ccclx x
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di dalam bab-bab terdahulu tentang mediasi dalam proses beracara di pengadilan, maka dapat disusun beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut ini.
Pertama, pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan tidak sulit untuk dilaksanakan karena disamping Hukum Acara Perdata Indonesia berdasarkan Pasal 130 Herziene Inlands Reglement (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura, maupun Pasal 154 Reglement op de Buitengewesten (RBg) untuk wilayah luar Jawa dan Madura, telah memberikan celah bagi terintegrasinya mediasi dalam proses beracara di pengadilan. Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi peradilan umum, ada ketentuan hukum yang mengharuskan bahwa hakim yang memeriksa sengketa untuk melakukan usaha perdamaian terlebih dahulu jika pada hari sidang yang ditentukan kedua belah pihak hadir dalam persidangan (Pasal 130 HIR). Ketentuan Mahkamah Agung telah membawa perubahan mendasar mengenai adanya penggunaan mediasi wajib, dimana setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi (PerMA Nomor 02 Tahun 2003, kemudian diperbaharui PerMA Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan).
Pemberlakuan mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan umumnya dan para pihak khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui perdamaian yang dibantu oleh penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses perdamaian sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator. Tidak saja karena
ccclx xi ketentuan hukum acara yang berlaku yang mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan bahwa penyelesaian yang lebih baik adalah penyelesaian yang memberi peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.
Penyelesaian sengketa secara damai biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia, sudah dikenal dalam sistem hukum adat yang menempatkan ketua adat untuk menyelesaikan sengketa di antara warganya. Pemuka agama, tua-tua adat, selaku orang-orang yang memiliki integritas dan diakui secara sosial untuk memimpin dan menjalankan fungsi penyelesaian sengketa. Misalnya, di Minangkabau yang bertindak sebagai mediator yang juga mempunyai wewenang untuk memberikan putusan atas perkara yang dibawa kehadapan mamak kepala waris pada tingkatan rumah gadang. Perdamaian juga dikenal dalam ajaran Islam, dimana Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang bersengketa melakukan perdamaian. Ajaran Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap persengketaan melalui pendekatan ishlah untuk mengakhiri persengketaan, karena pertentangan yang berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran. Untuk itu ishlah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah.
Bahkan, dikalangan masyarakat Cina di Indonesia dijumpai cara penyelesaian sengketa secara damai sesuai ajaran Confucius yang menekankan hubungan yang harmonis antara manusia dan manusia serta manusia dan alam. Pandangan ideal dari kaum Confucian menganggap pengadilan informal lebih baik daripada pengadilan formal karena dijalankan atas dasar perasaan kasihan, dan prinsip moral. Dengan demikian, melalui mediasi adalah jalan untuk mendapatkan keadilan yang ideal dalam menyelesaikan sengketa.
Kedua, sedikitnya ada tiga faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan negeri proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil. Salah satu faktor penting adalah para pihak yang bersengketa beritikad baik. Itikad baik para pihak merupakan kunci keberhasilan mediasi, karena para pihak yang menentukan sendiri keputusannya. Kesepekatan damai yang telah dicapai para pihak haruslah merupakan hasil yang diterima dan menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Oleh sebab itu, keberhasilan penyelesaian
ccclx xii sengketa melalui mediasi sangat tergantung dari adanya itikad baik, kesederajatan yang sama dan ganti kerugian yang secara hukum harus dihormati para pihak.
Selain itu, yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui proses mediasi berhasil adalah jenis sengketanya mudah diselesaikan. Sekurang-kurangnya ada 25 jenis sengketa hutang-piutang dan sedikitnya ada 41 jenis sengketa wanprestasi dari 184 sengketa yang berhasil diselesaikan melalui proses mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan. Kedua jenis sengketa perdata tersebut mudah untuk dapat diselesaikan melalui proses mediasi, karena selain memberi peluang bagi para pihak untuk mengadakan tawar menawar dalam sebuah proses perundingan. Para pihak juga merasa yakin akan adanya kesederajatan yang sama dan ganti kerugian secara hukum yang harus dihormati para pihak yang bersengketa dengan win-win solution. Dalam perkara hutang piutang, bila pengutang gagal membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dan tidak dapat dipaksa untuk membayar segera karena antara lain tidak punya uang. Sengketa hutang piutang ini dapat diselesaikan melalui mediasi, karena ada kelonggaran pembayaran dengan cicilan, dan bahkan ada pengurangan sebagian dari bunga yang ditentukan. Sehingga, bagi yang memberikan hutangnya dapat segera menerima pembayaran, sedangkan bagi yang berhutang ada kemudahan untuk membayaranya dengan cara mencicil. Perkara wanprestasi diselesaikan melalui mediasi memiliki sarana potensi untuk menghemat biaya dan waktu. Dari sudut biaya, para pihak hanya membayar biaya untuk pengadilan sedangkan untuk hakim sebagai mediator tidak dikenakan biaya. Dari sudut pandang waktu, rata-rata para pihak yang bersengketa sampai kepada kesepakatan tidak lebih dari 4 sampai 7 kali pertemuan atau sekitar 2 sampai 3 bulan paling lama.
Penyelesaian yang win-win solution ini menawarkan kelonggaran bagi pihak yang ingkar janji untuk mengganti kerugian dengan cara bertahap. Sehingga seluruh kerugian pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak dapat dibayarakan dengan menyicil. Adapun kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dihitung dapat dilakukan oleh para pihak dengan cara tawar menawar dalam sebuah proses perundingan.
Faktor lain yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat berhasil yaitu hakim mediator berusaha dengan sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatan. Hakim mediator berkewajiban untuk mendorong para
ccclx xiii pihak sendiri yang berperan dalam proses mediasi, maka mediator dapat mengetahui pokok permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya sengketa dengan lebih baik.
Mediator harus dapat membantu para pihak untuk dapat mengemukakan kepentingan mereka, juga agar mereka mengetahui kepentingan pihak lawannya.
Bahkan ada kemungkinan mediator melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi belangsung. Dalam kaukus ini pertemuan dilakukan di ruang mediasi yang berada di pengadilan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya. Dalam kaukus ini diharapkan mediator dapat menggali lebih banyak informasi dari salah satu pihak yang sulit atau tidak mungkin disampaikan dalam pertemuan bersama. Kaukus ini kadangkala juga dimanfaatkan untuk meredakan pertemuan yang suasananya cukup memanas diantara para pihak.
Sehingga mediator dapat membantu para pihak menentukan pilihan-pilihan yang masuk akal untuk dapat dijadikan upaya untuk mengakiri penyelesaian sengketa mereka dengan kesepakatan.
Ketiga, gagal atau tidak berhasilnya penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan, salah satunya dipengaruhi oleh adanya para pihak itu sendiri yang tidak mau berdamai. Dari segi budaya hukum (legal culture) ini, para pihak yang bersengketa di pengadilan masih belum memahami maksud, tujuan mediasi dan teknik-teknik melakukan penyelesaian sengketa melalui proses mediasi dengan baik. Sehingga masih belum menggunakan lembaga hukum tersebut secara optimal dalam penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan masih belum bisa meyakinkan rasa kepercayaan para pihak, bahwa pengadilan akan mengadili dengan transparan, efisien dan efektif sesuai keadilan, hukum dan kebenaran.
Meskipun penyelesaian sengketa melalui proses mediasi ini memberikan manfaat untuk memelihara hubungan yang harmonis antara para pihak yang bersengketa, namun masyarakat belum percaya sepenuhnya terhadap sistem ini, karena mereka ragu akan netralitas mediator. Agar para pihak tidak merasa ragu- ragu untuk menempuh proses mediasi, maka prosedur mediasi wajib dijelaskan karena tidak setiap orang mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan mediasi, tujuan dan bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui mediasi.
ccclx xiv Sehingga, penyelesaian sengketa dengan mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang bersengketa. Karena proses penyelesaian sengketa melalui litigasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, waktu yang lama dan berlarut-larut. Sesuai dengan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai musyawarah yang sebetulnya lebih cocok melalui proses mediasi dalam menyelesaikan masalah dibandingkan dengan adu ketangkasan di pengadilan. Akhirnya, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan tersebut tetap bergantung kepada itikad pihak-pihak yang bersengketa sendiri.
Faktor lain, dari segi struktur bahwa prosedur untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan mediasi, walaupun telah diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung, namun belum dipahami secara baik dan benar oleh para aparatur hukum yang berpraktek di pengadilan tingkat pertama. Minimnya pengetahuan hakim mediator tentang teknik mediasi dan kemampuan hakim dalam melakukan perdamaian masih kurang. Bahkan ada keengganan hakim untuk menyelesaikan sengketa secara damai, karena hakim selama ini hanya memutus perkara bukan menjadi penengah yang harus mendamaikan para pihak. Pada hakekatnya, hakim sebetulnya dipersiapkan untuk menghakimi bukan untuk mendamaikan, dan tugas seorang hakim adalah untuk menerapkan hukum bukan menggali kepentingan para pihak yang bersengketa. Hakim tidak diperlengkapi untuk melaksanakan mediasi dan sangat sulit bagi hakim untuk menangani kasus dengan cara memfasilitasi proses agar dapat menggali kepentingan para pihak. Ditambah lagi, kesulitan lain yang dihadapi hakim dalam mengupayakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa disebabkan advokat tidak mendukung berhasilnya proses mediasi tetapi cenderung menginginkan perkara dilanjutkan secara litigasi.
Terakhir, hambatan dalam proses mediasi dilihat dari segi substance merupakan ketentuan yang mencakup segala apa saja hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Terkait dengan mediasi dalam proses beracara di pengadilan, hambatan ini berasal dari ketentuan PerMA itu sendiri, yaitu: Pertama, proses mediasi di pengadilan dilaksanakan oleh mediator pada setiap
ccclx xv pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator (Pasal 6 Ayat (1) PerMA Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Dengan kata lain, hakim atau bukan hakim wajib memiliki sertifikat sebagai mediator untuk melaksanakan proses mediasi. Kewajiban sertifikasi bagi mediator inilah yang oleh para hakim dijadikan alasan pembenar untuk tidak melaksanakan proses mediasi sebagaimana semangat dari PerMA tersebut. Hambatan kewajiban mediator bersertifikat ini dalam PerMA Nomor 1 Tahun 2008, diperbaharui dengan ketentuan yang intinya jika di dalam sebuah pengadilan tingkat pertama tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim pemeriksa pokok perkara atau bukan hakim pemeriksa pokok perkara di lingkungan pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediasi.
Kedua, waktu untuk pelaksanaan mediasi dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa relatif terlalu singkat dari 22 hari berdasarkan PerMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi 40 hari berdasarkan PerMA Nomor 01 Tahun 2008, masih belum cukup untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan dan belum mendekati keberhasilan. Ketiga, ketentuan yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung akan menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi sebagai mediator belum terlaksana. Ketentuan yang mengatur hal ini masih belum jelas dan bahkan tidak ada peraturan pelaksanaannya. Insentif tersebut dapat mendorong para hakim untuk lebih serius lagi menjalankan perannya sebagai mediator, dan akan memberikan motivasi bagi para hakim lainnya untuk tertarik menjalankan fungsi sebagai mediator dengan baik.
Hambatan-hambatan tersebut di atas, sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan proses mediasi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Bengkalis dan PN Batusangkar sebagai proyek percontohan Mahkamah Agung (PerMA Nomor 02 Tahun 2003). Selama periode 2003 sampai 2007, hanya 151 perkara dari 6.164 perkara yang masuk dapat diselesaikan melalui proses mediasi atau sekitar 2,45 persen. Mahkamah Agung juga menunjuk PN Jakarta Barat, PN Jakarta Selatan, PN Depok, PN Bogor dan PN Bandung untuk mendukung pelaksanaan PerMA Nomor 01 Tahun 2008. Selama periode 2008 sampai 2009,
ccclx xvi hanya 33 perkara dari 2.637 perkara yang masuk dapat diselesaikan melalui proses mediasi atau sekitar 1,25 persen. Tambahan pula, di PN Jakarta Timur, PN Jakarta Utara, PN Serang dan PN Pekanbaru yang bukan proyek percontohan mediasi di pengadilan, hanya 28 perkara yang berhasil dari 3.363 perkara yang masuk atau sekitar 0,83 persen. Dengan demikian, pelaksanaan mediasi baik di pengadilan negeri proyek percontohan maupun yang bukan, keberhasilannya masih sangat rendah dibandingkan dengan perkara yang masuk.
Keempat, walaupun tingkat keberhasilan pelaksaanaan mediasi di Pengadilan Negeri proyek percontohan dan yang bukan proyek percontohan masih rendah, namum mediasi di pengadilan masih memberikan harapan. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan mediasi di pengadilan Indonesia di masa depan, salah satunya dengan penerapan PerMA baru. Perbaikan tersebut terutama dari penegasan mediasi bersifat wajib, maka kewajiban hakim pemeriksa di pengadilan tingkat pertama sangat menentukan. Hakim pemeriksa harus dengan penuh tanggung jawab menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam PerMA tidak hanya sekedar formalitas.
Mediasi wajib memungkinan juga meningkatkan penyelesaian yang diharapkan para pihak untuk menghemat waktu dan uang. Tetapi keputusan untuk mencapai kesepakatan dalam mengakhiri sengketanya berada di tangan para pihak itu sendiri.
Dengan demikian, wajib mengikuti prosedur mediasi di pengadilan bukan berarti memaksa para pihak untuk mencapai kesepakatan. Namun, wajib mengikuti mediasi memberikan manfaat bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan win-win solution.
Manfaat dari mediasi yang bersifat wajib bagi para pihak yang bersengketa antara lain dapat mempercepat proses penyelesaian, para pihak yang pada awalnya bermusuhan mendapatkan manfaat dari mediasi untuk menghemat biaya, kewajiban dalam proses dapat mengatasi kekurangan-kekurangan nyata yang ada dalam mediasi. dan mediasi yang bersifat wajib akan meningkatkan keakraban para pihak dalam proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di pengadilan.
Mediasi wajib memerlukan itikad baik para pihak yang bersengketa, karena bila salah satu pihak menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan itikad tidak baik. Kewenangan mediator untuk
ccclx xvii menyatakan mediasi gagal mencapai kesepakatan, mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan tidak layak dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak atau diwakili kuasa hukumnya dan mediator.
Untuk mengoptimalkan proses mediasi di pengadilan juga diperlukan adanya ruangan khusus untuk melaksanakan proses mediasi. Tersedianya ruangan khusus yang nyaman untuk mediasi merupakan faktor penting yang dapat mendukung terselengaranya proses mediasi. Di samping faktor kerahasiaan, rasa nyaman bagi para pihak yang bersengketa juga perlu diperhatikan, karena rasa nyaman yang diciptakan oleh kondisi ruangan dimana proses mediasi dilaksanakan akan mempengaruhi sifat komunikasi satu sama lain. Para pihak tidak perlu merasa takut permasalahannya didengar oleh orang lain yang tidak terkait dengan sengketa mereka. Selain itu, untuk meningkatkan penerapan mediasi yang terkait dengan pengadilan, pemberian insentif dapat mendorong para hakim untuk lebih serius lagi menjalankan fungsi sebagai mediator.
Profesionalisme aparat hukum dalam proses mediasi sangat dibutuhkan, karena profesionalisme merupakan suatu kualitas pribadi yang wajib dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan suatu perkerjaan yang diserahkan kepadanya. Untuk mengimplementasikan proses mediasi di pengadilan dengan baik, dibutuhkan atau diperlukan profesionalisme hakim mediator, panitera, advokat atau pihak-pihak lain yang terkait dengan prosedur mediasi di pengadilan. Hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator merupakan kunci keberhasilan mediasi di masa depan, karena hakim yang dipandang arif dan bijaksana dapat membantu menyelesaikan sengketa para pihak. Tanggung jawab hakim yang tadinya hanya sekedar memutus perkara kini berkembang menjadi mediator yang harus menengahi dan
ccclx xviii mendamaikan. Seorang hakim mediator harus mampu dan mahir membantu para pihak bernegosiasi, karena mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan.
Hakim mediator harus pandai berkomunikasi, paham perkara yang ditangani, pengenalan pribadi para pihak, mendengarkan para pihak, mengontrol para pihak, melakukan pendekatan khusus (kaukus) dan mediator harus bisa membangun suasana untuk damai. Walaupun pada awalnya para pihak tidak mau bedamai, namun apabila mediatornya pintar kesempatan damai masih terbuka. Terkait hal tersebut, maka hakim mediator memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk mempelajari teknik, prosedur dan model mediasi. Sebaiknya, mediator dapat menerapkan pendekatan problem solving atau disebut juga sebagai mediasi fasilitatif yang bertujuan untuk menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak yang bersengketa. Dalam pendekatan problem solving ini, mediator membantu para pihak yang bersengketa untuk saling mengerti dan kerjasama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Fungsi mediator dalam teknik fasilitatif ini adalah menghindari para pihak tergelincir dari proses tawar menawar yang terus meningkat.
Menekankan pada tujuan para pihak dengan menjelaskan kepentingan bersama atau yang saling menguntungkan, karena hasil akhir merupakan kesepakatan para pihak itu sendiri.
Peran advokat dalam proses mediasi berbeda dengan perannya dalam proses litigasi. Dalam proses litigasi, seorang advokat terbiasa memecahkan kasus-kasus atas dasar hukum, sedangkan pada proses mediasi yang berperan aktif dalam perundingan adalah para pihak sendiri. Advokat hanya membantu klien mereka dalam hal yang bersangkutan tidak memahami proses mediasi, atau hal-hal lain yang sifatnya membantu. Walaupun dalam proses mediasi ini klien akan bertindak mewakili dirinya sendiri, namun tidak dibatasi kemungkinan bahwa advokat dapat juga mendampingi atau mewakili kliennya ketika melakukan proses mediasi tersebut. Memang tidak mudah untuk advokat yang biasanya membantu kliennya dalam proses litigasi menjadi proses mediasi yang lebih banyak membutuhkan kliennya untuk hadir dalam pertemuan mediasi. Advokat harus dapat meyakinkan
ccclx xix kliennya, karena dalam menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi baik itu berhasil maupun tidak tergantung dari itikad para pihak sendiri.
Mengingat aspek mediasi di pengadilan itu sangat luhur seharusnya di pengadilan tidak hanya menyediakan daftar nama mediator hakim atau bukan hakim yang terdaftar pada pengadilan. Namun, tujuan penempatan daftar nama mediator adalah untuk memudahkan para pihak memilih mediator dengan bebas dan tidak ragu-ragu menyampaikan permasalahan, kepentingan dan keinginan mereka. Agar proses mediasi dapat berjalan lancar, maka mediasi dapat ditengahi oleh lebih dari satu orang mediator yang terdiri dari satu orang hakim mediator dan satu orang mediator bukan hakim. Dalam hal ini, para hakim mediator sendiri yang akan mengatur pembagian tugas di antara mereka. Oleh sebab itu, mediator yang bukan dari kalangan hakim sebaiknya diberdayakan, sehingga ada kombinasi antara mediator hakim dan mediator bukan hakim untuk sama-sama membantu menyelesaikan sengketa para pihak mencapai kesepakatan. Harus ada penegasan yang konkrit dari Mahkamah Agung bahwa mediator bukan hakim dapat mendampingi hakim mediator asalkan mereka telah memiliki sertifikat mediator dan telah memiliki kemampuan serta keterampilan yang telah mereka dapatkan melalui pendidikan dan pelatihan sebagai mediator.
Membangun kembali nilai musyawarah, konsensus, dan perdamaian pada masyarakat dapat menjadi salah satu keberhasilan proses pengembangan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Pada lingkungan pendidikan baik di sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas, nilai musyawarah atau perdamaian merupakan bagian dari suatu pelajaran seperti budi pekerti di sekolah. Sedangkan, pada jenjang pendidikan tinggi, penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak lagi sekedar menjadi suatu mata kuliah yang dibawakan oleh dosen secara profesional, tetapi perlu juga diarahkan secara mendalam melalui pelatihan-pelatihan untuk mencetak mediator yang profesional. Memang bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk merubah suatu kepercayaan masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui proses mediasi di pengadilan. Untuk itu perlu secara terus menerus dilakukan sosialisasi dengan menjekaskan manfaat dari prosedur menyelesaikan sengketa melalui mediasi. Prosedur mediasi wajib dijelaskan karena tidak setiap orang mengerti dan
ccclx xx memahami apa yang dimaksud dengan mediasi, tujuan dan bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui mediasi. Sosialiasi mengenai mediasi tidak hanya di pengadilan saja, tetapi secara terencana melalui lembaga pendidikan dan media cetak maupun telivisi juga dilakukan usaha-usaha untuk merangsang dan memotivasi masyarakat agar menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan mediasi di pengadilan. Karena dengan sosialisasi melalui televisi dan media cetak serta lembaga pendidikan merupakan media yang paling strategis untuk mensosialisasikan pesan-pesan moral mengenai penyelesaikan sengketa yang baik dengan mediasi.
B. Saran
Ada beberapa saran terkait dengan mediasi dalam proses beracara di pengadilan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, antara lain:
Pertama, mengingat tingkat keberhasilan proses mediasi di pengadilan masih sangat rendah dibandingkan dengan perkara yang masuk, maka Mahkamah Agung perlu untuk menyempurnakan prosedur mediasi di pengadilan saat ini.
Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung seyogyanya didasarkan pada segi substansi yang perlu disesuaikan. Misalnya, batas waktu maksimal 40 hari kerja untuk sampai para pihak menghasilkan kesepakatan tidak mencukupi. Saran ini cukup beralasan, mengingat jangka waktu yang ideal untuk proses mediasi di pengadilan sekurang-kurangnya 3 bulan. Saran lainnya adalah Mahkamah Agung harus segera menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi sebagai mediator. Hal ini penting untuk kalangan hakim sebagai suatu apresiasi atas keberhasilan seorang hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator. Insentif tersebut dapat mendorong para hakim untuk lebih serius lagi menjalankan perannya sebagai mediator, dan akan memberikan motivasi bagi para hakim lainnya untuk tertarik menjalankan fungsi sebagai mediator dengan baik. Sebaiknya, pemerintah meningkatkan PerMA tentang mediasi ini kedalam Hukum Acara Perdata, karena PerMA hanya bersifat sementara sehingga nantinya diharapkan semangat PerMA tentang prosedur mediasi di pengadilan dapat ditransformasikan kedalam Hukum Acara Perdata untuk lebih mendayagunakan proses mediasi di pengadilan.
ccclx xxi Kedua, keberhasilan kebijakan penggunaan mediasi terintegrasi ke dalam proses peradilan tidak hanya ditentukan oleh ketentuan-ketentuan dalam PerMA, tetapi juga harus didukung oleh ketersediaan orang-orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan sebagai mediator. Mahkamah Agung harus melaksanakan pelatihan teknik-teknik mediasi bagi calon-calon mediator dan pelatihan mediasi bagi para panitera sebagai pegawai administrasi perkara di seluruh lingkungan pengadilan Indonesia secara bergiliran, dan dilakukan secara berkala.
Tidak hanya bagi hakim yang ada di pengadilan tingkat pertama yang harus diberikan pelatihan mediasi, namun hakim-hakim baik yang berada di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung juga perlu mengikuti pelatihan teknik-teknik mediasi.
Sehingga, jika para pihak menghendaki perdamaian, walaupun perkara sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali sepanjang perkara belum diputus, para pihak dapat menempuh mediasi. Kemampuan dan keterampilan para pengemban profesi hukum, khususnya bagi hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator harus benar-benar bekerja dengan penuh semangat untuk membantu para pihak menempuh mediasi. Sehingga, tingkat keberhasilan penyelesaian melalui mediasi dapat menunjukan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Ketiga, untuk mengoptimalkan pelaksanaan mediasi di pengadilan, seyogyanya mediator bukan hakim yang namanya tercantum dalam daftar sebagai mediator di pengadilan harus diberdayakan. Seyogyannya, harus ada penegasan yang konkrit dari Mahkamah Agung untuk mengkombinasikan mediator bukan hakim dapat mendampingi hakim mediator. Nantinya, para hakim mediator sendiri yang akan mengatur pembagian tugas di antara mereka. Tentunya dengan pertimbangan bahwa pengadilan tingkat pertama memeriksa dan memastikan bahwa mediator yang bukan hakim memiliki sertifikat yang sah dikeluarkan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelatihan mediator. Untuk memelihara kualitas mediator yang terdaftar di pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan, Ketua Pengadilan tingkat pertama setiap tahun sebaiknya harus mengevaluasi nama mediator yang tercantum dalam daftar mediator.
ccclx xxii Keempat, sebaiknya dibuat media yang khusus mengenai tata cara prosedur mediasi di pengadilan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat pencari keadilan umumnya dan para pihak yang bersengketa khususnya. Prosedur mediasi wajib dijelaskan karena tidak setiap orang mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan mediasi, tujuan dan bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui mediasi. Sebaiknya, sosialisasi dapat dilakukan melalui papan pengumuman yang ada di pengadilan, maupun media cetak dan telivisi agar dapat memotivasi masyarakat pencari keadilan memilih proses mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa dengan win-win solution. Pada tingkat lembaga pendidikan tinggi khususnya, disarankan untuk menempatkan matakuliah penyelesaian sengketa melalui mediasi ke dalam sistem kurikulum sebagai mata kuliah wajib. Pentingnya materi perkuliahan ini, terutama sebagai pengetahuan dasar bagi mahasiswa dalam usaha lebih memahami bahwa secara faktual masyarakat memiliki pilihan-pilihan hukum dalam mengakhiri sengketanya. Saran ini semakin relevan dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung tentang prosedur mediasi di pengadilan, sekaligus juga berarti proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Jika pada masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PerMA tersebut diharapkan fungsi mendamaikan melalui mediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus.