ANALISIS YURIDIS AKUISISI YANG DAPAT MENYEBABKAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BERDASARKAN
KAJIAN PUTUSAN KPPU NO. 06/KPPU-M/2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
AGUSTINA PASARIBU NIM : 150200314
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat penyertaannya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan dengan program kekhususan Hukum Ekonomi dengan judul
“Analisis Yuridis Akuisisi Yang Dapat Menyebabkan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berdasarkan Kajian Putusan KPPU No.
06/KPPU-M/2017”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pemaparan, maupun segi materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan materi skripsi saya dalam kesempatan yang akan datang.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan serta dukungan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Terutama penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orangtua penulis, Bapa Robert Pasaribu dan Mama Ruslan Siregar. Terimakasih atas semua kasih sayang, doa, dukungan, didikan, dan semangat yang sangat berarti. Kemudian kepada saudari- saudariku yang terkasih, Polma N.V. Pasaribu, Betaria Pasaribu, Sinta Pasaribu, April ME Pasaribu, dan Naudur Pasaribu, penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Dr. Ok. Saidin, S.H., M. Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Ibu Puspa Melati, S.H., M. Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M. Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi;
7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li. selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam proses penulisan skripsi ini;
8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini hingga skripsi ini diselesaikan;
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa kuliah;
10. Teman seperjuangan yang terkasih Rinawati Sitorus, Regina Clara Pardede, Natalia Pransiska untuk segala bantuan dan dukungan selama masa kuliah maupun penulisan skripsi dan semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, Penulis mengucapkan banyak terimakasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Hukum Ekonomi.
Medan, 2019
Penulis
Agustina Pasaribu NIM. 150200314
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………... i
DAFTAR ISI…...………. iv
ABSTRAK…....……… viii
DAFTAR ISTILAH ……… ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Rumusan Masalah…..……… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……… 8
D. Keaslian Penulisan…...……….. 9
E. Tinjauan Pustaka………... F. Metode Penelitian……….. G. Sistematika Penulisan……… 9 11 14 BAB II HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999…... B. Substansi UU No. 5 Tahun 1999……… 1. Asas dan Tujuan……….. 17 23 24 2. Perjanjian yang Dilarang……….……….... 27
3. Kegiatan yang Dilarang………..
4. Posisi Dominan………...
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha…….…….
28 28 32 C. Prinsip Per se Illegal dan Rule of Reason dalam Hukum
Persaingan Usaha…..………
36
BAB III AKUISISI DALAM PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Akuisisi dalam Persaingan Usaha di Indonesia 1. Pengertian…...………
2. Klasifikasi dan Objek Akuisisi………
3 Tujuan dan Manfaat Akuisisi………..…
40 41 44 B. Regulasi Akuisisi dalam Persaingan Usaha di Indonesia
1. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat...
47
48 2. PP No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau
Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat………..………..……… 50
3. Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2009 tentang Pra- notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan………...……… 52
4. Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………..………..………
5. Peraturan Terkait Lainnya
a) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas b) UU No. 10/1998 tentang Perbankan………
c) PP No. 27/1999 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Saham Perseroan Terbatas………...…
d) Kep. Ketua BAPEPAM-LK No Kep-
264/BL/2011 tentang Pengambilalihan Saham Perusahaan Terbuka………..…
e) POJK No. 9/POJK.04/2018 tentang
Pengambilalihan Saham Terbuka…………
6. Sanksi atas Pelanggaran Regulasi Akuisisi……
C. Metode Akuisisi berdasarkan Hukum Persaingan Usaha D. Mekanisme Post-notification Merger dalam
Pelaksanaan Akuisisi………..……...………
E. Bentuk Penguasaan Pasar sebagai Akibat dari Akuisisi
55
59 60
61
61
62 63 64
70 74
BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN KPPU NO. 06/KPPU- M/2017 TENTANG AKUISISI SAHAM PT MULTI MAKANAN PERMAI OLEH PT JAPFA COMFEED INDONESIA, Tbk YANG DAPAT MENIMBULKAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Pembahasan Putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017 1. Kasus
Posisi………...………....
2. Amar Putusan………...……….
3. Analisis Putusan………...……….
84 89 91
B. Pembahasan Putusan Pengadilan Negeri atas Keberatan
PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk.………... 103
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……… 106
B. Saran……….. 110
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS AKUISISI YANG DAPAT MENYEBABKAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
BERDASARKAN KAJIAN PUTUSAN KPPU NO. 06/KPPU-M/2017 Agustina Pasaribu*
Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li.**
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.***
Akuisisi merupakan suatu langkah restrukturisasi perusahaan yang mampu mendatangkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat dan meningkatkan valuasi suatu perusahaan dengan cara mengambil alih kepemilikan saham badan usaha atau perseroan. Namun dalam penerapannya, akuisisi dapat diindikasikan melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena berpotensi mengurangi persaingan dalam pasar bersangkutan. Oleh karena itu, mekanisme pemberitahuan (notification) menjadi langkah yang tepat bagi KPPU untuk mengawasi dan menilai setiap aksi akuisisi atas indikasi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999.
Pemberitahuan ini sifatnya wajib dan dilakukan sejak tanggal pengambilalihan (akuisisi) dilakukan. Namun pemberitahuan ini dinilai kurang efektif dalam mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha yang telah melakukan akuisisi. Pengenaan sanksi atas keterlambatan pemberitahuan juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga jumlah denda yang ditetapkan dalam setiap putusan KPPU menjadi hal yang dipertanyakan. Permasalahan tersebut menjadi dasar untuk menganalisis Putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017 tentang keterlambatan pemberitahuan akuisisi saham yang dilakukan PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk. Walaupun tidak ditemukan indikasi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, denda keterlambatan pemberitahuan akuisisi yang diputuskan KPPU dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak sebanding dengan nilai transaksi akuisisi yang dilakukan. Sehingga Japfa melakukan upaya hukum keberatan atas putusan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri menolak keberatan yang diajukan Japfa, tapi juga memperbaiki putusan KPPU dengan mengurangi jumlah denda.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti data sekunder yang mempunyai relevansi dalam penulisan skripsi ini. Data sekunder yang dimaksud bersumber dari peraturan-peraturan maupun literatur-literatur yang diperoleh melalui bahan- bahan kepustakaan (library research) dengan analisis data kualitatif.
Kata Kunci : akuisisi, monopoli, pemberitahuan, Japfa, denda
*) Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
**) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
DAFTAR ISTILAH
ISTILAH PENGERTIAN SUMBER
A
Akuisisi/
Pengambilalihan
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut
Pasal 1 angka 11 UU No. 40 Tahun
2007 ASEAN Economic
Community
(AEC)/Masyarakat Ekonomi ASEAN
Sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN
melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk) maupun
hambatan non-tarif bagi negara- negara ASEAN
http://id.m.wikipedia .org/wiki/Masyaraka t_Ekonomi_Perbara
B
Bungkil Kedelai/
Soy Bean Meal
Bahan pakan limbah pengolahan biji kedelai menjadi menjadi minyak kedelai. Bungkil kedelai umumnya
digunakan sebagai sumber pakan protein utama bagi unggas karena kandungan protein yang sangat tinggi serta memiliki komposisi asam
amino yang sangat lengkap
http://dairyfeed.ipb.a c.id/feeds/detail/17
E
Essential Facilities Doktrin yang memberikan kewajiban kepada pelaku usaha yang memiliki
posisi dominan di pasar hulu untuk memberikan akses kepada pesaingnya di pasar hilir atas sebuah
fasilitas yang dianggap “esensial”
bagi kegiatan usaha mereka
http://id.portalgarud a.org/?ref=browse&
mod=viewarticle&ar ticle=370609
H
Hambatan Masuk Pasar/
Barrier to Entry
Setiap keadaan atau karakteristik pasar yang menghambat atau menghalangi perusahaan untuk memasuki pasar bersangkutan yang
disebabkan adanya pesaing yang
http://kamusbisnis.c om/arti/hambatan-
masuk-pasar/
mengakar kuat dengan keunggulan kompetitif yang signifikan I
International Monetary Fund (IMF)/Dana Moneter Internasional
Organisasi Internasional yang terdiri dari 189 negara yang bertujuan mempererat kerja sama moneter
global, memperkuat kestabilan keuangan, mendorong perdagangan internasional, memperluas lapangan pekerjaan sekaligus pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan dan mengentaskan kemiskinan di seluruh
dunia
http://id.m.wikipedia .org/wiki/Dana_Mo
neter_Internasional
Integrasi Vertikal Perjanjian antara pelaku usaha yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang
dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung
Pasal 14 UU No. 5 Tahun
1999
J
Judex Facti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi yang berwenang memeriksa
bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara
tersebut
http://id.m.wikipedia .org/wiki/Judex_fact i_dan_judex_juris
K
Kartel Perjanjian dengan maksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat
Pasal 11 UU No. 5 Tahun
1999
M
Monopoli Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun
1999
Monopsoni Situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai
pembeli tunggal
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha
di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
Prenada Media Group, 2012), hlm.
244.
O
Oligopoli Perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat
Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1999
Oligopsoni
Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks
dan Konteks, (Jakarta: Deutsche
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), 2009), hlm.
110.
Online to Offline (O2O)
Suatu konsep e-commerce yang menghubungkan antara saluran online dan offline (toko fisik) yang
menarik pengguna atau pelanggan melalui media online seperti e-mail,
iklan internet, ataupun media, kemudian mengajak pelanggan
tersebut untuk melakukan pembelanjaan secara offline
http://www.google.c o.id/amp/s/felitatani a.wordpress.com/20 17/03/04/pengertian-
layanan-online-to- offline-o2o-e- commerce/amp/
P
Pangsa Pasar Persentase nilai jual dan beli barang dan atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu
Pasal 1 angka 13 UU No. 5 Tahun
1999
Pasar
Bersangkutan/
Pasar yang berkaitan dengan
jangkauan atau daerah pemasaran Pasal 1 angka 10
Relevant Market tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut
UU No. 5 Tahun 1999
Penetapan
Harga/Price Fixing
Kesepakatan di antara penjual yang bersaing di pasar yang sama untuk menaikkan atau menetapkan harga dengan tujuan untuk membatasi persaingan di antara mereka dan mendapatkan keuntungan yang lebih
banyak
Suhasril dan Mohammad Taufik
Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat di Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm. 118.
Pembagian Wilayah (Market Division/
Allocation)
Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok harga dan atau jasa serta
menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang
dan atau jasa dengan tujuan utama untuk menghindari terjadinya persaingan di antara pelaku usaha
Penjelasan Pasal 9 UU No. 5 Tahun
1999
Pemboikotan (Group
Boycott/Horizontal Refuse to Deal)
Bentuk perjanjian horizontal untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lainnya
dengan menghentikan suplly akan bahan pokok yang sangat diperlukan
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 278.
Perjanjian Tertutup Persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau tempat tertentu
Ahmad Yani &
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis:
Antimonopoli, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 27 Perjanjian dengan
Pihak Luar Negeri
Perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha asing yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat bukan dalam negeri, melainkan luar negeri yang juga memiliki undang-undang anti-
monopoli
Suhasril dan Mohammad Taufik
Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat di Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm.132.
Perusahaan Afiliasi Perusahaan yang secara efektif dikendalikan oleh perusahaan lain atau tergabung dengan perusahaan atau beberapa perusahaan lain karena
kepentingan atau kepemilikan atau pengurus yang sama
http://www.mediabp r.com/kamus-bisnis- bank/perusahaaan_a
filiasi.aspx Persekongkolan/
Konspirasi Usaha
Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkolan
Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun
1999
Posisi Dominan Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai,
seperti kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun
1999
T
Trust Perjanjian untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
Hermansyah, Pokok- Pokok Hukum Persaingan Usaha
di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
Prenada Media Group, 2008), hlm.
34
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus modal asing masuk melalui penanaman modal langsung (foreign direct investment), maupun melalui skema portofolio saham, baik pasar modal atau luar pasar modal. Fakta tersebut membuktikan bahwa pasar domestik semakin terintegrasi dengan pasar global. Fenomena ini membuat banyak negara, termasuk Indonesia dituntut untuk mengikuti kecenderungan arus globalisasi yang mengarah pada penduniaan dalam arti “peringkasan” atau “peratapan dunia”
(compression of the world).1
Masyarakat di kawasan Asia Tenggara kini tengah menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN yang mulai berlaku pada tahun 2015. Sebagai wilayah yang dinilai paling stabil di dunia dan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi, menyatunya negara-negara ASEAN dalam ASEAN Economic Community (AEC) memang menjadi sebuah fenomena yang penting dan menarik. Pasar bebas ASEAN yang diharapkan mampu mendorong peningkatan daya saing antar anggotanya mengingat ASEAN menjadi kawasan yang paling dinamis dan mengundang banyak investasi.
2
1 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I. (Jakarta: Book Terrance & Library, 2007), hlm. 28.
2 Chandra Setiawan, Menghadapi Pasar Bebas ASEAN: Persaingan Sehat Menjadi Prasyarat Utama, (KPPU: Media Berkala KPPU – Kompetisi, 2013), hlm. 10.
Dalam pembangunan ekonomi yang seiring dengan timbulnya kecenderungan globalisasi perekonomian, maka bersamaan itu semakin banyak pula tantangan dihadapi dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau perdagangan yang menjurus
kepada persaingan produk/komoditi dan tarif, sebab perekonomian sekarang merupakan perdagangan globalisasi antar negara.3
Indonesia merupakan negara yang menganut Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila adalah sebuah sistem perekonomian yang didasarkan pada lima sila dalam Pancasila. Pada esensinya, Ekonomi Pancasila adalah suatu konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Ke kanan artinya bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri artinya mengalami intervensi negara dalam bentuk perencanaan terpusat. Secara sederhana Ekonomi Pancasila dapat disebut sebagai sebuah sistem ekonomi pasar dengan pengendalian pemerintah atau ekonomi pasar terkendali.4 Sistem ini dapat dilihat sejak pemerintahan Soeharto (1970-1998). Meski secara politik bersifat otoriter, ekonomi pasarnya ditandai adanya sentuhan negara di bidang kesejahteraan. Ini terjadi melalui program-program ekonomi dan sosial, yakni program delapan jalur pemerataan, kebijakan afirmatif pribumi, posyandu, swasembada pangan dan lain-lain sehingga kemiskinan turun dari 56 persen tahun 1970 menjadi 13 persen tahun 1998.5
3 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum dan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 3.
4 Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, (Universitas Gadjah Mada: Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, 6 Januari 2004).
5 KOMPAS, Didin S. Damanhuri, Ekonomi Pasar Pancasila, 15 Februari 2018.
Penerapan ekonomi pasar tanpa peran aktif negara hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai masalah sosial dan politik. Karena itu bermodalkan Undang Undang Dasar 1945 menuntut adanya Ekonomi Pasar Pancasila. Dalam Ekonomi Pancasila terkandung unsur demokrasi, maka bisa disebut juga demokrasi ekonomi. Ekonomi Pancasila menerapkan nilai-nilai
Pancasila, termasuk demokrasinya pada sila keempat, sebagai fondasi dari setiap tindakan dan kegiatan ekonomi negara. Ekonomi demokrasi dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (4), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan demikian, Ekonomi Pasar Pancasila memiliki karakteristik pasar/ekonomi dan politik/demokrasi sebagai instrumen (bukan tujuan) sekaligus arena negara membuat perencanaan jangka panjang dan semua pelaku ekonomi (BUMN, swasta dan koperasi) berjalan dalam mekanisme pasar untuk mencapai kemakmuran (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dan keadilan sosial (pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat) terutama dalam menghadapi persaingan ekonomi global.6
Persaingan dunia usaha semakin dirasakan dalam era perdagangan bebas, terlebih Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di ASEAN, yang mana pasar bebas akan mulai berlaku di tahun 2020 menuntut perusahaan untuk memilih strategi yang tepat untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan memperbaiki kinerjanya. Perusahaan harus berkompetensi baik secara nasional agar mampu eksis dengan memilih strategi yang tepat. Salah satu strategi yang dilakukan perusahaan adalah dengan memperbaiki kinerja perusahaannya dan memperkuat kondisi finansial atau permodalannya.
7
6 Ibid.,
7 Retno Ika Sundari, Kinerja Merger dan Akuisisi Pada Perusahaan Go Public Vol. 17, (Jurnal Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2016), hlm. 51.
Akuisisi menjadi salah satu trend dalam suatu grup usaha konglomerat yang ingin memperluas (ekspansi) jaringan usahanya. Terutama bagi kelompok usaha yang ingin berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Sebab dengan akuisisi, suatu kelompok usaha tidak perlu membesarkan suatu perusahaan dari kecil sehingga menjadi besar, tetapi cukup membeli atau mengambil alih saham perusahaan yang sudah besar atau sedang berjalan.8 Baik perusahaan pengambil alih ataupun perusahaan target tetap saja eksis. Jadi dengan akuisisi, tidak ada perusahaan yang lenyap dan tidak ada pula perusahaan yang baru terbentuk akibat dari setelah akuisisi tersebut.9
Aksi merger dan akuisisi kian mewarnai perjalanan industri nasional sepanjang 2018. Tak terhitung jumlah aksi korporasi perusahaan dalam negeri, baik skala menengah maupun jumbo terealisasi di tahun ini. Seperti misalnya PT.
Kimia Farma, Tbk. yang Januari 2018 mengakuisisi jaringan ritel nilai Rp 130 Miliar hingga yang terbaru PT. Fajar Surye Wisesa Tbk. (FASW) yang berencana mengakuisisi pabrik di Surabaya dan Driyorejo yang berlokasi di Jawa Timur dengan nilai mencapai US$ 60 Juta di Desember 2018. Pengamat korporasi, Lukas Setia Atmaja, menilai trend akuisisi ini memang dalam dua dekade terakhir tengah menjamur di dunia. Pada umumnya, perseroan mengincar pertumbuhan ekonomi inorganik dengan cara menguasai bisnis yang telah terjadi sebelumnya.
Alasan lainnya perusahaan ingin mendapatkan sinergi dengan aksi tersebut.
8 Munir Fuady, Hukum tentang Merger, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1.
9 Munir Fuady, Hukum tentang Akuisisi, Take Over, dan LBO, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 5
Dengan ada sinergi ini, biaya operasional dapat di tekan. Adapun fenomena akuisisi dapat menjadi parameter bahwa ekonomi suatu negara tengah membaik.10
Namun, tidak jarang akuisisi dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat persaingan. Padahal melalui proses persaingan, produser akan memperhitungkan cara untuk meningkatkan kualitas, pelayanan dan berupaya mendapatkan perhatian konsumen terhadap produknya. Bila berhasil maka pelaku usaha tersebut akan berupaya mempertahankan pengusaan pasar atau bahkan menjadi monopolis pada pasar tersebut. Dilema yang umum terjadi sesudah menjadi monopolis di suatu pasar, maka akan ada kemungkinan bahwa produser tersebut bertindak tidak efisien dan justru berusaha meningkatkan hambatan masuk pasar (barrier to entry) kepada para pesaingnya. Efek dari tindakan ini akan mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan membuat pasar dapat terdistorsi.
11
Tindakan akuisisi atau pengambilalihan disadari atau tidak, akan mempengaruhi persaingan antar pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada konsumen atau masyarakat. Karena itu, sesuai amanat Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan pengendalian terhadap penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan yang mengakibatkan berkurangnya tingkat persaingan di pasar bersangkutan dan dapat menimbulkan kerugian masyarakat.
12
10 KONTAN.CO.ID, Fenomena Merger dan Akuisisi di 2018, 3 Desember 2018.
11 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: 2011), hlm. 23 &
24.
12 Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha, (Fakultas Ekonomi & Bisnis, Bina Nusantara University: Binus Business Review, 2011), hlm. 424.
Terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan perbuatan monopoli merupakan gambaran telah terjadi kosentrasi kekuatan ekonomi yang dikontrol oleh beberapa pihak saja.
Kosentrasi pemusatan kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha memberikan pengaruh buruk pada kepentingan umum dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kosentrasi pemusatan kekuatan ekonomi secara langsung akan berakibat pada pasar dan keinginan untuk bersaing. Akibat pengontrolan pasar dan harga oleh beberapa pelaku usaha maka dalam jangka panjang dapat membatasi keinginan pelaku usaha lain untuk masuk kepasar sehingga mengarah pada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.13
Dalam rangka implementasi Hukum Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk sebagai lembaga pengawas guna memastikan agar dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang Antimonopoli tersebut oleh para pelaku usaha dalam menjalakan kegiatan usahanya serta tidak melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Sebagai sebuah lembaga yang independen, maka KPPU dalam menangani, memutus, atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dipengaruhi oleh pihak manapun, kendati KPPU bertanggung jawab kepada presiden dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong agar sistem ekonomi pasar lebih efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif yang menjamin adanya kesempatan berusaha.
14
Selain itu, KPPU mengeluarkan beberapa Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang mengatur tentang Penggabungan, Peleburan, dan
13 Gunawan Widjaja, Merger dalam Perspektif Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 21.
14 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. Cit., hlm. 8.
Pengambilalihan yang digunakan sebagai pedoman dalam penegakan hukum maupun penilaian terhadap merger/akuisisi yang dilaksanakan “apakah berakibat monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat?”. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis hendak menguraikan lebih lanjut perihal akuisisi dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan mengkaji Putusan Komisi Pengawas Persaingan atas akuisisi saham PT. Multi Makanan Permai oleh PT.
Japfa Comfeed Indonesia Tbk. yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999 serta menganalisis putusan Pengadilan Negeri atas pengajuan keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa perumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana akuisisi saham dapat menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
2. Bagaimana penerapan Hukum Persaingan Usaha dalam putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017 tentang akuisisi saham PT Multi Makanan Permai oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukannya penulisan skripsi tentang akuisisi ini adalah:
1. Untuk mengetahui akuisisi yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
2. Analisis penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutus pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk perihal akuisisi saham PT. Multi Makanan Permai.
Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya penulisan ini, diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam pengembangan ilmu hukum ekonomi khususnya dalam bidang Hukum Persaingan Usaha dengan pembahasan mengenai akuisisi dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta bagaimana penerapan Undang-Undang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Majelis KPPU dalam memberikan sanksi atas pelanggaran dalam pelaksanaan akuisisi.
2. Manfaat Praktis
Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan bagi setiap pembacanya atau bagi mereka yang sedang
mempelajari akuisisi dalam persaingan usaha terutama mengenai akuisisi dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Akuisisi yang Dapat Menyebabkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berdasarkan Kajian Putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017”. Materi dan pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas dalam skripsi yang sudah ada sebelumnya. Penulisan skripsi ini dilakukan setelah penulis melakukan penelusuran buku-buku referensi, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta media cetak dan elektronik. Jadi, topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil karya penulis karena bahasan topik dalam skripsi ini berbeda dengan pembahasan yang sudah ada, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka
Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Akuisisi yang Dapat Menyebabkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berdasarkan Kajian Putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017” dilakukan dengan tinjauan pustaka sebagai berikut :
Hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku
usaha.15 Dalam kegiatan ekonomi atau bisnis, adanya suatu persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya merupakan hal yang biasa terjadi.
Persaingan usaha yang sehat akan berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau berkompetesi karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk yang dihasilkan.
Konsumen juga mendapatkan manfaat dari adanya persaingan yang sehat karena dapat menimbulkan penurunan harga dan kualitas produk tetap terjamin.
Sebaliknya, apabila persaingan yang terjadi tidak sehat, akan dapat merusak perekonomian negara yang merugikan masyarakat.16
Seperti halnya pengambilalihan (akuisisi) akan mempengaruhi persaingan antar pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan dan membawa dampak kepada konsumen dan masyarakat. Akuisisi atau pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.17 Akuisisi/pengambilalihan memang salah satu trend investasi yang dapat mendongkrak perekonomian suatu negara namun juga dapat mengakibatkan meningkatnya atau berkurangnya persaingan yang berpotensi merugikan konsumen dan masyarakat.18
15 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 2.
16 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus Edisi Ke – 6, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), hlm. 211.
17 Lihat Pasal 1 angka 11, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
18 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 618.
Adanya pengurangan persaingan meningkatkan konsentrasi di dalam relevant market (pasar bersangkutan), dan yang patut menjadi perhatian pada akuisisi adalah antara pesaing terjadi
penjumlahan pangsa pasar. Seberapa besar peningkatan pangsa pasar tersebut agar akuisisi yang dilakukan mengakibatkan bahaya terjadinya persaingan usaha tidak sehat?19
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif. Maka dapat dikatakan bahwa yuridis-normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Menurut Soerjono Soekanto, pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Disinilah Hukum Persaingan Usaha berperan penting untuk memastikan tercapainya tujuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penegakan hukum tersebut dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
20
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum persaingan usaha di Indonesia.
Pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan peraturan hukum itu sendiri dalam praktik hukum. Terutama kasus-kasus yang telah diputus
19 Ridho Jusmadi, Konsep Hukum Persaingan Usaha, Sejarah, Kaidah Perdagangan Bebas & Pengaturan Merger-Akuisisi, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 198.
20 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
sebagaimana yang dapat dilihat pada fokus penulisan skripsi ini, yaitu kasus pelanggaran UU Antimonopoli.
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan atau hukum positif, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undang dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum tersebut memiliki kekuatan mengikat secara hukum.21
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum primer dapat berupa UU No. 5 Tahun 1999, UU No. 40 Tahun 2007, PP No. 57 Tahun 2010, Peraturan KPPU, Peraturan BAPEPAM-LK dan Peraturan OJK.
Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks, karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.22
c. Bahan Non-Hukum/Tersier
Penelitian hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum apabila dipandang perlu. Bahan-bahan non-hukum dapat berupa buku-buku
21 Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 266.
22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 141.
mengenai ilmu pengetahuan Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat dan Kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non- hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.23
Data yang diteliti dalam penelitian ini berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan (Library Research). Data yang diperoleh merupakan data sekunder berupa buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang diteliti dalam penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
24
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.
Analisis kualitatif artinya menguraikan data literatur yang diolah secara rinci ke dalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Analisis kualitatif akan menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya yang mungkin saling mempengaruhi yang menjelaskan pokok permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu pembentukan kesimpulan yang dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal-hal yang konkret.
23 Ibid., hlm. 143.
24 Ibid., hlm. 155.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Akuisisi yang Dapat Menyebabkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berdasarkan Kajian Putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017”, penulis membagi bagian urutan dan setiap penulisan materi dalam skripsi ini dengan mempergunakan sub bab dengan tujuan agar penulisan ini lebih tersistematis dan mudah dipahami.
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Pendahuluan, penulis memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
Pada bagian ini, penulis memaparkan hukum persaingan usaha di Indonesia dengan beberapa pembahasan utama seperti : (A) Latar belakang dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, (B) Substansi UU No. 5 Tahun 1999 dengan sub asas dan tujuan, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta pembahasan terakhir dalam bab ini mengenai (C) Prinsip Per se Illegal dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan Usaha.
BAB III : AKUISISI DALAM PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Dalam bab ini, penulis membahas apa yang dimaksud dengan akuisisi dalam persaingan usaha dengan beberapa bentuk dan tujuan/manfaat akuisisi. Selain itu penulis juga membahas beberapa regulasi akuisisi berserta sanksinya dalam persaingan usaha di Indonesia yang berlaku, metode pelaksanaan akuisisi, mekanisme post-notification merger dalam pelaksanaan akuisisi, serta pengusaan pasar sebagai akibat dari Akuisisi.
BAB IV : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN KPPU NO. 06/KPPU-M/2017 TENTANG AKUISISI SAHAM PT. MULTI MAKANAN PERMAI OLEH PT. JAPFA COMFEED INDONESIA, Tbk.
YANG DAPAT MENIMBULKAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan pembahasan utama mengenai analisis putusan KPPU No. 06/KPPU-M/2017 tentang pelanggaran hukum persaingan usaha dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas keberatan PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk terkait akuisisi saham PT. Multi Makanan Permai berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 dan peraturan terkait lainnya.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini, akan dipaparkan kesimpulan atas pembahasan yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, serta diikuti dengan beberapa saran yang berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang hukum persaingan usaha di Indonesia.
BAB II
HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, sekunder, maupun kebutuhan tersier. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan yang demikian itulah, persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Walaupun diakui bahwa ada kalanya persaingan usaha itu sehat (fair competition), dan dapat juga tidak sehat (unfair competition).25
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, wacana mengenai antimonopoli sudah dibicarakan lama, kurang lebih sejak tahun 1970-an, karena memang struktur ekonomi pada masa itu memerlukan suatu perangkat perundang- undangan yang dapat mengkoreksi struktur tersebut. Namun wacana ini tidak
25 Hermansyah, Op. Cit., hlm. 9.
dapat direalisasikan dalam suatu produk perundang-undangan karena ekonomi politik pada saat itu kurang mendukung lahirnya undang-undang ini.26
Persaingan usaha di Indonesia pada masa orde baru, belumlah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, walaupun banyaknya tuntutan agar Indonesia memiliki undang-undang anti monopoli. Tuntutan agar Indonesia mempunyai undang-undang anti monopoli itu untuk pertama kali muncul pada tahun 1990 sebagai bagian dari pendekatan tindakan kebijakan antimonopoli di Indonesia, tetapi tuntutan itu tampaknya sulit untuk diwujudkan karena tidak didukung oleh political will dari pemerintah. Akibatnya tidaklah mengherankan apabila iklim persaingan usaha yang ada pada masa orde baru itu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi di bidang ekonomi, bahkan sekaligus dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat terwujudnya demokrasi dalam bidang ekonomi.
27
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambilan keputusan dengan pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga semakin memperburuk keadaan serta cenderung menunjukkan corak yang monopolistik.28
26 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 2013, Op.cit. hlm. 9.
27 Ibid.,
28 Ibid., hlm. 11.
Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan tahun 1997 hingga mencapai puncaknya pada 1998, menyadarkan pemerintah pada waktu itu akan betapa lemahnya dasar ekonomi Indonesia. Hal ini karena pemerintah Indonesia di era Orde Baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang kurang tepat
pada sektor ekonomi sehingga menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.29 Pasar yang terdistorsi mengakibatkan harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaaan dan penawaran secara rill, dimana proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak oleh pengusaha atau produsen. Ini merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha tidak sehat. Adanya praktek bisnis tidak sehat (unfair business practices) mengakibatkan saat terjadinya krisis moneter, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya terhadap dollar Amerika menjadi terbuka dan membuka tabir ketidakberesan dunia usaha di Indonesia.30
Selama ini memang telah ada beberapa peraturan maupun regulasi pemerintah yang mencoba mengatur tentang perlindungan terhadap persaingan yang sehat tetapi hal ini tidak terkodifikasi dengan teratur. Peraturan ini tersebar pada berbagai undang-undang, misalnya dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang sempat diganti menjadi UU No. 17 Tahun 2012 (telah dibatalkan MK dengan Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013), UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang telah diganti dengan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terlebih melalui regulasi produk terbaru yaitu tentang Perlindungan Konsumen.31 Pengaturan mengenai persaingan usaha juga dijumpai pada berbagai perundangan lainnya walaupun sifatnya masih sporadis dan tidak terkodifikasi seperti misalnya:32
29 Ditha Wiradiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, (Modul untuk Retooling Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines Under TPSDP, 2006), hlm. 4.
30 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), hlm. 7.
31 Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 18.
32 Ibid., hlm. 19 - 20.
a. Pasal 382 bis KUHP :
Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp 13.500,- jika hal itu dan menimbulkan suatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain;
b. Pasal 1365 KUH Perdata : “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang menimbulkan kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”;
c. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, pada Pasal 7 :
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadapa industri untuk : (1) ... (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, (3) mencegah pemusatan atau pengusaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
d. Pasal 9 ayat (2) Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan:
Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau pengusaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
e. UU No. 1 Tahun 1995 khusus menyinggung dalam hal mengatur perusahaan yang melakukan merger, akuisisi, dan konsolidasi. Hal ini dinyatakan dalam Memori penjelasan UU No. 1 tahun 1995 bagian umum, yaitu:
Untuk mencegah persaingan yang tidak sehat akibat menumpuknya kekuatan ekonomi pada sekelompok kecil pelaku ekonomi serta sejauh mungkin mencegah monopoli dan monopsoni dalam segala bentuknya
yang merugikan masyarakat, maka dalam undang-undang ini diatur pula persyaratan dan tata cara untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan perseroan.
Seluruh peraturan yang di atas masih berlaku dan tidak dengan otomatis digantikan oleh UU No. 5 Tahun 1999 karena pada dasarnya UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang persaingan pasar dalam konteks yang lebih terperinci bahkan kompleks karena melibatkan teori ekonomi dan perhitungan yang rumit dan bukan hanya dibatasi pada persaingan curang saja. Tetapi bahkan sampai masuk dalam konteks pasar yang menjadi terdistorsi akibat tidak berjalannya suatu proses persaingan dengan baik.33
Munculnya Undang-Undang No 5 Tahun 1999 merupakan puncak dari berbagai upaya yang mengatur masalah persaingan antar pelaku usaha dan larangan melakukan praktek monopoli. Pada tahun 1998, karena desakan International Monetary Fund (IMF), pembicaraan untuk membentuk undang- undang yang mengatur masalah persaingan secara serius dilakukan.34
33 Ibid.,
34 Rachmadi Usman, Hukum Persainga Usaha di Indonesia (2013), Op. Cit., hlm. 1.
Agar Indonesia tidak terseret ke dalam arus krisis ekonomi berkepanjangan serta guna memulihkan roda pemerintahan yang stabil, maka International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 15 Januari 1998 telah melakukan penandatanganan
“Memorandum Kesepakatan” (Letter of Intent/LoI) dengan Pemerintahan Republik Indonesia, yang kemudian dipertegas lagi dan dituangkan dalam Memorandum Tambahan mengenai “Kebijakan Ekonomi dan Keuangan
Pemerintah” (Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies / MEFP of the Government of Indonesia) pada tanggal 10 April 1998.35
Untuk menindaklanjuti program IMF, akhirnya pemerintah mengeluarkan deregulasi terhadap berbagai peraturan di bidang ekonomi yang menginstruksikan penghentian tindakan yang mendistorsi pasar yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan beberapa kelompok pelaku usaha yang dekat dengan penguasa negara. Reformasi di bidang ekonomi di awali dengan keluarnya deregulasi terhadap beberapa peraturan dengan menghasilkan 7 Keppres, 3 Peraturan Pemerintah dan 6 Instruksi Presiden. Pemerintahan Republik Indonesia masa transisi berikutnya telah berhasil menerbitkan 69 (enam puluh sembilan) peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari komitmen pemerintah RI terhadap pinjaman IMF. Akhirnya keluar deregulasi lainnya yang harus diterbitkan oleh pemerintah di bidang perekonomian dan dunia usaha, yaitu tentang “antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat”. Pengaturan terhadap deregulasi tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang, yakni melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Lembaran Negara RI No. 3817. Selanjutnya disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang diundangkan pada 5 Maret 1999 dan undang-undang ini merupakan hasil hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.36
Dengan diundangkannya UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, ini merupakan langkah awal bagi
35 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. Cit., hlm. 99.
36 Ibid., hlm. 103.
Indonesia dalam rangka membawa bisnis dan perdangan ke arah yang lebih adil (fair) dan berlandaskan kepada prinsip-prinsip persaingan pasar secara sehat.
Pertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab ialah sampai sejauh mana UU No. 5 Tahun 1999 ini dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, konsumen, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan lahirnya undang-undang ini, maka perangkat hukum yang mengatur mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jauh lebih baik dari yang diatur peraturan perundang-undangan sebelumnya.37 Meskipun telah diundangkan pada tahun 1999, UU No. 5 Tahun 1999 ini baru berlaku efektif satu tahun kemudian atau pada tanggal 5 Maret 2000. Sejalan dengan reformasi politis dan ekonomi yang sedang berjalan, Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini diharapkan dapat membangkitkan kembali gairah dunia usaha di Indonesia untuk mulai menjalankan kembali sektor rill perekonomian Indonesia, yang sempat “mandeg”, kalau tidak dikatakan mundur.38
Sebagaimana stuktur undang-undang lainnya, UU No. 5 Tahun 1999 juga diawali dengan berbagai definisi umum yang dipergunakan dalam undang- undang. Struktur UU No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai Ketentuan Umum, Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan yang Dilarang, Posisi Dominan maupun mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Prosedur Penanganan B. Substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
37 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 15.
38 Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 1.
Perkara, Sanksi serta Pengecualian. Seperti dalam Bab I Ketentuan Umum, kita dapat menemukan berbagai ketentuan yang berlaku umum atau berbagai definisi dari istilah yang digunakan dan diatur dalam undang-undang ini.
1. Asas dan Tujuan
Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999, ditetapkan Asas Demokrasi Ekonomi sebagai dasar dari pembangunan bidang ekonomi. Artinya, pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Jadi, pasal ini mensyaratkan Asas Demokrasi Ekonomi yang juga menjadi dasar bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.39
Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.
Asas Demokrasi Ekonomi ini juga merupakan asas yang diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (4), yang berbunyi:
Ayat (4):
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
39 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (2013), Op. Cit., hlm. 89.
Selengkapnya pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 memiliki tujuan sebagai berikut:40
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan pula mengenai tujuan Pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, antara lain:
“Undang-Undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk: menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen: menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;
mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.”
Dengan menyimak secara seksama tujuan di atas kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang Anti Monopoli adalah untuk
40 Lihat Pasal 3, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap pelanggarnya.
Sejalan dengan yang dikemukakan Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, S.H., bahwa terdapat 2 (dua) efisiensi yang ingin dicapai oleh undang-undang antimonopoli, yaitu efisiensi bagi para produsen dan bagi masyarakat atau productive efficiency dan allocative efficiency.41
Jadi pada prinsipnya tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini ada dua, yaitu tujuan bidang ekonomi dan tujuan di luar ekonomi. Apabila tujuan ekonomi tercapai, yaitu meningkatnya ekonomi nasional, maka tujuan di luar ekonomi juga akan tercapai, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat.
Productive efficiency ialah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan jasa. Perusahaan dikatakan efisiensi apabila dalam menghasilkan barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin;
Allocative efficiency adalah efisiensi bagi masyarakat konsumen.
Dikatakan masyarakat konsumen efisiensi apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan.
42
Banyak argumentasi yang diajukan oleh berbagai pihak ketika mengamati berbagai tujuan yang hendak dicapai melalui UU No. 5 Tahun 1999. Multi tujuan yang terlihat tidak konsisten antara satu dengan lainnya sudah banyak diperdebatkan oleh berbagai ahli dalam Hukum Persaingan Usaha. Misalnya adalah pilihan antara efisiensi dan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha ataupun dengan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah.
41 Hermansyah, Op. Cit., hlm. 14.
42 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 2013, Op. Cit., hlm. 93.
Pilihan mana yang biasanya menjadi prioritas akan terlihat melalui argumentasi dalam putusan yang dijatuhkan oleh lembaga pengawas undang-undang Hukum Persaingan.43
Namun definisi perjanjian dalam UU ini tidak jelas, dan juga tidak dijelaskan dalam penjelasan sehingga tidak tegas cakupannya. Ketidakjelasan ini menyebabkan KPPU menerbitkan beberapa pedoman peraturan komisi agar tidak menimbulkan salah penafsiran dan untuk memperjelas apa yang dimaksud, sehingga dapat menjadi acuan baik bagi KPPU sendiri maupun pelaku usaha dan masyarakat luas.
2. Perjanjian yang Dilarang
Berdasarkan Pasal 1 butir 7, UU No. 5 Tahun 1999, perjanjian diartikan sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
44
Dengan mencermati pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah suatu bentuk perbuatan mengikatkan diri atau kolusi, baik formal (tertulis) maupun informal (tidak tertulis), diantara pelaku usaha yang seharusnya bersaing sehingga terbentuk semacam koordinasi yang mengatur harga, kuota, dan/atau alokasi pasar. Kolusi yang terbentuk ini dapat merugikan masyarakat, karena persaingan diantara pelaku usaha menjadi hilang atau melemah, sehingga dapat menyebabkan harga yang harus dibayar pelanggan
43 Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hlm. 88.
44 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 108.
menjadi tinggi.45
Posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitannya dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Terdapat berbagai jenis perjanjian yang dilarang dalam dunia persaingan usaha. Jenis-jenis perjanjian yang dilarang, tertera dalam Bab III tentang Perjanjian yang Dilarang yang diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999, terdiri dari oligopoli (Pasal 4), penetapan harga (Pasal 5 – Pasal 8), pembagian wilayah (Pasal 9), pemboikotan (Pasal 10), kartel (Pasal 11), trust (Pasal 12), oligopsoni (Pasal 13), integrasi vertikal (Pasal 14), perjanjian tertutup (Pasal 15), perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16).
3. Kegiatan yang Dilarang
UU No. 5 Tahun 199 melarang beberapa bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pengaturan tentang bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tertera dalam Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang, dimulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 24, yang terdiri dari monopoli (Pasal 17), monopsoni (Pasal 18), penguasaan pasar (Pasal 19, 20, dan Pasal 21), persekongkolan (Pasal 22, 23, dan Pasal 24).
4. Posisi Dominan
46
45 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. Cit., hlm. 116.
46 Lihat Pasal 1 Angka 4, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku
usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasar, kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.47
Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah menjadi salah satu tujuan usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha menjadi lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan. Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada pasar bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair. Konsep hukum persaingan usaha menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan (unggul) memalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.48
47 Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009), hlm. 166.
48 Ibid.,
Beberapa ketentuan posisi dominan pada UU No. 5 Tahun 1999, sebagai berikut:
a. penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 25);
b. larangan jabatan rangkap (Pasal 26);
c. bentuk larangan kepemilikan saham (Pasal 27);
d. merger, akuisisi, dan konsilidasi yang dilarang (Pasal 28 dan Pasal 29).
Kualifikasi pelaku usaha memiliki posisi dominan, apabila:49
a) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu;
b) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75%
(tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Mempunyai posisi dominan tidak dilarang apabila posisi dominan tersebut dicapai dengan cara yang tidak melanggar hukum. Namun demikian, setelah mempunyai posisi dominan, pelaku usaha dilarang menyalahgunakannya.
Penyalahgunaan posisi dominan bisa mencakup tindakan apa saja apabila dilakukan dengan tujuan memonopoli. Ukuran penyalahgunaan menurut Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 adalah “tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang” dan atau “menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.”50 Potensi penyalahgunaan posisi dominan dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang mengancam persaingan usaha, seperti contoh berikut51
1) Predatory Pricing atau tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya di bawah biaya produksi sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar, pelaku usaha
:
49 Lihat Pasal 25 Ayat (2), UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
50 M. Hawin, Penyalahgunaan Posisi Dominan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, (Karya Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Gadja Mada: Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya), hlm. 84.
51 Lihat Perkom No. 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999