• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBYEK PAJAK Konsep di Indonesia dan Beb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SUBYEK PAJAK Konsep di Indonesia dan Beb"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

SUBJEK PAJAK DAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Ahmad Yusuf

Birochi Puspo Raharjo Indriani Natasya

Rahmat Stiady Tigor Ramadhan Lubis

Mahasiswa Program D-IV Akuntansi Kurikulum Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan perbandingan konsep Subjek Pajak di Indonesia, Amerika Serikat, dan Jepang dilihat dari sisi peraturan dan pembahasan terkait pengenaan pajak berganda untuk subjek pajak yang mendapat penghasilan dari luar negeri karena perbedaan peraturan di masing-masing negara.

Keywords : Indonesia, Amerika, Jepang,Subjek Pajak , Pajak Berganda

A. Pendahuluan

Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan untuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Menurut M. Saleh Ismail (2012) meskipun tidak ditentukan secara eksplisit dalam UU KUP, namun dapat didefinisikan bahwa Subjek Pajak adalah orang, atau badan atau kesatuan lainnya yang memenuhi persyaratan subjektif1. Subjek pajak juga dapat dikatakan sebagai pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak2. Seseorang atau suatu badan yang merupakan subjek pajak, bukan berarti orang atau badan itu punya kewajiban pajak. Apabila dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tertentu seseorang atau suatu badan dianggap subjek pajak dan mempunyai atau memperoleh objek pajak, maka orang atau badan itu jadi punya kewajiban pajak dan disebut wajib pajak.

Sumber: M. Saleh Ismail (2012)

Pengertian Subjek pajak tentunya akan berbeda-beda sesuai dengan urgensinya. Terlebih lagi ada beberapa jenis pajak yang berlaku di Indonesia, di antaranya berupa pajak Pusat seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3), dan Bea Meterai, serta Pajak daerah seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,

1

Ismail, M. Saleh.2012.Subjek Pajak.Surabaya:Narotama 2

(2)

Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB P2), dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Kali ini, pembahasan tentang subjek pajak ini akan kami batasi hanya pada Subjek Pajak Penghasilan(PPh).

B. Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Indonesia

Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir de ga UU No. 6 Tahu te ta g Pajak Pe ghasila , Pajak Pe ghasila dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Pe ghasila a g diteri a atau diperoleh dala tahu pajak . Pasal i i diu ah ketika pe eri tah e etapka UU No. Tahu , a g se elu a er u i Pajak Pe ghasila dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan a g diteri a atau diperoleh a sela a satu tahu pajak . Arti a ah a pe gu aha e jadi Subjek Pajak dilakukan demi menjaga konsistensi atas pengenaan terhadap Pajak Penghasilan, karena setiap pemungutan Pajak Penghasilan harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak penghasilan adalah :

1) Orang pribadi (Perseorangan).

Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.

2) Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan.

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

3) Badan.

Pe gertia ada e urut Pasal A gka UU KUP adalah seku pula ora g da atau odal

yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, embaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Namun, terdapat unit tertentu dari badan pemerintah yang dikecualikan sebagai subjek pajak, yang memenuhi kriteria:

1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3)

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

a) Tempat kedudukan manajemen ; b) Cabang perusahaan ;

c) Kantor perwakilan ; d) Gedung kantor ; e) Pabrik ;

f) Bengkel ; g) Gudang ;

h) Ruang untuk promosi dan penjualan ;

i) Pertambangan dan penggalian sumber alam ; j) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi ; k) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan ;

l) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan ;

m) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas ;

n) Agen atau pegawai asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia ; dan

o) Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

p) Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

(4)

kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN)

Subjek Pajak dapat dibedakan atas subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPh.

Subjek Pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;

b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Subjek Pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

d. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

e. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; f. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pemilihan batas waktu, yaitu 183 hari, sebagai penentu apakah subjek pajak dikatakan sebagai SPDN atau SPLN, kurang lebih mengacu pada peraturan kependudukan di Indonesia.

Saat bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif

Kewajiban pajak subjektif yang berkenaan dengan subjek pajak diatas, diatur dalam Pasal 2A UU Pajak Penghasilan, yaitu mengenai kapan dimulai dan kapan berakhir sebagai berikut.

Subjek Pajak Orang Pribadi Badan

Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)

Kewajiban Pajak Subjektif:

 Dimulai: saat orang pribadi dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia,

(5)

(Pasal 2A ayat (1) UU PPh)

lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

(Pasal 2A ayat (4) UU PPh)

B. Tidak Termasuk Subjek Pajak

Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Psl 3 UUPPh, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah :

a) Kantor Perwakilan Negara Asing ;

b) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :

1. Bukan Warga Negara Indonesia;

2. Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya;

3. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal balik).

c) Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan terakhir dengan PMK No.215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan s.t.b.k.d.t.d. PMK No.166/PMK.011/2012, dengan syarat :

1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan

2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

d) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(6)

diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan tersebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku asas timbal balik.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam PMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam organisasi tersebut di Indonesia.

Selanjutnya dikemukakan bahwa organisasi Internasional bukan merupakan subjek pajak penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut ;

a) Indonesia menjadi anggota organisasi didalamnya dan;

b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a) kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah Indonesia;

b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan dari organisasi Internasional tersebut diatas, bukan merupakan subjek pajak penghasilan, apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Bukan Warga Negara Indonesia; dan

b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia

Organisasi Internasional dan pejabat perwakilan organisasi Internasional yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas, dikenakan Pajak Penghasilan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya seorang pejabat perwakilan organisasi Internasional diluar tugas pokoknya contoh menjadi pengajar bahasa asing di lembaga kursus swasta, atau pembicara pada suatu seminar, kemudian mendapat honor, maka honor tersebut dikenakan pemotongan PPh Psl 21, atau Psl 26, oleh penyelenggaranya.

Mengenai Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak, seperti dimaksud diatas secara garis besar dapat disebut disini yaitu :

a) Badan-Badan Internasional dari PBB (terdapat 15 organisasi) b) Colombo Plan (ada 8 organisasi)

c) Kerjasama Tehnik (terdapat 18 kerjasama tehnik) d) Kerjasama Kebudayaan (ada 4 kerjasama kebudayaan)

e) Organisasi –Organisasi Internasional lainnya (terdapat 54 badan)

f) Organisasi Swasta Internasional (terdapat 18 organisasi). Apabila ada organisasi internasional, tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak.3

3

(7)

Potensi Pajak Berganda dari Ketentuan Perpajakan di Indonesia

Pajak Berganda bisa terjadi karena banyak negara menerapkan system yang hampir seragam. Hal ini terjadi karena adanya globalisasi yang menyebabkan tiap negara dapat memperoleh informasi yang memungkinkan negara mereka dapat menerapkan system perpajakan yang paling efektif. Sehingga praktik-praktik yang dianggap efektif dari tiap negara dapat ditiru oleh negara lain. pajak berganda akan timbul karena atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu4:

1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara, yang dapat terjadi karena:

i. Domisili rangkap

ii. Kewarganegaraan rangkap

iii. Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.

2. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.

3. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide income, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber. Undang-undang PPh merupakan hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Begitu pula dengan Hukum di negara lain. Perbedaan dalam masing-masing peraturan akan menyebabkan potensi pengenaan pajak berganda contohnya berupa dual claim residen. Misalnya jika seorang warga negara Indonesia berada di luar negeri selama tiga bulan. Sedangkan pada negara tersebut berlaku peraturan bahwa orang pribadi yang tinggal dan melakukan usaha lebih dari 30 hari, dikenakan pajak penghasilan. Kondisi tersebut dapat membuat WNI tersebut dikenai pajak berganda. Hal ini terjadi karena di Indonesia, terdapat batas 183 hari untuk menentukan wajib pajak tersebut berstatus wajib pajak luar negeri atau wajib pajak dalam negeri. Jangka waktu WNI tadi yaitu tiga bulan, tidak dapat membuat WNI tadi melepas status WPDN-nya dari Indonesia. Namun, dengan jangka waktu tiga bulan di negara tujuan, membuat WNI tersebut dikenai kewajiban pajak sesuai peraturan yang berlaku di negara tersebut.

Untuk mencegah pengenaan pajak berganda salah satu caranya adalah dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah yaitu perjanjian antara 2 negara untuk menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2 negara tersebut5. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.

Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Perlakuan terhadap Penghasilan Tenaga Kerja Indonesia

4

http://ekonomister.blogspot.com/2009/05/pajak-internasional.html 5

(8)

Dalam rangka memberikan kepastian atas perlakuan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor Per-2/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan tersebut mengatur tentang :

1) Yang dimaksud Pekerja Indonesia di Luar Negeri : Orang pribadi WNI yang bekerja di luar negeri >183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Oleh karena itu ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN),

2) Penghasilan dari luar negeri sehubungan dengan pekerjaan di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia,

3) Dalam hal Pekerja Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Dengan begitu, jika TKI bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 hari maka jadi subjek pajak luar negeri. Dengan para TKI menjadi WPLN, maka administrasi perpajakan Indonesia tidak dapat menjangkau mereka karena administrasi perpajakan Indonesia hanya menjangkau Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Menurut Pasal 2A UU PPh kewajiban subjektif dari orang pribadi subjek pajak dalam negeri akan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk lamanya. Sedangkan untuk TKI, kemungkinan mereka untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya juga masih belum pasti. Sehingga terjadi kerancuan apakah mereka termasuk WPDN atau WPLN.

Untuk menyikapi kerancuan antara WPLN dan WPDN pada TKI, maka TKI disarankan untuk e gajuka per oho a o -efektif sesuai de ga Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE -89/PJ/2009. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi WP NE yaitu“Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Status NE tidak akan menghapus NPWP tetapi ada keuntungan bagi Wajib Pajak NE yang tidak menyampaikan SPT yaitu tidak diterbitkan Surat Teguran.

C. Subjek Pajak Penghasilan Amerika Serikat

Warga negara Amerika dan penduduk asing adalah subjek pajak atas pendapatannya yang diperoleh di seluruh dunia. Warga negara Amerika dan penduduk asing dapat dikecualikan dari pengenaan pajak bila memiliki penghasilan paling tinggi $97.600 (untuk tahun 2013) dari pendapatan diluar negeri ditambah biaya perumahan jika mereka memenuhi tes kualifikasi yang ditentukan dan jika mereka mengajukan pengembalian pajak untuk mengklaim pengecualian.

Penduduk asing yang tidak bertempat tinggal di amerika merupakan subjek pajak Amerika atas penghasilan yang secara efektif diperoleh sehubungan dengan perdagangan atau hubungan bisnis dengan Amerika dan atas penghasilan tetap atau ditentukan di Amerika, pendapatan tahunan atau periodik, laba atau penghasilan (penghasilan investasi umum termasuk dividen royalti dan pendapatan sewa). Penghasilan investasi di Amerika dikenakan pajak pada gross basis dengan tarif tetap 30%.

(9)

Kependudukan untuk tujuan pajak penghasilan umumnya tidak dipengaruhi oleh status imigrasi seseorang. Umumnya, warga asing dapat dianggap penduduk asing jika mereka penduduk tetap sah pe ega g gree ard atau jika se ara fisik telah berada cukup lama berada di Amerika dengan tes kehadiran subtansial. Dengan adanya tes kehadiran substansial, warga asing dianggap menjadi penduduk Amerika jika memenuhi kondisi dibawah ini:

 Seseorang berada di Amerika Serikat untuk paling tidak 31 hari selama tahun berjalan.  Seseorang dianggap berada untuk paling tidak 183 hari selama 3 tahun berturut-turut pada

masa periode tes termasuk tahun berjalan, menggunakan formula tertimbang dengan persentase sebagai berikut:

o Tahun berjalan – 100% o 1 tahun sebelumnya – 33,33% o 2 tahun sebelumnya – 16,67%

Ada beberapa pengecualian atas keberadaan seseorang saat pelaksanaan tes:

 Hari dimana keberadaan seseorang di US sebagai pelajar, pengajar atau pelatih, atau jika ada kondisi kesehatan yang menghambat keberangkatan, tidak dihitung.

 Seseorang mungkin diakui sebagai bukan penduduk Amerika berdasarkan kedekatan hu u ga seperti ta ho e de ga egara lai .

 Perjanjian pajak penghasilan bilateral dapat membatalkan aturan pajak domestik Amerika bagi penduduk ganda.

Pada situasi tertentu, akan menjadi bermanfaat bagi seseorang untuk dianggap penduduk amerika dengan tujuan pajak penghasilan.

Keringanan pajak berganda dan perjanjian pajak

Kredit pajak luar negeri adalah sarana yang digunakan oleh individu di Amerika Serikat untuk menghindari atas pengenaan pajak dua kali dari Negara asing dan dari Amerika Serikat. Umumnya, kredit pajak luar negeri memungkinkan WP AS untuk mengurangi pajaknya sesuai jumlah pajak penghasilan yang telah dibayar ke pemerintah asing atau sesuai pada batasan-batasan sesuai ketentuan berlaku.

Kredit pajak luar negeri umumnya terbatas dan jumlahnya lebih rendah dari pajak yang telah sebenarnya dibayar atau yang masih harus dibayar ke pemerintah asing. Keterbatasan ini karena ada pengklasifikasian menjadi 2 kategori pendapatan yaitu kategori pendapatan pasif dan kategori pendapatan umum , yang meliputi pendapatan dari jasa pribadi .

(10)

Perjanjian Pajak Berganda antara Indonesia dengan Amerika Serikat

Berdasarkan Tax Treaty antara Indonesia dengan Amerika Serikat, maka ketentuan mengenai penduduk asing tidak lagi mengikuti ketentuan yang ditetapkan AS akan tetapi mengikuti perjanjian pajak berganda yang telah ditandatangani oleh kedua negara tersebut.

Sesuai pasal 4 perjanjian pajak Indonesia-AS, penduduk suatu Negara pihak pada perjanjian ialah setiap orang/badan, yang menurut Negara tersebut dapat dikenakan pajak di Negara tersebut berdasarkan domisili, tempat kehadiran, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen, atau dasar lainnya yang sifatnya serupa. Untuk kepentingan perpajakan Amerika Serikat, dalam hal part ership, estate atau trust, istilah pe duduk suatu Negara pihak pada perja jia i i ha a berlaku sepanjang penghasilan yang diperoleh partnership, estate, atau trust tersebut dapat dikenakan pajak AS sebagaimana penghasilan yang diperoleh penduduk, baik penghasilan tersebut ada ditangannya maupun penghasilan tersebut ada di tangan pihak lain.

Orang pribadi menjadi penduduk dikedua Negara pihak pada perjanjian maka

a. Ia akan dianggap sebagai penduduk Negara Pihak pada Perjanjian di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap. Apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap di kedua Negara Pihak pada Perjanjian atau sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap di salah satu Negara tersebut, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara Pihak pada Perjanjian di mana ia mempunyai hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (tempat yang menjadi pusat perhatiannya);

b. jika Negara Pihak pada Perjanjian yang menjadi pusat perhatiannya tidak dapat ditentukan, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara Pihak pada Perjanjian di mana ia mempunyai tempat yang biasa ia gunakan untuk berdiam;

c. jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara Pihak pada Perjanjian atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara tersebut, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara Pihak pada Perjanjian di mana ia menjadi warga negara; dan

d. jika ia menjadi warga negara dari kedua Negara Pihak pada Perjanjian atau sama sekali tidak menjadi warga negara salah satu Negara tersebut, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara Pihak pada Perjanjian akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

Tempat tinggal tetap dalam hal ini adalah tempat di mana orang pribadi menetap bersama keluarganya.

D. Subjek Pajak Jepang

Jepang merupakan negara yang sistem perpajakannya cukup kompleks. Di Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang. Asas ini sama dengan yang dipakai di Indonesia.

(11)

Sedangkan untuk subjek pajak dibagi seperti berikut: Jenis Subjek Pajak Keterangan

Resident Dianggap memiliki domisili di Jepang apabila:

mempunyai pekerjaan di Jepang yang mewajibkan dia berada di Jepang terus-menerus dalam jangka waktu 12 bulan atau lebih (jika dia berniat tinggal selama waktu 12 bulan atau lebih sejak awal, maka status residen dia sandang sejak kedatangannya di Jepang).

berkewarganegaraan Jepang atau bergantung kepada negara Jepang, dalam arti mempunyai ikatan yang kuat seperti pekerjaan atau kewajiban perpajakan

Sebaliknya seseorang dianggap tidak mempunyai domisili di Jepang apabila memenuhi keadaan seperti berikut :

atau mempunyai pekerjaan di luar Jepang yang mewajbkan dia berada di Jepang terus-menerus dalam jangka waktu 12 bulan atau lebih;

atau tidak mempunyai kewarganegaraan Jepang atau secara umum bergantung kepada negara selain Jepang, dalam arti mempunyai ikatan yang kuat seperti pekerjaan atau kewajiban perpajakan dengan negara di luar Jepang

Permanen Resident Seseorang diklasifikasikan sebagai permanen residen, apabila memenuhi keadaan sebagai berikut:

mempertahankan domisilinya atau bertempat tinggal di Jepang selama satu tahun atau lebih; dan memiliki kewarganegaraan Jepang; atau

berdomisili ataupun bertempat tinggal di Jepang dalam 5 tahun atau lebih (akumulasi) dalam periode 10 tahun

Akan tetapi sampai dengan 31 Maret 2006, penduduk Jepang bisa dianggap bukan permanen residen, jika:

Mempunyai hak tetap atas tempat tinggal di luar negara Jepang; Tidak mempunyai niat tetap untuk tinggal di Jepang;

Berdomisili di Jepang lima tahun atau kurang Non-permanent

Resident

(12)

mempertahankan domisilinya atau bertempat tinggal di Jepang selama satu tahun atau lebih;

tidak memiliki kewarganegaraan Jepang;

berdomisili ataupun bertempat tinggal di Jepang dalam 5 tahun atau kurang dalam periode 10 tahun

Non-Resident Nonresiden adalah seseorang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai nonpermanen residen ataupun permanen residen.

Seseorang yang datang dan tinggal atau bekerja di Jepang selama kurang dari 12 bulan adalah nonresiden.

Sementara seorang ekspatriat di Jepang akan menjadi nonresiden sejak hari kepulangannya ke negeri asalnya.

Penghitungan pajak untuk nonresiden di Jepang hanya akan dihitung berdasarkan penghasilan yang bersumber dari Jepang saja, tarifnya yaitu tarif flat sebesar 20%. (tarif ini sama dengan di Indonesia di UU PPh pasal 26)

Diagram berikut menggambarkan prinsip pemajakan di Jepang.

Corporate Tax yang dibayarkan oleh badan di Jepang terdiri dari :

a. Corporation tax (national tax) b. Business tax (local tax)

c. Prefectural and municipal inhabitant taxes (local tax)

Status Perpajakan Badan

(13)

Di Jepang Badan dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Perusahaan yang tergolong Small dan Medium adalah perusahaan yang jumlah Paid-in Capital dalam satu tahun fiskalnya tidak melebihi 100 juta Yen.

b. Perusahaan yang tergolong large dengan jumlah modal lebih dari 100 juta yen.

Pemajakan terhadap Permanent Establisment (Bentuk Usaha Tetap)

Peraturan perpajakan Jepang mengatur tentang BUT. Yang dimaksud dengan BUT (versi Jepang) adalah:

1. Kantor cabang, pabrik atau Bangunan tetap lain yang digunakan untuk a) Kantor cabang (branch), sub-branch, pabrik, atau gudang

b) Pertambangan, penggalian, atau tempat eksplorasi sumber daya alam c) Tempat lainnya yang digunakan untuk bisnis atau kegiatan sejenis

Yang dikecualikan dari pengertian PE antara lain :

I. Tempat kegiatan bisnis yang semata-mata digunakan untuk membeli barang untuk perusahaan di luar negeri

II. Tempat kegiatan bisnis yang semata-mata digunakan untuk menyimpan barang untuk perusahaan di luar negeri

III. Tempat kegiatan bisnis yang semata-mata digunakan untuk advertising, promosi, menyediakan informasi, survey pasar, penelitian dasar, atau aktivitas pendukung perusahaan luar negeri lainnya.

2. Konstruksi yang dirakit maupun proyek serupa yang dibawa oleh perusahaan luar negeri ke Jepang dalam waktu lebih dari 1 tahun 3

3. Seseorang yang sesuai kontrak mewakili negara lain untuk bekerja di Jepang, seperti : 1 Kantor cabang, pabrik, atau bangunan tetap lain yang digunakan untuk :

• Co tra t o ludi g age t • Order-fulfilling agent • Order-securing agent

Agen yang berkedudukan bebas dikecualikan dari pengertian PE. Jika negara agen berasal telah mengadakan Tax Treaty dengan Jepang, maka pengertian PE akan mengikuti Tax Treaty tsb. Pemajakan Terhadap Permanent Establishment (Bentuk Usaha Tetap)

P3B Indonesia- Jepang

Persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Jepang tentang Penghindaran Pajak Berganda Dan Pencegahan Pengelakan Pajak Yang Berhubungan Dengan Pajak-Pajak Atas Pendapatan atau yang kemudian disebut P3B Indonesia- Jepang yang ditandatangani pada 3 Maret 1982 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1983. P3B Indonesia- Jepang merupakan langkah yang diambil kedua negara dalam mengatasi perbedaan pengaturan pemajakan terhadap residen maupun non-residen. Contohnya di Indonesia orang Jepang yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia dianggap sebagi Subjek Pajak Dalam Negeri (UU PPh Pasal 2). Sedangkan Jepang masih dianggap sebagai residen. Pasal 4 angka 2 dari P3B Indonesia-Jepang menyatakan bahwa

berdasarkan ketentuan ayat 1, seseorang atau suatu badan merupakan penduduk dari

(14)

masing-masing Negara, berdasarkan permufakatan kedua belah pihak akan menentukan tempat kedudukan seseorang atau badan tersebut.

Menurut OECD6 dalam Model Tax Convention on Income and Capital, untuk kasus dimana dua negara mengklaim residen seseorang sesuai undang-undang di masing-masing negara maka untuk menentukan negara mana yang tepat mengklaim seseorang tersebut sebagai residen adalah berdasarkan faktor berikut:

 Permanent home  Center of vital interest  Habitual abode  Citizenship.

Secara garis besar P3B indonesia-Jepang banyak membahas tentang apa saja yang termasuk BUT dan obyek pajak seperti deviden, bunga dsb.

E. Simpulan dan Saran

Dari pemaparan yang telah kami sampaikan di atas, simpulan yang dapat kami ambil adalah sebagai berikut:

1. Terdapat kemiripan dasar penentuan batas waktu menjadi subjek pajak baik antara Indonesia, Amerika dan Jepang, yaitu berdasarkan peraturan kependudukan masing-masing negara.

2. Terdapat kemiripan asas penentuan subjek pajak yang dipakai antara Indonesia dan Jepang yaitu asas domisili dan sumber. Berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang. 3. Subjek Pajak dalam peraturan perpajakan Indonesia dapat dibedakan menjadi orang pribadi,

warisan yang belum dibagi, badan, dan badan usaha tetap. Selain itu, dapat juga dibagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri

4. Peraturan perpajakan Indonesia memungkinkan terjadinya pengenaan pajak berganda bagi subjek pajak luar negeri yang mendapatkan penghasilan di Indonesia, maupun wajib pajak Indonesia yang mendapatkan penghasilan di luar negeri. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda tersebut dibuatlah perjanjian P3B antara Indonesia dan negara-negara mitra.

Saran yang dapat kami berikan adalah perlunya Indonesia meningkatkan kemampuan IT-nya untuk meningkatkan kinerjanya. Seperti halnya green card di Amerika & residence card di Jepang, Indonesia memerlukan sebuah system untuk mengidentifikasi subjek pajak luar negeri yang mendapatkan penghasilan di Indonesia.

6

(15)

F. Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi-Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan s.t.b.k.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.011/2012

Hamzah, Amir. Sistem Perpajakan Jepang. http://prezi.com/smrrml8ygwfd/copy-of-sistem-perpajakan-jepang/ diakses 17 Oktober 2014

Pajak Internasional, http://ekonomister.blogspot.com/2009/05/pajak-internasional.html, diakses 19 Oktober 2014

Perpajakan Internasional, http://adithpurnama04.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false.html diakses tanggal 19 Oktober 2014

Swiling, John. When Two Countries Claim an Individual as Resident, What's the Recourse? . http://www.us.kpmg.com/microsite/tax/ies/tea/summer2003/stories/article06.htm diakses 17 Oktober 2014

Scribd. Sistem Perpajakan di Negara Jepang. https://id.scribd.com/doc/127490194/Makalah-Pajak-Jepang-jenis-jenis-pajak-dan-tata-cara-perpajakan-di-Jepang, diakses 17 Oktober 2014

TKI di Luar Negeri. http://pajaktaxes.blogspot.com/2011/03/tki-di-luar-negeri.html, diakses 17 Oktober 2014

Referensi

Dokumen terkait

Selain menghitung debit leachate yang dihasilkan dan merencanakan dimensi bak, perlu juga diperhatikan proses pengolahan leachate serta sarana yang dibutuhkan untuk

Pelatihan Kepemimpinan Kenabi-an (pascates) dan satu bulan setelah pelatihan (follow-up) diketahui nilai Sig.. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makariem mengatakan, bahwa untuk menjadi agen perubahan tidak hanya harus dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga perlu

[r]

Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa dalam rangka Hari Pekabaran Injil dan Hari Perjamuan Kudus se-Dunia maka pada Hari Minggu 1 Oktober 2017 akan digunakan Tata Ibadah dari

• Arsitektur untuk menggambarkan aliran produk, layanan, informasi, peran dan manfaat bisnis dan bagaimana bisnis dapat menciptakan pendapatan. • Segmentasi

Kolom dalam Keadaan Tulangan Tarik Menentukan Bila regangan terjadi pada tulangan baja tarik yang telah mencapai regangan leleh sy s = sy, sedangkan pada balok desak regangan

Judul yang penulis ajukan adalah “Implementasi Zero Burning policy sebagai upaya konservasi kebakaran hutan dan lahan di kalimantan tengah (studi khasus Kabupaten