ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN
SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010)
OLEH FANNY APRILTA
H14070110
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
FANNY APRILTA, Analisis Dampak Fluktuasi Harga Minyak terhadap Variabel Makroekonomi dan Kebijakan Subsidi di Indonesia : Periode 1980-2010 (dibimbing oleh TONNY IRAWAN dan TANTI NOVIANTI)
Peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan maupun untuk konsumsi di tingkat rumah tangga. Sebagian besar negara di dunia sangat bergantung terhadap bahan bakar minyak untuk menggerakkan perekonomian.
Indonesia merupakan salah satu dari negara di dunia yang tingkat kebergantungan terhadap minyak yang tinggi (Oil Highly Dependency). Data dari Bank Dunia menyatakan konsumsi minyak Indonesia mencapai 46 persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun 1980 dan terus mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2010 perbandingan konsumsi minyak menjadi 66 persen dari total konsumsi enegi nasional.
Minyak merupakan salah satu komoditi yang penting dalam perekonomian ekonomi Indonesia. Peranannya sangat besar karena memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan pemerintah. Minyak menjadi andalan Indonesia dalam kegiatan perdagangan internasional. Pada era 1980 hingga awal tahun 1990 pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu pesat, hal ini disebabkan oleh meningkatnya harga minyak dunia. Indonesia sangat diuntungkan pada masa itu karena merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia. Kenyataan berubah sejak tahun 2004 Indonesia beralih menjadi net importir minyak dan terlepas dari keanggotaan OPEC sejak tahun 2009.
Dalam beberapa dekade harga minyak memiliki trend yang berfluktuasi.
Hal ini sangat berdampak dalam kegiatan perekonomian dunia. Fluktuasi harga minyak dunia akan memengaruhi perekonomian Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small-open economy). Pengaruh yang diterima oleh Indonesia tercermin dari variabel makroekonominya seperti tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan output nasional, nilai tukar mata uang, dan tingkat suku bunga.
Selain variabel makroekonomi, fluktuasi harga minyak dunia juga mempengaruhi kebijakan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak premium, kerosin, dan solar sebagai produk turunan dari minyak itu sendiri. Variabel makroekonomi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tingkat inflasi dan pertumbuhan output nasional.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak fluktuasi harga minyak dunia terhadap tingkat inflasi, pertumbuhan output nasional, dan kebijakan subsidi bahan bakar minyak Indonesia pada periode tahun 1980-2010.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vector Autoregressions (VAR) yang dilanjutkan dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena memiliki hubungan kointegrasi yang terkandung dalam model penelitian ini. Pengujian kestasioneran data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada uji Augmented Dickey-Fuller (ADF test), uji penetapan lag optimal didasarkan pada uji Schwarz Information Criterion (SC) dan uji kointegrasinya berdasarkan pendekatan Johansen.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Indeks Harga
Konsume (INFLASI); Produk Domestik Bruto/ Output nasional (GDP); Tingkat
suku bunga (SB); (HARGAMINYAK); Nilai tukar nominal rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat (ER); Subsidi Bahan Bakar Minyak (SUBSIDI). Seluruh data yang dipergunakan dalam penelitian ini sejak kuartal pertama tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak dunia memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia. Dalam jangka pendek fluktuasi harga minyak dunia tidak mempengaruhi pertumbuhan output nasional, tingkat inflasi, dan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara signifikan.
Pada jangka panjang fluktuasi harga minyak secara signifikan mempengaruhi output nasional, tingkat inflasi, dan subsidi BBM. Selama periode tahun 1980-2010 fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi output nasional dan tingkat inflasi secara positif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan minyak sebagai sumber energi yang vital dalam kegiatan produksi akan meningkatkan tingkat harga (Cost-Push Inflation) secara umum.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan peningkatan tingkat inflasi dalam jangka panjang di Indonesia.
Dalam penelitian ini juga terjadi hubungan yang positif antara fluktuasi harga minyak dunia dengan subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah.
Artinya, apabila terjadi peningkatan harga minyak dunia maka pemerintah akan memberikan respon kebijakan berupa peningkatan besaran subsidi BBM kepada masyarakat.
Pertumbuhan output nasional juga berhubungan positif terhadap fluktuasi
harga minyak dunia dalam jangka panjang. Selama periode 1980-2004 Indonesia
masih sebagai net eksportir minyak. Sehingga surplus dari kegiatan perdagangan
internasional mendorong peningkatan pada output nasional Indonesia. Sementara
dalam enam tahun terakhir ketika Indonesia beralih menjadi net importir minyak
belum berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan output nasional
Indonesia.
ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN
SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010)
Oleh
FANNY APRILTA H14070110
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010)
Nama : Fanny Aprilta NIM : H14070110
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, M.Si NIP. 1972 1117 199802 2 005
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2011
Fanny Aprilta
H14070110
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fanny Aprilta lahir pada tanggal 1 April 1991 di Bandung. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Hajiro Sinaga dan Dormaully Sagala. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Pabuaran VII Cibinong, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama di IPB, penulis mengikuti lomba karya tulis mahasiswa tingkat
nasional. Penulis meraih Juara II LKTI di Universitas Negeri Sebelas Maret,
Surakarta pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam
organisasi Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan
Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (KPS UKM PMK IPB). Selain itu,
penulis juga aktif dalam kepanitian Natal Civitas Akademika IPB tahun 2010 dan
HIPOTEX-R pada tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Dampak Fluktuasi Harga Minyak Dunia Terhadap Variabel Makroekonomi dan Kebijakan Subsidi di Indonesia”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada:
1) Ibunda Dormaully Sagala dan Ayahanda Hajiro Sinaga yang telah memberikan doa, motivasi, pengorbanan, dan kasih sayang tidak terhingga kepada penulis. Adik - adik penulis Susi Deby Caroline dan Yosua Saurmatio yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Nenek penulis Sinta br. Limbong yang selalu mendukung penulis dalam doa.
2) Tony Irawan M. App. Ec dan Tanti Novianti, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3) Dr. Alla Asmara selaku Dosen Penguji Utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
4) Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran dalamn penulisan skripsi ini.
5) Damayanti, M.Ec dan Ginanjar S.E dari Kementerian Keuangan RI yang telah berkenan membantu penulis dalam pencarian data.
6) Segenap dosen di Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan yang begitu berkesan.
7) Seluruh jajaran staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan
sabar membentu segala proses administrasi yang terkait dalam penulisan
skripsi ini.
8) Keluarga besar Pomparan Op. Raja ni Alum Sinaga, atas doa, dukungan, serta motivasi yang diberikan kepada penulis.
9) Teman-teman satu bimbingan, Rini Hindrasyah, Meditiari Wikan, dan Yesika Sihombing atas kritik, saran, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
10) Seluruh keluarga besar Ilmu Ekonomi 44, khususnya Marissa, Solihin, Nono, atas motivasi dan kebersamaannya selama perkuliahan di IPB.
11) Segenap keluarga besar Komisi Pelayanan Siswa UKM PMK IPB, terkhusus Hadasa, Novrika, Satchie, Vera, Andreas, Motto, Elsye, Leo, Erti, atas doa, dukungan, kebersamaan, dan kasih persaudaraan dalam pelayanan yang penulis rasakan.
12) Seluruh sahabat penulis sejak TPB Sella, Febri, Ayu, Merlinda, Priskila, Hana, Anti, Vita, Janet atas kebersamaan dan keceriaan yang diberikan selama masa studi penulis di IPB.
13) Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung.
Bogor, Agustus 2011
Fanny Aprilta
H14070110
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 13 2.1 Teori Inflasi ... 13
2.1.1 Definisi Inflasi ... 13
2.1.2 Jenis Inflasi ... 15
2.1.3 Dampak Inflasi ... 18
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 19
2.2.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi ... 19
2.2.2 Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 21
2.3 Teori Suku Bunga ... 23
2.4 Teori Kebijakan Subsidi ... 24
2.5 Pengantar Fluktuasi Ekonomi... 26
2.6 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 28
2.7 Kerangka Pemikiran ... 33
III. METODE PENELITIAN ... 35
3.1 Jenis dan Sumber Data ... 35
3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data... 35
3.2.1 Metode Vector Autoregression (VAR) ... 36
3.2.2 Metode Vector Error Correction Model (VECM) ... 40
3.2.3 Tahapan Pembentukan Sistem Persamaan ... ... 41
3.2.4 Impulse Response Function ... 44
3.2.5 Forecast Error Variance Decomposition ... 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
4.1 Hasil Uji Pra Estimasi ... 46
4.1.1 Uji Kestasioneritasan Data ... 46
4.1.2 Uji Lag Optimal ... 47
4.1.3 Uji Stabilitas VAR ... 49
4.1.4 Uji Kointegrasi ... 49
4.1.5 Uji Kausalitas Granger ... 51
4.2 Hasil Estimasi Vector Error Correction ... 52
4.3 Analisis Impulse Respon Function ... 60
4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition ... 63
4.5 Respon Kebijakan Indonesia dan Beberapa Negara Terhadap Fluktuasi Harga Minyak Dunia ... 69
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
5.1 Kesimpulan ... 78
5.2 Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80
LAMPIRAN ... 82
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data ... 35
4.1 Hasil Uji Stasioneritas ... 47
4.2 Hasil Uji Lag Optimal ... 48
4.3 Hasil Uji Stabilitas VAR ... 49
4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen... 50
4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger ... 51
4.6 Hasil Estimasi VECM 1... 53
4.7 Hasil Estimasi VECM 2... 57
4.8 Hasil Estimasi VECM 3... 58
4.9 Tipe Pemberian Subsidi ... 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1 Indonesia Energy Statistic ... 2
1.2 Harga Minyak Dunia ... 3
1.3 Rasio Subsidi Minyak terhadap Tahun 1980-2010 ... 4
1.4 Realokasi APBN Bagi Kegiatan Sosial ... 7
1.5 Persentase Rumah Tangga Pengguna BBM Bersubsidi ... 8
2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Agregate Demand... 26
2.2 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Agregate Supply... 27
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 34
4.1 Skema Pemberian Subsidi BBM ... 60
4.2 Respon SUBSIDI, GDP, SB, INFLASI, ER Terhadap Guncangan dari HARGAMINYAK ... 63
4.3 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) GDP ... 64
4.4 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) INFLASI ... 65
4.5 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) ER ... 66
4.6 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SUBSIDI ... 67
4.7 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) HARGAMINYAK 67 4.8 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SB ... 68
4.9 Tingkat Suku Bunga Indonesia... 71
4.10 Kebijakan Stabilisasi ... 72
4.11 Daftar Negara Pemberi Subsidi pada Sumber Energi (Miliar Dollar).. 74
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Uji Stasioneritas ... 83
2. Hasil Uji Lag Optimal ... 87
3. Hasil Uji Kointegrasi ... 87
4. Hasil Uji Stabilitas VAR ... 88
5. Hasil Uji Kausalitas Granger ... 88
6. Hasil Estimasi VECM ... 89
7. Impulse Response Function ... 93
8. Forecast Error Variance Decomposition ... 94
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar.
Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk konsumsi di tingkat rumah tangga. Sebagian besar negara di dunia sangat bergantung terhadap bahan bakar minyak untuk menggerakkan ekonominya. Bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang unggul dalam industri dan manufaktur sangat memerlukan minyak sebagai input produksi.
Sejak tahun 1970 Indonesia mulai diperhitungkan sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Minyak bumi menjadi komoditi penting dalam kegiatan perdagangan internasional. Di masa itu perekonomian Indonesia sangat bertumpu pada komoditas minyak. Sejak tahun 1980 hingga awal 1990 pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat hingga mencapai level sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle economy karena pertumbuhan ekonomi yang begitu fantastis.
Indonesia awalnya sebagai salah satu pengekspor minyak bumi terbesar
dunia dan tergabung menjadi anggota OPEC. Namun sejak tahun 2004 hingga
kini beralih menjadi net importir minyak untuk menutupi kebutuhan minyak di
dalam negeri. Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi akan bahan bakar
minyak. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-17 dunia dengan
konsumsi minyak sebesar 1.115.000 barrel per hari. (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2010)
Gambar 1.1 Indonesia Energy Statistic
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa penawaran minyak Indonesia memiliki trend yang menurun dalam periode 1999-2009. Pada awal tahun 1999 supply minyak Indonesia sebesar 1.600.000 barrel per hari, dan terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2009 supply minyak menjadi hanya sebesar 1.000.000 barrel per hari.
Pada Gambar 1.1 juga terlihat pola konsumsi minyak nasional dalam periode 1999-2009. Berbeda dengan penawaran minyak, konsumsi minyak justru selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 konsumsi minyak nasional sebesar 1.000.000.000 barrel per hari. Konsumsi minyak nasional memiliki trend yang meningkat sehingga pada tahun 2009 konsumsi minyak nasional menjadi 1.200.000 barrel per hari.
Pola konsumsi minyak yang terus mengalami peningkatan tidak mampu ditutupi oleh produksi minyak dari dalam negeri. Sejak tahun 2004 Indonesia sudah beralih menjadi net importir minyak, dan pada tahun 2009 Indonesia sudah secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC.
Dalam beberapa dekade harga minyak memiliki trend yang terus
meningkat. Pada tahun 2005 terjadi fluktuasi yang signifikan dari harga minyak
dunia hingga 61,2 US$ per barrel yang sebelumnya hanya berkisar antara 25 sampai dengan 30 US$ per barrel. Sejak kuartal kedua tahun 2005 harga minyak dunia terus mengalami peningkatan. Harga minyak dunia mencapai nilai yang tertinngi di level 145,13 US$ per barrel di bulan Juli tahun 2008 (Energy International Administration, 2011).
Krisis finansial global yang terjadi pada kuartal keempat tahun 2008 juga memberi dampak terhadap tingkat harga minyak dunia. Lesunya perekonomian dunia mengakibatkan penurunan terhadap permintaan minyak. Harga minyak dunia mengalami penurunan secara drastis hingga menyentuh level 38 US$ per barrel. Pasca krisis finansial global perekonomian dunia mengalami pemulihan secara perlahan. Pemulihan perekonomian ditandai dengan kembali berjalannya aktivitas perekonomian di setiap negara baik negara industri maupun negara berkembang (Energy International Administration, 2011).
Sumber : U. S Energy Information Administration (2011)
Gambar 1.2 Harga Minyak Dunia
Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun
peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian
setiap negara di dunia. Besarnya pengaruh yang diberikan tergantung dari
beberapa hal seperti besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya guncangan tersebut berlangsung, dependensi dari negara tersebut dalam penggunaan minyak dalam kegiatan ekonomi, serta respon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil pasti terpengaruh dengan kondisi ekonomi dunia. Salah satunya adalah terlihat bagaimana harga minyak dunia mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Harga minyak dunia yang berfluktuasi juga akan mempengaruhi harga dari produk turunan minyak yang biasa di konsumsi oleh masyarakat yakni bahan bakar minyak seperti premium, solar, kerosen, dan pertamax.
Mengingat pentingnya keberadaan bahan bakar minyak dalam perekonomian sehingga bahan bakar minyak memerlukan intervensi pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga bahan bakar minyak supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Bentuk intervensi yang diberikan oleh pemerintah bagi penyediaan bahan bakar minyak saat ini berupa pemberian subsidi.
Subsidi bagi bahan bakar minyak sudah dilakukan sejak pemerintahan
orde baru. Hingga saat ini subsidi masih diberlakukan dan menjadi salah satu
pengeluaran rutin dalam APBN. Untuk menjamin harga bahan bakar minyak
disaat harga minyak dunia sedang melambung tinggi, pemerintah melakukan
kebijakan pemberian subsidi. Dimulai sejak tahun 2005 APBN sangat terbebani
dengan pemberian subsidi tersebut karena adanya fluktuasi harga minyak dunia
berupa peningkatan yan sangat tinggi hingga menyentuh level 145 US$ per barrel
di tahun 2008.
Gambar 1.4 menunjukkan rasio antara subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan GDP. Nilai rasio subsidi dan GDP menjadi besar ketika sedang terjadi krisis perekonomian. Pada tahun 2000 rasio subsidi terhadap GDP yang tertinggi sebesar 0,11 persen. Hal ini disebabkan oleh perekonomian Indonesia yang melemah sebagai akibat dari krisis moneter.
Sumber : International Financial Statistic dan Kementerian Keuangan RI (2011)
Gambar 1.3 Rasio Subsidi Minyak terhadap GDP Tahun 1980-2010 (diolah)
Harga dan kuantitas dari bahan bakar minyak yang beredar di masyarakat
tidak ditentukan oleh kekuatan mekanisme pasar melainkan memerlukan
intervensi dari pemerintah dalam penyediaanya. Harga minyak dunia terus
mengalami trend peningkatan sejak tahun 2004 dan mencapai 136,32 US$/barrell
di tahun 2005. Untuk merespon harga minyak yang semakin tinggi ini pemerintah
mengambil kebijakan untuk meningkatkan harga jual bahan bakar minyak. Pada
tahun 2002 pemerintah pernah mengizinkan bahan bakar minyak untuk mengikuti
harga keseimbangan yang berasal dari harga minyak internasional. Kebijakan ini
diikuti dengan meningkatkan harga bahan bakar minyak domestik agar bisa
mengikuti harga minyak internasional dan tidak memberatkan APBN karena
pemerintah harus memberikan subsidi lebih banyak. Namun kebijakan ini kurang
dikomunikasikan kepada publik sehingga banyak mengundang protes dari masyarakat dan terjadi ketidakstabilan keamanan dalam negeri.
Untuk menjamin daya beli masyarakat pada saat harga minyak dunia sedang melambung tinggi, pemerintah tetap melakukan kebijakan pemberian subsidi. Beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah semakin besar ketika harga minyak terus meningkat. Peningkatan harga minyak di tahun 2004 pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan harga jual bahan bakar minyak kepada masyarakat ke level Rp. 2400,00 per liter untuk premium.
Pada tanggal 30 September 2005 pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Regulasi ini menjelaskan bahwa jenis bahan bakar yang akan diberikan subsidi adalah jenis bensin premium, kerosin, dan minyak solar. Regulasi ini menetapkan harga jual eceran minyak tanah bagi rumah tangga dan usaha kecil sebesar Rp.2000,00 per liter. Harga eceran bensin premium menjadi Rp. 4.500,00 per liter dan minyak solar menjadi Rp.4.300,00 per liter. Ketiga jenis bahan bakar minyak yang diberikan subsidi ini hanya diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Harga yang ditetapkan dalam regulasi ini tidak berlaku bagi industri (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010).
Kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah pada awalnya ditujukan
untuk menjaga kestabilan perekonomian. Namun dalam realitanya pengeluaran
pemerintah untuk memberikan subsidi bagi energi dalam hal ini bahan bakar dan
listrik jauh lebih besar dibandingkan belanja investasi modal dan pembiayaan
untuk program sosial bagi masyarakat.
Sumber : Bulman et. al (2008)
Gambar 1.4 Realokasi APBN Bagi Kegiatan Sosial (Milliar US Dollar)
Pada saat terjadi krisis keuangan global di tahun 2008 dan terjadi fluktuasi harga minyak dunia seperti yang nampak pada Gambar 1.4 menjelaskan perbandingan anggaran belanja negara didominasi oleh pengeluran untuk subsidi BBM sebesar 14 milliar US dollar, sedangkan untuk belanja investasi modal hanya sebesar 9,5 milliar US dollar. Alokasi pengeluaran pemerintah untuk kegiatan sosial lebih kecil lagi yakni sebesar 7,5 miliar US dollar.
Karakteristik perekonomian Indonesia yang kesejahteraan masyarakatnya memiliki ketimpangan yang sangat jauh. Masyarakat di kota-kota besar relatif memiliki kesejahteraan yang lebih baik, ditandai dengan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sementara di bagian Indonesia yang lain tidak mendapatkan akses yang sama. Seharusnya anggaran APBN lebih difokuskan kepada peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pada awal tahun 2011 tedapat wacana untuk membatasi kuantitas BBM bersubsidi karena semakin besarnya pengeluaran pemerintah terhadap subsidi.
Sementara kebijakan kenaikan harga tidak mungkin diberlakukan karena dapat
menyebabkan respon anarkis dan ketidakstabilan keamanan dalam negeri.
Pembatasan kuantitas BBM ini juga ditujukkan agar penyaluran BBM bersubsidi tepat bagi masyarakat yang tergolong kurang mampu. Sebab selama ini penggunaan BBM bersubsidi justru didominasi oleh masyarakat dengan pendapatan menengah keatas.
Sumber : Bulman et al (2008)
Gambar 1.5 Persentase Rumah Tangga Pengguna BBM Bersubsidi
Banyak penelitian yang menjelaskan dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi bagi negara importir minyak yang tergolong dalam kategori negara industri maju. Namun masih jarang penelitian yang mengangkat dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi untuk kasus negara berkembang terkhusus bagi Indonesia yang baru sejak tahun 2004 menjadi importir minyak.
Penelitian terdahulu banyak yang lebih berfokus kepada variabel moneter
seperti nilai tukar, suku bunga, dan tingkat inflasi yang dipengaruhi oleh
volatilitas harga minyak namun belum ada yang memasukan variabel subsidi
dalam model penelitian yang terdahulu.
1.2 Perumusan Masalah
Pada saat masih tergabung dalam OPEC, Indonesia sudah memberikan subsidi bagi produk minyak bumi dalam negeri. Kebijakan pemberian subsidi minyak ini merupakan insentif untuk menumbuhkan dan mendorong kegiatan industrialisasi domestik. Pada masa itu perekonomian Indonesia sedang berorientasi pada industri subtitusi impor yakni mengupayakan kemandirian dalam penyediaan barang dan jasa untuk dihasilkan di dalam negeri dan mengurangi kegiatan impor dari luar negeri. Proses industrialisasi ini banyak membutuhkan bahan bakar minyak sebagai sumber energi dan faktor produksi penting dalam industri.
Fluktuasi harga minyak ini sangat mempengaruhi perekonomian. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harga minyak memiliki trend yang meningkat.
Peningkatan harga minyak disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan keamanan di negara kawasan Timur-Tengah yang merupakan kawasan penghasil minyak terbesar di dunia. Trend peningkatan harga minyak dunia ini juga diakibatkan oleh tingginya permintaan akan minyak itu sendiri. Permintaan yang tinggi terhadap minyak dalam suatu negara mengindikasikan ketergantungannya terhadap ketersediaan minyak domestik dalam kegiatan perekonomiannya.
Harga minyak yang terus meningkat ini memberikan dampak terhadap
perekonomian secara mikro maupun makro di suatu negara. Secara mikro dengan
meningkatkan ongkos produksi dalam kegiatan ekonomi berimbas pada naiknya
harga jual produk. Peningkatan harga jual ini menurunkan tingkat permintaan
konsumen sehingga perusahaan mengalami kerugian karena barang yang
diproduksi tidak mampu diserap sepenuhnya oleh pasar. Kerugian yang dialami oleh perusahaan disikapi dengan mengurangi kuantitas produksi. Hal ini mengakibatkan perusahaan harus mengambil tindakan efisiensi biaya produksi berupa pengurangan jumlah pekerja agar tetap memperoleh laba dari proses produksi. Pada saat itu akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada pekerja dan meningkatkan jumlah pengangguran.
Secara makro perekonomian mengalami guncangan akibat peningkatan harga minyak secara terus-menerus. Hal yang terjadi di tingkat perusahaan diakumulasikan secara agregat dalam perekonomian berarti memicu terjadinya inflasi dalam perekonomian yang ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang terus menurun ini berdampak terhadap produk domestik dan pertumbuhan ekononomi yang berjalan sangat lambat.
Sebab konsumsi masyarakat merupakan salah satu penyusun produk domestik.
Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka kecil, segala guncangan yang terjadi dalam perekonomian dunia akan memberikan dampak kepada perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Seperti guncangan dari harga minyak dunia dalam periode lima tahun terakhir ini memberi dampak kepada perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kestabilan variabel ekonomi dalam negeri seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan output nasional.
Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang akan diangkat dalam
penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan pertumbuhan output nasional di Indonesia?
b. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia?
c. Bagaimanakah respon kebijakan Indonesia serta perbandingan kebijakan dengan negara lain dalam merespon kenaikan harga minyak?
1.3 Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan pertumbuhan output nasional di Indonesia
b. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia
c. Membandingkan respon kebijakan Indonesia dan kebijakan dengan negara lain dalam merespon kenaikan harga minyak.
1.4 Manfaat Penulisan
a. Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan fiskal maupun moneter dalam merespon harga minyak yang berfluktuasi.
b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan
masukan, dan literatur bagi penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Inflasi
2.1.1 Definisi Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan dalam unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007).
Definisi lain dari inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga semua barang dan jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam waktu yang berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman, inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang selalu terjadi dimanapun dan tidak dapat dihindari. Inflasi dikatakan sebagai fenomena moneter hanya jika terjadi peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus.
pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004).
Kenaikan harga secara terus-menerus yang menyebabkan inflasi dapat
disebabkan oleh naiknya nilai tukar mata uang luar negeri secara signifikan
terhadap mata uang dalam negeri. Inflasi menurut teori Keynes terjadi karena
masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti
bagaimana perebutan sumber ekonomi antar golongan masyarakat bisa
menimbulkan permintaan agregat yang lebih besar daripada jumlah barang yang
tersedia. Dalam teori strukturalis inflasi berasal dari kekakuan struktur ekonomi khususnya supply bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan kenaikan harga pada barang lain.
Menurut Samuelson (1989) tingkat inflasi dapat yang ditentukan dengan menghitung selisih tingkat harga tahun tertentu dengan tingkat harga tahun sebelumnya dan dibandingkan tengan tingkat harga tahun ini dan dikalikan dengan seratus persen.
) 100 1 (
) 1 ( )
) (
( x
t price
t price t
price t
Inflation
Perhitungan inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen (IHP). Indeks Harga Konsumen yang dikenal sebagai IHK atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang dan jasa. Biasanya inflasi didasarkan kepada harga bahan pangan, pakaian, perumahan, bahan bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan komoditi lainnya yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Sedangkan Indeks Harga Produsen atau yang biasa dikenal sebagai PPI merupakan pendekatan yang digunakan dalam mengukur tingkat inflasi berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen. Indeks ini berguna karena memberikan penjelasan yang lebih baik bagi dunia usaha (Samuelson, 1989)
Lebih lanjut Samuelson (1989), menambahkan ada pendekatan lain yang
dapat menjadi pendekatan lain dalam mengukur tingkat inflasi selain Indeks
Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen yakni GNP Deflator. GNP Deflator
merupakan rasio GNP nominal dan GNP rill. GNP yang merupakan pendapatan nasional ini tersusun dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor suatu negara.
Seringkali timbul kesalahpahaman mengenai konsep inflasi di tengah masyarakat. Kesalapahaman yang ada dimasyarakat seperti anggapan tingkat inflasi membuat harga barang semakin mahal, dan inflasi yang tinggi sebagai pertanda bahwa masyarakat menjadi semakin miskin. Samuelson (1989) menjelaskan bahwa sesungguhnya inflasi berarti rata-rata tingkat harga mengalami peningkatan. Inflasi juga tidak selalu membuat masyarakat menjadi miskin apabila diikuti oleh peningkatan pendapatan masyarakat selama masa terjadinya inflasi. Sehingga pendapatan rill untuk kebutuhan hidup sehari-hari mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi.
2.1.2 Jenis Inflasi
Inflasi terbagi kedalam tiga jenis inflasi yakni :
(1) Inflasi menurut tingkat keparahannya, yakni : Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun), inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat (antara 30-100 persen setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun).
Sedangkan Samuelson (1989) mengklasifikasikan inflasi menurut tingkat keparahannya menjadi tiga jenis inflasi, yaitu:
a. Moderate Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga secara perlahan. Relatif
kecil dengan kenaikan satu digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika
harga relatif stabil, masyarakat mempercai nilai uang dan mau
menyimpannya karena tidak akan berkurang nilainya secara cepat. Inflasi jenis ini mendorong masyarakat untuk melakukan investasi portofolio jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset investasi di masa depan.
b. Galloping Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga dua sampai tiga digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika inflasi meningkat mengakibatkan distorsi dalam ekonomi. Secara umum investasi akan beralih ke mata uang asing, karena mata uang dalam negeri mengalami penurunan yang sangat cepat dan ditandai dengan tingkat suku bunga yang menyentuh level minus. Namun dengan manajemen yang baik, inflasi jenis ini masih dapat dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika Latin di tahun 1980an.
c. Hyperinflation
Merupakan tipe inflasi yang terparah seperti yang terjadi di Jerman pada tahun 1920-1923 dan yang terjadi di Cina dan Hungaria pasca perang dunia kedua. Tipe inflasi ini juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1963, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendanai “proyek mercusuar”
dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal ini yang menyebabkan nilai uang menjadi sangat rendah. Tingkat inflasi pada masa itu mencapai 600 persen sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah
.(2) Inflasi menurut penyebab terjadinya, yakni:
a. Demand-Pull Inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah dalam keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir penuh. Jika kondisi kesempatan kerja penuh atau full employmentsudah terjadi, kenaikan permintaan total hanya akan meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis ini disebut sebagai inflasi murni.
b. Cost-Push Inflation
Inflasi yang terjadi disertai turunnya tingkat produksi. Jadi inflasi jenis ini diikuti resesi dalam perekonomian. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi.
(3) Inflasi menurut asalnya, yakni:
a. Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab dari inflasi jenis ini misalnya dari defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan mengeluarkan kebijakan moneter menambah jumlah uang yang beredar berupa pencetakan uang baru, gagal panen dari bahan makannan pokok, dan sebagainya.
b. Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan ekomomi terbuka kecil, sehingga sangat dipengaruhi oleh perekonomian global termasuk tingkat inflasi.
Imported inflation juga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia.
Kenaikan harga barang-barang impor yang masuk ke Indonesia akan
mengakibatkan (1) kenaikan indeks harga konsumen karena sebagian dari
kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi berasal dari barang-barang import, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan.
2.1.3 Dampak Inflasi
Selama periode inflasi terjadi, tingkat harga dan upah tidak bergerak dalam tingkatan yang sama, maka inflasi akan memberikan dampak redistribusi pendapatan dan kekayaan diantara golonag ekonomi dalam masyarakat. Serta menimbulkan terjadinya distorsi dalam harga relatif, output, dan kesempatan kerja, dan ekonomi secara keseluruhan (Samuelson,1989).
Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terbagi menjadi dua yakni dampak psitif dan dampak negatif. Dampak positif dari inflasi menyebabkan peredaran dan perputaran barang lebih cepat di masyarakat sehingga produksi barang-barang bertambah, dan keuntungan pengusaha bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang tercipta berarti membuka banyak lapangan kerja baru sehingga masalah pengangguran dapat berkurang. Ketika inflasinya terkendali dan diikuti dengan pendapatan nominal yang bertambah, maka pendapatan rill masyarakat meningkat.
Inflasi pun memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian
seperti kenaikan harga kebutuhan hidup, nilai dan kepercayaan terhadap uang
akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan nasional.
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi 2.3.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Simon Kuznets memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1971 atas analisisnya mengenai batasan mengenai pertumbuhan ekonomi di suatu negara sebagai tumbuhnya kemampuan untuk meningkatkan penawaran berbagai benda- benda ekonomi dalam jangka waktu yang lama bagi penduduknya. Kenaikan itu sendiri beberapa faktor dalam negara itu sendiri seperti : (1) akumulasi kapital yang mencakup semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia; (2) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja; dan (3) kemajuan teknologi (Todaro, 1985).
Prof. Kuznets dalam Todaro (1985) menambahkan definisi pertumbuhan
ekonomi memiliki 3 komponen pokok, yakni : meningkatnya output nasional
secara terus-menerus, adanya perkembangan teknologi, dan padanya penyesuaian
lembaga-lembaga dan inovasi di bidang sosial. Dalam analisanya Prof. Kuznets
juga menjelaskan 6 karaktreistik mengenai gambaran atau proses pertumbuhan
ekonomi yang dialami oleh beberapa negara maju, yaitu:
a. Laju pertumbuhan output perkapita yang tinggi dan pertambahan penduduk.
b. Produktivitas tenaga kerja yang meningkat dengan pesat.
c. Transformasi struktural ekonomi yang tinggi.
d. Transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.
e. Kecenderungan negara maju untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia yang lain untuk pemasaran output dan eksplorasi sumber bahan mentah.
f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya meliputi sepertiga penduduk dunia saja.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan output perkapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan output naik yang bersumber dari kekuatan yang berada dalam perekonomian itu sendiri, bukan berasal dari luar atau bersifat sementara. Sasaran pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan utama suatu negara dan merupakan suatu determinan penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan persamaan di bawah ini :
) 1 (
) 1 ( )
(
t GDP
t GDP t
GDPgrowth GDP
Dimana GDP merupakan akumulasi dari konsumsi masyarakat (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor netto yakni selisih dari ekspor dan impor (X-M).
2.3.2 Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith menyebutkan
bahwa pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila ada peningkatan jumlah kapital
dan spesialisasi kerja. Teori David Ricardo pada umumnya sama dengan teori Adam Smith secara garis besar tapi lebih menekankan faktor keterbatasan lahan dan pertumbuhan penduduk.
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Solow menunjukkan bagaimana persediaan modal (K), pertumbuhan angkatan kerja (L), dan kemajuan teknologi (E) berinteraksi dalam perekonomian. Tingkat kemajuan teknologi yang terlihat dari peningkatan keterampilan atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita meningkat. Fungsi produksi ditambahkan satu variabel E yakni teknologi sebagai faktor eksternal dalam teori Solow. Dengan adanya kemajuan teknologi, model Solow menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar hidup masyarakat dengan fungsi produksi sebagai berikut :
) , , ( K L E f
Y
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Harrod-Domar menyatakan setiap penambahan stok modal melalui investasi masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Sedangkan Rostow membagi tahapan pertumbuhan ekonomi kedalam lima tahapan yakni :
a. Masyarakat tradisional, yakni masyarakat yang pola kehidupannya masih menggunakan cara-cara sangat sederhana dan tingkat produktivitasnya sangat terbatas.
b. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas, yakni masyarakat yang mulai
sadar akan pembangunan ekonomi, terdapat peranan ilmu pengetahuan
yang aktif.
c. Masyarakat lepas landas, yakni perkembangan IPTEK digunakan dalam menunjang kegiatan perekonomian. Sudah mulai mengembangkan industri dan jasa yang diikuti dengan penggunaan sumberdaya secara optimal.
d. Masyarakat tingkat kematangan, yakni sudah dapat mengatasi ketergantungan kepada negara lain. Kehidupan perekonomiann ditopang dengan penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya alam yang matang.
e. Masyarakat konsumsi tinggi, yakni masyarakat yang pendapatan perkapitanya sangat tinggi.
2.3 Teori Suku Bunga
Suku bunga merupakan harga yang dibayar atas kepemilikan sejumlah dana atau modal. Suku bunga menurut Irving Fisher membedakan suku bunga dalam dua jenis yakni suku bunga nominal (nominal interest rate) dan suku bunga rill (real interest rate). Suku bunga nominal adalah suku bunga yang masih mengandung faktor inflasi sedangkan suku bunga rill merupakan tingkat suku bunga yang didapat dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar keuangan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
r i
dimana, i = suku bunga nominal,
r = suku bunga rill,
π = tingkat inflasi.
Untuk kasus di Indonesia yang memiliki sistem ekonomi terbuka kecil, yakni terbuka akan mobilisasi sumber kapital global walau peranannya kecil dalam perekonomian global, cenderung dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di negara ekonomi terbuka besar. Dalam sistem ekonomi terbuka kecil tingkat besaran suku bunga yang berlaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
a. Domestic money market
Besaran suku bunga ditentukan dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar keuangan domestik. Pasar keuangan yang stabil akan mendorong terciptanya keseimbangan tingkat suku bunga. Dengan pasar uang yang stabil juga mendorong terjadinya efisiensi dalam pasar uang.
b. Expected rate of devaluation
Harapan akan menguatnya nilai uang di masa yang akan datang juga akan menentukan besaran suku bunga sebab ekspektasi terhadap nilai mata uang yang akan lebih besar di masa yang akan datang akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memegang uang. Hal ini akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tetap, cateris paribus.
c. Expected inflation
Harapan akan meningkatnya tingkat harga ditandai dengan terjadinya infalasi
di waktu yang akan datang, akan meningkatkan permintaan terhadap uang. Hal ini
akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tidak berubah, cateris paribus.
d. Imported interest rate
Mengingat Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbuka kecil pasti akan ikut terpengaruhi oleh peerkonomian internasional. Termasuk variabel suku bunga yang akan ditetapkan sebagai suku bunga nasional.
2.4 Teori Kebijakan Subsidi
Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumberdaya dan terciptanaya harga dan kuantitas produksi dalam keseimbanagan sehingga intervensi pemerintah tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah terjadi, di belahan dunia manapun perekonomian tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut (Amegashie, 2006)
Lebih lanjut Amegashie (2006) menambahkan kegagalan pasar yang kerap
terjadi di negara berkembang seperi distorsi pasar dimana pembeli tidak
mendapatkan informasi yang sempurna, jumlah perusahan yang kecil, barang
publik, lemahnya perlindungan terhadap hak cipta suatu barang dalam
perekonimian. Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan subsidi untuk mereduksi inefisiensi di pasar. Dengan adanya subsidi
akan meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut dan kemudian direspon
oleh perusahaan dengan meningkatkan produksinya.
Bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasanya kepada barang- barang publik dimana pihak swasta tidak mau menyediakannya sementara daya beli masyarakat sangat rendah sehingga tidak mampu membeli barang-barang dengan harga pasar. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi untuk menekan harga barang publik, sehingga harga barang menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi nelayan dan masyarakat.
2.5 Pengantar Fluktuasi Ekonomi
Fluktuasi ekonomi menunjukkan masalah yang sedang terjadi bagi para ekonom dan pembuat kebijakan. Secara rata-rata GDP Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Tapi rata-rata dalam jangka panjang menyembunyikan fakta bahwa terkadang output nasional tidak tumbuh dengan stabil. Terkadang tumbuh pesat dibeberapa tahun, terkadang pula tumbuh lambat di beberapa tahun yang lain. Ekonom menyebut fluktuasi jangka pendek pada output nasional dan pengangguran sebagai siklus bisnis (bussiness cycle).
Fluktuasi dalam perekonomian mempengaruhi Aggregate Demand dan Agregate Supply baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Fluktuasi dalam perekonomian dapat menurukan dan menaikkan Aggregate
Demand dan juga dapat menurunkan dan menaikkan Aggregate Supply.
(a) (b) Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Demand
Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam jangka panjang yang disebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang beredar sehingga akan menghasilkan peningkatan harga. Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka panjang perekonomian sudah dalam kondisi full-employment sehingga upaya untuk meningkatkan aggregat demand hanya akan menghasilkan inflasi dan tidak menambah output.
Gambar 2.1 (b) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam
jangka pendek sehingga menghasilkan peningkatan output sebesar .
Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka pendek harga bersifat kaku dan
perekonomian belum dalam kondisi full-employment sehingga peningkatan
aggregat demand tidak menghasilkan inflasi.
Sumber : Mankiw (2007)