• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI PEMBERIAN PAKAN ALAM Chaetoceros calitrans DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA TERHADAP SINTASAN LARVA UDANG WINDU PADA STADIA ZOEA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMASI PEMBERIAN PAKAN ALAM Chaetoceros calitrans DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA TERHADAP SINTASAN LARVA UDANG WINDU PADA STADIA ZOEA SKRIPSI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

SALAHUDDIN 105940051110

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

(2)

Skripsi

Oleh :

SALAHUDDIN 105940051110

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

(S1) Pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Muhammadiyah Makassar

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

(3)
(4)
(5)

RINGKASAN

SALAHUDDIN, 105940051110. OPTIMASI PEMBERIAN PAKAN ALAMI Chaetoceros calcitrans, DENGAN KEPADATAN BERBEDA TERHADAP SINTASAN LARVA UDANG WINDU STADIA ZOEA. Dibawah bimbingan Bapak Dr. Sahabuddin, S.pi, M.si, dan Ibu Ir. Andi Khaeriyah, M.pd.

Tersedianya pakan alami merupakan faktor yang berperan penting dalam mata rantai usaha budidaya udang windu Paeneaus monodon terutama pada pase larva. Diantara berbagai spesies pakan alami yang ada, Chaetoceros calcitrans memenuhi persyaratan sebagai pakan alami.

Penelitian ini bertujuan menentukan kepadatan Cheatoseros calcitrans yang optimal untuk sintasan (SR) larva udang windu pada stadia zoea. Dilaksanakan pada bulan Oktober – Nopember 2015 di Instalasi Pembenihan Udang Windu (IPUW) Barru.

Rancangan yang di gunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 kontrol 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diujikan tersebut adalah : Perlakuan K dengan kepadatan pakan 50000 sel/ml pada zoea 1, kepadatan 80.000 sel/ml untuk zoea 2 dan kepadatan 120.000 sel/ml untuk zoea 3. Perlakuan A menggunakan kepadatan pakan 75000 sel/ml selama penelitian, perlakuan B menggunakan kepadatan pakan 100000 sel/ml selama penelitian, perlakuan C menggunakan kepadatan pakan 125000 sel/ml selama penelitian.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sintasan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan K (kontrol) dengan sintasan 60% dimana pada perlakuan K (kontrol) dilakukan pemberian pakan dengan kepadatan berbeda sesuai dengan perkembangan larva. Sementara hasil sintasan pada perlakun A 25% dengan kepadatan pakan yang sama selama penelitian, sintasan pada perlakuan B yaitu 32% dengan memperthankan kepadatan yang sama selama penelitian, dan sintasan pada perlakuan C yaitu 24% dengan kepadatan pakan yang sama selama penelitian.

Perkembangan larva udang windu stadia zoea selama penelitian pada setiap perlakuan berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop berkembang dengan merata sesuai dengan perkembangan pada larva udang windu khususnya stadia zoea.

Kisaran pada parameter kualitas air yang didapatkan selama penelitian masih dalam kisaran yang layak dalam pemeliharaan larva udang windu.

(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunnjuk dan Rahmat-Nya kepada penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan Profosal penelitian ini dengan judul “ Pemberian Pakan (Chaetoberos Calcitrans)

Dengan Kepadatan Bereda Terhadap Optimasi Pertumbuhan dan Sintasan(SR) Udang Windu Pada Stadia Zoea” Proposal Penelitian ini dibuat sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan program studi pada fakultas pertanian jurusan budidaya perairan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak terutama dosen pembimbing yang telah membantu dan mendukung serta memberi motivasi yang tak ternilai harganya bagi masa depan kami, penyusunan profosal penelitian ini yang akan di laksanakan di Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros.

Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan bagi pembaca umumnya. Terutama dalam pengaplikasian pemberian pakan

(Chaetoceos calcitrans) dengan kepadatan yang sesuai terhadap pertumbuhan dan

sintasan udang windu pada stadia zoea sampai mysis. Gephyrocapsa sp Makassar, April 2015

(7)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... .ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan dan Keguanaan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu ... 4

2.2 Habitat Udang Windu ... 5

2.3. Makan dan Kebiasan Makan Larva Udang Windu Stadia Zoea ... 6

2.4. Perkembanan larva ... 7

2.5. (Chaetoceros sp) ... 9

2.6. Pertumbuhan Larva Udang Windu... 10

2.7. Sintasan Larva Udang Windu ... 11

2.8 Parameter Kwalitas Air ... 11

2.8.1 Suhu ... 11

2.8.2 Salinitas ... 12

2.8.3. Derajat Keasaman ( pH ) ... 12

2.8.4. Oksigen Terlarut ( DO ) ... 12

(8)

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Hewan Uji ... 15

3.4. Pakan Uji ... 15

3.5. Prosedur Peenelitian ... 15

3.5.1. Persiapan Wadah ... 16

3.5.2. Penyediaan Chaetoceros Calcitrans ... 16

3.5.3. Pemeliharaan Larva ... 16

3.4. Rancangan Percobaan ... 16

3.5. Analisis Sampel ... 17

3.6. Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Sintasan ... 19

1.2. Perkembangan larva ... 21

1.3. Parameter kualitas air. ... 22

4.3.1. Suhu ... 23

4.3.2. Salintas ... 23

4.3.3. Derajat keasaman (pH) ... 23

4.3.4. Disolved Oksigen (DO) ... 24 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

1. Udang Windu ... 4

2. Siklus Hidup Udang windu ... 5

3. Chaetoceros Sp ... 9

(10)

1. Tabel 1. alat yang di gunakan ... 11 2. Tabel 2. bahan yang di gunakan ... 11 3. Table 3. Parameter Kualitas Air ... 22

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini usaha pembenihan udang semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi budidaya udang ditambak. Sebelum tahun 1980 pembenihan udang di Indonesia baru terdapat di Sulawesi Selatan, Jepara dan beberapa di Jawa Timur, hal ini disebabkan belum berkembangnya pemeliharaan udang di tambak pada saat itu. Namun setelah diterapkannya budidaya tambak secara intensif, kebutuhan benur menjadi semakin meningkat dan benur alam tidak mampu lagi mencukupi. Disaat itulah pembenihan udang dengan investasi besar mulai dibangun dan berkembang dengan pesat diseluruh wilayah Indonesia. Pembenihan udang menjadi alternatif penyediaan benih untuk kepentingan budidaya. Kesuksesan pembenihan di pengaruhi oleh faktor internal berupa kualitas induk, kualitas larva umur larva. Faktor eksternal dapat berupa kualitas lingkungan, ketersediaan pakan alami bagi larva itu sendiri. Pakan alami fitoplankton sangat menenetukan keberhasilan pembenihan baik dari segi jumlah maupun jenis.

