Violation of Converstional Implicature in Basiginyang Humors Minang Yulfi Zawarnis
Kantor Bahasa Lampung
Jalan Beringin II No.40, Komplek Gubernuran, Telukbetung, Bandarlampung Posel: yulfi.zawarnis@gmail.com
Diajukan:19 Mei 2018,direvisi: 9 Juni 2018 Abstract
This research is a qualitative research that aims to describe the form of conversational implicatur used in Minang humors contained in Minang song album "Basiginyang". Data in the form of conversations in Minang language that contain humors. The data obtained is then transcribed in writing and then translated into Indonesian. The data obtained were then analyzed using speech act theory proposed by Leech and Grice. The results showed that of the twelve Minang-based humors stories analyzed it was found that most humors contained an element of violation of the maxim of relevance and maxim acceptance. Violations of these maxims are made to obtain fun and interesting effects. In addition, based on the results of the analysis is also known that in one humors is not only one violation of the principle of cooperation and the principle of decency. Keywords: conversational implicatures, humor, principles of cooperation, courtesy principles
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implikatur percakapan yang digunakan dalam humor Minang yang terdapat dalam album lagu Minang “Basiginyang”. Data berupa percakapan dalam bahasa Minang yang mengandung humor. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan dalam bentuk tulisan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Data yang diperoleh dianalisis dengan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Leech dan Grice. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dua belas cerita humor berbahasa Minang yang dianalisis ditemukan bahwa sebagian besar humor mengandung unsur pelanggaran terhadap maksim relevansi dan maksim penerimaan. Pelanggaran maksim-maksim ini dilakukan untuk memperoleh efek lucu dan menarik. Selain itu, berdasarkan hasil analisis juga diketahui bahwa dalam satu humor tak hanya terdapat satu pelanggaran prinsip kerja sama ataupun prinsip kesopanan.
88
1. Pendahuluan
Humor merupakan salah satu bentuk tulisan atau ujaran yang sengaja dibuat untuk memberikan suasana hati tertentu bagi pembaca, pendengar, atau penonton sehingga suasana yang terbangun dalam komunikasi menjadi hidup. Keberhasilan sebuah humor dapat dinilai dari kepuasan yang dirasakan oleh pendengar atau pembaca humor.
Humor merupakan salah satu bentuk komunikasi yang memanfaatkan bahasa untuk mendapatkan efek kelucuan. Dari sudut pandang linguistik, humor dikembangkan dari konsep ketidaksejajaran (incongruity) dan pertentangan (conflict). Efek kelucuan dalam humor ditimbulkan melalui pemanfaatan kreasi bahasa tertentu. Berdasarkan pendekatan pragmatik, pada hakikatnya humor terjadi karena penyimpangan dua jenis implikatur, yakni implikatur konvensional (conventional implicature) dan implikatur percakapan (conversational implicature) (Wijana, 2003).
Dalam wacana humor,
penyampaian maksud dilakukan secara terselubung sehingga pendengar/ pembaca memerlukan sedikit usaha untuk menangkap maksud yang ingin disampaikan dalam sebuah humor. Penyampaian maksud terselubung ini merupakan bagian dari implikatur percakapan.
Dalam wacana humor, implikatur percakapan ini dimanfaatkan untuk memperoleh efek lucu sehingga membuat pembaca/pendengar merasa geli dan menjadi tertawa. Sebuah humor dikatakan gagal ketika lawan tutur, pembaca/pendengar, tidak dapat menangkap implikatur percakapan sehingga tidak menimbulkan rasa lucu, geli, dan ingin tertawa.
Dalam rangka menimbulkan rasa lucu, geli, dan ingin tertawa ini, pembuat humor memanfaatkan pelanggaran
terhadap prinsip kerja sama dan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan.
Humor bagi masyarakat
Minangkabau tidak sepopuler karya seni lainnya seperti musik, lagu, dan tari. Namun, terdapat beberapa daerah di Minangkabau yang menjadikan humor sebagai bagian dari kesenian yang mereka miliki. Salah satu seni pertunjukan yang menyertakan humor di dalamnya adalah Salawat Dulang. Meskipun, unsur humor dalam Salawat Dulang tak sepopuler humor dalam Lenong Betawi, misalnya, hal ini sudah cukup membuktikan bahwa humor dekat
dengan kehidupan masyarakat
Minangkabau.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Minangkabau juga sangat senang bersenda gurau dengan menyelipkan unsur humor dalam senda guraunya. Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau mengenal istilah kucindan yang berarti ‘senda gurau; kelakar’. Selain itu, ada juga kosakata garah yang juga berarti ‘kelakar; canda’.
Hingga saat ini tak sedikit masyarakat Minang yang memopulerkan humor berbahasa Minang, baik melalui media sosial maupun lagu. Salah satu humor yang cukup dikenal masyarakat Minang adalah yang dipopulerkan oleh Ajo dan One dalam album lagu mereka yang diberi judul “Basiginyang”. Album lagu ini berisi lagu yang bernada ceria dan beberapa syairnya mengandung humor dan kelucuan. Lagu yang disajikan kemudian diselingi dengan dialog antara Ajo dan One tentang suatu kisah yang juga menimbulkan gelak tawa bagi pendengarnya.
Basiginyang sendiri merupakan kosakata bahasa Minang yang berarti ‘bertingkah kemanja-manjaan; banyak tingkah’. Humor yang diselipkan di antara lagu yang bertema percintaan dalam album lagu Basiginyang bertujuan
89 untuk membuat tingkah kemanjaan yang
ditampilkan dalam syair lagu sebagai bahan olok-olokan. Hal ini membuat lagu-lagu yang disajikan tak berkesan terlalu serius dan vulgar.
Humor yang akan diteliti difokuskan pada dialog-dialog yang dilakukan oleh Ajo, penyanyi laki-laki, dengan One, penyanyi perempuan, di sela-sela lagu yang mereka nyanyikan. Humor yang disajikan dalam satu album ini memiliki banyak tema, di antaranya talua asin, guru matematika, guru agamo, urang gilo,onda baru, oto baru,urang piaman naiak kapatabang, kuah sate, si sumbiang. Pada masanya, humor-humor yang ditampilkan Ajo dan One ini sangat
digandrungi oleh masyarakat
Minangkabau pada umumnya. Hingga saat ini masih banyak masyarakat Minangkabau yang mengingat lagu-lagu dan humor-humor yang disajikan oleh Ajo dan One.
Berdasarkan latar tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk implikatur percakapan dalam humor Minang Basiginyang?
2. Pelanggaran prinsip kerja sama apakah yang dibuat oleh pembuat humor Basiginyang dan faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama? 3. Pelanggaran prinsip kesantunan/
kesopanan apakah yang dibuat oleh pembuat humor di Basiginyang dan faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip kesantunan?
Yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah humor yang terdapat dalam album lagu Basiginyang Vol. 1. Data penelitian berupa dialog yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki, Ajo, dengan penyanyi perempuan, One. Album lagu Basiginyang ini merupakan produksi Sinar Padang Record sekitar
tahun 90-an. Dalam album lagu tersebut terdapat sepuluh lagu yang dinyanyikan oleh Ajo dan One yang sebagian besar syairnya juga mengandung unsur humor, yakni “Takuik”, “Boco Aluih”, “Ginyang”, “Bagaluik”, “Leng-Leng Alua”, “Pandeka Kalek”, “Cogok Mancogok”, “Talak Tigo”, “Gadele Tangah Balai”, dan “Buntiang Kuciang”. Sumber data adalah album lagu Minang “Basiginyang” oleh penyanyi Ajo dan One.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk penggunaan implikatur percakapan dalam humor di album lagu Minang Basiginyang; Menjelaskan pelanggaran prinsip kerja sama dalam humor Basiginyang dan merinci faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran prinsip kerja sama tersebut; dan menjelaskan pelanggaran prinsip kesantunan dalam humor di facebook dan merinci faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip kesantunan tersebut.
Penelitian mengenai implikatur dan pelanggaran prinsip kerja sama serta prinsip kesopanan dalam humor sudah banyak dilakukan, di antaranya Hira, et al (2012) “Penggunaan Implikatur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro TV: Tinjauan Pragmatik”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk implikatur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Sentilan Sentilun serta merinci faktor yang memengaruhi sehingga prinsip kerja sama itu dilakukan.
Data dalam penelitian ini berupa rekaman video dari acara Sentilan Sentilun yang kemudian ditranskripsi-kan dalam bentuk transkrip. Dialog-dialog yang digolongkan sebagai bentuk imlikatur dan pelanggaran prinsip kerja sama kemudian dianalisis dengan metode kualitatif dengan pendekatan pragmatik. Data yang digunakan sebanyak 56 data yang diperoleh dari
90
rekaman sejak Februari 2011 hingga Maret 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikatur yang ditemukan merupakan implikatur percakapan yang berupa pertanyaan dan pernyataan yang berupa opini, sindiran, hinaan, dan pujian. Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara tersebut ditemukan pada semua maksim (maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara). Semua bentuk tuturan merupakan hal yang sengaja dilakukan dalam upaya untuk memberikan penggambaran tentang fenomena sosial yang sedang terjadi di masyarakat saat itu.
Dewi (2005) juga pernah melakukan analisis terhadap wacana humor, yakni “Telaah Pragmatik Bahasa Humor dalam Kumpulan Humor Cabe Rawit Karya Kadir Wong”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan humor cabe rawit dari maksim kesopanan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian berupa 55 kutipan humor yang terdapat dalam buku Kumpulan Humor Cabe Rawit karya Kadir Wong. Data disajikan dalam bentuk tabel data.
Hasil analisis menunjukkan bahwa humor Kadir Wong disajikan dalam dua bentuk, yakni monolog dan dialog. Penggunaan bahasa humor yang ditinjau dari maksim kesopanan yang terdapat dalam kumpulan humor cabe rawit dapat diidentifikasi menyimpang dari 6 maksim yang ada. Penyimpangan tersebut, meliputi 1) penyimpangan terhadap maksim kebijaksanaan atau kearifan, 2) penyimpangan terhadap
maksim kemurahan hati atau
kedermawanan, 3) penyimpangan terhadap maksim penghargaan,
penerimaan atau pujian, 4)
penyimpangan terhadap maksim kerendahan hati, 5) penyimpangan terhadap maksim kecocokan atau
kesepakatan, 6) penyimpangan terhadap maksim kesimpatian.
Budiyanto (2009) juga melakukan analisis terhadap humor, yakni ”Penyimpangan Implikatur Percakapan dalam Humor-Humor Gusdur”. Data penelitian bersumber dari okezone.com dan gusdur.net. Berdasarkan hasil penelitiannya, Budiyanto menyimpulkan bahwa efek lucu dalam humor-humor
Gusdur dihasilkan melalui
penyimpangan terhadap implikatur percakapan. Dalam prinsip kerja sama, maksim-maksim yang dilanggar dalam menghasilkan humor Gusdur adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim sikap. Dalam prinsip kesopanan, maksim yang dilanggar adalah maksim kemurahan (generosity), maksim penerimaan
(approbation), dan maksim
kerendahhatian (modesty).
Analisis humor berbahasa Minang pernah juga dilakukan oleh Zawarnis (2013), yakni ”Pelanggaran Implikatur Percakapan dalam Humor (Tinjauan Pragmatik terhadap Humor Berbahasa Minang di Facebook”.
Humor merupakan salah satu bentuk wacana yang dapat dikaji secara pragmatik karena kegiatan berhumor antara penutur dan lawan tuturnya merupakan salah satu tindak tutur. Searle (1975) dalam Wijana (1996) dalam Astuti (2002: 4)) membagi tindak tutur menjadi lima kategori, yakni representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Selain itu, Searle juga mengungkapkan prinsip kerja sama, yakni prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien.
Grice (1975) dalam Budiyanto (2009: 106) menegaskan bahwa dalam tindak tutur diperlukan seperangkat asumsi yang akan menjadikan proses
91 komunikasi menjadi lebih efektif dan
efisien. Antara penutur dan lawan tutur harus bersifat kooperatif. Oleh karena itu, penutur dan lawan tutur harus mematuhi prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Dengan berpedoman pada kedua prinsip ini maka proses komunikasi dapat berlangsung lancar. Hanya saja tidak selamanya kedua prinsip komunikasi ini dipatuhi dalam berkomunikasi.
Grice (dalam Mulyana, 2005:12) menyatakan bahwa implikatur dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni implikatur konvensional dan implikatur konverasional. Dalam istilah lain disebut sebagai performatif langsung dan performatif tidak langsung.
Prinsip kerja sama menurut Grice (1975) dalam Budiyanto (2009: 107) dijabarkan dalam beberapa maksim, yaitu 1) maksim kuantitas yang menghendaki setiap peserta tutur memberikan kontribusi secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
tuturnya. Rahardi (2003:27)
menjelaskan bahwa seorang penutur diharapkan dapat memberikan pesan atau informasi yang sungguh-sungguh memadai, dirasa cukup, dan dipandang seinformatif mungkin kepada mitra tutur.
Dengan kata lain, informasi atau pesan yang diberikan oleh penutur atau mitra tutur tidak boleh berlebihan dan harus sesuai dengan apa yang ditanyakan atau dibutuhkan mitra tutur. Bagian bagian yang sama sekali tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan bagi mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice.
2) Maksim kualitas mengharus-kan setiap peserta tutur untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Maksim kualitas adalah msksim yang menjelaskan bahwa peserta tuturan
harus memberikan informasi yang sesuai dengan fakta. Dengan menerapkan maksim kulitas dalam prinsip kerjasama Grice seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang benar-benar nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya dalam aktifitas bertutur sapa, Rahardi (2003:31)
3) Maksim relevansi mewajibkan peserta tutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Dalam maksim relevansi jelas dikatakan bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang benar-benar baik antara penutur dan mitra tutur masing-masing hendaklah memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan, Rahardi (2003:31).
4) Maksim cara/ maksim pelaksanaan menghendaki peserta tutur berbicara secara langsung, tidak kabur dan tidak berlebihan, serta runtut. Lebih lanjut Rahardi (2003:31) menjelaskan bahwa maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama Grice mengharuskan agar setiap peserta pertuturan selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas dan isi pesan tidak boleh ambigu atau kabur isinya.
Leech (1983) dalam Wijana (1996) menambahkan adanya prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahhatian/kedermawanan (gene-rosity maxim), maksim penerimaan
(approbation maxim), maksim
kerendahan (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur.
Gagasan dasar maksim
kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan
92
hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur.
Orang bertutur yang berpegang
dan melaksanakan maksim
kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 2003) menjelaskan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan, para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Di dalam maksim penerimaan atau penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta tutur tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain.
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahhatian, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu
memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
Di dalam maksim kecocokan atau pemufakatan, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun.
Maksim kesimpatian diungkap-kan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun.
2. Metode
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Dalam metode ini, data yang diperoleh akan dianalisis sedemikian rupa sehingga dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang data yang diperoleh, menerangkan hubungan antardata, dan memberikan makna dan implikasi dari masalah yang dipecahkan. (Nazir, 2003: 55) Berdasarkan desain penelitian ini akan dilakukan tiga langkah kerja dalam penelitian ini, yakni 1) pengumpulan data, 2) pengolahan dan penganalisisan data, dan 3) penyajian hasil pengolahan data. Lalu, pengumpulan data dilakukan dengan metode rekam dan catat.
Penelitian ini berusaha
mendeskripsikan penggunaan impli-katur dan pelanggaran prinsip kerja
93 memanfaatkan data yang dikumpulkan
dari dialog-dialog yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki, Ajo, dan penyanyi perempuan, One, dalam album lagu Minang Basiginyang.
Data dikumpulkan dengan melakukan transkripsi terhadap dialog yang dilakukan oleh Ajo dan One dalam album lagu Basiginyang. Hasil transkripsi ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Indonesia inilah yang kemudian dikelompokkan dan dianalisis berdasarkan pelanggaran prinsip kerja
sama yang dilakukan untuk
menimbulkan efek lucu.
Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data adalah dengan mengumpulkan kemudian memilah dan membuat kategorisasi berdasarkan penyimpangan maksim yang ada. Langkah selanjutnya adalah menyajikan hasil pengolahan data. Hasil analisis data disajikan secara informal dengan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah dipahami. (Sudaryanto, 1993: 145)
Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan setiap humor berdasarkan pelanggaran yang terjadi. Humor yang sudah dianalisis kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yakni yang melanggar prinsip kerja sama dan yang melanggar prinsip kesopanan. Humor yang melanggar prinsip kerja sama dikelompokkan lagi menjadi empat, yakni yang melanggar maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara/pelaksanaan.
Humor yang melanggar prinsip kesopanan dikelompokkan lagi menjadi enam, yakni yang melanggar maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan,
maksim penerimaan, maksim
kerendahhatian, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.
3. Hasil dan Pembahasan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principles)
Prinsip dasar kerja sama itu dapat dirumuskan sebagai berikut. “Buatlah
sumbangan percakapan Anda
sedemikian rupa sebagaimana
diharapkan pada tingkat percakapan yang bersangkutan oleh tujuan percakapan yang lazim/ diketahui/ disepakati atau oleh arah percakapan yang sedang Anda ikuti” Nababan (1987) Dari dua belas data yang dianalisis, ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat satu data yang melanggar maksim kualitas, delapan data yang melanggar maksim relevansi, dan dua data yang melanggar maksim cara. Selain itu, terdapat tujuh data yang melanggar maksim penerimaan, satu
data yang melanggar maksim
kedermawanan, dan dua data yang melanggar maksim kecocokan.
3.1 Pelanggaran Maksim Kualitas Pelanggaran maksim kualitas hanya terdapat pada humor yang berisi teka teki antara Ajo dan One.
Ajo: Gajahko aponyo nan gadang?
One: Badannyo malah. Ajo: Kandangnyo.
Ajo: Baa caro masuakan gajah ka dalam kulkas?
One: Bukak pintu kulkas, tu masuakan gajah.
Ajo: Baa caro masuakan samuik dalam kulkas?
One: Bukak pintu masuakan samuik
Ajo: Salah, Ne One: Tu baa?
94
Ajo: Bukak pintu kaluakan gajah, masuakan samuik tutuik liak. Ajo: Baa caro masuakan jerapah ka dalam kulkas?
One: Taka nan tadi. Ajo: Baa tu?
One: Bukak pintu masuakan jerapah.
Ajo: Samuik tadi?
One: Ndak muek baduo do? Ajo: O iyo, samuik ngeneknyo yo? Ajo: Kok pacu lari gajah jo jerapahko sia yang manang? One: Takok one jerapah manang Ajo: Salah one, gajah malah nan manang, jerapah masih di dalam kulkas jo baru
One: O iyo yah?
Humor tersebut bercerita tentang Ajo dan One yang saling melempar teka-teki.
Ajo: Gajah itu apanya yang besar?
One: Badannya, lah. Ajo: Kandangnya
Ajo:Bagaimana cara memasuk-kan gajah ke dalam kulkas? One: Buka pintu kulkas, setelah itu masukkan gajah.
Ajo: Bagaimana cara memasuk-kan semut ke dalam kulkas? One: Buka pintu lalu masukkan semut.
Ajo: Salah, Ne.
One: Terus bagaimana?
Ajo: Buka pintu, keluarkan gajah, masukkan semut, tutup lagi.
Ajo: Bagaimana cara memasuk-kan jerapah ke dalam kulkas? One: Seperti yang tadi
Ajo: Bagaimana?
One: Buka pintu masukkan jerapah.
Ajo: Semut tadi?
One: Tidak muat berdua ya?
Ajo: O iya, semut kan kecil ya? Ajo: Kalau adu lari gajah dan jerapah ini, siapa yang menang? One: Menurut saya, jerapah yang menang
Ajo: Salah one, gajahlah yang menang, jerapah kan masih di dalam kulkas.
One: O iya ya?
Dalam kutipan dialog tersebut dapat dilihat bahwa Ajo membuat kesinambungan antara kisah yang ditanyakan dalam teka-teki pertama hingga teka-teki yang terakhir.
Maksim kualitas berisi anjuran atau nasihat yang berkenaan dengan bukti-bukti yang tidak benar sehingga terjadi koherensi dalam percakapan.
Maksim ini menurunkan dua
submaksimnya, yakni jangan katakan sesuatu yang salah dan jangan katakan sesuatu yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Wacana yang mematuhi maksim kualitas ini tidak akan menimbulkan kelucuan, sebaliknya wacana yang menyimpang dari maksim ini akan menimbulkan kelucuan.
Pada humor yang berisi teka-teki
ini pembuat humor membuat
pelanggaran terhadap maksim kualitas. Bagian yang melanggar maksim kualitas adalah pertanyaan yang diberikan oleh Ajo dan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Ajo untuk membantah jawaban yang sudah diberikan oleh One. Faktanya tak akan ada orang yang mampu memasukkan gajah dan jerapah ke dalam kulkas kecuali kulkasnya memang sangat besar. Hal lain yang tidak logis dalam teka-teki tersebut adalah adanya adu lari antara gajah dan jerapah. Kenyataannya gajah dan jerapah bukanlah hewan yang biasa untuk diadu lari. Pelanggaran terhadap maksim kualitas inilah yang menyebabkan teka-teki ini menjadi lucu dan menimbulkan gelak tawa.
95
3.2 Pelanggaran Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Submaksim yang diturunkan dari maksim ini adalah berikanlah sumbangan yang informatif dalam percakapan sesuai dengan keperluan. Hal ini berarti peserta tutur hendaknya memberikan sumbangan secara tepat dan sesuai keperluan dari segi kuantitas. Jika sumbangan yang diperlukan sedikit, hendaknya peserta tutur memberikan sumbangan sedikit juga, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan data yang diperoleh tidak ditemukan humor yang memanfaatkan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama maksim kuantitas untuk menimbulkan efek lucu.
3.3 Pelanggaran Maksim Relevansi Sebagian besar dialog antara One dan Ajo dalam album Basiginyang berisi humor yang mengandung unsur pelanggaran terhadap maksim relevansi. Dari dua belas humor yang dianalisis, delapan humor mengandung unsur pelanggaran terhadap maksim relevansi. Maksim hubungan atau relevansi
menyarankan penutur untuk
mengatakan apa-apa yang relevan. Namun, di dalam wacana berikut pelanggaran terhadap maksim ini sengaja dilakukan untuk memberikan kontribusi pengungkapan kelucuan.
Patangko ambo pulang kampuang ka Sicincin. Tu baranti oto di sinan. Naiaklah paja ketek ka manggaleh taluo ko.
“Talua, talua”, keceknyo. Tu batanyo ambo “Bara talua ang ko ciek ko, Yuang?” jano ambo.
“Saribunyo, Jo.”
“Baa maha banako?” kato ambo. “ngeneangnyo ha.”
“Dalang Ajo ko ha”, kecek paja ko. “gadang pado iko pacah malah lancirik itiak deknyo.” Beberapa waktu yang lalu saya pulang kampung ke Sicincin. Saat itu berhentilah mobil di sana. Naiklah seorang anak kecil menjajakan telur. “Telur, telur”, katanya. Setelah itu saya bertanya, “berapa harga telur ini satu, Nak?”
“Seribu, Jo”.
“Mengapa mahal sekali? Kan, telurnya kecil”.
“Gila Ajo ini, kalau lebih besar dari itu, ya, pecahlah pantat ayamnya”.
Maksim relevansi mensyaratkan adanya hubungan antara sebuah pernyataan dengan pernyataan setelahnya. Dalam humor tentang telur ini, Ajo sengaja melakukan pelanggaran terhadap prinsip relevansi sehingga wacana yang disajikan menimbulkan gelak tawa bagi pendengarnya.
Ketidakrelevanan dalam wacana di atas dapat dilihat pada bagian akhir cerita, yakni ketika Ajo mencoba menawar telur. Si penjual telur bukannya mengabulkan tawaran Ajo, dia malah mengaitkan ukuran telur yang kecil dengan lubang pantat ayam.
Pelanggaran maksim relevansi untuk menimbulkan efek kelucuan juga dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Di kampuang mbo ado lo ko mah ne. Caritonyo bantuak iko. Ado anak SD maarau pulang nyo, manangih, mancilebe pulangnyo. Batanyo abaknyo a sabab anakko manangih”.
96
“Aden diagiahnyo di ibuk di mah skola bak.”
“Baa mangko diagiahnyo?” “Ibuk mananyokan duo kali duo.” “bara ang jawab?”
“Tigo kecekden bak.”
“Ntu iyo bangih ibuk tu, ampek malah jawab.”
“Ampek lo kecek abak, tigo sen lah kanai ariak den.”
Di kampung ada lagi sebuah cerita. Ceritanya begini, ada seorang anak SD menangis meraung-raung saat pulang ke rumah. Ayahnya bertanya penyebab anak itu menangis. “Mengapa kamu menangis?” “Saya dimarahin bu guru di sekolah, Yah”
“Mengapa kamu dimarahi?” “Ibu menanyakan dua kali dua” “Berapa kau jawab?”
“Tiga kubilang, Yah”
“Tentulah iya bu guru marah, harusnya kau jawab empat” “Bagaimana mungkin menjawab empat, Yah, tiga saja saya sudah dimarahi”
Dalam kutipan tersebut terdapat pelanggaran terhadap prinsip relevansi. Pelanggaran prinsip relevansi dilakukan oleh anak saat menjawab pertanyaan dari ayahnya perihal dia dimarahi. Saat si ayah memberikan alternatif jawaban agar anak tidak dimarahi, anak tersebut malah memberikan reaksi yang tak terduga. Si anak merasa jawaban yang diberikannya atas pertanyaan ibu guru sudah tepat dan dia merasa tidak terima ketika dimarahi.
Cerita menjadi semakin lucu ketika si ayah mencoba memberi tahu si anak. Seharusnya anak tersebut menjawab bahwa dua ditambah dua adalah empat. Anak ini malah semakin kesal karena dia merasa memberikan
jawaban tiga saja sudah dimarahi, apalagi memberi jawaban empat yang sudah pasti lebih banyak dari tiga. Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa si anak tidak memberikan jawaban yang relevan atas pertanyaan ayahnya karena tidak ada hubungan antara banyaknya angka yang dijawab oleh si anak dengan ketepatan jawaban yang seharusnya diberikan. Pelanggaran prinsip relevansi sengaja dilakukan agar pendengar/ pembaca merasa terhibur dengan cerita yang disajikan.
Selain itu, humor berikut ini juga memanfaatkan pelanggaran terhadap maksim relevansi untuk memperoleh efek kelucuan.
Guru agamo mancaritokan sarugo jo narako. “Kalau elok-elok se awak di dunia ko masuak sarugo”, kecek guruko. “Kalau nakal-nakal wak masuak narako”.
Nyo, caritoanlah tantang sarugoko dek guruko. “Baitu ancaknyo di sarugoko. Di situ tingganyo bidadari. Buah sen diambiak. babuah lo baliak. Tangaia sen madu. Pokoknyo ndak ado tandingannyo di duniako do”. Tu batanyo guruko sudah tu, “Sia nan ka pai ka sarugo?” Manunjuaklah anak-anak sadonyo, kecuali paja surangko.
“Nto ndak manunjuak, ndak pai ka sarugo do?” kecek gurunyo. “Ndak buk, kecek apak pulang sekola langsuang sen lah pulang”, jano paja tu.
Guru agama menceritakan surga dan neraka. “Kalau kita baik-baik saja di dunia ini maka kita akan masuk surga”, kata guru ini. “Kalau nakal-nakal nanti kita
97 Diceritakanlah tentang surga
oleh guru tersebut. “Seperti ini indahnya surga, di situ tempat tinggal bidadari. Buah-buahan setiap dipetik akan langsung berbuah lagi. Sungai-sungai dialiri madu. Pokoknya tak ada tandingan keindahannya di atas dunia ini.” Setelah itu bertanyalah guru kepada siswa-siswa tersebut. “Siapa yang ingin masuk surga?”
Semua anak mengacungkan jarinya kecuali anak yang satu itu. “Mengapa kamu tidak mengacungkan jari, apakah kamu tak ingin ke surga?” kata guru tersebut. “Tidak, Bu, kata ayah pulang sekolah harus langsung pulang ke rumah”, kata anak itu.
Dalam kutipan tersebut juga terjadi pelanggaran terhadap prinsip kerjasama maksim relevansi. Dari jawaban yang diberikan oleh si anak atas
pertanyaan gurunya terlihat
ketidakrelevanan yang membuat pendengar/pembaca merasa bahwa jawaban yang diberikan itu mengandung kelucuan. Antara langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah dengan ke surga tidak memiliki hubungan sama sekali.
Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama maksim relevansi ini menjadi salah satu faktor yang membuat cerita menjadi lucu.
Wacana lainnya yang juga memanfaatkan pelanggaran prinsip kerja sama maksim relevansi untuk memperoleh efek lucu adalah humor yang berisi kisah orang gila dan dokter berikut ini.
Urang gilo di gaduik dilatakkan sakamar baduo. Paja nan sakamar baduoko dilatakkannyo meja di tangah kamar, tagaknyo di ateh meja, dirantangkannyo
tangannyo. “Caliak den diang. Adenko matahari”, keceknyo. “Tarang bumi ko di den sadonyo”. “Gilo ang ko mah”. “Waang nan gilo, den kaduan ang ka dokter”. “Kaduanlah diang”. “Dok, kawan den nan sakamar tu lah tambah gilonyo”. “Baatu?” “Diatakkannyo meja di tangah-tangah,
dirantangkannyo tangannyo, dikecekkaannyo inyo matohari”. “Tu lah sanang pajako”, kecek doktor ko.
“ Tu dulu lah ka situ, suruah turunlah paja tu”. “Mambana ambo, Dok, jan suruah turun paja ko lai”. “Baa tu?”
“Beko kalamlo ari”.
Orang gila di Gaduik (lokasi rumah sakit jiwa di Sumatra Barat) ditempatkan sekamar berdua. Orang gila yang
sekamar berdua ini
diletakkannya meja di tengah kamar lalu dia berdiri di atas meja itu dan direntangkan tangannya. “Coba kamu lihat, saya ini matahari”, katanya. “Terang seluruh bumi ini karena saya.”
“Kamu gila.”
“Kamu yang gila, aku adukan kau ke pak dokter.”
“Adukanlah”
“Dok, teman saya yang sekamar itu sudah bertambah gilanya.” “Memangnya kenapa?”
“Diletakkannya meja di tengah-tengah, direntangkan tangannya lalu dikatakannya bahwa dia adalah matahari.”
“Anak ini sudah waras”, pikir dokter.
“Duluanlah ke sana, suruh anak itu turun.”
98
“Saya mohon, Dok, jangan disuruh turun.”
“Memangnya, mengapa?” “Nanti hari menjadi gelap.” 3.4 Pelanggaran Maksim Cara
Di dalam wacana humor, pelanggaran maksim tertentu sering dipakai untuk menimbulkan efek lucu. Dari dua belas data yang dianalisis, ditemukan dua humor yang mengandung
maksim cara. Maksim cara
mengharuskan setiap peserta
percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, dan tidak berlebihan. Tekanan maksim cara ada pada kejelasan tuturan. Namun, dalam wacana berikut maksim cara justru dilanggar untuk menimbulkan kegelian kepada pembacanya.
“Ambo lah lamo di kampuang. Dulu ambo marantau. Karatau madang di hulu babuah babungo balun Marantau bujang dahulu di rumah baguno balun. Kini ambo pulangko dek kanai lo, takalanglo, baluluaklo.”
“Takana di ambo ma urang rumah, Jo?”
“Kami lah sorang-sorang lo.” “Baa kok takahtu?”
“Ambo sangaik paburuang. Unggeh ka unggeh jo bauruih. Tu lah bacakaklo. Tu kecek rang rumah mbo ‘Ajo bacarai-bacarailah Ajo, tapi unggeh Jo tinggakan.”
“Saya sudah lama di kampung. Dulu saya merantau. Karatau madang di hulu. Berbuah berbunga belum. Merantau bujang dahulu. Di rumah berguna belum. Sekarang saya pulang ini karena kena lagi, terkalang lagi, berluluk lagi.”
“Saya jadi ingat, kemana istri Ajo?”
“Kami sudah sendiri-sendiri lagi.”
“Mengapa begitu?”
“Saya sangat peburung. Burung terus yang saya urus. Setelah itu bertengkar. Kata istri saya “Ajo kalau mau bercerai-bercerailah, Jo, tapi burung Ajo tinggalkan.”
Penggunaan kata unggeh ‘burung’ dalam wacana tersebut dipakai untuk menimbulkan penafsiran ganda dari pendengar. Istilah burung memiliki konotasi dengan ‘alat kelamin laki-laki’. Hal ini juga berlaku dalam masyarakat Minangkabau yang menganalogikan unggeh dengan ‘alat kelamin laki-laki’. Penggunaan kata unggeh inilah yang membuat cerita ini menjadi lucu karena dalam konteks tuturannya istri Ajo mengikhlaskan Ajo menceraikannya asalkan “unggehnya” ditinggalkan. Hal ini sama saja dengan pelecehan istri Ajo terhadap Ajo karena ternyata dia tidak memerlukan fisik Ajo secara utuh, kononkah lagi lahir dan batin. Yang dibutuhkan istrinya ternyata hanyalah alat kelaminnya.
Selain humor di atas, humor berikut ini juga melakukan pelanggaran
terhadap maksim cara untuk
menimbulkan efek lucu.
Pulang mbo disongsoangkan urang jo bendi.
“Kama, Yuang?”
“Ingkin tu, Pak. Bara tu, Pak?” “Agiah diang saringgik.”
“Mahanyo, Pak, ampia nyo ha, nampak tu ha.”
“Dalang ang ko mah. Bulan nampaklo diang tu mah. Bara ado pitih ang?”
“Satuih jadih, Pak?” “Naiaklah ang.”
99 Tu langsuang dilambuiknyo
kudonyo ampia jatuah.
“Elok-elok, Pak, jatuah ambo beko.
“Waang baia satuih mintak salamaik lo.”
Saya pulang disambut orang dengan bendi.
“Kemana, Yung?”
“Ke sana, Pak. Berapa, Pak?” “Kasih saja 250.”
“Mahal sekali, Pak, kan dekat, Pak. Itu kelihatan.”
“Gila kau ini. Bulan juga kelihatan. Ada berapa uangmu?” “Seratus boleh, Pak?”
“Naiklah kau.”
Setelah itu langsung dilecutnya kudanya sehingga Ajo hampir jatuh.
“Hati-hati, Pak, nanti saya jatuh.”
“Kau Cuma bayar seratus minta selamat pula.”
Dalam kutipan tersebut, kusir bendi seolah bersepakat dengan harga penawaran yang diberikan oleh Ajo. Akan tetapi, sebetulnya kesepakatan yang dibuat bersifat kabur. Kusir bendi sebetulnya tidak ikhlas jasanya dibayar seratus rupiah sehingga dia sengaja melakukan perbuatan yang merugikan Ajo. Bagi sebagian orang tentunya cerita ini mengandung unsur kelucuan apalagi saat mendengar cara Ajo menceritakan kisah ini dengan gayanya yang memang sudah lucu.
Selain, melanggar prinsip kerjasama maksim cara, humor tersebut juga melanggar prinsip kesopanan maksim penerimaan dan maksim kecocokan. Dalam wacana atas dapat dilihat ketidakcocokan antara kusir bendi dengan Ajo yang membuat mereka berdebat.
Kusir bendi pun melanggar maksim penerimaan dengan seolah-olah menerima harga tawar yang diberikan oleh Ajo. Akan tetapi, sebetulnya hatinya tak ikhlas menerima sehingga dia membalas ketidakterimaannya itu dengan perlakuan yang tidak baik terhadap Ajo.
3.5 Pelanggaran Prinsip Kesopanan/ Kesantunan Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan/ Kearifan
Prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan submaksim kedua, yaitu buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Maksim kearifan atau maksim kebijaksanaan adalah maksim yang berisi anjuran yang menyangkut pembebanan biaya kepada pihak lain yang seringan-ringannya dengan keuntungan sebebsar-besarnya. Maksim ini terdiri dari a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Berdasarkan data yang diperoleh, tidak terdapat humor yang melakukan
pelanggaran terhadap maksim
kearifan/kebijaksanaan untuk
menimbulkan efek lucu.
3.6 Pelanggaran Maksim Penerima-an/Pujian
Wacana humor yang melanggar prinsip kesantunan maksim penerimaan. Maksim penerimaan adalah maksim yang berisi anjuran yang berkenaan dengan masalah penjelekan dan masalah pujian. Dalam album “Basiginyang” terdapat tujuh humor yang mengandung
pelanggaran terhadap maksim
penerimaan/pujian. Di antara humor yang melanggar maksim penerimaan ini sebagai berikut.
Carito Dul Sumbing. Ado satpam dek One. Paja ko iyo agak batando, agak sumbiang. Ambo
100
Mambao onda agak kancang talantak di ambo anak ketek.
bangihnyo satpamko,
diambuihnyo pluitnyo sakali. “Finggir”, kecek e.
“Balantak anak urang lai ado pakai fim?” “Aya fim ko ko, Pak, STNK?”, kecek ambo.
“Fim pakak fim”
“Kalason?” kecek ambo. “Iyo fakak ang ko mah.”
Tu lah panek dipiciakannyo nan sumbiangtu
“Sim, kantuik, sim”, keceknyo. Cerita Dul Sumbing. One, ada seorang satpam. Satpam ini ada ciri khasnya, agak sumbing. Saya membawa motor agak kencang sehingga tak sengaja menabrak anak kecil. Satpam ini marah, ditiupnya pluitnya sekali.
“Finggir”, katanya.
“Kautabrak anak orang, apakah kau pakai fim?”
“Fim itu apa, Pak, STNK?”, tanyaku.
“Fim, tuli, fim.” “Klakson”, kataku.
“benar-benar tuli kau ini.” Setelah itu dipencetnya yang sumbing itu.
“Sim, kentut, sim”, katanya.
Efek kegelian dari wacana tersebut terlihat ketika Ajo mengatakan secara implisit bahwa dia tidak paham ujaran orang sumbing. Ujaran orang sumbing itu baru bisa dipahaminya setelah orang sumbing itu menutup bagian bibirnya yang sumbing. Ujaran Ajo ini menandakan bahwa Ajo tidak bisa menerima kekurangan orang sumbing.
Pelanggaran prinsip sopan santun maksim pujian juga terlihat pada wacana humor berikut.
Urang piamanko jaleh dek, One. Nyo naiak kapatabang. Naiak kapatabang sakapatabang jo ambo. Inyo dari Jawa pulang ka kampuang. Naiaknyo jo kapatabang dibaiaannyo dek anaknyo. Duduaknyo di sampiang ambo.
“Wadenlah di tapi tu, Yuang.” “ Baa tu pak?”
“Aden gak pamutah. Yo lasuah naiak patabang ko, Yuang.” “Baa lasuahno?”
“Caliak diang ka bawah tu, manusia bantuak samuik.” “Yo dalang apakko.Itu yo samuik tu, Pak. Awak kan alun tabang lai.”
Tahukah One, Orang Pariaman naik pesawat terbang. Dia satu pesawat dengan saya dari Jawa akan pulang ke kampung. Dia
naik pesawat terbang
dibayarkan oleh anaknya. Orang itu duduk di samping saya.
“Biarlah saya yang duduk di pinggir itu, Nak.”
“Memangnya kenapa, Pak” “Saya agak sering muntah. Seru ya naik pesawat, Nak.”
“Bagaimana serunya?”
“Lihatlah ke bawah, manusia seperti semut.”
“Wah, gila Bapak ini. Itu memang semut, Pak. Kita kan belum terbang, Pak.”
Penggalan tuturan Ajo yang mengatakan bahwa seolah-olah orang Pariaman “norak” telah melanggar maksim pujian, yaitu submaksim meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan efek lucu pada wacana di atas. Semestinya Ajo memberikan pujian
101 kepada orang Pariaman karena telah
jujur mengakui perasaannya yang sangat menikmati naik pesawat. Di sinilah letak kelucuan wacana di atas, ternyata orang Pariaman tidak bisa membedakan suasana saat pesawat masih di landasan dengan suasana saat pesawat sudah terbang. Implikatur yang terkandung dalam wacana di atas yang dilakukan Ajo adalah implikatur mengejek orang Pariaman.
Wacana humor lainnya yang mengandung pelanggaran terhadap maksim penerimaan/pujian juga menunjukkan sikap Ajo yang tidak memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan efek lucu.
Dalam sebuah wacana humor, adakalanya penulis menyajikan beberapa pelanggaran implikatur percakapan untuk memberikan efek lucu bagi pembacanya. Cerita-cerita humor yang disajikan oleh Ajo dan One pun melakukan hal yang sama. Wacana humor di atas, misalnya, tidak hanya melakukan pelanggaran terhadap maksim penerimaan/pujian, tetapi juga pelanggaran terhadap maksim relevansi. Begitupun cerita humor yang lain yang menjadi sumber data penelitian ini. 3.7 Pelanggaran Maksim Kemu-rahan/Kedermawanan
Di dalam wacana humor
adakalanya juga terdapat tuturan yang melanggar prinsip sopan-santun maksim
kedermawanan. Dengan Maksim
kedermawanan atau maksim
kemurahan, para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Dari 12 data yang diperoleh hanya terdapat satu wacana humor yang memanfaatkan pelanggaran
terhadap maksim kedermawanan untuk menimbulkan efek lucu.
Carito Dul Sumbing. Ado satpam dek One. Paja ko iyo agak batando, agak sumbiang. Ambo Mambao onda agak kancang talantak di ambo anak ketek.
bangihnyo satpamko,
diambuihnyo pluitnyo sakali. “Finggir”, kecek e.
“Balantak anak urang lai ado pakai fim?” “Aya fim ko ko, Pak, STNK?”, kecek ambo.
“Fim pakak fim”
“Kalason?” kecek ambo. “Iyo fakak ang ko mah.”
Tu lah panek dipiciakannyo nan sumbiangtu
“Sim, kantuik, sim”, keceknyo. Cerita Dul Sumbing. One, ada seorang satpam. Satpam ini ada ciri khasnya, agak sumbing. Saya membawa motor agak kencang sehingga tak sengaja menabrak anak kecil. Satpam ini marah, ditiupnya pluitnya sekali.
“Finggir”, katanya.
“Kautabrak anak orang, apakah kau pakai fim?”
“Fim itu apa, Pak, STNK?”, tanyaku.
“Fim, tuli, fim.” “Klakson”, kataku.
“benar-benar tuli kau ini.” Setelah itu dipencetnya yang sumbing itu.
“Sim, kentut, sim”, katanya.
Kutipan Satpam ini marah, ditiupnya pluitnya sekali. “Finggir”,
katanya melanggar maksim
kedermawanan karena tidak
meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan juga tidak memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain. Tuturan
102
tersebut yang melanggar maksim kedermawanan memiliki fungsi sebagai penunjang pengungkapan kelucuan. Inferensi yang dilakukan terhadap
pelanggaran submaksim itu
menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur mengejek. Implikatur mengejek diungkapkan secara tersirat oleh tuturan Ajo yang seolah kesulitan melafalkan huruf /f/.
Hal ini menunjukkan
ketidakdermawanan.
3.8 Pelanggaran Maksim Kerendah-hatian
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahhatian, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh tidak ditemukan wacana humor yang melanggar maksim kerendahhatian untuk memperoleh efek lucu dan menggelikan.
3.9 Pelanggaran Maksim Kecocokan Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan
kecocokan dan meminimalkan
ketidakcocokan diantara peserta tutur. Berdasarkan data yang dianalisis, ditemukan empat wacana humor yang melanggar maksim kecocokan untuk medapatkan efek lucu. Salah satu wacana humor tersebut dapat dilihat dalam kutipan wacana berikut.
Urang gilo di gaduik dilatakkan sakamar baduo. Paja nan
sakamar baduoko
dilatakkannyo meja di tangah kamar, tagaknyo di ateh meja,
dirantangkannyo tangannyo. “Caliak den diang. Adenko matahari”, keceknyo. “Tarang bumi ko di den sadonyo”. “Gilo ang ko mah”. “Waang nan gilo, den kaduan ang ka dokter”. “Kaduanlah diang”. “Dok, kawan den nan sakamar tu lah tambah
gilonyo”. “Baatu?”
“Diatakkannyo meja di tangah-tangah, dirantangkannyo tangannyo, dikecekkaannyo inyo matohari”. “Tu lah sanang pajako”, kecek doktor ko.
“ Tu dulu lah ka situ, suruah turunlah paja tu”. “Mambana ambo, Dok, jan suruah turun paja ko lai”. “Baa tu?”
“Beko kalamlo ari”.
Orang gila di Gaduik (lokasi rumah sakit jiwa di Sumatra Barat) ditempatkan sekamar berdua. Orang gila yang
sekamar berdua ini
diletakkannya meja di tengah kamar lalu dia berdiri di atas meja itu dan direntangkan tangannya. “Coba kamu lihat, saya ini matahari”, katanya. “Terang seluruh bumi ini karena saya.”
“Kamu gila.”
“Kamu yang gila, aku adukan kau ke pak dokter.”
“Adukanlah”
“Dok, teman saya yang sekamar itu sudah bertambah gilanya.” “Memangnya kenapa?”
“Diletakkannya meja di
tengah-tengah, direntangkan
tangannya lalu dikatakannya bahwa dia adalah matahari.” “Anak ini sudah waras”, pikir dokter.
“Duluanlah ke sana, suruh turun anak itu.”
103 “Saya mohon, Dok, jangan
disuruh turun.”
“Memangnya kenapa?” “Nanti hari menjadi gelap.”
Wacana humor ini mengandung pelanggaran maksim kecocokan. Maksim kecocokan menghendaki peserta tutur untuk memaksimalkan kecocokan atau meminimalkan rasa ketidakcocokan antarpenutur. Dalam kutipan humor tersebut dapat dilihat bahwa orang gila yang satu tidak cocok dengan orang gila yang lagi. Juga orang gila tidak
menemukan kecocokan dengan
dokternya sehingga muncullah dialog-dialog yang menimbulkan kelucuan.
Di samping melanggar maksim kecocokan, humor tersebut juga melanggar maksim relevansi dan maksim penerimaan.
3.10 Pelanggaran maksim Kesimpatian
Maksim kesimpatian diungkap-kan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini mengharuskan setiap peserta tutur memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penutur layak turut berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati. Berdasarkan data yang diperoleh tidak ditemukan humor yang melanggar maksim kesimpatian untuk menimbulkan efek lucu.
4. Simpulan
Secara keseluruhan humor yang terdapat dalam album lagu Basiginyang ada delapan belas. Akan tetapi, beberapa humor yang ditampilkan menonjolkan intonasi untuk menimbulkan kelucuan.
Akhirnya data yang dianalisis tinggal dua belas humor.
Dari dua belas humor yang dianalisis ini sebagian besar memanfaatkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama maksim relevansi dan pelanggaran terhadap prinsip kesopanan maksim penerimaan. Dengan kata lain, hampir sebagian besar humor yang disajikan memiliki inferensi mengejek dan menertawakan kebodohan orang lain. Pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan ini sengaja dibuat untuk meberikan efek lucu dan menggelikan bagi pembaca.
Selain itu, pemanfaatan pelang-garan terhadap maksim relevansi dan maksim penerimaan, dari dua belas data yang dianalisis ditemukan juga pelanggaran terhadap maksim kualitas, maksim cara, maksim kemurahan, dan maksim kecocokan.
Hampir sebagian besar data yang diperoleh tak hanya memanfaatkan satu
pelanggaran maksim untuk
menimbulkan efek lucu. Dengan kata lain, dalam sebuah wacana humor terdapat beberapa pelanggaran maksim sekaligus, misalnya pelanggaran maksim kualitas sekaligus pelanggaran terhadap maksim relevansi dan maksim pujian.
Biasanya pelanggaran terhadap beberapa maksim sekaligus dalam sebuah wacana untuk mendukung efek lucu yang diberikan terhadap pelanggaran satu maksim.
Berdasarkan prinsip kerja sama, sebuah tuturan harus dilakukan dengan memberikan sumbangan percakapan
sedemikian rupa sebagaimana
diharapkan pada tingkat percakapan yang lazim yang disepakati oleh percakapan yang sedang diikuti. Oleh karena itu, agar percakapan berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, percakapan yang berlangsung haruslah mematuhi maksim-maksim yang ada.
104
Berdasarkan prinsip kesopanan, sebuah tuturan dapat dikategorikan sebagai tuturan yang sopan apabila peserta tutur mematuhi maksim-maksim yang ada.
Pelanggaran terhadap maksim tertentu dalam prinsip kerja sama maupun prinsip kesopanan biasanya memiliki tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, pelanggaran terhadap maksim yang ada dibuat untuk memberikan efek lucu dan menggelikan. Daftar Acuan
Astuti, Wiwik Dwi. 2002. Wacana Humor Tertulis. Jakarta: Pusat Bahasa. Budiyanto, Dwi. 2009. “Penyimpangan
Implikatur Percakapan dalam Humor-Humor Gus Dur”. Dalam Litera Vol.8, No.2, Edisi Oktober 2009, hlm. 105—117.
Dewi, Fifin Eva Firdyan. 2005. “Telaah Pragmatik Bahasa Humor dalam Kumpulan Humor Cabe Rawit Karya Kadir Wong”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang.
Grice, H.Paul. 1975. Logic and Conversation. New York: Academic Press.
Hira, Tauhid, et al. 2012. “Penggunaan Implikatur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro TV: Tinjauan Pragmatik”. Makalah: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatic. New York: Longman.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.
Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar
Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
_________________. 2003. Kartun. Yogyakarta: Ombak.
Zawarnis, Yulfi. "Pelanggaran Implikatur Percakapan dalam Humor (Tinjauan
Pragmatik terhadap Humor
Berbahasa Minang di Facebook)." Dalam Kelasa Jurnal Kelebat Masalah Bahasa dan Sastra volume 8 No.1 edisi 2013, hlm. 49--64