• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Manusia merupakan inti sari pokok dalam suatu terjalannya kehidupan, dalam menjalani kehidupan manusia memiliki kebutuhan khusus pada dirinya sendiri, individu maupun dalam berkelompok atau bermasyarakat. Berbicara tentang kebutuhan manusia, manusia memiliki kebutuhan khusus salah satunya adalah kebutuhan biologis atau sering disebut perkawinan.

Kata kawin bersumber dari Bahasa Arab yang disebut dengan kata nikah. Istilah kawin atau nikah disebut dengan “ziwaaj”, dengan demikian arti kata nikah mempunyai 2 arti, yaitudalam pengertian yang sesungguhnya dan pengertian yang kiasan.

Kata kawin bersumber dari Bahasa Arab yang disebut dengan kata nikah.

1

Istilah kawin atau nikah disebut dengan “ziwaaj”, dengan demikian arti kata nikah mempunyai 2 arti, yaitudalam pengertian yang sesungguhnya dan pengertian yang kiasan.

2

Sementara yang mengatur tentang perkawinan tertera khusus dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974. Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 468.

2

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Juz. IV, Beirut, t.t, hlm. 1-3. Lihat juga Maghfirah, “Definisi Nikah dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Hukum Islam, Vol.

VIII-No, 6, Desember 2007, hlm. 648.

(2)

Yang Maha Esa.

3

Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.

Jika ditinjau dari Hukum Islam, maka Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

4

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan rahmah.

5

Hukum keluarga merupakan hukum yang paling tua dibandingkan jenis hukum lain, karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa keluarga itu merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri dari seorang suami dan seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, dan dengan memaknai adagium “ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum), maka dapat dikatakan bahwa bagian dari hukum keluarga yang paling tua adalah hukum perkawinan. Seperti yang dikatakan Muhammad Amin Summa.

6

Dari perkawinan yang dihasilkan atau diciptakan akan menimbulkan terikatnya hukum, terikatnya hukum antara suami dengan istri, jika setelah memiliki anak dari hasil perkawinan tersebut maka akan terikatnya hukum antara anak dengan orangtua.

Adanya keterikatan tersebut akan menjadikan suatu akibat hukum percampuran harta atau pewarisan

Tidak dapat dipungkiri pewarisan merupakan salah satu kewajiban harfiah dalam menjalankan suatu keluarga. Melalui perkawinan pula kita dapat memahami bagaimana akan terjadinya pewarisan. Apabila salah satu keluarga meninggal akan harta yang dimiliki terdahulu akan diwariskan kepada keluarga yang lain.

3

Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974

4

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

5

Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam

6

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4-5.

(3)

Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum keluarga di Indonesia belum ada, tetapi secara subtansial yang diterjemahkan dalam UU No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP No. 9 Tahun 1975) tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

7

Pada Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan “bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonasi Perkwinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1993 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

8

2. Prinsip- Prinsip Perkawinan

Perkawinan memiliki beberapa asas- asas atau prinsip dalam menjalankannya, adapun asas- asas ataupun prinsip perkwaninan sebagai berikut :

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal masing- masing suami dan istri saling membantu dan melengkapi agar dapat

7

Ahmad Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender” Makalah, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 3.

8

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(4)

mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan yang spiritual dan materiil.

2) Setiap perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dan perkawinan tersebut wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Perkawinan menganut asas monogami terbuka artinya hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang istri namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dengan seorang istri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4) Calon suami harus masak jiwa raganya agar dapat mewujudkan perkawinan secara baik.

5) Perceraian pada prinsipnya dipersukar dan harus ada alasan-alasan terdahulu, serta harus dilakukan di depan pengadilan

6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan masyarakat.

9

Secara Normatif Indonesia menganut asas monogami dimana seorang suami hanya menikahi seorang istri dan seorang istri hanya menikahi seorang suami.

Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa dalam satu perkawinan hendaknya baik seorang pria maupun wanita hanya memiliki satu orang pasangan saja.

9

Jurnal Hukum Pro Justitia, Oktober 2008, volume 26 No.4 halaman 373

(5)

B. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1. Tinjauan Umum Tentang Perceraian

a. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah “putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasanalasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian”.