Dilihat dari daya reproduksi dan produktivitas, maka fitoplankton mempunyai produktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan organisme autotrof yang lebih tinggi tingkatnya. Fitoplankton juga dapat berperan sebagai produsen tingkat pertama yang ada diseluruh badan air di muka bumi.

Diatomae adalah salah satu jenis fitoplankton (alga) yang banyak digunakan sebagai pakan larva. Penelitian yang dilakukan Haryanti dkk (1991a)

(12)

membuktikan bahwa larva udang yang diberi pakan alga jenis diatomae mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat daripada alga non diatomae. Diatomae yang sering digunakan sebagai pakan terutama pada pemeliharaan larva udang adalah Skeletonema sp dan Chaetoceros sp Haryanti dkk (1991b) menyatakan bahwa dari tiga jenis diatomae yang digunakan sebagai pakan alami udang windu yaitu Skeletonema costatum, Chaetoceros calcitrans, dan Chaetoceros cerotospowm, Chaetoceros calcitrans memberikan pertumbuhan

yang lebih baik dari dua jenis diatomae yang lain. Selain memberikan pertumbuhan yang tinggi, Chaetoceros sp banyak digunakan sebagai pakan alami pada unit-unit pembenihan karena disamping memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, pada kondisi lingkungan yang cocok kepadatan dari pakan alami ini cepat meningkat. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp yaitu protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Perumusan masalah yakni berapakah kepadatan ideal dalam pemberian pakan alami chaetoceros calcitrans terhadap optimasi pertumbuhan dan sintasan larva udang windu pada stadia zoea. Maka dari itu perlu di lakukan percobaan pemberian pakan dengan kepadatan berbeda terhadap larva udang windu stadia zoea sampai mysis untuk mengetahui tingkat kepadatan yang sesuai dengan optimasi pertumbuhan dan sintasan ( SR ) udang windu pada stdia zoea.

(13)

1.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kepadatan Cheatoseros calcitrans yang optimal untuk sintasan ( SR ) larva udang windu

pada stadia zoea. Sedangakan kegunaan dari penelitian ini adalah setelah mengetahui kepadatan pemberian pakan alami cheatoceros calcitrans yang sesuai terhadap larva udang windu pada stadia zoea sampai mysis maka harapannya dapat di aplikasikan pada panti-panti pembenihan atau hatchery udang windu agar dapat menunjang optimasi prtumbuhan dan sintasan ( SR ) larva udang windu pada stadia zoea sampai mysis yang di pelihara.

(14)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu

Gambar 1. Udang windu

Klasifikasi

Adapun klsifikasi dari udang windu (Penaeus monodon), sebagai beriikut :

Kingdom:Animalia Filum:Arthropoda Subfilum:Crustacea Kelas:Malacostraca Ordo:Decapoda Famili:Penaeidae Genus : Penaeus Spesies:Penaeusmonodon(Anonim,2012) Morfologi

(15)

luar, tubuh udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakan. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu itu dinamakan kepala-dada (cepholothorax) serta bagian

perut (abdomen) terdapat ekor dibagian belakangnya.

Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas. Sedangkan bagian perut terdiri dari 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan chitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungannya antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk

bergerak (Mujiman dan Suyanto, 2005)

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.

2.2 Habitat dan penyebaran udang windu.

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada

(16)

permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur (Amri, 2003).

Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa.

Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).

2.3. Makan dan Kebiasaan Makan Udang Windu (Stadia Zoea)

Zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhkan asupan pakan ini didapatkan dari media pemeliharaan berupa phytoplankton. Pakan alami yang diberikan pada stadia ini berupa Chaetoceros

(17)

sp., Pavlova lutheri, Nannochloris oculata, Skeletonema costatum, Thalassiosira

pseudonana dan Tetraselmis sp

2.4. Perkembangan Larva Udang Windu

Gambar 2. Sirkulasi perkembangan udang windu..

Seabagian besar udang dewasa dari family penaeid mengalami siklus hidupnya di daerah lepas pantai. Pada daerah ini udang akan menjadi dewasa kemudian mengalami perkawinan sampai menetaskan telur. Akan tetapi, setelah telur mengalami perubahan stadia menjadi mysis, maka udang akan melakukan migrasi menuju perairan pantai hingga menjadi juvenil. (whetstone et al ,2002).

(18)

Menurut Mudjiman. A (1981), perkembangan stadia pada udang penaied yaitu :

1. Naupli

Naupli menetas dari telur. Pada stadia ini memiliki 5 tahapan perubahan stadia. Stadia ini belum aktif mencari makan dan melayang-layang di antara permukaan dan dasar laut, yakni bersifat domersal. Naupli masih menggunakan cadangan makanan yang dimiliki oleh tubuhnya sehingga tidak memerlukan asupan dari luar. Akan tetapi pada stadia naupli 5 telah di berikan pakan alami berupa plangkton (terutama diatom). 1. Zoea

Sekitar 2-3 hari setelah menetas masuk pada fase zoea. Pada Stadia ini larva sudah berukuran 1,06 – 3,30 mm dan benih udang sudah mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadiazoea 1, zoea 2, dan zoea 3. Pada stadia ini juga merupakan stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan pytoplankton yang berasal dari lingkungan peraiaran sekelilingnya. Pada stadia ini tubuh udang mengalami perpanjangan di bandingkan pada stadia naupli. Protozoea memiliki kemampuan renang aktif ke lapisan permukaan lautdan menghanyut sebagai plankton. Pada stadia ini terdapat perkembangan mata dan rostrum. Zoea memiliki kebiasaan makan dengan cara menyerap (filter feeder). Kebutuhan asupan pakan ini di dapatkan dari media pemeliharaan berupa fitoplankton. Pakan alami yang di berikan pada stadia ini berupa Chaetoceros.Sp, Pavlovaluthri, Nannochloris Oculata, Skeletonema Costatum, Thalssiosira

(19)

Pseudonanan Dan Tetraselmis Sp. Periode ini memerlukan waktu sekitar

96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit. 2. Mysis.

