• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI CHTOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SKRIPSI OLEH: SUPRIADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "APLIKASI CHTOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SKRIPSI OLEH: SUPRIADI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

i

APLIKASI CHTOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

SKRIPSI

OLEH:

SUPRIADI 13 22 060 361

JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI D-IV

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE KEPULAUAN

2017

(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

APLIKASI KITOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

SKRIPSI

Oleh:

Supriadi 13 22 060 361

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Agroindustri Di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Telah Diperiksa Dan Disetujui Oleh :

(3)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI

Judul : Aplikasi Kitosan Terhadap Pertumbuhan Mikroba Pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Nama mahasiswa : Supriadi

Nim : 1322060361

Program studi : Agroindustri Tanggal lulus : 30 Agustus 2017

Disahkan oleh:

Tim penguji

1. Nur Laylah, S.TP.,M.Si.

2. Ilham Ahmad, ST.,MT

3. Ir.Tasir,M.Si

4. Ir.Nurlaeli Fattah S.TP., M,SI

(4)

iv

(5)

v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama mahasiswa : Supriadi

Nim : 1322060361

Program studi : Agroindustri

Perguruan tinggi : Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul

“Aplikasi Kitosan Terhadap Pertumbuhan Mikroba Pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)” Adalah merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini adalah hasil karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Pangkep,07 juli 2017 Yang menyatakan,

(Supriadi)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah swt atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini yang berjudul

“APLIKASI Kitosan Terhadap Pertumbuhan Mikroba Pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Rasulullah Muhammad SAW.

Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Agroindustri Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap kelurga yang telah memberikan bantuan moril maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan magang mandiri ini, Hanya do’a dan bakti penulis yang dapat persembahkan pada keluarga atas segala pengorbanannya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir.Darmawan, M.P. selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

2. Ir. Nurlaeli Fattah, M.Si.. selaku Ketua Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

3. Zulfitriany DM,SP,MP,selaku ketua program studi agroindustri.

4. Nurlaylah, S.TP.,M.Si. selaku dosen pembimbing satu 5. Ilham ahmad, ST.,MT. Selaku dosen pembimbing dua

6. Seluruh staf Dosen dan Teknisi Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Agroindustri.

7. Seluruh teman-teman UKM taekwondo yang telah memberikan motivasi dalam pengerjaan laporan ini.

8. Serta Seluruh teman-teman mahasiswa Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Agroindustri.

(7)

vii Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus pada penulis itu sendiri.

Amin yaa rabbal alamin

Pangkep, 18 juli 2017

Supriadi

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

RINGKASAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Udang ... 4

2.1.1. Udang Vaname ... 4

2.1.2. Udang windu ... 6

2.2. Pendayagunaan Limbah Udang ... 8

2.3. chitosan ... 10

2.1.1. Karakteristik chitosan ... 11

2.4. Pengaplikasian chitosan ... 12

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Waktu Dan Tempat ... 15

3.2. Bahan dan alat ... 15

3.3. Diagram alir penelitian ... 16

(9)

ix

3.4. Prosedur penelitian ... 17

3.5. Prosedur pengujian ... 18

3.5. Perlakuan Penelitian ... 20

3.6. Analisis Data ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Pembuatan kitosan ... 21

4.2. Pengujian Total Plate Count (TPC) Mikroba Pada Sampel Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) ... 22

V. PENUTUP ... 27

5.1. Kesimpulan ... 27

5.2. Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

LAMPIRAN ... 29

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik kitosan ... 12 Tabel 2. Karakteristik kitosan yang di hasilkan ... 21

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Morfologi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 5

Gambar 2. Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) ... 6

Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Kitosan ... 16

Gambar 4. Diagram alir pengaplikasian shitosan ... 17

Gambar 5. Rata-Rata Total Plate Count (TPC) Mikroba Pada Sampel Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada konsentrasi kitosan ... 22

Gambar 6. Rata-Rata Total Plate Count (TPC) Mikroba Pada Sampel Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) selama penyimpanan ... 24

Gambar 7. Rata-Rata Total Plate Count (TPC) Mikroba Pada Sampel Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan konsentrasi kitosan dan lama penyimpanan. ... 26

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Proses pembuatan chitosan dan aplikasi chitosan ... 30

Lampiran 2. Pengujian total plate count ... 32

Lampiran 3. Data Hasil Nilai TPC ... 33

Lampiran 4. Hasil Uji Statistik... 34

Lampiran 5. Riwayat Penulis ... 41

(13)

xiii

RINGKASAN

SUPRIADI, 1322060361, “Aplikasi Kitosan Terhadap Pertumbuhan Mikroba Pada Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) di bawah bimbingan Nur Laylah dan Ilham Ahmad,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah chitosan berpengaruh dalam menekan pertumbuhan mikroba Total Plate Count (TPC) udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan untuk mengetahui berapa konsentrasi kitosan yang optimun di gunakan dalam menekan pertumbuhan mikroba Total Plate Count (TPC) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap, tahap (i) pembuatan kitosan dan (ii) aplikasi kitosan sebagai antimikroba pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). Penelitian ini mulai dilaksanakan pada tanggal 6 juni sampa tanggal 24 juni 2017. Pembuatan kitosan, pengujian karakteristik kitosan dan uji organoleptik udang dilakukan di laboratorium biokimi teknologi pengolahan hasil perikanan, sedangkan pengujian mikroba Total Plate Count (TPC) di lakukan di laboratorium hama dan penyakit budidaya perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Metode yang digunakan adalah eksperimental laboratorium. Data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial (2 faktor). Faktor pertama adalah perlakuan konsentrasi kitosan (tiga taraf: 0%; 1,5%; 3%) dan faktor kedua adalah lama penyimpanan (tiga taraf: 1; 2; 3 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan Konsentrasi chitosan berpengaruh dalam menekan pertumbuhan mikroba pada udang vaname karna konsentrasi kitosan 0% (sebagai kontrol) lebih banyak di tumbuhi mikroba di banding konsentrasi kitosan 1,5 % dan 3 %.

Konsentrasi kitosan yang optimun di gunakan adalah konsentrasi kitosan dengan taraf 1,5% karna rata-rata jumlah mikroba yang tumbuh selama 3 hari jauh lebih sedikit di banding 3%.

Kata kunci: konsentrasi kitosan, udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan lama penyimpanan.

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara yang maritime, Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam perikanan, baik perikanan air tawar, air payau, maupun air laut. Menurut Saparinto (2007), potensi akuakultur air payau, yakni dengan sistem tambak diperkirakan mencapai 931.000 ha dan hampir telah dimanfaatkan potensinya hingga 100% dan sebagian besar digunakan untuk memelihara ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) dan udang (Pennaeus sp.).

Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai.

Udang merupakan produk hasil perairan yang mudah mengalami kerusakan dan kemunduran mutu serta mempunyai umur simpan yang singkat. Kemunduran mutu pada udang sangat erat kaitannya dengan melanosis atau blackspot dan mikroba pembusuk (Gokoglu dan Yerlikaya 2008). Pembentukan melanosis atau blackspot merupakan perubahan warna yang terjadi karena adanya reaksi enzimatis oleh enzim polyphenoloxidase. Pembentukan melanosis atau blackspot dapat mempengaruhi parameter warna dan mempengaruhi penerimaan konsumen (Kim et al. 2000). Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh adanya reaksi autolisis yaitu dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan reaksi kimiawi pada saat penyimpanan (Suwetja 2011). Proses kemunduran mutu secara mikrobiologis berkaitan dengan jumlah total mikroba dan mikroba pembusuk atau mikroba kontaminan penyebab kerusakan pada udang.

Limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25% dan di negara maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi,tekstil, kertas, pangan, dll. Citin dari kulit udang dapat di chitosan.

(15)

2 Chitosan yang terdapat dalam kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawetan.

Bahan pengawet merupakan bahan tambahan makanan yang dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen (Cahyadi, 2008). Dengan demikian pengawet diperlukan dalam pengolahan makanan, namun kita harus tetap mempertimbangkan keamanannya. Hingga kini, penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering terjadi dan sudah semakin luas, tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen.

Para ahli menegaskan bahwa formalin dan boraks adalah sama sekali bukan bahan pengawet pada makanan dan justru racun yang berbahaya bagi yang mengonsumsinya, baik dalm jumlah sedikit apalagi banyak. Kasus ditemukannya formalin dalam beberapa produk makanan, tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk lebih selektif dan mengonsumsi makanan. Namun, di sisi lain juga membuat kita meninjau kembali bagaimana seharusnya penggunaan pengawet dalam makanan dan produk olahan lainnya. Hal ini menimbulkan wacana terhadap alternatif bahan pengawet yang lebih aman bagi kesehatan tubuh manusia.

Salah satu senyawa alami yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah chitosan yang berasal dari limbah kulit udang. Chitosan adalah senyawa organik turunan kitin, berasal dari biomaterial kitin yang dewasa ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain membersihkan dan menjernihkan air, serta pengawet bahan makanan (Holipah dkk., 2010).

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap mikroba tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan mikroba disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba dan kapang.

(16)

3 1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan bahwa :

1. Apakah chitosan berpengaruh dalam menekan pertumbuhan mikroba pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) ?

2. Berapa konsentrasi chitosan yang digunakan dalam menekan pertumbuhan mikroba pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh chitosan dalam menekan pertumbuhan mikroba pada udang vaname (Litopenaeus vannamei)

2. Untuk mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang digunakan dalam menekan pertumbuhan mikroba) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) 1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat, tentang penggunaan chitosan sebagai bahan pengawetan bahan pangan. Selain itu penggunaan chitosan diharap mampu meningkatkan nilai guna dari cangkang udang sehingga limbah tersebut tidak terbuang percuma dan mengotori lingkungan.

(17)

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang

Udang (Penaeus sp) merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Ekspor udang umumnya dilakukan di Indonesia dalam bentuk beku yang telah mengalami sortasi, sehingga sebagian besar berat udang yang terdiri dari bagian kepala, cangkang dan ekor udang dikelola kembali oleh masyarakat, khususunya para petani udang (patambak udang).

Udang (Penaeus sp) merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 ruas (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid.

Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh adanya reaksi autolisis yaitu dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan reaksi kimiawi pada saat penyimpanan (Suwetja 2011). Informasi mengenai proses kemunduran mutu udang vaname (Litopenaeus vannamei) secara organoleptik, kimiawi, enzimatik dan mikrobiologis masih sedikit sehingga dilakukan penelitian tentang proses kemunduran mutu udang putih untuk memudahkan pada penanganan udang setelah mati.

2.1.1 Udang Vaname

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) di sebut juga dengan udang putih yang merupakan sumber daya ikan golongan Crustacea. Udang ini merupakan spesies asli dari perairan Amerika Tengah. Resmi diperkenalkan dan dibudidayakan di Indonesia pada tahun 2000. Hal yang menggairahkan kembali

(18)

5 pada usaha pertambakan di Indonesia pada saat ini yang sebelumnya mengalami kegagalan budidaya akibat serangan penyakit bintik putih (white spot) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon). Penyebaranya meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika. Wilayah dengan suhu air secara umum berkisar di atas 20 derajat celcius sepanjang tahun dan merupakan tempat populasi udang vanname berada. Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaid pada filum Artrhopoda. Terdapat ribuan spesies dari filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri ciri subfilum Crustacea, mamiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terugtama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus shinensis, Litopenaeus indicus, Litopenaeus japonicus, L. monodon, Litopenaeus stylirostris dan Litopenaeus vannamei.

Gambar 1 . Morfologi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Menurut Wybanet al(2000), klasifikasi udang vannamei sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Anthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili : Penaidae Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

(19)

6 Bagian tubuh udang vannamei terdiri dari kepala yang bergabung dengan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas dan terdapat 6 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.

2.1.2. Udang windu

Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional.

Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor, udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.

Gambar 2. Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.)

(20)

7 Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda.

Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Fillum : Arthropoda Subfillum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995). Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Mujiman dan Suyanto, 1999).

Tubuh udang terbagi atas tiga bagian besar, yakni kepala dan dada, badan, serta ekor. Sedangkan persentasenya adalah 36-49% bagian kepala, dagingkeseluruhan 24-41% dan kulit ekor 17-23% dari seluruh berat badan, tergantung juga dari jenis udangnya (Suparno dan Nurcahaya, 1984). Produk hasil perikanan mengandung dua unsur utama, yaitu air dan protein selain unsur lain yang terdapat dalam jumlah kecil.

(21)

8 Kulit udang yang terdapat pada kepala, jengger dan tubuh udang mengandung protein 34,9%, kalsium 26,7%, khitin 18,1% dan unsur lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4% (Casio dkk.,1982).

2.2 Pendayagunaan Limbah Udang

Limbah adalah sampah (cair atau padat) dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari zat organic dan non organic (Mahida,1981).

Limbah pengolahan udang berupa limbah padat dan cair. Limbah padat yang berupa kepala biasanya masuk pabrikpabrik sebagai bahan dasar trasi, kerupuk atau petis, sedang limbah yang berupa kulit udang, belum banyak dimanfaatkan.Demikian juga limbah cair, biasanya langsung dibuang tanpa penanganan lebih lanjut.

Kadar bahan-bahan terlarut limbah cair adalah sangat tinggi. Benda-benda padat limbah dapat berbentuk organik maupun anorganik. Zat organik dalam limbah terdiri dari bahan-bahan nitrogern,Karbonhidrat,lemak protein dan lain- lain. Mereka bersifat tidak tetap dan menjadi busuk,mengeluarkan bau-bauan yang tidak sedap seperti sifat-sifat khas limbah –limbah dan menyebabkan kesulutan-kesulitan yang besar dalam pembuangannya. Benda-benda padat organik biasanya tidak merugikan(Ansyori,1994).Limbah yang masih baru hanya sedikit berwarna keruh tetapi kemudian menjadi kelam dan berbau menyengat.

Limbah yang baru berisi sedikit oksigen larut, Sedikit nitrit, sedikit alkali dan mineral. Limbah basi menyebarkan bau-bau yang memuakan yang bersumber hidrogen sulfidadan gasgas lainnya. Partikel-partikel besar dan kecil, sisa-sisa larutan dalam bentuk kolloid dan setengah kolloid merupakan tempat berbiak khususnya mikroba, virus dan protozoa. Kebanyakan dari mikroba secara relatif tidak berbahaya namun sebagian dari pada mereka secara positif berbahaya karena ada hubungannya penyakit (patogenik) atau penyebab penyakit. Jadi penting sekali untuk segera membuang danmembenahi limbah secara tuntas agar tidak menimbulkan masalah lingkungan.

(22)

9 Berbagai uji coba dapat dikelom-pokan atau dipilih untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus setempat. Ujian-ujian secara fisik mencakup pula uji coba atas benda-benda padat dalam berbagai keadaannya. Benda-benda padat yang benar-benar padat yang tetap dan menguap, benda padat yang terlarut (ZPT), pemeriksaan kimiawi meliputi kekeruhan, suhu,bau, amoniak,nitrit,sufidam sulfat, khlorida, BOD “biologocal Oxygen Demand”, pH,COD.Terakhir uji coba pemeriksaan mikrobaolesis.

Menurut Cesio (1982) kulit udang (limbah padat) mengandung chitin sebesar 18,1%. Kemudian hasil penelitian Bough (1975) chitin tersebut dapat dibuat menjadi tepung yang disebut tepung chitosan dengan proses deproteinasi (dengan NaOH), kemudian deminaralisasi (Hcl) deasetilasi (NaOH). Hasil yang didapat berupa tepung chitosan berfungsi sebagai agensia pengumpul dan penanganan limbah, dengan perlakuan deasetilasi menggunakan basa pekat.

Dengan metode-metode ini selain diharapkan akan didapat hasil akhir berupa limbah cair yang memenuhi standart baku tumbuh limbah cair, juga ada nilai ekonominya yaitu endapan protein dari limbah cairnya.

Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan tergolong dalam kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Widodo, 2005) .

Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan chitosan.Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena kitin dan chitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukaran ion dan dapat berfungsi sebagai absorben logam berat dalam air limbah (Manjang, 1995).

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang ( hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25-40%), kalsium karbonat (45-50%), dan kitin(15-20%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya ( Focher et al., 1992).

(23)

10 Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%- 50%) (Marganof, 2003). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan chitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.

2.3 Chitosan

Chitosan merupakan polimer dengan nama kimia 2-amino-2-deoksi-D- glukosa, mengandung gugus amino bebas dalam rantai karbonnya yang banyak memberikan kegunaan bagi chitosan (Knorr,1982). Chitosan berasal dari kerang- kerangan, dan sering dianggap sebagai penghambat penyerapan lemak. Bahkan chitosan sering menimbulkan efek samping seperti sembelit dan banyak gas pada perut (Ramayulis dan Lesmana, 2008). Jika chitosan terkena asam lambung, senyawa tersebut akan berubah menjadi semacam gel yang dapat mengikat kolesterol dan lemak yang berasal dari makanan (Anggarani dan Subakti, 2011).

Chitosan pada kondisi asam akan bermuatan positif dan dapat membentuk kompleks polielektrolit dengan senyawa yang memiliki muatan negatif (Muzzarelli, 1996).

Chitosan adalah serat yang tidak diabsorpsi sehingga bila lemak terikat dengannya akan menjadi senyawa yang tidak terabsorpsi pula. Hasil penelitian in- vivo pada hewan percobaan menunjukkan, hewan yang diberi makanan mengandung chitosan mampu mengekskresi lemak kotorannya sehingga 5-10 kali serat lain. Untuk meningkatkan efektivitas pengikat lemak, kapsul chitosan dicampur dengan asam sitrat, vitamin C (asam askorbat), dan indol. Penambahan asam askorbat meningkatkan jumlah lemak yang hilang sebagai feses, 87% dan menurunkan penyerapan lemak oleh tubuh hingga 50%.

(24)

11 Kanauchi dkk. (1994) melaporkan bahwa pemberian chitosan yang dicampur dengan asam askorbat pada diet tikus meningkatkan besarnya ekskresi lemak pada feses. Hal ini berarti pemberian chitosan dan asam askorbat dapat menurunkan serapan lemak pada sistem pencernaan tikus dari diet yang diberikan.Chitosan adalah produk Deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang Glukosamin (2-Amino-2-Deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5×10-5 Dalton. Chitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20 persen (Anonym, 2010)

2.3.1 Karakteristik chitosan

Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk Kristal, dapat larut dalam larutan asam organik seperti asam asetat, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Dalam hal lain, sifat fisika-kimia larutan chitosan, (pH, kerapatan, tegangan permukaan, viskositas, dan konduktifitasnya), dipengaruhi oleh berat molekul chitosan terlarut, (Khan dan Kok Khiang Peh, 2001). Berat molekul rata-rata rantai chitosan ad alah antara 70.000 – 2.000.000, dan bila ukuran rantai polimer chitosan bertambah kecil, laju gerakan translasinya menjadi semakin cepat, sehingga viskositas larutannya bertambah rendah, Sun-Ok Fernandez-Kim, (2004). Hal ini juga dapat berakibat pada kenaikan laju interaksi rantai molekul chitosan dengan molekul-molekul pereaksi lainnya, seperti asam lemak bebas, Seung-Wook Seo, (2006). Sifat menonjol chitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya (Arisman, 2004).

Pengolahan kitin menjadi chitosan dari bahan baku limbah ikan juga telah dikembangkan oleh Sum–Ok Fernandez-Kim (2004). Dilaporkan produk chitosan dapat mengalami depolimerisasi dan perubahan warna bila terpapar ozone (Seung- Wook Seo, 2006). Chitosan merupakan modifikasi dari senyawa kitin yang terdapat pada kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting.

Memakan udang rebus yang kulitnya masih melekat lebih dianjurkan Karena chitosan dalam kulit udang dianggap sebagai bahan anti-klesterol (Sandjaja,

(25)

12 2009). Kulit udang mengandung kitin 10-60% dari berat keringnya. Pasar utama kitin di dunia adalah Jepang, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman (Amri, 2003).

Dalam pembuatan kitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi.

Penghilangan protein melalui proses kimia (deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%.

Kemampuan dalam menekan pertumbuhan mikroba disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang manpu menghambat pertumbuhan mikroba sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

Tabel 1. Karakteristik chitosan

PARAMETER STANDAR INTERNASIONAL

Ukuran Partikel Butiran/bubuk < 2 mm

Kadar Air < 10 %

Kadar Abu < 2%

Bau Tidak berbau

Warna Larutan Jernih

Sumber : *Suseno (2006)

**Protan dalam Bastaman (1989)

2.4 Pengaplikasian chitosan

Dalam pembuatan chitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi.

Penghilangan protein melalui proses kimia (deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan mikroba disebabkan

(26)

13 chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang manpu menghambat pertumbuhan mikroba sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

Beberapa penilitian mengenai pemanfaatan chitosan adalah Penelitian mengenai aktivitas antimikrobia dari chitosan cukup banyak dilakukan, khususnya yang berhubungan dengan proses pengawetan bahan pangan, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Wardaniati dan Setyaningsih (2011) mengenai

“Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya untuk Pengawetan Bakso”. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui lama waktu pengawetan bakso dengan menggunakan chitosan, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan bakso serta mengetahui pengaruh chitosan terhadap sifat fisik bakso baik dari segi citarasa maupun penampakannya.

Konsentrasi chitosan dalam pelarut asam asetat adalah 0,5%, 1%, 1,5%, 2%

dengan variabel waktu perendaman bakso dalam larutan chitosan 15, 30, 45, dan 60 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan sebagai bahan pengawet bakso ialah sebesar 1,5 % dengan umur simpan 3 hari dan waktu perendaman chitosan yang optimal adalah 60 menit.

Penelitian yang lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahatmanti, dkk. (2011), mengenai “Sintesis Chitosan dan Pemanfaatannya sebagai Antimikrobia Ikan nila Segar”. Pada penelitan ini, chitosan dilarutkan dalam asam asetat 2% dengan konsentrasi chitosan bervariasi 1%, 1,5%, dan 2%. Sebagai kontrol digunakan larutan asam asetat 2% dan akuades. Lama waktu penyimpanan ikan nila bervariasi 0 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam, 8 jam, 10 jam, 12 jam, dan 14 jam.

Hasil uji mikroba larutan chitosan terhadap ikan nila segar menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan larutan chitosan 1% pada ikan nila selama 10 jam (A1B1) yaitu sebesar 38.104 sel/ml adalah kondisi paling optimum.

(27)

14 2.4.1. Total Plate Count (TPC)

Menurut (Angelillo, et al., 2005) makanan penerbangan yang telah terkontaminasi mikroba dapat menyebabkan Foodborne Diseases atau keracunan makanan, yang dapat mengakibatkan penyakit bagi orang yang mengkonsumsinya. Hal ini disebabkan oleh mikroba patogen, virus, jamur yang mencemari makanan tersebut. Salah satu cara untuk mendeteksi atau menganalisis jumlah mikroba yang ada didalam makanan penerbangan yaitu dengan cara uji TPC (Total Plate Count) di laboratorium. Pengujian Total Plate Count (TPC) dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni mikroba yang ditumbuhkan pada media agar. Produk makanan dapat dikategorikan aman jika total koloni mikroba (Total Plate Count/TPC) tidak melebihi 5x105 coloni forming unit / per ml (CFU/ml) menurut SNI 7388-2009.

Menurut (Fardiaz, 2004) Analisis kuantitatif mikrobiologi pada bahan pangan penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan tersebut.

Beberapa cara dapat digunakan untuk menghitung atau mengukur jumlah jasad renik didalam suatu suspensi atau bahan, salah satunya yaitu perhitungan jumlah sel dengan metode hitung cawan. Prinsip dari metode ini adalah jika sel mikroba masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan mikroskop. Cara pemupukan kultur dalam hitungan cawan yaitu dengan metode tuang (pour plate) Jika sudah didapatkan hasil jumlah koloninya, kemudian disesuaikan berdasarkan SPC (Standard Plate Count).

(28)

15

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada tanggal 6 Juni - 24 juni 2017.

Pembuatan chitosan, pengujian karakteristik chitosan dan uji organoleptik udang dilakukan di laboratorium biokimia teknologi pengolahan hasil perikanan, sedangkan pengujian mikroba Total Plate Count (TPC) dilakukan di laboratorium hama dan penyakit budidaya perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

3.2 Bahan dan alat

3.2.1 Bahan dan alat pembuatan chitosan 1. Bahan pembuatan chitosan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan chitosan adalah kilit udang windu (300 gram), NaOH 1M ( 3 Liter), HCL 2M (3 liter), NaOH 20%W (4 liter) dan aquadest.

2. Alat pembuatan chitosan

Alat yang di gunakan dalam pembuatan chitosan adalah belender, gelas piala, termometer, penganuk magnetik, spatula, sendok, hot plate, timbangan digital, oven, kertas penyaring.

3.2.2 Bahan dan alat pengaplikasian chitosan 1. Bahan pengaplikasian chitosan

Bahan pengaplikasian chitosan adalah asam asetat 100 ml, konsentrasi chitosan (0%, 1,5%,dan 3%), bubuk chitosan (1,5 gram dan 3 gram), dan udang vaname (Litopenaeus Vannamei).

2. Alat pengaplikasian chitosan

Alat yang diguankan dalam pengaplikasian chitosan adalah gelas piala, batang pengaduk (spatula), dan kemasan plastik.

(29)

16 3.3 Diagram alir penelitian

3.3.1 Diagram alir pembuatan chitosan

Adapun diagram alir pembuatan chitosan adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Chitosan Pengeringan

penghalusan

Deproteinasi

Penyaringan dan pencucian

Deminerialisasi

Penyaringan dan pencucian

Desetilasi

Penyaringan dan pencucian

kitosan Kulit udang windu

(30)

17 3.3.2 Diagram Alir Pengaplikasian Chitosan

Gambar 4. Diagram alir pengawetan ikan bandeng 3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Prosedur Pembuatan Chitosan

Bahan baku yang digunakan adalah kulit udang kering. Kulit udang tersebut dihancurkan hingga menjadi serbuk. Kemudian dilakukan proses deproteinasi. Proses ini dilakukan pada suhu 75-80°C, dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1 : 10 (gr serbuk/ml NaOH ) sambil diaduk konstan selama 60 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral.

Proses ini dilanjutkan dengan proses demineralisasi pada suhu 25-30°C dengan menggunakan larutan HCl 2 M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1 : 10 (gr serbuk/ml HCl ) sambil diaduk konstan selama 120 menit.

Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Hasil dari proses ini disebut chitin.

proses deasetilasi yaitu Chitin kemudian dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 20%W pada suhu 90-100°C sambil diaduk konstan selama 60 menit. Hasil yang berupa slurry disaring, lalu dicuci dengan aquadest sampai pH netral lalu dikeringkan. Hasil yang diperoleh disebut chitosan.

Pencelupan

pengemasan

penyimpanan Udang Vaname

(31)

18 3.4.2. Prosedur aplikasi Chitosan Pada udang vaname (Litopenaeus

vannamei)

Pengawetan udang menggunakan metode Ahmad M dkk (2003) yang diterapkan oleh Mahatmanti dkk (2011) dimana Untuk mencari optimalisasi chitosan sebagai bahan pengawetan chitosan maka chitosan yang digunakan divariasi konsentrasinya dengan cara melarutkan chitosan (w/v) kedalam asam asetat 1% (v/v)(Susanti dkk, 2013). Metode pengawetannya sebagai berikut:

1. Jika chitosan yang di hasilkan dalam bentuk serpihan maka chitosan tersebut di belender sampai halus. Kemudian chitosan yang sudah halus disaring sampai menjadi bubuk chitosan.

2. Serbuk chitosan sebanyak 1.5, 3 gr ditambah dengan 100 ml larutan asam asetat 1%. Campuran diaduk selama 1 jam, lalu disaring. Untuk menghasilkan konsentrasi chitosan 1.5%, dan 3%.

3. Kemudian rendam udang dalam larutan chitosan selama 60 menit kemudian di tiriskan dan di kemas menggunakan pelastik.

4. Amati setiap perlakuan selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari.

3.5 Prosedur Pengujian

Penelitian ini melakukan dua tahap pengujian yaitu pengujian karakteristik chitosan dan pengujian organoleptik pada ikan bandeng yang di berikan perlakuan chitosan.

3.5.1 Pengujian Chitosan

Prosedur pengujian chitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, derajat destilasi , uji kelarutan, bau dan ukuran partikel

1. Pengujian kadar air

Metode AOAC cara pemanasan (Sudarmadji, dkk., 1994).

a. Timbang Sampel sebanyak 1-2 gr dalam cawan porselin atau gelas arloji yang telah diketahui beratnya.

(32)

19 b. Masukkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 1-2 jam tergantung bahannya. Kemudian didinginkan dalam eksikator selama kurang lebih 30 menit dan ditimbang.mPanaskan lagi dalam oven, didinginkan dalam eksikator dan diulangi hingga berat konstan.

Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : kadar air (%) =𝑎 − 𝑏

𝑐 𝑥 100%

Keterangan:

a = Berat wadah + sampel basah (g) b = Berat wadah + sampel kering (g) c = Berat sampel basah (g)

2. Pengujian kadar abu

a. Timbang Sampel sebanyak 2-5 g dalam krus porselin yang kering dan telah diketahui beratnya.

b. Lalu pijarkan dalam muffle sampai diperoleh abu berwarna keputih- putihan sambil diaduk.

c. Kemudian krus dan abu didinginkan dalam eksikator selama kurang lebih 30 menit.

d. Setelah dingin abu ditimbang.

Perhitungan kadar abu dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : kadar air (%) =𝑎 − 𝑏

𝑐 𝑥 100%

Keterangan :

a = Berat cawan dan sampel awal (gram)

b = Berat cawan dan sampel setelah menjadi abu (gram) c = Berat sampel awal (gram)

(33)

20 3. Uji kelarutan (Agusnar 2007)

Sebanyak 0,1 g chitosan dimasukkan ke dalam CH3COOH 1M (Asam Asetat 1% ) dengan volume masing-masing 5 mL, diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga larutan homogen, lalu diamati kemampuan melarutnya 3.5.2 Pengujian Total Plate Count (TPC) udang vaname (Litopenaeus

vannamei)

Sebanyak 25 g sampel udang ditimbang dan dihaluskan menggunakan batu penggiling. Daging udang yang telah halus dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 225 ml larutan akuades steril. Menggunakan pipet volume steril dipindahkan 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril untuk mendapatkan pengenceran 10-2.

Selanjutnya diulangi dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran 10- 3, 10-4, 10-5, 10-6 dan 10-7. Setelah itu diambil sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran 10-6 dan 10-7, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril serta dilakukan duplo. Cawan petri yang sudah berisi larutan sampel ditambahkan 12–15 ml media PCA (Plate Count Agar) dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 48 jam.

3.6 Perlakuan penelitian

Parameter dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsentrasi chitosan terdiri dari tiga taraf ( 0%, 1,5% dan 3%) 2. Lama penyimpanan terdiri dari tiga taraf (1 hari, 2 hari, dan 3 hari)

3.7. Analisis Data

Data berupa konsentrasi chitosan, lama penyimpanan serta interaksi antara keduanya diolah dengan Analisis Varian (ANOVA) menggunakan SPSS.

Referensi

Dokumen terkait

ilmu yang mempelajari efek-efek merugikan dari suatu zat. Ilmu yang m Ilmu yang m empelajari tentang efek empelajari tentang efek negative atau negative atau efek racun dari

Jenis penelitian ini adalah eksperimen (true experiment) karena dalam penelitian ini dilakukan perlakuan, yaitu pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi yang berbeda dan

Meskipun nilai absorbansi yang dihasilkan oleh media umbi bengkuang dan tongkol jagung memperlihatkan bahwa kedua material tersebut memiliki potensi sebagai media

Hal ini relevan dengan tekanan anggaran waktu sangat besar akan menyebabkan tingkat stres yang tinggi yang berpengaruh terhadap karakteristik personal auditor

resentasi Menampilkan sli'e presentasi !erisi &gt;i'eo tentan&#34; lan&#34;ka%-lan&#34;ka% 'an perinta% 'alam instalasi sistem operasi. RPP - Teknik Komputer

Berdasarkan latar belakang di atas Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan perendaman larutan lidah buaya (Aloe vera) dapat mendegradasi kadar formalin pada daging

Berdasarkan penelitian Tuminah (2010:70), hasil analisis dari data yang diperoleh perbedaan signifikan antara kelas yang menggunakan media.. pocket book dan tanpa

24.. Sementara itu, pengaruh karakteristik yang signifikan adalah usia, pendidikan, status pernikahan, dan pengaturan tempat tinggal. Empat karakteristik lainnya tidak