10

Pemutusan perkawinan hanyaa dapat dilakukan di depan pengadilan, baik karena thalaq maupun karena cerai gugat istri. Putusnya perkawinan didepan pengadilan bertujuan untuk menaungi segala hak dan kewajiban yang muncul akibat percerian tersebut.

11

Ketika pasangan memutuskan untuk bercerai, maka dalam ranah yang akan dibawa ke pengadilan untuk diputuskan, perlu adanya alasan yang cukup dan kuat yang menyebabkan keinginan untuk bercerai itu terjadi, jadi tidak serta merta kedua pasangan semata-mata hanya ingin bercerai. Dan suami istri harus memikirkan akibat dari perceraian itu sendiri, seperti soal hak asuh anak, soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini. Tetapi dengan begitupun perceraian merupakan langkah penyelesaian masalah suami istri yang terburuk dalm rumah tangga meskipun dibolehkan oleh agama maupun hukum Indonesia.

10

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 41.

11

Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal. 17.

(6)

Dalam pandangan agama, diberikan keleluasaan untuk manusia khususnya yang menjalin rumah tangga yakni sepasang suami dan istri untuk mengambil langkah terbaik untuk menyelesaikan masalah dalam berumah tangga. Dan dalam pandangan hukum Indonesia, perceraian dinilai sebagai penyelesaian masalah rumah tangga yang sah apabila memenuhi alasan-alasan yang sudah diatur oleh hukum, seperti masalah ekonomi, adanya kekerasan dalam rumah tangga, sakit atau cacat fisik yang tak bisa disembuhkan, percekcokan terus menerus, atau karena salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kemudian dalam mengajukan gugatan percearaian, yang juga harus diperhatikan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut, untuk selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama).

b. Alasan-alasan Perceraian

Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

menyebutkan adapun alasan- alasan perceraian adalah “Salah satu pihak berbuat

zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

lain diluar kemampuannya, Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5

(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain, Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau

penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

(7)

suami/isteri, Antara suami dan istri terus-menerus terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

12

c. Persyaratan Perceraian

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut :

1) Bila suami yang mengajukan perceraian, maka permohonan cerai diajukan di pengadilan tempat kediaman istri serta melampirkan alasan perceraiannya. Untuk permohonan cerai yang dibutuhkan untuk dilampirkan yakni seperti surat nikah, surat keterangan dari kelurahan, salian itu diperlukan adanya saksi dari pihak suami maupun istri, ia harus melampirkan beberapa surat keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi- saksi dari keluarga atau orang yang dekat dengan permohonan dan termohon. Setalah pengadilan menerima pengajuan tersebut, pihak pengadilan akan memeriksa dan memanggil kedua belah pihak dan disertai dengan saksi.

2) Bila isteri yang mengajukan perceraian, maka permohonancerai diajukan dipengadilan tempat kediaman istri, pengajuan cerai sama halnya disertai dengan berkas berkas terkait.

13

Jika halnya yang bersangkutan adalah non- islam, maka pengajuan cerai bisa diajukan di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kediaman Tergugat. Jika terjadi ketidakjelasan alamat Tergugat, maka dapat diajukan ditempat kediaman Penggugat, dan

12

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

13

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 42

(8)

bilamana Tergugat berada diluar batas territorial hukum Indonesia maka gugatan tetap diajukan ditempat kediaman Tergugat tetapi Pengadilan yang akan menyampaikan ke Tergugat melalui perwakilan Ri di luar negeri.