Secara morfologi larva udang sudah menyerupai bentuk udang. Pada stadia ini sudah mulai di berikan pakan alami yaitu fitoplankton dan zooplankton, pada saat ukuran larva 3,50 – 480 mm.

3. Post larva

Perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan di dasar perairan dan menyukai makan hewan-hewan kecil yang hidup di dasar laut ( benthos). Hitungan umum udang pada post larva (pl), misalnya setelah 1 hari menjadi pl maka disebut pl 1, setelah 2 hari menjadi pl makadi sebut pl 2 dan seterusnya udang windu dapat mulai di tebar ditambak pada saat mencapai pl 9.

2.5. Pertumbuhan Larva Udang Windu

Dalam pertumbuhannya, larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit. Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea, Mysis dan postlarva.

Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini.

(20)

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode Zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.

3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.

5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.

6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt.

2.6. Sintasan ( Kelangsungan Hidup ).

Sintasan (SR) atau kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir periode pemeliharaan dan jumlah individu yang hidup pada awal periode pemeliharaan dalam populasi yang sama. Factor – factor yang mempengaruhi tinginya prosentase kelangsungan hidup adalah factor biotik dan abiotik seperti kompotitor, kepadatan poulasi, penyakit, umur, kemampuan organisme dalam beradaptasi dan penanganan manusia ( Effendie, 1997). Untuk

(21)

menghasilkan sintasan yang tinggi pada larva udang windu khususnya pada stadia zoea maka diberikan pakan alami yang sesuai yaitu Chaetoceros calcitrans, dimana Chaetoceros calcitrans memiliki ukuran kecil sehingga dapat dimakan oleh larva zoea udang windu karna sesuai dengan bukaan mulutnya. Menurut Wardiningsih (1999), menyatakan bahwa ada beberapa hal yang diperhatikan didalam pemberian pakan yaitu jenis pakan, Secara umum pakan yang diberikan pada larvaudang selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (phytoplanktondan zooplankton) dan pakan komersil (buatan). Secara alami makanan udang adalah plankton.Adapun jenis plankton yang baik dan memenuhi syarat dijadikan makanan larva udang,khususnya pada stadia zoea dan mysis memerlukan pakan plankton berupa Tetracellmis,Chaetoceros calcitrans, selain daripada itu chaetoceros calcitrans juga memiliki kandungan nutris yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Isnansetyo dan Kurniastuty ( 1995 ), Wirosaputro (1998) Antik dkk ( 1999 ) serta Antik Erlina Agus Basyar (2001), bahwa potensi produk phytoplankton secara massal telah dibuktikan dengan kandungan nutritif yang tidak berbeda dibandingkan dengan hasil kultur secara laboratoris. Hal ini menjadikan energi yang diperoleh dari phytoplankton pakan alami tersebut akan dikonversikan menjadi energi untuk metabolisme pada feses, urine, dan proses metabolisme, serta sisa energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan biota yang mengkonsumsinya (Capuzzo, 1981 ). Hal ini diperjelas oleh Fox ( 1983 ) dan Chiu-Liao et. al. ( 1983 ), bahwa pemanfaatan protein untuk metabolisma dan perbaikan jaringan, menjadikan nilai protein dari suatu pakan akan sangat penting untuk pertumbuhan. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa nilai karbohidrat pada pakan akan digunakan untuk metabolisma dan pernapasan.

(22)

2.7. Chaetoeros Sp.

Gambar 3. Chaetoceros Sp.

Klasifikasi dan Morfologi Chaetoceros, sp menurut (Isnansetya dan Kurniastuty, 1995) adalah :

Chaetoceros sp merupakan salah satu diatom :

Phyllum : Chrysophyta Class : Bacillariopohyceae Sub Calss : Centricoe/

Ordo : Centroles Famili : Chaetoceros Spesies : Chaetoceros sp

Organisme ini merupakan sel tunggal dan dapat membentuk rantai menggunakan duri yang saling berhubungan dari sel yang berdekatan. Tubuh utama berbentuk seperti petri dish. Jika dilihat dari samping organisme ini berbentuk persegi dengan m, dengan duri yang menonjol darim dan lebar 15-17

(23)

dan mencapai panjang m. Populer sebagai pakan rotifer, kerang-kerangan, tiram, dan larva200 udang ( Isnansetya dan Kurniastuty, 1995).

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa Chaetoceros sp merupakan diatom yang bersifat eurythermal dan euryhaline. Daerah penyebarannya meliputi muara sungai, pantai dan laut pada daerah tropis dan subtropis. Diatom ini dapat hidup pada kisaran suhu yang tinggi, pada suhu air 400C fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada kisaran antara 25 - 300C. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 ‰. Seperti halnya fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros sp ini juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara 500 – 10.000 lux, dan pertumbuhannya akan menurun jika intensitas cahaya melebihi 10.000 lux.

