ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS
DAERAH PERTAMBANGAN RAKYAT DI PANYABUNGAN, KABUPATEN MANDAILING-NATAL, SUMATERA UTARA BERDASARKAN STUDI PIMA, PETROGRAFI, AAS DAN INKLUSI
FLUIDA
Nayarudin N. Rahmat
Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN ”Veteran” Yogyakarta
ABSTRACT
Gold mineralization in local mining area at Panyabungan, Mandailing-Natal regency, North Sumatra province are hosted by volcaniclastic both andesitic and dacitic composition. The gold mineralization associated with hydrothermal alteration assemblage from proximal to distal i.e. silicification, argillic, and propylitic. Mineralogy of the deposit consists of gold and silver with minor pyrite, spalerite, chalcopyrite, galena and manganese. The gold mineralization is characterized by presence of quartz vein with several textures of vug/cavities, banded (crustiform-colloform), breccia, chalcedonic, bladed, comb structure, dogtooth, stockwork, and massive that typically as epithermal deposit.
Based on the alteration and mineralization, with laboratorium analysis (PIMA, petrography, AAS, and fluid inclusion) will get detailer in interpretation of minerals alteration assemblage, metal elements relationship, type of deposit, temperature and depth of ore depositional.
Keywords: Gold mineralization, hydrothermal alteration, epithermal
SARI
Mineralisasi emas daerah pertambangan rakyat di Panyabungan,
Kabupaten Mandailing-Natal, Provinsi Sumatera Utara ditempati secara
dominan oleh batuan klastika gunungapi (volkaniklastik) berkomposisi
andesitik dan dasitik. Mineralisasi emas ini berasosiasi dengan kumpulan
ubahan hidrotermal dari proximal ke distal yaitu alterasi silisifikasi, argilik,
dan propilitik. Mineralogi endapan ini terdiri atas emas dan perak dengan
sedikit pirit, sfalerit, kalkopirit, galena dan mangan. Batuan yang
termineralisasi emas ditandai oleh keberadaan urat kuarsa dengan tekstur
vug/cavities, berlapis (banded: crustiform-colloform), breksiasi, kalsedonik,
bladed, comb structure, dogtooth, stockwork dan masif yang merupakan ciri khas dari jenis endapan epitermal.
Berdasarkan alterasi dan mineralisasi yang berkembang dengan dibantu oleh analisa laboratorium seperti PIMA, petrografi, AAS dan inklusi fluida maka dapat menginterpretasikan secara lebih detil mengenai mineral- mineral ubahan, hubungan antar unsur logam, jenis endapan, suhu dan kedalaman pembentukan endapan bijih.
Kata kunci: Mineralisasi emas, ubahan hidrotermal, epitermal
PENDAHULUAN
Jumlah rata-rata unsur Au dalam kerak bumi adalah sebesar 0,004 gram per ton (ppm). Proses-proses geologi dapat menyebabkan terkosentrasinya unsur Au lebih dari jumlah rata-rata unsur Au yang ada di dalam kerak bumi.
Karena logam emas merupakan salah satu komoditas logam berharga yang mempunyai harga yang tinggi, maka banyak orang yang selalu berusaha untuk mencari dan mendapatkannya.
Khususnya di daerah Panyabungan, kabupaten Mandailing-Natal (Madina), provinsi Sumatera Utara memiliki potensi bahan tambang mineral emas yang umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai pertambangan rakyat skala kecil yang menjadi daerah panelitian (Gambar 1). Wilayah penambangan emas di daerah Panyabungan ini merupakan salah satu dari beberapa daerah prospek penambangan emas yang berada di jalur pegunungan Bukit Barisan yang berkaitan erat dengan sistem sesar Sumatera.
Keberadaan mineralisasi emas di Panyabungan ini sebagai wilayah pertambangan rakyat menimbulkan permasalahan tersendiri terkait dengan legalitas aktivitas penambangan, persoalan lingkungan, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, di sisi lain penulis ingin mengetahui dan memahami kondisi geologi, karakteristik alterasi dan mineralisasi beserta asosiasi mineral ekonomisnya yang berkembang.
Tulisan ini ditekankan pada identifikasi ubahan hidrotermal dan tekstur
spesifik urat-urat kuarsa dalam rangka mengungkap terjadinya mineralisasi
emas, terutama berkaitan dengan susunan fluida penyebab terjadinya
alterasi dan mineralisasi, suhu pembentukan dan lingkungan pengendapan
mineral, serta geokimia hubungan antar unsur logam termineralisasi yang
berada di dalam area pertambangan rakyat tersebut.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian daerah Panyabungan, kabupaten Mandailing-Natal, Sumatera Utara.
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Daerah Panyabungan merupakan zona graben yang berada di tengah- tengah pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari arah tenggara sampai barat laut yang mempunyai ketinggian sekitar 200 meter di atas permukaan air laut. Daerah telitian merupakan perbukitan rendah yang berada di bagian samping dari zona graben Panyabungan dan berada dekat dengan zona peralihan dari dataran alluvial lembah Batang Gadis menjadi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian sekitar 350 – 450 meter di atas permukaan air laut.
Batuan penyusunnya didominasi oleh satuan batuan klastika gunungapi, yaitu berupa batuan bersifat andesitik dan dasitik volkaniklastik (Gambar 2).
Ukuran butir dari sedimen gunungapi ini bervariasi, mulai dari ukuran lanau bahkan sampai kerakal membentuk satuan breksi dengan arah kemiringan lapisan relatif ke arah timur dengan batas lapisan berangsur, sedangkan zona urat kuarsa utama mempunyai arah kemiringan ke barat berlawanan dengan arah kemiringan lapisan batuan samping (Gambar 3).
Umur dari satuan batuan volkaniklastik tersebut yaitu antara Paleozoikum
sampai Mesozoikum, sehingga sebagian kecil sudah mengalami sedikit
metamorfosa derajat rendah (J.A. Aspden, dkk., 1982). Di luar daerah
telitian sekitar 2 km terdapat beberapa intrusi batuan beku granodiorit dan
porpiritik diorit disebelah utara dan volcanic plug tak terubah berkomposisi
dasit kuarsa yang berada disebelah selatannya. Intrusi granodiorit
mengalami alterasi kuarsa-serisit-klorit-pirit.
Gambar 2. Peta geologi, ubahan hidrotermal, dan zona termineralisasi di daerah Panyabungan.
Gambar 3. Penampang
geologi A-A’ daerah telitian.
Adanya intrusi dan mineralisasi ini dikontrol oleh rekahan sesar Sumatera yang membentuk beberapa perpotongan antara sesar utama yaitu sesar mendatar geser kanan dengan sesar turun yang membentuk graben Panyabungan. Struktur tersebut telah membentuk zona-zona bukaan (shear zones) yang berperan sebagai saluran jalan keluarnya magma dan fluida hidrotermal. Jejak-jejak sesar yang berada di daerah telitian umumnya berarah barat laut – tenggara dan utara – selatan. Adanya pembelokan arah struktur sesar umumnya juga akan membentuk zona mineralisasi sebagai tempat jebakan endapan emas dan mineral-mineral penyertanya yang cukup berarti.
METODE PENELITIAN
Salah satu penampakan penting ubahan hidrotermal adalah terjadinya perubahan mineral-mineral utama pembentuk batuan menjadi kumpulan mineral baru yang dihasilkan oleh proses hidrotermal. Beberapa faktor yang berperan dalam pembentukan mineral-mineral ubahan antara lain: suhu, tekanan, jenis batuan asal, permeabilitas batuan, lamanya kegiatan hidrotermal dan yang terpenting susunan fluida hidrotermal (Browne dan Ellis, 1970).
Metode penelitian yang dilakukan meliputi pemetaan geologi serta
identifikasi zona alterasi dan mineralisasi serta pengambilan sampel batuan
pada singkapan di permukaan maupun masuk ke dalam lubang galian
masyarakat (local adit) dengan sistem channel sampling memotong urat
kuarsa hingga kedalaman sekitar 170 meter.
Untuk menunjang pengungkapan terjadinya mineralisasi, diperlukan analisa laboratorium terhadap beberapa sampel batuan, yang terdiri atas:
1)
Analisa bulk menggunakan metode PIMA (Portable Infra-red Mineral Analyzer) terhadap tiga sampel batuan terubah terpilih untuk mengidentifikasi mineral- mineral ubahan jenis lempung, silikat, dan logam.
2)
Analisa petrografi terhadap tiga sampel batuan terubah hidrotermal/termineralisasi untuk identifikasi mineral-mineral ubahan yang terbentuk, merupakan sampel yang sama dengan sampel untuk analisa PIMA.
3)
Analisa geokimia batuan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption
Spectophotometric)terhadap limabelas sampel batuan terubah hidrotermal/termineralisasi untuk mendeteksi unsur-unsur Au, Ag, Cu, Pb, Zn, As, Sb dan Mo.
4)
Analisa inklusi fluida (fluid inclusion) terhadap satu sampel urat kuarsa untuk mendeteksi suhu pembentukan kuarsa dan cebakan bijih.
Analisa laboratorium untuk metode AAS dilakukan di PT. Intertek Utama Services, Jakarta; sedangkan untuk analisa petrografi, PIMA dan inklusi fluida dilakukan oleh Applied Petrologic Services and Research, Wanaka, New Zealand.
ALTERASI, MINERALISASI DAN INKLUSI FLUIDA
Alterasi atau ubahan hidrotermal diartikan sebagai perubahan mineralogi dan tekstur batuan asal yang disebabkan oleh interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan tersebut (Rose dan Burt, 1979 dalam Herman, 2006). Berdasarkan temuan mineral-mineral ubahan yang hadir dan batuan induknya, umumya terjadi pada batuan gunungapi klastik baik yang berkomposisi andesitik maupun dasitik mulai dengan pola ubahannya pervasive, selective bahkan sampai tidak terubah.
Alterasi yang terdapat di daerah pertambangan rakyat Panyabungan ini ada tiga macam yang dapat dipetakan berdasarkan pengamatan lapangan maupun dibantu dengan analisa sampel batuan di laboratorium dengan menggunakan metode PIMA (Tabel 1) dan petrografi sayatan tipis, dari proximal ke distal yaitu:
a. alterasi silisifikasi (kuarsa+kalsedon+adularia±rhodokrosit±illit), membentuk urat kuarsa butir sedang-halus hingga kalsedonik termineralisasi dengan tebal bervariasi mulai dari puluhan sentimeter hingga puluhan meter dengan mineral bijih sulfida seperti pirit, arsenopirit, kalkopirit, galena, spalerit, argentit dan
native gold. Dilihat dari tektur urat kuarsa yang berkembang, dapat disimpulkanbahwa proses yang dominan adalah proses pengisian (cavity filling) dan hanya sedikit proses pengantian (replacement). Tekstur-tekstur urat kuarsa tersebut berupa vug/cavities, berlapis (banded: crustiform-colloform), breksiasi, kalsedonik, bladed, comb structure/dogtooth, stockwork dan masif (Gambar 4).
b. alterasi argilik (illit+monmorilonit+kuarsa+pirit±kaolinit±klorit), hadir di
sekitar urat kuarsa dan mengikuti pola penyebaran urat tersebut. Pada
zona ubahan ini biasanya muncul urat-urat halus kuarsa membentuk
stockwork dengan disertai mineral ubahan lempung yang cukup melimpah berupa illit, monmorilonit dan kaolinit secara pervasive.
c. alterasi propilitik (klorit±karbonat±epidot±pirit), merupakan zona alterasi yang berada paling luar dan paling jauh dari zona mineralisasi urat kuarsa epitermal sulfidasi rendah.
a. b.
c. d.
e. f.
Gambar 4. Foto singkapan urat kuarsa yang membawa mineralisasi emas
dan perak dengan tekstur: a) banded antara milky quartz dengan
manganese carbonate yang kadang muncul tekstur bladed
carbonate, b) colloform-crustiform dan banded antara kuarsa
dengan adularia dan sedikit illit, c) breksiasi dengan pirit
terhambur, umumnya fragmennya sudah tersilisifikasi kuat/di-
replace oleh silika, d) masif, urat kuarsa berwarna putih (milky
quartz) dan sedikit mengandung sulfida, e) kalsedonik, vuggy dan
sering berbentuk dog-tooth dan banyak mengandung lapisan
sulfida, f) stockwork urat kuarsa teroksidasi pada batuan dasitik
volkaniklastik terubah silika-illit-monmorilonit-kaolinit-pirit.
Tabel 1. Hasil analisa PIMA batuan terubah hidrotermal di daerah Panyabungan, Sumatera Utara.
No. Kode
Sampel Mineral 1 Mineral 2 Mineral 3 Mineral 4 Mineral 5 Catatan Analisa
1 NNR1 Silika Illit jarang Urat
kuarsa
2 NNR1 Silika Illit jarang Urat
kuarsa
3 NNR2 Illit Monmorillonit jarang Zona
argilik
4 NNR2 Illit Monmorillonit Kaolinit jarang Zona
argilik
5 NNR2 Illit Monmorillonit Zona
argilik
6 NNR2 Illit Monmorillonit sedikit Zona
argilik
7 NNR3 Illit Silika Klorit Monmorillonit
jarang
Zona argilik ke propilitik
8 NNR3 Illit Monmorillonit Silika Klorit jarang
Zona argilik ke propilitik
9 NNR3 Illit Monmorillonit sedikit Klorit
Zona argilik ke propilitik
Dari hasil analisa petrografi baik melalui sayatan tipis maupun sayatan poles maka akan membantu sekali dalam mengidentifikasi mineral-mineral ubahan dan endapan bijih yang terbentuk di daerah telitian. Dari tiga sampel batuan yang dianalisa secara petrografi dengan sayatan tipis maka dapat diketahui macam-macam mineral ubahan yang terbentuk beserta teksturnya (Gambar 5, 6, dan 7).
Gambar 5. Fotomikrograf sayatan tipis dalam urat kuarsa dengan no.
sampel NNR1: a) bladed carbonate tertutupi oleh kuarsa anhedral hingga euhedral, 1500 µm. ppl., b) lempung illit terbentuk dari ubahan fragmen batuan samping dan tertutupi oleh semen kuarsa, 600 µm. cpl.
b.
illit
kuarsa
a.
bladed carbonatekuarsa
a.
adulariakuarsa
b.
adularia kuarsa
Gambar 6. Fotomikrograf sayatan tipis dalam urat kuarsa dengan no.
sampel NNR2: a) tekstur banding pada semen silika awal digambarkan dari distribusi kuarsa, adularia dan sulpida, 600 µm, ppl., b) tekstur banded berupa adularia dan kuarsa dari kumpulan semen silika, 600 µm, ppl.
Gambar 7. Fotomikrograf sayatan tipis dalam urat kuarsa dengan no. sampel NNR3: a) pervasive lempung illit terbentuk setelah adularia, yang terbentuk setelah terjadi ubahan dari masa dasar batuan samping, 600 µm, ppl., b) lempung illit yang terkonsentrasi sepanjang shear menutupi fragmen-fragmen kuarsa, 600 µm, ppl.
Dari tiga sampel batuan yang dianalisa secara mikroskopis dengan sayatan poles didapatkan beberapa mineral bijih yaitu emas natif (native gold), argentit, kalkopirit, spalerit dan pirit dengan tekstur yang berkembang (Gambar 8, 9, dan 10).
a.
adulariaillit
b.
kuarsa
illit
b.
emas natif
kuarsa
kuarsa kalsedonik
a.
kuarsa banded
emas kalsedon
kuarsa kalsedonik
Gambar 8. Fotomikrograf mineral bijih sulfida dalam urat kuarsa dengan no. sampel NNR1: a) butiran emas dalam kumpulan kuarsa banded, kuarsa kalsedonik, dan kalsedon, 600 µm. ppl/rl., b) emas natif yang intergrown dengan kuarsa dan kuarsa kalsedonik, 80 µm. ppl/rl.
Gambar 9. Fotomikrograf mineral bijih sulfida dalam urat kuarsa dengan no. sampel NNR2: a) emas/elektrum natif intergrown dengan argentit yang overgrowths ke pirit dalam semen silika, 300 µm. ppl/rl., b) butiran emas intergrown dengan spalerit dan pirit dalam daerah semen silika banded, 300 µm. ppl.
Gambar 10. Fotomikrograf mineral bijih sulfida dalam urat kuarsa dengan no. sampel NNR3: a) kalkopirit overgrowth dengan pirit di dalam kumpulan semen silika termasuk juga adularia, 300 µm. ppl/rl , b) kalkopirit mengisi pecahan fase akhir pada kuarsa, 300 µm. cpl/rl.
Analisa kimia (AAS) terhadap contoh batuan termineralisasi (urat kuarsa) mampu mendeteksi kandungan unsur-unsur yang erat kaitannya dengan proses mineralisasi epitermal dengan ditunjukkan oleh keberadaan As dan Sb dengan kandungan yang signifikan dari Au, Ag, Cu, Pb, dan Zn (Tabel 2).
a.
emas natifsemen silika
argentit
pirit
b.
emas
semen silika pirit
spalerit
a.
kalkopirit pirit
semen silika
b.
kalkopirit semen silika
kuarsa
kalkopirit
Grafik Hubungan Antar Unsur (Au, Ag, Cu, Pb, Zn, As, Sb, dan Mo)
0.1 1 10 100 1000
N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7a N7b N8a N8b N9a N9b N10 N11 N12 No. Sam pel
Kadar (ppm)
Au Ag Cu Pb Zn As Sb Mo Hubungan Antar Unsur (Au, Ag, Cu, Pb, Zn, As, Sb, dan Mo)
0 100 200 300 400 500 600 700
N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7a N7b N8a N8b N9a N9b N10 N11 N12 No. Sam pel
Kadar (ppm)
Au Ag Cu Pb Zn As Sb Mo
Berdasarkan hasil analisa kimia dari semua sampel batuan termineralisasi tersebut kemudian digambarkan dalam bentuk grafik, sehingga didapatkan pola-pola kehadiran semua unsur Au, Ag, Cu, Pb, Zn, As, Sb dan Mo (Gambar 11 dan 12).
Gambar 11. Grafik yang menunjukkan pola kehadiran antar unsur-unsur dalam zona mineralisasi dimana unsur As relatif lebih tinggi terhadap unsur lainnya, kecuali pada no. sampel N4 terdapat anomali untuk unsur Pb yang sangat tinggi.
Gambar 12. Grafik yang menunjukkan pola hubungan saling mempengaruhi antar unsur-unsur dalam zona mineralisasi kecuali unsur Pb.
Grafik analisa AAS (dalam ppm) di atas menunjukkan bahwa Au-Ag
mempunyai pola yang sama yaitu berbanding lurus dan saling
mempengaruhi, Cu-Zn-As-Sb-Mo mempunyai pola yang relatif berbanding
terbalik/kebalikan terhadap grafik Au-Ag dan masih saling mempengaruhi,
sedangkan Pb tidak terpengaruh terhadap kehadiran dan dominasi unsur-
unsur yang lainnya. Sebagai contoh untuk pola yang berbanding lurus dan
saling mempengaruhi adalah unsur Au dan Ag, yaitu apabila unsur Au naik,
maka unsur Ag relatif mengikuti naik, begitu pula sebaliknya. Sedangkan yang mempunyai pola kebalikan dan saling mempengaruhi sebagai contohnya adalah unsur Au dan Cu, yaitu apabila unsur Au naik, maka unsur Cu relatif turun, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan indikasi dari grafik tersebut dapat diinterpretasikan bahwa daerah pertambangan rakyat di Panyabungan ini merupakan zona mineralisasi emas (Au) – perak (Ag) dalam urat kuarsa.
Analisa inklusi fluida (fluid inclusion) terhadap satu sampel urat kuarsa mendeteksi suhu homogenisasi (homogenization temperatures/Th) dengan kisaran 239-250
oC, dan suhu pembekuan (freezing temperatures/Tm) rata- rata sebesar -0,4-0,5
oC dengan salinitas fluida sekitar 0,78 equivalent wt.%NaCl dihitung dari temperatur peleburan cairan yang mengandung air.
Seperti perkiraan untuk temperatur larutan hidrotermal yang terperangkap dan dalam pembentukan kuarsa, inklusi fluida primer kaya akan cairan yang mengandung air (secara bersamaan juga banyak mengandung inklusi kaya gas) terbentuk dalam kisaran suhu homogenisasi 239-250
oC (Gambar 13).
Hasil petrografi inklusi fluida 1
oH
2O pada inklusi kaya cairan dan gas menggambarkan zona pertumbuhan pada kuarsa berupa kumpulan semen silika sekunder, kalkopirit juga nampak hadir (Applied Petrologic Services and Research, Wanaka, New Zealand, 2009).
Gambar 13. Grafik yang menggambarkan Th (H
2O) pada sampel urat kuarsa yang diambil untuk data inklusi fluida yaitu 239-250
oC.
Salinitas fluida yang sebesar 0,78 equivalent wt.%NaCl ini menunjukkan
bahwa fluida hidrotermal telah mengalami dilusi atau pengenceran oleh air
tanah sehingga fluida yang dominan berupa H
2S dan dapat dikategorikan
sebagai fluida dengan salinitas sangat rendah. Rendahnya salinitas inklusi
fluida mengarah pada dugaan bahwa kuarsa terbentuk pada suatu
lingkungan dangkal dimana terjadi pencampuran fluida hidrotermal dan air tanah. Karena suhu pembentukan inklusi fluida di kedalaman sangat erat kaitannya dengan suhu pendidihan dan tekanan hidrostatika (Haas, 1971 dalam Herman, 2006), dengan asumsi bahwa sistem hidrotermal terbentuk dengan salinitas fluida sebesar 0,78 equivalent wt.%NaCl dan kuarsa terbentuk dalam kisaran suhu homogenisasi 239-250
oC, maka dapat terdeteksi bahwa mineralisasi emas pertambangan rakyat di Panyabungan terbentuk pada kedalaman antara 350 – 430 meter di bawah permukaan purba (paleosurface) (Gambar 14) dengan level mineralisasi berada di boiling level ke arah bawah atau mendekati transisi precious metal ke base metal interval (Gambar 15).
Gambar 14. Diagram hubungan suhu dan kedalaman proses mineralisasi di
daerah Panyabungan, Sumatera Utara (mengacu kepada Haas,
1971 dalam Herman, 2006).
Permukaan Sekarang
Tambang rakyat Panyabungan