14

3) Apabila pihak suami ataupun istri diwakilkan oleh kuasa hukum nya maka

persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut, sesuai dengan pernyataan ilmuwan Budi Susilo maka “Jika Penggugat memilih untuk didampingi kuasa hukum maka terlebih dahulu pengacara tersebut harus membuat surat kuasa yang kemudian harus ditandatangani oleh Penggugat tadi. Surat kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa Penggugat (sebagai pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada pengacara (sebagai penerima kuasa), untuk mewakili penggugat dalam pengurusan penyelesaian perkara perceraian di pengadilan. Yaitu, mulai dari pembuatan surat-surat seperti surat gugatan/permohonan perceraian, surat jawaban, surat replik, surat duplik, surat daftar alat bukti, kesimpulan. Kemudian beracara di depan sidang pengadilan, menghadap institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan penyelesaian perkara perceraian, sampai kepada meminta salinan putusan pengadilan dan lain sebagainya Lalu menyiapkan surat gugatan. Bila surat kuasa tersebut telah ditandatangani oleh Penggugat, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum/pengacara) akan mengurus pembuatan surat gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan. Selanjutnya siapkan sejumlah uang untuk keperluan administrasi, yang akan dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Usai membayar, biasanya akan diberi SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar). Lalu, siapkan

14

Ibid.

(9)

untuk pembayaran jasa pengacara, terutama bila pengacara yang dibayar diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar sesuai dengan kesepakatan sebelumnya”.

15

d. Akibat Putusnya Perkawinan

Akibat putusnya perkawinan menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut : 1) Mengenai hubungan bekas suami dan bekas istri:

Hubungan suami istri dilarang, tetapi boleh kawin lagi asal belum lebih dari 2 kali thalaq, Suami atau istri yang meninggal dalam jangka waktu

‘iddah-thalaq yang dapat dicabut kembali, berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang meninggal dan jika dalam thalq yang tidak dapat dicabut kembali, maka keduanya tidak berhak atas harta peninggalan yang meninggal dunia.

2) Mengenai anak

Jika dilihat dalam pandangan Islam, maka keempat Imam Mahzab menyepakati bahwa jika anak dibawah umur hanya berhak diasuh oleh ibunya. Dalam penetapan batasan umur, keempat imam madzab terdapat perbedaan pendapat, jika Syafe’I menyebutkan bahwa ibu berhak mengasuh sebelum anak umur 7 tahun

16

baik laki-laki maupun perempuan.

Tapi Hambali, Maliki membedakan antara anak perempuan dan laki-laki.

Menurut Hambali dan Hanafi anak laki-laki sebelum berumur 7 tahun sedangkan perempuan sebelum kawin, Maliki; anak laki-laki sebelum baligh dan anak perempuan sebelum kawin.

17

15

Budi Susilo, Op.cit, hal. 27

16

Hasbi As-Shiddiqy, Pedoman Rumah Tangga, Pustaka Maju, Medan, hal. 40.

17

Ibid.

(10)

3) Mengenai harta benda

Jika dalam perkawinan tersebut diperoleh harta, , maka harta tersebut menjadi harta milih bersama yang nantinya dalam pandangan Islam terdapat harta yang terpisah dan harta yang tercampur.

18

2. Tinjauan Tentang Cerai Gugat a. Pengertian Cerai Gugat

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, jenis perceraian terbagi dalam 2 macam yakni Cerai Talak dan Cerai Gugat, Cerai Talak ialah perceraian yang sepenuhnya inisiatif dari pihak suami sedangkan Cerai Gugat ialah perceraian akibat permohonan yang diajukan oleh pihak istri, yang kemudian pihak termohon (suami) menyetujui keinginan pemohon (istri) sehingga pihak Pengadilan Agama mengabulkan permohonan yang dimaksudkan tersebut.

19

Pengertian Cerai Gugat juga tertuang dalam KHI Pasal 132 ayat 1 yang menyebutkan bahwa :

“Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa seizin suami.”

20

Putusnya perkawinan dalam hal ini merupakan usainya jalinan antara suami dan istri, jika dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad maka sebab putusnya ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak pada isteri.

21

Putusnya perkawinan atas kehendak dari

18

Djamil Latif, Op.cit, hal. 83.

19

Zainuddin Ali, op cit, hal.81.

20

Ahrum Hoerudin, 1999, Pengadilan Agama, Aditya Bakti, Bandung, h.20.

21

Acmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.117

(11)

suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan khulu’.