Chaetoceros calcitrans merupakan pakan alami phytoflankton yang memiliki keunggulan nutritif yang tinggi sehingga memberikan nilai lebih pada biota yang mengkonsumsinya. Nilai asam lemak yang terdapat pada phytoplankton pakan alami relatif tinggi. Dinyatakan oleh Brauwn et al. (1989), bahwa asam lemak terbagi menjadi kelompok SAFA ( asam lemak jenuh ), MUFA ( asam lemak tidak jenuh tunggal ), PUFA ( asam lemak tidak jenuh ganda ), OMEGA-3, OMEGA-6 dan OMEGA-9. Berdasarkan kepada hasil analisis maka jenis phytoplankton pakan alami tersebut memberikan nilai asam lemak yang cukup tinggi. Nilai tersebut relatif lebih tinggi sehingga dapat berperan pada

(24)

perkembangan dan pertumbuhan biota pemangsanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Hardjito dkk. ( 1998 ) serta Panggabean dkk. (1999), bahwa kandungan asam lemak yang cukup tinggi pada suatu pakan, akan memberikan peluang pemanfaatan bagi biota pemangsanya, dan bahkan pada manusia sebagai konsumer utama. Lebih lanjut ditambahkan bahwa kandungan asam lemak omega 3 akan berperan penting pada pencegahan penyakit generatif, menghindarkan gangguan pada jantung koroner serta berperan dalam perkembangan otak. Kajian Nutritif Phytoplankton Pakan Alami pada Sistem Kultivasi Massal (Antik Erlina, dkk )- 209 lmu Kelautan. Desember 2004. Hal ini dikarenakan asam lemak omega 3 terkait dengan pembentukan struktur dan fungsi syaraf, terutama pembentukan postglandin yang berperan pada fungsi fisiologis tubuh. Berdasarkan potensi nutritif tersebut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Wirosaputro (1998) serta Antik dan Djunaidah (1998) membuktikan bahwa phytoplankton tidak hanya potensial menjadi pakan alami bagi biota di tropik level diatasnya, namun dapat mengisi kebutuhan bahan kimiawi dan pharmakologis yang tidak dapat dipenuhi dari hasil sumberdaya alam yang lain.

2.8. Parameter kualitas air

2.8.1. Suhu

Suhu air sangat dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang jatuh ke permukaan air yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi diserap dalam bentuk energi panas (Welch 1952). Pengukuran suhu sangat perlu untuk mengetahui karakteristik perairan. Menurut Schwoerbel (1987) suhu air

(25)

merupakan faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan. Suhu yang ideal untuk pemeliharaan larva udang windu adalah 26 – 300 C. (dkp 2012)

2.8.2 Salinitas

Salinitas merupakan cerminan dari jumlah garam yang terlarut dalam air. Secara alami salinitas laut lepas rata-rata sebesar 35 ppt. Menurut Fuad dkk (1988) bahwa sebagai hewan yang melewatkan hamper seluruh masa, pada masa awal hidupnya di laut, udang windu memerlukan air berkadar garam antara 29-32 ppt.

2.8.3 Derajat Keasaman ( pH )

Nilai pH didefinisikan sebagai negatif logaritma dari konsentrasi ion Hodrogen dan nilai asam ditunjukkan dengan nilai 1 s/d 7 dan basa 7 s/d 14. Kebanyakan perairan umum mempunyai nilai pH antara 6-9. Perairan yang asam lebih kecil dan dapat menurun sampai 2 (Goldman dan Horne 1983). Pescod (1973) mengemukakan bahwa batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, kandungan kation dan anion maupun jenis dan tempat hidup organisme. Menurut Pescod (1973) perairan yang ideal bagi kegiatan budidaya perikanan adalah 6,8 s/d 8,5 dan perairan dengan pH<6 menyebabkan organisme renik tidak dapat hidup dengan baik.

(26)

2.8.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oksigen- DO)

Oksigen dalam perairan bersumber dari difusi ataupun hasil proses fotosintesis organisme produsen. Oksigen dikonsumsi secara terus menerus oleh tumbuhan dan hewan dalam aktivitas respirasi (Goldman dan Horne 1983). Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut 2 mg/L dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun, sedangkan Banarjea (1967) menyatakan bahwa perairan dengan oksigen terlarut lebih besar dari 7 mg/L adalah tergolong produktif.

(27)

III.METODE PENILTIAN

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian di lakasanakan pada bulan Oktober-November 2015. Penilitian bertempat di Instalasi Pengembangan Udang Windu (IPUW) Barru.

3.2. Alat Dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang di gunakan dalam penilitian ini dapat di lihat pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Alat yang di gunakan.

No Alat Kegunaan 1. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Spidol snowman Blower Kabel listrik Toples kaca / plas Slang aerasi Batu aerasi Krang aerasi Spoit

Lakban warna kuning Gunting DO meter pH meter Thermometer Talenan Gelas ukur Cover glas Mikropipet Botol sampel Mikroskop Olympus BX 40 Stapol Adaptor Haemocytometer

Alat penanda label Menyuplai O2

Penyambung listrik untuk blower Wadah pemeliharaan larva udang windu Penyuplai aerator

Penghasil gelembung CO2

Untuk mengatur besar kecilnya aerator Alat untuk mengambil sampel

Sebagai label setiap toples Untuk memotong alat

Untuk mengukur konsentrasi O2 Untuk mengukur derajat keasaman Mengukur suhu

Untuk menyipan botol sampel

Tempat air pembilas haemocytometer Gelas penutup sampel

Alat pengambil sampel Alat menyimpan sampel

Alat untuk mengamati Chaetoceros calcitrans.

Alat bantu monitor mikroskop Alat bantu monitor mikroskop

Alatmenghitung kepadatan Chaetoceros calcitrans

(28)

23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Kaca preparat kecil Tissue

Kanebo Buku Pensil

Hand caunter (alat hitung) Calculator

Penutup haemocymeter

Untuk membersihkan haemocytometer Untuk membersihkan alat

Tempat untuk mencatat hasil Untuk mencatat hasil

Sebagai alat menghitung kepadatan Alat untuk menghitung hasil akhir kepadatan

Tabel 2. Bahan yang di gunakan.

No Jenis bahan Kegunaan 1. Air laut

Chaetoceors sp Benur udang windu

Media pemeliharaan.

3.3 Oganisme uji

Organisme yang akan diujikan dalam penelitian ini adalah larva udang windu pada stadia zoea.

3.4 Pakan uji

Pakan yang akan diujikan pada penelitian ini adalah pakan alami phytoplankton jenis diatomae Chaetoceos calcitrans.

3.5. Prosedur penelitian

Didalam melaksanakan kegiatan penelitian ini ada beberapa langkah – langkah yang harus dilakukan diantaranya:

(29)

3.5.1. Persiapan wadah

Wadah yang dipersiapkan dalam penelitian ini adalah berupa toples dengan kapasitas 3 liter. Wadah dan peralatan yang akan digunakan terlebih dahulu disterilkan. Wadah yang telah siap, diisi air payau steril sebanyak 2 liter.

3.5.2. Penyediaan Chaetoceros calitrans

Pakan alami Chaetoceros cacitrans yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu diperoleh dari hasil kultur pakan alami (IPUW) Barru.

3.5.3. Pemeliharaan larva

Setelah wadah pemeliharan telah siap, maka prosedur selanjutnya adalah dilakukan penebaran larva udang windu stadia zoea sebanyak 200 ekor dalam setiap wadah pemeliharaan selanjutnya dilakukan pemberian pakan alami Chaetoeros calcitrans dengan kepadatan yang berbeda pada setiap perlakuan.

Wadah tersebut kemudian diletakkan pada rak - rak (styropoam). Selama penelitian berlangsung wadah di tutup dan air medianya diberi aerasi secara terus menerus untuk mencegah pengendapan pakan dan juga untuk menyuplai oksigen.

3.6. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol. Masing – masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehinga satuan perobaan sebanyak 12 unit. Standar pemberian pakan alami fitoflankton pada larva udang windu stadia zoea adalah

(30)

50000 sel/ml untuk zoea 1 80000-100000 sel/ml zoea 2 dan 100000-120000 sel/ml zoea 3 (Edhy,. et al 2003).

Kepadatan pakan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

Perlakuan K, Zoea 1 Kepadatan 50.000 sell/ml : 200 ekor Zoea 2 Kepadatan 80000 sell/ml : 200 ekor Zoea 3 Kepadatan 120000 sell/ml : 200 ekor Perlakuan A : Kepadatan 75.000 cell : 200 ekor

Perlakuan B : Kepadatan 100.000 : 200 ekor

Perlakuan C : Kepadatan 125.000 : 200 ekor

3.7. Analisis Sampel

Parameter yang di ukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tingkat komsumsi pakan

Tingkat konsumsi pakan alami merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh larva udang, menurut Haryati et al. (2010) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

P : Pt – P0

Dimana: P : Jumlah pakan alami yang dikonsumsi tiap hari(sel/mL) P1 : Jumlah sisa pakan alami pada hari ke-1 (sel/mL)

P0 : Jumlah pakan alami yang diberikan pada hari ke-0 (sel/mL 2. Sintasan

(31)

Untuk mengetahui sintasan larva udang windu selama penelitian maka digunakan rumus menurut Chusing, (1968) yaitu :

Nt

SR = × 100%

N0

Dimana: SR = Sintasan (%)

Nt = Jumlah larva pada akhir penelitian N0 = Jumah larva udang pada awal penelitian

3.8 Analisis Data

Untuk menguji ada tidaknya pengaruh perlakuan maka data dianalisa ragam/analisis of varian (ANOVA), kalau berbeda maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Least Significant Difference (LSD) tingkat kepercayaan 95 %.

(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintasan

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros calcitrans dengan kepadatan yang berbeda memberikan pengaruh

yang berbeda terhadap sintasan larva (Gambar 4). Sintasan akhir yang diperoleh dengan pemberian pakan alami pada perlakuan K dengan kepadatan yang berbeda di setiap pergantian pase yaitu pada stadia zoea 1 dengan kepadatan 50000 sel/ml, pada stadia zoea 2 dengan kepadatan 80000 dan pada stadia zoea 3 yaitu 120000 memperoleh sintasan memperoleh sintasan 60% sedangkan pemberian pakan alami pada perlakuan A dengan kepadatan yang sama selama penelitian yaitu 75000 sel/ml memperoleh sintasan 25% selanjutnya pemberian pakan alami pada perlakuan B dengan kepadatan 100000sel/ml selama penelitian memperoleh sintasan 32% dan pemberian pakan alami pada perlakuan C dengan kepadatan 125000sel/ml selama penelitian memperoleh sintasan 24%.

(33)

Ket : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Control 60% Perlakuan A 25%, Perlakuan B 32%, dan Perlakuan C 24%

Gambar 4. Sintasan pada setiap perlakuan

Perbedaan hasil sintasan pada setiap perlakuan yang dicobakan diduga karna perbedaan tingkat konsumsi pakan yang disebabkan oleh perbedaan kepadatan pakan yang diberikan, yang menyebabkan terjadinya kekurangan pakan dan kelebihan pakan pada perlakakuan yang berbeda. dapat dilihat pada tabel tingkat komsumsi pakan (Lampiran 1).

Hasil sintasan pada kontrol lebih tinggi dibanding hasil sintasan pada perlakuan A, B dan C hal ini disebabkan karena meningkatakan jumlah kepadatan pakan yang diberikan setiap perubahan stadia, yang sesuai dengan standar pemberian pakan alami Chaetoceros calcitrans pada larva udang dengan memperhatikan tingkah laku dan perkembangan larva udang windu khususnya pada stadia zoea. Pada saat telur udang baru menetas maka setelah makanan habis,

0% 20% 40% 60% 80% Perlakuan K Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 60% a=25% b =32% a=24% SINTASAN

(34)

benur udang membutuhkan pakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya (Chumaidi et al,. 1990)

Sementara pada perlakuan A larva udang masih dapat mentoleransi kepadatan pakan yang diberikan khususnya pada stadia zoea 1 dan 2 namun pada stadia zoea 3 terjadi kekurangan makanan yang diduga sebagai penyebab terjadinya tingkat mortalitas tinggi dibuktikan dengan habisnya pakan yang diberikan pada pengamatan 12 jam setelah pemberian sisa pakan. Menurut Nurdjannah et al,. kekurangan pakan pada udang windu akan menyebabkan terjadinya kanibalisme (saling memakan) sehingga terjadi tingkat mortalitas tinggi. Pendapat lain dari Subandiyono dan Hastuti (2014), menyatakan bahwa ketersedian pakan pada waktu larva mencari makan menjadi faktor yang sangat penting, dimana larva yang kekurangan makanan akan berakibat pada perkembangan dan pertumbuhan yang terhambat, serta meningkatkan tingkat mortalitas. Lanjut pada perlakuan B 6 jam setelah awal pemberian pakan, terjadi blooming pakan alami Chaetoceros calcitrans yang diberikan sehingga hal itu diduga mempengaruhi terjadinya kematian pada awal pemeliharan disebabkan karna kelebihan pakan namun pada stadia zoea 2 dan 3 larva udang sudah mampu mentoleransi kepadatan pakan yang di berikan hingga akhir penelitian.

Begitupula dengan perlakuan C pada pengamatan pertama hingga pada pengamatan ke empat masih terjadi blooming yang disebabkan kepadatan pakan yang diberikan berlebihan sehingga hal itu diduga penyebab terjadinya tingkat mortalitas yang tinggi, karna mempengaruhi kualitas air menjadi buruk. fases yang dikeluarkan berbentuk panjang sehingga menyulitkan pergerakan larva

(35)

udang windu. Menurut Parado-Estepa et al. (1996), menyatakan bahwa kematian yang sering terjadi pada pembenihan larva udang windu dikarenakan nutrisi pakan, manajemen pemeliharaan, kualitas naupli dan kondisi lingkungan yang tidak baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurdjana et al., (1983) bila terlalu padat pakan pakan alami yang diberikan dapat menyebabkan fases yang pada stadia zoea terlalu panjang sehingga dapat menyebabkan kematian.

Hasil pengujian one way Anova dimana nilai F Hitung = 84,035 > 4,066 = F Tabel yang berarti lebih besar dari nilai F Tabel yang berarti bahwa pemberian pakan alami Chaetoceros calcitrans dengan kepadatan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pada sintasan larva udang windu.

Pada gambar histogram memperlihatkan bahwa terjadi perbedaan antara kontrol dengan perlakuan A, B, dan C, perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A dan C, sedangkan perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan C. Pada perlakuan tersebut sintasan yang paling tinggi adalah perlakuan B 32%, perlakuan A dan C tidak berbeda nyata yakni masing-masing 25%dan 24%. Namun diantara tiga perlakuan yang dicobakan, sintasannya masih lebih rendah dibanding kontrol yang hasil sintasannya mencapai 60%.

4.3 Kualitas air

Pengolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaanl larva. Kualitas air pada wadah pemeliharaan harus di pertahankan sebaik mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik dan kimia dan biologi. Beberapa parameter yang dapat diamati langsung dengan mata dan

(36)

peralatan yang sederhana yaitu sainitaas, kekeruhan, blooming alga dan warna air. (Ditjenkan, 1998).

Kualitas air yang diapatkan selama penelitian tersaji pada table 2.

Tabel 2. parameter kualitas air

4.3.1 Suhu

Pada tabel diatas terlihat bahwa suhu air yang selama penelitian berkisar dari 29 – 30 0C. Suhu air tersebut masih dalam kisaran yang layak bagi pemeliharan larva udang windu Peaneaus monodon.Hal ini didasarkan pada data (dkp 2012) bahwa Suhu yang ideal untuk pemeliharaan larva udang windu adalah 26 – 300 C. Hal senada dikemukakan oleh Darmadi dan Ismail (1993), bahwa suhu perairan yang baik bagi pertumbuhan dan kehidupan udang adalah 29 – 30 ºC. Dilanjutkan oleh Manik dan Mintardjo (1983) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai kisaran suhu optimal bagi pertumbuhannya yaitu 29 – 31 ºC.

Parameter Kualitas Air Nilai Kisaran

Suhu (oC) 29-30

Salinitas (ppt) 28-30

Oksigen terlarut (mg/l) 2,28-5,44

(37)

4.3.2. Salinitas

Salinitas selama penelitian untuk semua perlakuan berkisar antara 28 – 30 ppt. Hal ini berarti bahwa nilai salinitas selama penelitian cukup mendukung untuk pemeliharaan larva udang windu Peaneaus monodon. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1991) yang mengatakan bahwa larva udang windu sebaiknya dipelihara dalam air yang bersalinitas 28-35 ppt.

4.3.3 Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) yang diperoleh selama penelitian berkisar dari 7 – 8. Derajat keasaman (pH) tersebut dipandang layak bagi pemeliharaan larva udang windu Peaneaus monodon. Hal ini sesuai dengan pendapat Buwono (1992) bahwa untuk stadia larva kisaran pH optimum adalah 7,5-8,5. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Darmadi dan ismail (1993) yang mengatakan kisaran normal pH untuk kehidupan larva udang berkisar antara 7,0-8,6. Nilai kisaran pH selama penelitian jika dibandingkan dengan pendapat Buwono (1992) dan darmadi dan ismail (1993) diatas sangat sesuai dengan pertumbuhan dan sintasan larva udang windu.

4.3.4 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 2,28– 5,44 mg/l. Nilai hasil pengamatan tersebut ditemukan pada perlakuan B dan C diawal pengamatan yang nilainya hanya berkisar antara 2,8- 3,3 kiasaran tersebut masih relatif rendah dari kisaran yang layak. Sesuai dengan pendapat Tricahyo

(38)

(1995) yaitu kisaran optimum pertumbuhan dan sintasan larva udang windu antara 4,0-7,0 mg/l

(39)

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Sintasan tertinggi yang didapatkan pada perlakuan K kontrol karena pemberian pakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan larva,sedangkan pada perlakuan lainnya pemberian pakan diberikan sesuai kepadatan perlakuan sehingga terjadi kekurangan dan kelebihan pakan pada perlakuan masing-masing.

5.2 Saran

Untuk memperoleh tingkat maksimal pada pemeliharaan larva pada tingkat zoea maka sebaiknya pemberian pakan disesuiakan dengan tingkat perekmbangan larva tersebut berdasarkan kajian baru yang ditemukan yaitu dengan melakukan pemberian pakan denga dosis atau kepadatan yang berbeda.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Amri, 2003. Budidaya udang windu secara intensif. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anonym, 2012. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu.( Online)

htpps://Nurhasanblogger.Wordpress.com/2015/02/17/klasifikasi-dan-morfologi-udang-windu/. di akses : 30 April 2015

Antik Erlina, dan Agus Basyar. 2001. Usaha Produksi Massal Chlorella Merupakan Salah Satu Kegiatan Yang Menguntungkan Dalam Budidaya Perairan. Laporan Penelitian. Dirjen. Perikanan Budidaya. BBPAP. 7 hal.

Antik Erlina, Nur Cholifah dan Agus Basyar. 1999. Rekayasa Peningkatan Dan Pengembangan Teknik Kultur Isochrysis galbana. Laporan Penelitian. Dirjen. Perikanan Budidaya. BBPAP. 7 hal.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, 2003. Petunjuk Teknis Udang Rostris, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jepara.

Brawn, et, al., 1989. Nutritional Aspect Of Microalgae. Potential and Constraints. In Handbook of Mikroalgal Mass Culture. A Richmond. Ed. CRC Press. Florida. Pp.339-419.

Boyd, 1991. C.E., 1991. Water Quality Mana-gement and Aeration in Shrimp Farming. Pedoman Teknis dari Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Per-ikanan. Jakarta. 82p. Buwono, 1992. P. H. 1993. Pencernaan pada Air Susu. Swadaya Peternakan

Indonesia, (91) : 25-66

Capuzzo, J.M., 1982. Crustacean Bioenergitics: the role of environmental variables and dietary of macronutrients on energitics efficiencies.

(41)

Chiu-Liao, I. Huei-Meei S & Jaw-Hwa Lin., 1983. Larval food for penaeid prawns. in. J. P. McVey & J. Robert Moore. CRC Handbook of Mariculture. Vol. I Crustacean Aquaculture. 43- 70pp.

Darmadi dan Ismail, 1993. Tinjauan Beberapa Faktor Penyebab Kegagalan Usaha Budidaya Udang di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian. Sub Balai Perikanan Budidaya Pantai, Bojonegoro – Serang, Cilegon, 11 Maret 1993

Djunaedah IS, Sumartono dan Nurdjannah ML, 1989. Paket Teknologi Pembenihan Udang Skala Rumah Tangga. INFIS seri no 2. Direktorat Jenderal Perikanan Dan Internasional Develovment Research Centre. Dkp, 2012, Parameter Kwalitas Air Pada Pembenihan Udang Windu. ( online )

https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

Edhy, Et al, 2003.

Effendi, 1997. Makanan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertania. Jakarta

Fox, J. M.., 1983. Intesive algal culture techniques. in. J. P. McVey & J. Robert Moore. CRC Handbook of Mariculture. Vol. I Crustacean Aquaculture. 15- 42pp.

Fuad dkk, 1988. Kwalitas Air Pada Pendederan Udang Windu. (online).

https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

Goldman, 1987. Kwalitas Air Pada Pendederan Udang Windu. (online).

https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

(42)

Goldman dan Home, 1983. Kwalitas Air Pada Pendederan Udang Windu. (online). https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

Hardjito, L., Fitria, dan S. Amini. 1998. Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Mikroalgae Laut Porphyridium cruentum Dan Pembentukan Asam Lemak Eikosapentanoat dan Arakidonat. PAU. IPB Bogor. 9 hal.

Haryati, 1980. Klisifikasi dan Morfologi Chaetoceros.Sp. UNDIP. Semarang. Isnasetyo dan Kurniastuti, 1995. Klisifikasi dan Morfologi Chaetoceros.Sp.

Kansius. Yogyakarta

Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut.

McVey, J.P. and J.M. Fox. 1983. Hatchery Techniques for Penaed Shrimp Utilized by Texas A & M-NMFS Galveston Laboratory Program. In: J.P. McVey and J.R. Moore (Eds.). CRC Handbook of Mariculture. Volume 1, Crustacean Aquaqulture, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida, pp. 129-154.

Manik dan Mintardjo, 1983. Kolam Ipukan. Dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Motoh, H. 1981. Studies on The Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn, Penaeus monodon in The Philippines. Technical Report. No. 7, Aquaculture Departement, Southeast Asian Fisheries Development Center, Tigbauan, Iloilo, Philippines, 128 p.

Mudjiman,A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT Penebar Swadaya, Jakarta

Parado – estefa, (1989). Intesive algal culture techniques. in. J. P. McVey & J. Robert Moore. CRC Handbook of Mariculture. Vol. I Crustacean Aquaculture. 15- 42pp.

(43)

Panggabean, L.M.G., Suptijah, P. Desniar dan S. Fatullah., 1999. Komposisi Asam Lemak Pada Fase Logaritmik Dan Stasioner Dari Porphyridium cruentum, Chlorella sp., Isochrysis galbana Dan T. iso.

Pescod, 1973. Kwalitas Air Pada Pendederan Udang Windu. (online).

https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

Schworber, 1987. Kwalitas Air Pada Pendederan Udang Windu. (online).

https://pustaka.unpad.ac.id./wp-content/uploads/2009/07/studi-kwalitas-air-Fdf. Di akses : 29 April 2015

Soetomo, 2000. Habitat dan Penyebaran Udang Windu. Kansius. Yokyakarta. Stranksy, 1970. Klisifikasi dan Morfologi Chaetoceros.Sp. (online).

https://ukhti-fadillahrahmah.blogspot.com/ Di akses : 30 April 2015

Subandiyono dan S. Hastuti. 2014. Beronang serta Prospek Budidaya Laut di Indonesia. Ed. I, UPT UNDIP Press, Semarang, 79 hlm. Villegas, C.T., L.

Sujiharno, 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut Lampung.

Suyanto dan mujiman, 1994. Habitat dan Penyebaran Udang Windu. Penyebar swadaya. Jakarta.

Tricahyo, E, 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Pennaeus monodon). Akademika Pressindo. Jakarta.

Whetstone, 2002. Opprtunitis and Constraints in Marine Shrimp Farming. SRAC Publication No. 2600

(44)
(45)

18 nopember, 2015 10:00 A B C - - - 75000 100000 125000 6000000 18 nopember, 2015 22:00 K A B C 40000 60000 170000 300000 10000 18000 Distabilkan Distabilkan 4450000 19 nopember, 2015 10:00 K A B C 36000 43000 140000 270000 44000 32000 Distabilkan Distabilkan 4800000 19 nopember, 2015 22:00 K A B C 43000 37000 43000 250000 37000 38000 57000 Distabilkan 4800000 20 nopember, 2015 10:00 K A B C 30000 10000 40000 100000 90000 70000 60000 25000 4350000 20 nopember, 2015 22:00 K A B C 33000 5000 53000 95000 87000 70000 47000 30000 3750000 21nopember, 2015 22:00 K A B C 70000 - 33000 95000 50000 75000 67000 30000 1065000

(46)

 Zoea 2

(47)

K2 8,08 35 25,4 5,7

K3 8,11 35 25,5 5,7

kode pH Salinitas Suhu Do

A1 7,97 35 25,6 5,7

A2 8,01 35 25,5 5,6

A3 8,08 35 25,4 5,8

kode pH Salinitas Suhu Do

B1 8,11 35 25,2 5,9

B2 8,15 35 25,4 6,4

B3 8,05 35 25,4 5,5

kode pH Salinitas Suhu Do

C1 8,08 35 25,5 5,5

C2 8,13 35 25,7 5,6

C3 8,05 35 25,6 5,7

Tgl 19 Nopember 2015

kode pH Salinitas Suhu Do

K1 8,0 35 25,4 5,8

K2 8,08 35 25,4 5,7

K3 8,11 35 25,5 5,7

kode pH Salinitas Suhu Do

A1 7,97 35 25,6 5,7

A2 8,01 35 25,5 5,6

A3 8,08 35 25,4 5,8

kode pH Salinitas Suhu Do

(48)

C1 8,08 35 25,5 2, 8

C2 8,13 35 25,7 2,9

C3 8,05 35 25,6 3,1

Tgl 20 Nopember 2015

kode pH Salinitas Suhu Do

K1 8,25 35 23,2 4,9

K2 8,23 35 23,2 4,7

K3 8,24 35 23,4 4,4

kode pH Salinitas Suhu Do

A1 8,25 35 23,4 5,1

A2 8,29 35 23,2 4,9

A3 8,21 35 23,2 4,4

kode pH Salinitas Suhu Do

B1 8,11 35 23,2 4,7

B2 8,19 35 23,2 5,1

B3 8,21 35 22,6 4,6

kode pH Salinitas Suhu Do

C1 8,15 35 23,5 3,2

C2 8,19 35 23,5 3,3

C3 8,19 35 23,5 3,1

Tgl 21 Nopember 2015

kode pH Salinitas Suhu Do

K1 8,0 35 25,4 5,8

K2 8,08 35 25,4 5,7

(49)

kode pH Salinitas Suhu Do

B1 8,11 35 25,2 4,5

B2 8,15 35 25,4 4, 3

B3 8,05 35 25,4 5,8

kode pH Salinitas Suhu Do

C1 8,08 35 25,5 4, 8

C2 8,13 35 25,7 4,9

(50)

Air laut steril

Rancangan penelitian

(51)

Penulis dilahirkan di Kab. Bulukumba pada tanggal 08 Agustus 1991 dari Ayah Abd.Latif dan ibu Nurhayati Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah mulai dari Sekolah Dasar yakni SDN 275 Gattareng, Kec. Gantarang Kab. Bulukumba, kemudian pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan di SMPN 7 Bulukumba dan pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMKN 2 Bantaeng dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar di Fakultas Pertanian dengan mengambil program studi Budidaya Perairan (BDP).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Penulis juga pernah mengikuti kuliah kerja profesi (KKP) di Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep. Serta penulis pernah mengikuti darul arqam dasar (DAD) yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Makassar (IMM) Fakultas Peratanian, Universitas Muhammadiyah Makassar

Selain itu penulis juga aktif dalam bidang organisasi internal kampus. Menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Perikanan. Penulis juga aktif pada lembaga eksternal kampus dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum pada lembaga Kepencinta Alaman Kelompok Pencinta Alam Phinisi ( KPA PHINISI) Periode 2011

(52)

Gambar

Gambar 1. Udang windu
Tabel 1. Alat yang di gunakan.
Tabel 2. Bahan yang di gunakan.
Tabel 2. parameter kualitas air

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terjadi karena fluorida yang masuk ke dalam tubuh akan bergabung dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen fluorida (HF) yang mudah melintasi

Kelompok Kontrol Negatif (K-) Pemberian minum dan pakan BR-1 sebanyak 20 gram/hari/tikus setiap hari selama 28 hari. Kelompok I Pemberian minum, pakan BR-1 sebanyak

Selama pemasangan, bila terdapat ujung-ujung pipa yang terbuka dalam pekerjaan perpipaan yang tersisa pada setiap tahap pekerjaan, harus ditutup dengan

Berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi oleh AstraWorld dalam mencapai target pelayanan pelanggan dengan arsitektur yang sedang berjalan, yaitu proses pengolahan

Untuk itu KUISAS mempunyai cabaran yang lebih besar untuk mengasuh dan membimbing warga KUISAS agar memiliki minda terbuka kepada realiti dunia yang dihuni oleh

Dengan adanya masalah pemasaran dan pelatihan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Surabaya maka dibutuhkan peran serta pemerintah khususnya Dinas Koperasi

Kejadian demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengamatan selama kurun waktu 20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD