak anak dalam hadhanah pasca perceraian dalam kompilasi hukum Islam dan Undang-undang No.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak tidak ada conflict of norm, keduamya saling menguatkan tentang hak anak. Sedangkan dalam implemantasinya belum sepenuhnya terselesaikan dengan baik, sehingga dapat dikatakan hak-hak anak belum sepenuhnya dapat terlindungi.27
3. Munawir dalam Jurnalnya yang berjudul “Implementasi Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Ponorogo terhadap Hak Hadhanah Anak (Kajian terhadap Putusan-putusan Cerai Gugat di PA Ponorogo tahun 2014)”
yang dipublikasikan pada tahun 2016. Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan, pertama, bahwa dalam kasus yang diteliti di Ponorogo, ada hal-hal yang menyebabkan si ayah tidak mengimplemantasikan putusan pengadilan agama tentang hak hadhanah anak, yaitu karena memiliki keluarga baru dan pengangguran. Kedua hal inilah yang menyebabkan si ayah ingin lepas tangan terhadap kewajibannya perihal hak hadhanah anak yang diasuh oleh ibunya. Kedua, langkah-langkah pengadilan agama terhadap suatu perkara yang telah diputus majelis hakim sebaiknya tidak hanya sebatas sampai pada ikrar talak yang diucapkan, tetapi pengawasan terhadap pelaksanaan putusan tersebut harus tetap diadakan. Disini peneliti memberikan satu solusi untuk pengadilan agama, yaitu dengan cara mengadakan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka mengetahui
27 Dewi Fitriyana, Pemenuhan Hak-hak Hadhanah Anak Pasca Perceraian ditinjau dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlimdumagm Anak dan Kompilasi Hukum Islam, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, tahun 2016.
betapa pentingnya perlindungan terhadap anak setelah adanya perceraian.28
4. Elimartati dan Firdaus dalam Jurnalnya yang berjudul “Hak Hadhanah Dalam Putusan Pengadilan” yang dipublikasikan pada tahun 2018, berjudul. Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan, pertama, bahwa putusan Pengadilan Agama memberikan hak asuh (hadhanah) kepada ayah karena ia mempunyai kemampuan dalam pengasuhan anak, seperti berakhlak mulia, mempunyai kemampuan dalam ilmu pendidikan dan kemampuan dalam bertanggung jawab lalu mengutamakan kemaslahattan anak daripada menetapkan hak ibu sebagai pengasuh. Kedua, Hakim lebih mementingkan kemaslahatan anak dari pada berpedoman Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyebutkan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun adalah ibunya. Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya sebagai corong Undang-undang, tetapi hakim boleh berijtihad dan melakukan contra legem yakni mengenyampingkan Pasal dalam Undang-undang tertentu dan menetapkan putusan berdasarkan ijtihadnya sendiri dengan syarat hakim mampu mengemukakan dasar-dasar pertimbangan yang rasional dan mewujudkan kemaslahatan.29
5. M. Iwan Januar dalam Bukunya yang berjudul “HADHANAH Risalah Agung Pengasuhan Anak Dalam Islam”. Dalam buku ini membahas peran orang tua terhadap anak sangatlah penting, walaupun ada perselisihan antara kedua orang tua sampai terjadi perceraian tetapi harus mendapatkan hak- haknya sebagai anak, bagaimana orang tua tetap merawat anak jangan sampai anak menjadi terlantar.30
28 Munawir, Implementasi Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Ponorogo terhadap Hak Hadhanah Anak (Kajian terhadap Putusan-putusan Cerai Gugat di PA Ponorogo tahun 2014), Jurnal Al-Manahij, Volume X, Nomor 1 (2016), h. 131.
29 Elimartati dan Firdaus, Hak Hadhanah Anak Dalam Putusan Pengadilan Agama, Jurnal Ilmiah Syari’ah, Volume 17, Nomor 2, (Juli-Desember 2018), h. 240-242.
30 M. Iwan Januar, HADHANAH Risalah Agung Pengasuhan Anak Dalam Islam, (Bogor:
Al Azhar Fresh Zone Publishing, Cet. I, 2018), h. 24.
Penelitian terdahulu di atas memiliki hampir kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu membahas tentang Nafkah Hadhanah Anak.
Namun, terdapat perbedaannya yaitu penelitian ini mengembangkan tentang pelaksanaan nafkah hadhanah anak menurut Hukum Islam serta dampak yang ditimbulkan. Selain itu, perbedaan dengan penelitian terdahulu peneliti melakukan penelitian secara langsung dan lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah wilayah Tebet, Jakarta Selatan.
24 BAB III
HAK-HAK ANAK PASCA ORANG TUA BERCERAI
A. Nafkah Anak
1. Pengertian Nafkah Anak
Secara etimologi, nafkah artinya perbelanjaan. Sedangkan secara terminologi, menurut Ibnu Himam, nafkah berarti memenuhi melimpahi sesuatu dengan sesuatu yang dapat membuatnya bertahan hidup.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nafkah adalah memberikan uang atau pendapatan dari suami kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.2 Dalam hal ini, nafkah sebagai bentuk pemberian seperti terhadap istri, orang tua, anak, kerabat, dan sebagainya. Nafkah merupakan hak istri atas suami dan kewajiban ayah kepada anaknya.3 Dapat disimpulkan bahwa nafkah merupakan sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri, anak, maupun kerabatnya yang termasuk dalam bentuk kebutuhan pokok mereka yaitu berupa pakaian, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya.
2. Dasar Hukum Nafkah Anak
Terdapat ayat mengenai hadhanah kepada anak dalam Al-Qur’an.
Berikut ini dasar hukum mengenai hadhanah antara lain:
- Surah Al-Baqarah ayat 233
1 Yahya Abdurrahman al-Khatib, Fiqh Wanita Hamil, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 164.
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nafkah, diakses dari https://kbbi.web.id/nafkah, pada tanggal 18 Februari 2021.
3 Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas Kajian Hadis-Hadis Misoginis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2008), h. 122.
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dalam pandangan Quraish Shihab, Surah Al-Baqarah ayat 233 mengandung arti bahwa Allah SWT sangat menganjurkan bahkan cenderung mewajibkan agar al-walidat memberikan air susu ibu (ASI) selama dua tahun kepada bayinya. Menurutnya, dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 sengaja menggunakan istilah al-walidat bukan al-ummahat, sebab kata al-walidat berarti para ibu, baik ibu kandung maupun bukan ibu kandung, sedangkan al-ummahat berarti ibu kandung. Dengan demikian, maka Al-Qur’an menggariskan bahwa pemberian ASI adalah terbaik untuk bayi yang harus diberikan secara maksimal selama dua tahun, baik oleh ibu kandung atau bukan. Sementara itu, ayah dari bayi tersebut memiliki kewajiban yakni:
(1) Membiayai penyusuan agar kesehatan ibu terjamin, dan ASI selalu tersedia. Kelanjutan ayat itu juga membebani ayah dengan kewajiban memberi makan dan pakaian ibu bayi (istri ayah), jika ibu tersebut dalam kondisi di talak ba’in;
(2) Jika ibu bayi dalam status talak raj’i, maka kewajiban makan dan pakaian ibu bayi (istri ayah) adalah atas dasar kewajiban ayah dalam hubungan suami istri. Kewajiban ayah tersebut menurut Quraish Shihab adalah lantaran anak tersebut membawa nama ayahnya.4
4 Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2015), h. 144.
- Surah At-Thalaq ayat 6
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”5
Dalam Tafsir Jalalain6, ayat ini menjelaskan bahwa (Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
5 https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-6
6 https://tafsir.learn-quran.co/id/surah-65-at-talaq/ayat-6
jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya;
yaitu dari pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.
- Surah At-Tahrim ayat 6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini menjelaskan bahwa Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan Syariatnya, lindungilah diri kalian dengan melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepada kalian dan meninggalkan apa yang Allah larang dari kalian, serta lindungilah keluarga kalian dengan apa yang dengannya kalian melindungi diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Yang menyiksa penghuninya adalah para malaikat yang kuat dan keras dalam perlakuan mereka. Mereka tidak menyelisihi
perintah Allah, sebaliknya mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.7
- Surah An-Nisa ayat 9
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”8
Dalam Tafsir Al-Mishbah9, ayat ini menjelaskan bahwa manusia sekali-kali tidak boleh berlaku zalim sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak yatim. Hendaklah mereka merasa takut terhadap keturunannya yang lemah akan menerima perlakuan zalim sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak yatim. Bertakwalah kepada Allah dalam menghadapi anak-anak yatim. Berbicaralah dengan ucapan yang mengarah kepada kebenaran tanpa berlaku zalim kepada siapa pun.
3. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Sementara dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah.
Dapat dilihat bahwa dalam Perundang-Undangan di Indonesia batas usia anak ini berbeda-beda. Selain dalam Perundang-Undangan di Indonesia,
7 https://tafsirweb.com/11010-quran-surat-at-tahrim-ayat-6.html
8 https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-9
9 https://risalahmuslim.id/quran/an-nisaa/4-9/
perbedaan pendapat terkait batas usia pemberian nafkah hadhanah kepada anak juga terjadi di kalangan 4 mazhab yaitu sebagai berikut:
a. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, batas usia pemeliharaan anak bagi laki- laki adalah sejak dilahirkan dan berakhir dengan ihtilam (mimpi) atau baligh., sedangkan untuk perempuan berakhir sampai ia menikah10. b. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, hak pemeliharaan baik untuk ibu dan yang lain yaitu sampai anak dapat mengerjakan kebutuhannya sehari- hari, batas usia hadhanah untuk anak laki-laki adalah tujuh tahun atau menurut sebagian lain sembilan tahun dan perempuan ketika mencapai usia sembilan tahun atau menurut sebagian lagi sebelas tahun.11
c. Mazhab Hambali
Menurut mazhab Hambali, batas usia pemeliharaan anak baik laki-laki maupun perempuan adalah tujuh tahun. Jika anak laki-laki sudah berusia tujuh tahun, maka ia diperbolehkan untuk memilih diantara kedua orang tuanya, sedangkan perempuan maka ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya.12
d. Mazhab Syafi’i
Menurut mazhab Syafi’i, tidak ada batasan usia tertentu bagi pemeliharaan anak karena anak tersebut tetap tinggal bersama dengan ibunya sampai ia dapat menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, misalnya ayah menjaga anaknya di siang hari dan ibunya menjaga anaknya pada malam hari agar sang anak bisa
10 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2005), h. 418
11 Abdurrahman al-Jaziry, fiqh Ala Mazahib al-Arba’ah, (Mesir: al Maktabah al- Tujjariyah al-Kubra, 1996), h. 548
12 Abdurrahman al-Jaziry, fiqh Ala Mazahib al-Arba’ah, (Mesir: al Maktabah al- Tujjariyah al-Kubra, 1996), h. 548-549.
menerima pendidikan dan rasa kasih sayang dari kedua orang tuanya.13
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), batas usia pemberian nafkah hadhanah untuk anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai usia 21 tahun sebagaimana bunyi Pasal 156 Poin d yang berbunyi:
“Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).”
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian berasal dari kata cerai yang secara bahasa artinya pisah.
Sedangkan menurut istilah, perceraian adalah terputusnya hubungan antara suami istri yang disebabkan kegagalan suami atau istri dalam menjalankan perannya masing-masing.14 Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.15 Jenis perceraian terbagi menjadi dua, yaitu cerai hidup dan cerai mati.
Yang dimaksud dengan cerai hidup adalah perceraian suami istri karena putusan Pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach) dan telah menyatakan secara resmi kedua belah pihak telah bercerai sedangkan cerai mati adalah perceraian yang disebabkan oleh salah satu pasangan telah meninggal dunia. Jadi, perceraian yang sah apabila dinyatakan dan diketuk palu oleh Hakim bahwasanya suami istri sudah berpisah dan resmi secara hukum maupun Agama.
13 Achmad Muhajir, “Hadhanah dalam islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan Rumah)”, Jurnal SAP, Volume 2, Nomor 2, (Desember 2017), h. 171.
14 Wikipedia, Perceraian, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian, pada tanggal 20 Februari 2021.
15 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h. 23.
2. Perceraian menurut Undang-Undang
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan itu sendiri ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.16
Pada dasarnya perceraian ini tidak dilarang apabila alasan-alasan tersebut jelas dan walaupun tidak dilarang pun perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Bagaimana tidak, dampak yang ditimbulkan akibat perceraian pun bermacam-macam yaitu putusnya hubungan perkawinan antara suami dengan istri, pembagian harta bersama atau disebut juga harta gono gini, dan terakhir yang sangat besar terkena imbasnya ialah anak-anak mereka. Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan apabila setelah Pengadilan tersebut gagal mendamaikan kedua belah pihak dalam proses mediasi.
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan perceraian dapat terjadi dengan alasan-alasan sebagai berikut:17
a. Salah satu pihsak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut- turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
16 Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama), h. 93.
17 Nunung Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Keadilan Progresif, Volume 5, Nomor 1, (Maret 2014), h. 126.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dari penjelasan tentang alasan-alasan perceraian tersebut dapat dikatakan bahwa setiap orang dalam hal ini pasangan suami istri yang bercerai harus didasarkan pada alasan-alasan yang jelas dan dapat diterima lalu gugatan cerai tersebut dapat diajukan ke Pengadilan baik Pengadilan Agama untuk yang Muslim dan Pengadilan Negeri untuk yang Non- Muslim.
3. Akibat Perceraian Dalam Hukum Islam
Dalam Islam, perceraian tidak dilarang namun alangkah baiknya jika suami istri mencari jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah.
Disebabkan perceraian tidak hanya berakibat buruk kepada kedua belah pihak tetapi yang paling terkena akibat dari perceraian ialah anak-anak mereka. Akibat yang ditimbulkan yaitu sebagai berikut:
a. Masalah perilaku pada anak
Efek dari perceraian orang tuanya, anak bisa menjadi pribadi yang tidak mau bergaul dengan teman sebayanya atau disebut juga anti sosial, mudah emosi, agresif dan sebagainya dan berbeda dengan orang tuanya yang masih bersama.
b. Kehilangan fokus anak
Disebabkan anak lebih sering bergantung kepada kedua orang tuanya, apabila orang tuanya bercerai anak akan mudah cemas, takut, dan kesulitan berkosentrasi terhadap pelajaran di sekolah.
c. Kesedihan mendalam pada anak
Jika anak yang sudah mengerti mengenai perceraian kedua orang tuanya, maka mereka akan selalu bersedih karena mempunyai orang tua yang tidak lengkap dan merasa iri terhadap teman-temannya yang
orang tuanya utuh lalu berujung si anak akan terus menerus merasakan kesepian dalam hidupnya.
C. Pemenuhan Hak Anak Setelah Orang Tua Bercerai
Pasca orang tua bercerai, anak tetap harus mendapatkan hak-haknya dan harus dipenuhi oleh kedua pihak (orang tua) antara lain:
1. Kebutuhan Pendidikan Anak
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi anak karena dengan pendidikan anak bisa belajar dan mengembangkan pengetahuannya. Setiap anak berhak memperoleh ilmu dimulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perkuliahan dan sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak terdapat hak-hak anak meliputi:
- Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih saying baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
- Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;
- Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;
- Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
2. Kebutuhan Ekonomi Anak
Selain pendidikan, kebutuhan ekonomi anak pun harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Kemudian, pemenuhan ekonomi lebih ditanggung oleh ayahnya dan jumlah nominal untuk kebutuhan si anak disesuaikan dengan penghasilannya perbulan sehingga kehidupan sehari-hari anak tetap terpenuhi dan terjamin setelah orang tuanya bercerai dan harus rutin diberikan kepada anak