• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME PERPAJAKAN: PAJAK BUMI DAN BANGUNAN : ANDHIKA WAHYUDIONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESUME PERPAJAKAN: PAJAK BUMI DAN BANGUNAN : ANDHIKA WAHYUDIONO"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME PERPAJAKAN

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DOSEN MATAKULIAH :

ANDHIKA WAHYUDIONO, S.Pd., M.Pd

KELOMPOK 10 :

MAHASISWA

IQBAL RAMADAN / 21201737

DWI UTRIYAH / 21201761

M. ALFIN ARDHANI / 21201767

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

BANYUWANGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ADMINISTRASI PUBLIK

(2)

Pajak Bumi dan Bangunan

1.Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan, dalam arti besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah daerah. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman danatau laut. (Mardiasmo, 2016: 381)

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. (Undang-Undang No.28 Tahun 2009).

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Bumi dan bangunan. Subjek Pajak dalam pbb adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hal atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki penguasaan dan atau

memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak pbb belum tentu pemilik bumi dan atau bangunan, tetapi dapat pula orang atau badan yang memanfaatkan Bumi dan atau Bangunan tersebut (Valentina Sri S. – Aji Suryo, 2006 : 14-2)

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak (Erly Suandy, 2005 : 61).

Jadi dari pengertian-pengertian menurut beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pajak bumi bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah/bangunan.

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek yaitu bumi dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut menentukan besarnya barang.

Contoh objek bumi:

· Sawah. · Ladang. · Kebun. · Tanah. · Pekarangan. · Tambang.

Contoh objek bangunan:

· Rumah tinggal.

· Bangunan usaha.

(3)

· Pusat Perbel.

· Pagar mewah.

· Kolam renang.

· Jalan tol.

PBB dapat didefinisikan sebagai “pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994”. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terhutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan, keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas objek pajak bumi dan bangunan yang diatur pengenaannya berdasarkan undang-undang . UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

· KMK No. 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian nilai harga objek pajak tidak pajak sebagai dasar penghitungan besar pajak bumi dan bangunan.

· KMK No. 523/KMK 04/1998 tentang memperkirakan dan besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak dan bangunan.

· KMK No. 1004/KMK.04/1985 tentang mengunjungi badan atau perwakilan organisasi internasional yang menggunakan objek pajak bumi dan bangunan yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan.

· Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 tentang tata cara penetapan besarnya nilai jual objek pajak tidak dikenakan pajak sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan.

· Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 tentang pengenaan pajak budan bangunan.

· Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 tentang penyesuaian nilai pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) PBB dan perubahan nilai pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) BPHTB untuk tahun pajak 2004.

· Surat Edaran Dirjen Nomor: SE-57/PJ.6/1994 tentang penegasan dan penjelasan pajak PBB atas fasilitas umum dan sarana sosial untuk kawasan industri real estate.

3. Subjek Pajak

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. (Waluyo, 2013: 216)

Pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas bumi atau bangunan. Subjek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata memiliki suatu hak atas bumi,

(4)

dan memperoleh manfaat atas bumi, dan memperoleh atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian, subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak bumi dan bangunan.

Jika subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah, letak objek pajak sedangkan peralatannya dikusakan kepada orang atau badan, orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagi wajib pajak oleh direktur pajak.

Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subjek pajak yag ditetapkan seperti pada contoh di atas dapat diberikan secara tertulis kepada direktur jenderal pajak bahwa ia tidak wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud. Jika pengajuan yang diajukan oleh wajib pajak disetujui, maka direktur pajak pajak sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat tersebut.

PEMUNGUTAN PBB dilakukan oleh pemerintah pusat (PBB-P3 dan PBB lainnya) dan pemerintah daerah (PBB-P2). Ketentuan mengenai subjek PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PBB, subjek PBB adalah orang atau badan yang memiliki hak, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, atau yang menguasai suatu bangunan. Namun, karena luasnya ruang lingkup PBB pada tingkat pusat, tak jarang ditemui suatu objek PBB yang belum diketahui secara jelas siapa subjek yang merupakan wajib pajaknya. Untuk itu, berdasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UU PBB, dirjen pajak dapat

menetapkan subjek pajak yang memiliki hak, memperoleh manfaat, dan/atau menguasai objek PBB tersebut sebagai wajib pajaknya.

Sementara itu, ketentuan mengenai subjek PBB pada lingkup daerah (PBB-P2) mengacu pada Pasal 78 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Terkait dengan cara menetapkan subjek yang merupakan wajib pajak,

ketentuannya tidak jauh berbeda dengan UU PBB pada lingkup pusat. 4. Objek Pajak

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas bumi dan bangunan, otomatis menjadi objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Yang menjadi objek pajak adalah

· Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.

· Bangunnan konstruksi adalah teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan

Yang termasuk pengertian bangunan adalah Sebuah Jalan lingkungan yang terletak di suatu komplek bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplampesemennya dan lain-lain. yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut

 Jalan tol  kolam renang  Pagar mewah  Tempat olahraga  Galangan kapal  dermaga

(5)

 Taman mewah

 Tempat penampungan atau kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

 Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang dikecualikan

Objek yang dikecualikan adalah:

o Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak melayani utuk memperoleh pelayanan keutungan, seperti: masjid, rumah, sekolah, panti asuhan, candi, gereja, dan lain-lain.

o Digunakan untuk kuburan

o Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala dan situs sejarah o Yaitu hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasionl, dan lain-lain

o Dimiiki oleh perwakilan yang ditunjuk berdasarkan asas timbal balik dan organisasi internasional yang ditentukan oleh mentri keuangan.

. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, pada pasal 3 disebutkan ada beberapa ketentuan yang mengatur objek pajak yang tidak dikenakan PBB.

· Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

· Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenisnya.

· Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

· Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

· Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Sedangkan objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur oleh lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB meliputi

· Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan.

· Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

(6)

PBB adalah termasuk jenis pajak objektif, yang mana pengenaan pajaknya lebih ditekankan pada objek pajaknya. Hal ini dapat Anda lihat melalui susunan pasal tentang objek pajak PBB berikut ini:

· Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.

· Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam/dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.

5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Apabila seorang wajib pajak telah ditetapkan sebagai subjek PBB, baik itu yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah, ia memiliki kewajiban untuk membayar pajak tersebut sesuai dengan jumlah tarif dan dasar pengenaan yang ditetapkan.

Untuk PBB dalam lingkup pusat mengacu pada ketentuan Pasal 5 UU PBB. Pasal ini menetapkan besarnya tarif pajak yang dikenakan atas suatu objek PBB pada lingkup pusat adalah sebesar 0,5%. Adapun rumus umum perhitungan PBB adalah sebagai berikut:

Rumus perhitungan pajak PBB = tarif 0.5% x NJKP

Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (3) UU PBB, NJKP ditentukan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP. Untuk PBB-P3, yang masuk pada sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (P3) sebesar 40% dari Nilai Jual Objel Pajak (NJOP). Untuk objek pajak sektor lainnya, NJKP ditetapkan sebesar 40% apabila NJOP mencapai Rp1 miliar atau lebih. Bila objek pajak lainnya memiliki NJOP.

Perhitungan PBB-P3 atau PBB lainnya yang dikelola pemerintah pusat juga diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) bangunan yang ditetapkan senilai Rp2 juta. Nilainya akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh menteri keuangan. Besarnya NJOP juga ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh menteri keuangan. Namun, untuk daerah tertentu, penetapannya dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerah tersebut. Berdasarkan ketentuan di atas, rumus pengenaan PBB yang dipungut oleh pemerintaha pusat adalah sebagai berikut:

PBB

= Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif x NJKP

= Tarif x (40% x (NJOP-NJOPTKP))*

(7)

Sementara itu, besaran tarif yang dikenakan pada PBB-P2 mengacu pada ketentuan Pasal 80 UU PDRD. Berdasarkan ketentuan tersebut, tarif PBB-P2 paling tinggi sebesar 0,3% yang ditentukan besarannya melalui peraturan daerah. Tak jauh berbeda dengan PBB pada tingkat pusat, berdasarkan Pasal 79 UU PDRD, yang menjadi dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. Besarnya NJOP tersebut ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala daerah masing-masing, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan di wilayahnya. Perlu dipahami, dalam hal perhitungannya, tidak ada unsur NJKP yang merupakan persentase tertentu dari NJOP. Dengan kata lain, perhitungan PBB-P2 berbeda dengan perhitungan dasar PBB P3 yang mengenal adanya NJKP.

Selanjutnya, penghitungan besaran pokok PBB-P2 yang terutang mengacu pada Pasal 81 UU PDRD. Besaran pokok tersebut dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah ditentukan dengan dasar pengenaan pajak yang ditetapkan kepala daerah (NJOP) setelah dikurangi NJOPTKP.

Sesuai dengan Pasal 77 ayat (4) dan (5) UU PDRD, besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp10 juta untuk setiap wajib pajak. Selain NJOP, NJOPTKP ini juga ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan kata lain, rumus dari penghitungan PBB-P2 adalah sebagai berikut:

PPB-P2

= Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif x (NJOP-NJOPTKP).

Contoh Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Otong memiliki tanah seluas 72 meter persegi, setiap meter persegi sehaarga Rp. 2.000.000. bangunan seluas 36 meter persegi, setiap meter persegi seharga Rp. 1.000.000. dan taman seluas 36 meter persegi, setiap meter persegi untuk Rp. 500.000. apabila NJOPTKP yang ditetapkan adalah Rp. 10.000.000, berapa PBB yang harus dibayar Otong?

di belakang:

Nilai tanah 72 x Rp. 2.000.000 = Rp. 144.000.000 Bangunan 36xRp. 1.000.000 = Rp. 36.000.000 Taman 36 x Rp. 500.000 = Rp. 18.000.000

1. Menghitung nilai bangunan Nili bangunan = bangunan + taman – NJOPTKP Bangunan Rp. 36.000.000

Taman Rp. 18.000.000 (+) Rp. 54.000.000 NJOPTKP Rp. 10.000.000 (-) Nilai bangunan Rp. 44.000.000

2. Menghitung Niai Jual Objek Pajak (NJOP) NJOP = nilai bangunan + taman

(8)

Nilai tanah Rp. 144.000.000 (+) NJOP Rp. 188.000.000

3. Menghitung PBB yang harus

Nilai tanah 0,5% x 20% x Rp. 144.000.000 = Rp 144.000 Nilai bangunan 0,5% x 20% x Rp. 44.000.000 = Rp. 44.000 (+) PBB yang harus ditetapkan = Rp. 188.000 (harus sama dengan NJOP) 6. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan

Pembayaran pajak, termasuk di antaranya pajak bumi dan bangunan (PBB), merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap wajib pajaknya. Namun, bagaimana kewajiban tersebut dijalankan? Seperti apa tata cara melunasi pembayaran PBB yang terutang tersebut? Berbeda dengan jenis pajak lainnya di Indonesia yang menerapkan sistem self-assesment, pemenuhan kewajiban PBB menerapkan sistem official assessment. Artinya, otoritas pajak yang menentukan jumlah pajak terutang dari wajib pajak. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum atas jumlah pajak yang dibayar oleh wajib pajak.

Penagihan PBB

Ketentuan penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Berdasarkan ketentuan tersebut, jangka waktu pembayaran pajak terutang ditentukan berdasarkan jenis surat terutang yang merupakan dasar penagihan pajak tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU PBB, otoritas pajak melakukan penagihan pajak dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP). Namun, untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Ditjen Pajak (DJP).

Selain itu, merujuk pada Pasal 10 ayat (2) UU PBB, otoritas pajak juga dapat melakukan penagihan pajak dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku. Penagihan dengan SKP tersebut dilakukan apabila wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya walaupun sudah ditegur secara tertulis atau apabila jumlah pajak yang terutang ternyata lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP. Untuk penagihan pajak yang terutang dengan SPPT, berdasarkan pada Pasal 11 ayat (1) UU PBB, pajak yang terutang tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat enam bulan. Jangka waktu tersebut terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak yang bersangkutan.

Sementara itu, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UU PBB, untuk penagihan pajak yang terutang dengan SKP, pajak yang terutang tersebut harus dilunasi paling lambat dalam waktu satu bulan. Jangka waktu yang dimaksud juga terhitung sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Lebih lanjut, sesuai Pasal 11 ayat (3) UU PBB, apabila seorang wajib pajak

(9)

terlambat atau kurang dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang padanya maka terhadap wajib pajak tersebut akan dikenai denda administrasi. Adapun denda yang dikenakan, sebesar 2% setiap bulannya dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai tanggal dilakukannya pembayaran dalam jangka waktu paling lama 24 bulan.

Sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (4) UU PBB, untuk penagihan denda administrasi dan pokok pajaknya dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Adapun dalam penagihan yang dilakukan, meliputi denda administrasi beserta jumlah hutang pajak yang belum atau yang kurang dibayarnya. Denda administrasi tersebut harus dilunasi paling lambat dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya STP oleh wajib pajak. Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU PBB, menteri keuangan juga dapat melimpahkan kewenangan untuk melakukan penagihan PBB kepada gubernur, bupati, atau wali kota madya.

Selanjutnya, ketentuan penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah (PBB-P2) diatur dalam Pasal 101 UU PDRD. Sesuai dengan pasal tersebut, kepala daerah memiliki kewenangan untuk menentukan tanggal jatuh temponya pembayaran dan penyetoran PBB yang terutang.

Pembayaran PBB

Tata cara pembayaran PBB yang dipungut pemerintah pusat diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU PBB. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembayaran PBB dapat dilakukan di bank, kantor pos, giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

Selanjutnya, mengacu pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014), pembayaran dan penyetoran pajak termasuk PBB dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Selain dengan SPP, pambayaran dan penyetoran PBB juga dapat dilakukan menggunakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Adapun sarana administrasi lain yang dimaksud berdasarkan Pasal 11 ayat (3) PMK 242/2014.

Sarana administrasi lain itu meliputi bukti penerimaan negara (BPN), bukti pemindahbukuan (Pbk) atas pembayaran, atau bukti penerimaan pajak lainnya yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang penggunaanya akan dinyatakan sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Untuk bukti Pbk baru dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menerbitkan bukti Pbk.

Adapun tata cara pembayaran PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam peraturan masing-masing daerah sebagaimana ditekankan dalam Pasal 101 ayat (4) UU PDRD. Untuk tenggat waktu pembayaran juga ditetapkan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam hal ada perpanjangan jatuh tempo pembayaran PBB. Simak Jatuh Tempo Pembayaran PBB-P2 Diperpanjang Sampai Oktober 2020. Namun, apabila wajib pajak masih belum juga melunasi pembayaran PBB baik yang dipungut pemerintah pusat maunpun daerah sampai waktu jatuh tempo maka berdasarkan Pasal 13 UU PBB dan Pasal 102 UU PDRD, otoritas

(10)

pajak dan pemerintah daerah dapat melakukan penagihan dengan surat paksa. Simak Memahami Pengertian Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

7.Pengalihan PBB pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah.

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD) yang secara resmi diberlakukan tanggal 1 Januari 2010 memberi kewenangan penuh kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yang menurut pasal 182 ayat 1 UU PDRD dilaksanakan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2014.

Pajak daerah menurut UU No 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaiman telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2009 terdiri dari pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Pajak kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Wallet, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD) yang secara resmi diberlakukan tanggal 1 Januari 2010 memberi kewenangan penuh kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yang menurut pasal 182 ayat 1 UU PDRD dilaksanakan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2014.

Dengan masa peralihan selama empat tahun tersebut, Pemerintah daerah Kota Serang diharapkan mampu mengelola PPB-P2. Pemerintah Kota Serang harus sepenuhnya menyadari bahwa agenda pengalihan PBB ini merupakan sebuah pekerjaan besar, selain akan dihadapkan pada beberapa kendala, rencana ini juga membutuhkan waktu dan perencanaan yang matang agar prosesnya dapat berjalan baik dan memberikan hasil yang optimal. Kendala tersebut antara lain : pertama, kesiapan Sumber daya Manusia, proses pemunggutan PBB perdesaan dan perkotaan memerlukan kesiapan sumber daya manusia (SDM) pada Pemda kota serang yang nantinya akan melaksanakan pengadministrasian PBB secara otonom. Belum adanya tenaga Penilai, Pengawas, dan Juru Sita yang merupakan tenaga fungsional harus mendapatkan perhatian. Pemenuhan kebutuhan SDM dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas SDM agar dapat mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan, atau melalui

(11)

rekruitmen pegawai baru dengan kualifikasi tersebut. Kedua, payung hukum, aturan hukum teknis pelaksanaan kegiatan (peraturan pelaksana, Juknis) sebagai panduan/acuan langkah-langkah kegiatan pemungutan PBB sendiri yang belum diterbitkan, membuat Pemda belum dapat melakukan persiapan yang sistematik.

Adapun terkait banyaknya Perda yang harus disiapkan Pemda untuk teknis pelaksanaan pemungutan PBB di daerah. Ketiga, Pajak Bumi dan Bangunan menyimpan permasalahan administrasi yang cukup rumit. Hal ini terkait dengan masalah manajemen dan basis data. Keempat, Pajak bumi dan bangunan perkotaan dan pedesaan pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut Pajak tetapi juga terkait dengan masyarakat pada umumnya serta khususnya masyarakat yang menjadi subjek PBB yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif baik itu orang pribadi atau badan menjadi wajib pajak bumi dan bangunan dan harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami ketentuan pajak dan retribusi daerah dengan jelas agar memenuhi kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Peralihan PPB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah akan berpengaruh terhadap jumlah pajak yang dipungut. Jumlah pungutan diasumsikan akan meningkat jika dilakukan persiapan yang optimal.

Pengertian PBB Pedesaan dan Perkotaan (P2)

Menurut Marihot (2010:553) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah “Pajak atas Bumi dan atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Bumi menunjuk pada permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau perairan dan digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha.” Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Objek, Subjek dan Dasar Pengenaan Pajak PBB Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menurut UU no 28 tahun 2009 pasal 77 ayat 1 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

(12)

Subjek PBB menurut Pasal 78 undang undang No 28 Tahun 2009 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata - rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Untuk tidak terlalu membebani Wajib Pajak dan tetap memperhatikan penerimaan negara, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP yaitu serendah rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Tahapan Peralihan PBB P2 Dalam Tahapan Peralihan PBB P2 diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomer 213/PMK.07/2010 dan Nomer 58 Tahun 2010 Tentang tahapan Persiapan Peralihan Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan sebagai Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut (Pusaka, 2015);

1. Pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hanya dapat dilakukan pada 1 Januari Tahun Pengalihan.

2. Dalam hal Pemerintah Daerah memungut PBB-P2 sebelum tahun 2014, Pemerintah Daerah harus memberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan.

3. Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d.

4. Pasal 9 Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), yang berkaitan dengan kompilasi:

a. peraturan pelaksanaan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010; b. SOP terkait PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010;

c. struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan PBBP2, paling lambat tanggal 30 November 2010;

d. data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya, paling lambat tanggal 31 Januari Tahun Pengalihan;

(13)

e. Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum Tahun Pengalihan, paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan;

f. salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan;

g. hasil penggandaan basis data PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan

h. hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan.

5. Batas waktu penyelesaian Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), paling lambat tanggal 30 November 2010.

6. Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat berkaitan dengan:

a. sarana dan prasarana, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan;

b. struktur organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan;

c. sumber daya manusia, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan;

d. Peraturan Daerah, paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan;

e. Peraturan Kepala Daerah, dan SOP, paling lambat tanggal 31 Oktober sebelum Tahun Pengalihan;

f. kerjasama dengan pihak terkait, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan; dan

g. pembukaan rekening PBB-P2 pada bank yang sehat, paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan.

7. Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, diserahkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 10 Desember 2010.

8. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyerahkan hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ke Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 17 Desember 2010

(14)

9. Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, dan huruf e, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat tanggal 31 Januari Tahun Pengalihan.

10. Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat tanggal 5 Januari Tahun Pengalihan.

11. Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi mengenai pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2.

(15)

DAFTAR PUSTAKA https://news.ddtc.co.id/tata-cara-penagihan-dan-pembayaran-pbb-27242?page_y=5693.71435546875 https://news.ddtc.co.id/subjek-tarif-dan-dasar-pengenaan-pbb-27162?page_y=2789 http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan pbb http://www.tarif.depeu.go.id/bidang/?bid=pajak&pbb Mardiasmo, perpajakan , Yogyakarta: Andi, 2003.

Sambodo, Agus, Pajak dalam Entitas Bisnis , Jakarta: Salemba Empat, 2015. Waluyo, Perpajakan Indonesia , Jakarta: Salemba Empat, 2005

Referensi

Dokumen terkait

BOSDA DIKMEN adalah program bantuan untuk operasional sekolah yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada satuan pendidikan formal

Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share memungkinkan memberikan kemampuan pemecah masalah yang lebih baik ditinjau dari gaya belajar siswa yang tetapi tidak menutup

Fungsi pengadaan merupakan fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia dalam usaha untuk memperoleh jenis dan jumlah SDM yang tepat, melalui proses pemanggilan, seleksi,

Penelitian ini menggunakan satu variable independen (kinerja keuangan), satu variabel dependen (Nilai Perusahaan) dan dua variabel moderasi ( Corporate Social

Hal tersebut didasarkan pada hasil analisis data yang menunjukan bahwa persentase tingkat pengetahuan siswa kelas X dalam mitigasi bencana banjir adalah 90,89%.

Pengaruh Pemberian Hormon hCG dengan Dosis yang Berbeda secara Berkala terhadap Perkembangan Gonad Ikan Tawes (Barbonymus Gonionotus).. (Ristiawan Agung Nugroho dan

Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Keuangan Daerah jo Pasal 93 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Hal ini dibuktikan dalam penelitian Rasab (2016: p.64) daun belimbing wuluh mempunyai daya hambat pertumbuhan bakteri dikarenakan terdapat komponen kimia aktif antimikroba