22

Khulu’dapat dijabarkan sebagai pihak isteri yang meminta agar pihak suami bersedia memutus ikatan perkawinan, bersedia menceraikan dan pihak isteri menyediakan pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar tidak melebihi mahar)

23

atau dengan kata lain isteri mempunyai hak untuk mengajukan perceraian dari suaminya dengan membayar ‘iwadh (tebusan) dengan cara mengembalikan mahar yang pernah suami berikan padanya.

24

b. Akibat Hukum Cerai Gugat

Dalam perceraian, cerai talak maupun cerai gugat akan membawa akibat hukum bagi pasangan suami istri yang akan bercerai, anak, maupun harta yang ditinggalkan. Adapun akibat hukum bagi cerai gugat adalah :

1) Akibat hukum cerai gugat terhadap suami isteri a) Putusnya perkawinan dengan gugatan istri b) Tidak bisa rujuk

c) Tidak adanya kewajiban suami untuk membayar uang mut’ah

25

d) Tidak adanya kewajiban suami untuk membayar nafkah ‘iddah (tunjangan yang diberikan seorang pria kepada mantan istrinya

22

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang

Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h.197

23

Ahmad Kuzari, Op., Cit., h.12

24

Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo : Daar al-Fath, 2000), Cet ke-1, jilid 2, h.1913

25

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Mutah /mut’ah : sesuatu (uang, barang, dan sebagainya) yang diberikan

suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya).

(12)

berdasarkan putusan pengadilan yang menyelesaikan perceraian mereka).

26

2) Akibat hukum cerai gugat terhadap anak

Perceraian orang tua, tidak mengurangi sedikitpun kewajiban mereka terhadap anaknya. Dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan secara tegas kewajiban orangtua sebagai berikut :

“Baik ibu dan bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya, Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pengadilan dapat menentukan ia ikut memikul biaya tersebut, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”.

27

3) Akibat Hukum Cerai Gugat Terhadap Harta Bersama

Berdasarkan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika perkawinan putus karena adanya perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum- hukum lainnya yang dianut oleh pasangan yang bercerai tersebut.

28

26

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 667.

27

Jurnal Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu”) di Indonesia; Analisa Kritis Terhadap Penyebab dan Alternatif Solusi Mengatasinya oleh Isnawati Rais, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal. 5-6.

28

Ibid, hal. 6

(13)

C. Tinjauan Umum Tentang Proses Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016

1. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari Bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.

29

Secara terminologi, ahli Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerjasama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu

mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.

30

Menurut Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan , mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.

31

Pasal selanjutnya menjelaskan bahwa mediator adalah pihak ketiga dari pengadilan yang harus memiliki Sertifikat Mediator yang mengayomi parah pihak untuk mencari jalan keluar dari faktor penyebab perceraian tanpa pemaksaan apapun dalam memutuskannya. Sertifikat Mediator sendiri diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau Lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung

29

Syahrizal Abbas, op.cit, hal.2.

30

Gary Goopaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui

Negosiasi, (Jakarta:ELIPS Project, 1993), hal.201

31

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(14)

yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi Mediasi.

32

2. Tujuan Mediasi

Tujuan dilakukannya mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).

33

Penyelesaian sengketa yang melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, para pihak yang terlibat akan mencapai titik kesepakatan yang adil meskipun jika proses mediasi tersebut gagal, paling tidak para pihak telah mampu menjelaskan akar dari permasalahan mereka dan sama-sama mrnguntungkan.

3. Manfaat Mediasi

Mediasi juga dapat memberikan sejumlah manfaat antara lain :

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase.

b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.

32

Ibid.

33

Syahrizal Abbas, op.cit, hal.24

(15)

c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berkontribusi nyata dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

d. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.

e. Mediasi memberikan para pihak kemampuan control secara penuh terhadap proses dan hasilnya.

f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.

g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.

34

4. Prosedur Mediasi

Tahapan pada proses mediasi tertuang pada Bab V Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 yang berisi :

1) Bagian Kesatu : Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi

“Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5), Para Pihak dapat menyerahkan Resume Perkara kepada pihak lain dan Mediator.Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Mediator atas permintaan Para

34

Ibid, hal.25-26.

(16)

Pihak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai dengan alasannya”.

35

2) Bagian Kedua : Ruang Lingkup Materi Pertemuan Mediasi

“Materi Perundingan dalam Mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum gugatan. Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan diluar sebagaimana diuraikan pada ayat (1), penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut didalam gugatan”.

36

3) Bagian Ketiga : Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat

“Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat. Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli dan/atau tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

37

4) Bagian Keempat : Mediasi Mencapai Kesepakatan

“Jika mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator. Dalam membantu merumuskan Kesepakatan Perdamaian, Mediator wajib memastikan Kesepakatan Perdamaian tidak memuat ketentuan yang : a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan; b. merugikan pihak ketiga; atau c. tidak dapat dilaksanakan. Dalam proses Mediasi yang diwakili oleh kuasa hukum, penandatanganan Kesepakatan Perdamaian hanya dapat dilakukan apabila

35

Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016

36

Ibid, Pasal 25

37

Ibid, Pasal 26

(17)

terdapat pernyataan Para Pihak secara tertulis yang memuat persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Para Pihak melalui Mediator dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian. Jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam Akta Perdamaian, Kesepakatan Perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan. Mediator wajib melaporkan secara tertulis keberhasilan Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara dengan melampirkan Kesepakatan Perdamaian.

38

Setelah menerima Kesepakatan Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (6), Hakim Pemeriksa Perkara segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu paling lama 2 (2) hari.

39

Dalam hal Kesepakatan Perdamaian diminta dikuatkan dalam Akta Perdamaian belum memenuhi ketentuan, Hakim Pemeriksa Perkara wajib mengembalikan Kesepakatan Perdamaian kepada Mediator dan Para Para Pihak disertai petunjuk tentang hal yang harus diperbaiki.

40

Setelah mengadakan pertemuan dengan Para Pihak, Mediator wajib mengajukan kembali Kesepakatan Perdamaian yang telah diperbaiki kepada Hakim Pemeriksa Perkara paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan petunjuk perbaikan.

41

Paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima Kesepakatan Perdamaian yang telah memenuhi ketentuan, Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan hari siding untuk membacakan Akta Perdamaian.

42

Kesepakatan Perdamaian yang dikuatkan dengan Akta Perdamaian tunduk pada ketentuan keterbukaan informasi di Pengadilan”.

43

5) Bagian Kelima : Kesepakatan Perdamaian Sebagian

38

Ibid, Pasal 27

39 Ibid, Pasal 28(1)

40 Ibid, Pasal 28(2)

41

Ibid, Pasal 28(3)

42

Ibid, Pasal 28(4)

43 Ibid, Pasal 28(5)

(18)

“Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan antara Penggugat dan sebagian Pihak Tergugat, Penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan Pihak Tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan.

Kesepakatan Perdamaian Sebagian antara pihak dibuat dan ditandatangani oleh Penggugat dengan sebagian Pihak Tergugat yang mencapai kesepakatan dan Mediator. Kesepakatan Perdamaian Sebagian dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian sepanjang tidak menyangkut aset, harta dan/atau kepentingan pihak yang tidak mencapai kesepakatan. Penggugat dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak yang tidak mencapai Kesepakatan Perdamaian. Dalam hal Penggugat lebih dari satu pihak dan sebagian penggugat mencapai kesepakatan dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat, tetapi sebagian penggugat yang tidak mencapai kesepakatan tidak bersedia mengubah gugatan, Mediasi dinyatakan tidak berhasil. Kesepakatan Perdamaian Sebagian antara pihak tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali”.

44

6) Bagian Keenam : Mediasi Tidak Berhasil atau Tidak dapat Dilaksanakan

“Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal:

a. Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya; atau b. Para Pihak dinyatakan tidak beritikad baik. Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak dapat dilaksanakan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal:

Melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang: a. Tidak diikutsertakan dalam surat gugatan sehingga

44

Ibid, Pasal 29

(19)

pihak lain yang berkepentingan tidak menjadi salah satu pihak dalam proses Mediasi b. Diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak berperkara lebih dari satu subjek hukum, tetapi tidak hadir dipersidangan sehingga tidak menjadi pihak dalam proses Mediasi. c. Diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak perkara lebih dari satu subjek hukum dan hadir dipersidangan, tetapi tidak pernah hadir dalam proses Mediasi.

Melibatkan wewenang kementrian/Lembaga/instansi ditingkat pusat/daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang tidak menjadi pihak perkara, kecuali pihak berperkara yang terkait dengan pihak-pihak tersebut memperoleh persetujuan tertulis dari kementerian/Lembaga/instansi dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah untuk mengambil keputusan dalam proses Mediasi. Para Pihak dinyatakan tidak beritikad baik Setelah menerima pemberitahuan, Hakim Pemeriksa Perkara segera menerbitkan -penetapan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku”.

45

45

Ibid, Pasal 32

(20)

D. Tinjauan Umum Tentang Efektivitas Hukum 1. Pengertian Efektivitas Hukum

Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau kemanjuran atau kemujaraban dan untuk itu membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variabel terkait yaitu karakteristik atau dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.

46

Efektivitas Hukum adalah “kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum pelaksanaanya. Bisa juga karena kepatuhan masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari hukum. Hukum dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya bukan abstraksi nilai dari masyarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum tidak efektif, tidak bisa dijalankan, atau bahkan atas hal tertentu terbit pembangkangan sipil. Dalam realita kehidupan masnyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif, sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam prespektif efektivitas hukum”.

47

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

48

“Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang), Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup”.

46

Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya, Hlm.67

47

Septi Wahyu Sandiyoga, 2015, “Efektivitas Peraturan Walikota Makassar Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Kawasan Bebas Parkir di Lima Ruas Bahu Jalan Kota Makassar”, Skripsi Universitas Hasanuddin Makassar, hlm.11

48

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, Hlm. 8

(21)

2. Faktor-faktor Efektivitas Hukum

Menurut Soerjono Soekanto bahwa ukuran efektivitas pada faktor yang pertama mengenai hukum atau undang-undangnya adalah:

49

“(1) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup simestris.

(2) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hirarki dan horizontal tidak ada pertentangan.

(3) Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang- bidang kehidupan tertantu sudah mencukupi.

(4) Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada”.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut:

50

“(1) Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.

(2) Sampai mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.

(3) Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.

(4) Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya”.

49

Soerjono Soekanto, Op.cit. Hlm.80

50

Ibid. Hlm. 86

(22)

“Pada faktor ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Prasarana tersebut secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah ada atau tidaknya prasarana, cukup atau kurangnya prasarana, baik atau buruknya prasarana yang telah ada”.

“Pada faktor yang keempat ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu:

(1) Mengerti dan memahami aturan yang berlaku

(2) Penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan yang berlaku (3) Penyebab masyarakat mematuhi aturan yang berlaku”.

“Sedangkan untuk faktor yang kelima yakni mengenai kebudayaan sebagai

kebiasaan yang di lakukan masyarakat mengenai perlakuan terhadap adanya suatu

aturan. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan terhadap aturan yang dijadikan

kebiasaan oleh masyarakat baik kebiasaan baik atau yang bertentangan dengan

aturan”.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk regresi linear sederhana 2 variabel diperoleh hubungan antara kecepatan angin dan curah hujan, dengan persamaan y= 139.52 + 5.394x merupakan kerelasi linear positif,

Jika setelah alokasi tersebut masih terdapat sisa Saham Baru yang tidak diambil bagian, maka Red Planet Holdings (Indonesia) Limited, perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum

Mengungkapka n makna yang terdapat dalam teks lisan fungsional pendek sangat sederhana dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar, dan berterima untuk

[r]

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Agung Anugerah Susilo, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: ANALISIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, DEBT TO EQUITY RATIO, CURRENT

Peraturan Daerah ini disusun dengan maksud untuk memberikan acuan dalam pengendalian dan pengawasan produksi dan distribusi garam konsumsi beriodium di Kota

Berdasarkan analisa sebelumnya maka sistem yang diusulkan yaitu sebuah sistem untuk memudahkan pengorganisasian data akademik di SDN Rawajati 08 Pagi, seperti: