• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERISTIWA MANGKOK MERAH : konflik dayak dengan etnis tionghoa di kalimantan barat pada tahun 1967.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERISTIWA MANGKOK MERAH : konflik dayak dengan etnis tionghoa di kalimantan barat pada tahun 1967."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PERISTIWA MANGKOK MERAH

(KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN 1967)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Departemen Pendidikan Sejarah

Oleh

Arief Sepya Maulana 1001279

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN 1967)

Oleh

ARIEF SEPYA MAULANA

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Departemen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Arief Sepya Maulana 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Oktober 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

Skripsi ini berjudul “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967)”. Masalah utama yang diangkat pada penulisan

skripsi ini yaitu “Mengapa Etnis Dayak terlibat konflik dengan Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada tahun 1967 terkait dengan situasi politik di Indonesia?”. Penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk menganalisis hubungan sosial masyarakat Dayak yang hidup berdampingan dengan orang-orang Tionghoa sejak lama, memahami latar belakang Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967, menjelaskan bagaimana terjadinya Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967, mengetahui cara penyelesaian konflik pasca Peristiwa Mangkok Merah dan stabilisasi hubungan Dayak-Tionghoa. Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa sudah sejak lama hidup berdampingan, selama itu pula terjadi pasang surut hubungan keduanya akibat pertentangan-pertentangan yang pernah terjadi. Perbedaan budaya yang mencolok, kesenjangan ekonomi, serta etnosentrisme telah menyulut pertentangan antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa. Peristiwa G30S/PKI yang kemudian menyudutkan kaum komunis sebagai musuh bersama, menjadi salah satu pemicu pecahnya konflik Dayak - Tionghoa. Keberadaan kelompok gerilyawan PGRS/PARAKU yang beranggotakan mayoritas Tionghoa pro-komunis awalnya menjadi sasaran serangan Dayak terkait isu politik, namun pada kenyataannya serangan Dayak lebih banyak mengarah pada pemukiman-pemukiman Tionghoa. Puncak konflik antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa terjadi pada tahun 1967. Ribuan orang Tionghoa harus mengungsi dari kampung-kampung mereka akibat pengusiran oleh Etnis Dayak. Ribuan Etnis Tionghoa lainnya terbunuh akibat kekerasan dalam konflik tersebut. Serangan Dayak yang mengarah pada pemukiman Tionghoa menunjukkan adanya motif lain terkait sentimen etnis dalam penyerangan tersebut, bukan semata menumpas unsur-unsur komunis yang ada di Kalimantan Barat.

(5)

This thesis titled “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967)”. The main issue raised in this thesis is "Why Dayak Ethnic conflict with ethnic Tionghoa in West Kalimantan in 1967 related to the political situation in Indonesia?". This research was conducted with the aim to analyze social relations Dayak people who live side by side with the Tionghoa people for a long time, to understand the background of events Bowl Red in West Kalimantan in 1967, to explain how the events Bowl Red in West Kalimantan in 1967, knowing the way of conflict resolution Red bowl and post-event stabilization Dayak-Tionghoa relations. Dayaks and ethnic Tionghoa have long coexisted, during the same tides occur due to the relationship between the two opposites that never happened. Striking cultural differences, economic disparities, and ethnocentrism has fueled conflict between ethnic Dayak and Tionghoa people. G30S/PKI were then cornered the communists as a common enemy, one of the triggers the outbreak of conflict Dayak - Tionghoa. The existence of militant groups PGRS/PARAKU made up the majority of the pro-communist Tionghoa originally targeted by Dayak related to political issues, but in reality more Dayak attack leads to the settlements of Tionghoa. Height of the conflict between ethnic Dayak and Tionghoa Ethnicity occurred in 1967. Thousands of Tionghoa people were displaced from their villages due to the expulsion of the ethnic Dayak. Thousands of other Tionghoa people were killed in violence in the conflict. Dayak attacks that lead to the settlement of Tionghoa shows another motive related to ethnic sentiments in the attack, not simply crush the communist elements in West Kalimantan.

(6)

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR PETA ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN……….. ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Metode Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Struktur Organisasi Skripsi ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

2.1 Upacara Mangkok Merah ... 15

2.2 Etnisitas... 16

2.3 Konflik Sosial ... 20

2.4 Toleransi ... 22

2.5 Teori Konflik Lewis A. Coser ... 23

2.6 Penelitian Terdahulu ... 26

2.6.1 Penelitian Dalam Bentuk Skripsi ... 26

2.6.2 Penelitian Dalam Bentuk Buku ... 28

2.6.3 Penelitian Dalam Bentuk Jurnal ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Persiapan Penelitian ... 41

3.1.1 Penentuan Dan Pengajuan Tema Penelitian ... 41

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 43

(7)

3.2.2 Kritik Sumber ... 48

3.2.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi) ... 50

3.2.4 Historiografi ... 51

3.3 Laporan Hasil Penelitian ... 53

BAB IV KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA PADA PERISTIWA MANGKOK MERAH DI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1967 ... 57

4.1 Hubungan Dayak Dan Etnis Tionghoa Sebelum Konflik ... 57

4.1.1 Kondisi Umum Kalimantan Dan Kedatangan Orang Tionghoa ... 57

4.1.2 Hubungan Dayak – Tionghoa Pasca Kemerdekaan Indonesia ... 62

4.1.3 Pandangan Masyarakat Dayak Terhadap Masyarakat Tionghoa ... 67

4.2 Latar Belakang Peristiwa Mangkok Merah ... 71

4.2.1 Lemahnya Toleransi Berbudaya Masyarakat Dayak Dan Tionghoa .. 71

4.2.2 Kesenjangan Ekonomi Masyarakat Dayak Dan Tionghoa ... 76

4.2.3 Perubahan Arah Politik Indonesia Terhadap Federasi Malaysia ... 83

4.3 Peristiwa Mangkok Merah Sebagai Demonstrasi Dayak ... 90

4.3.1 Pecahnya Konflik Dayak – Tionghoa Di Kalimantan Barat ... 90

4.3.2 Pengungsian Tionghoa Keluar Wilayah Konflik ... 97

4.3.3 Terputusnya Jaringan Ekonomi Akibat Konflik ... 103

4.4 Penyelesaian Konflik Dayak Dan Tionghoa ... 105

4.4.1 Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa ... 105

4.4.2 Upaya Rekonsiliasi Hubungan Dayak Dengan Tionghoa ... 109

4.4.3 Kembalinya Jaringan Ekonomi Pasca Konflik ... 113

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 117

5.1 Simpulan ... 117

5.2 Saran ... 121

DAFTAR RUJUKAN ATAU REFERENSI ... 123

(8)
(9)
(10)

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Soekarno tampil dihadapan peserta sidang dengan pidato pentingnya mengenai gagasan falsafah dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Pada hari ke empat sidang BPUPKI tersebut Soekarno menyampaikan lima pokok dari Pancasila yang salah satunya adalah sila ke-lima mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang dimaksud adalah mengenai persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari terkait segala macam aspek kehidupan. Dari pokok pemikiran sila ke-lima dalam Pancasila tersebut nampak dengan jelas bahwa persamaan hak tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, agama, ras maupun golongan. Keanekaragaman budaya yang ada di wilayah Indonesia membuat para pemimpin seperti Soekarno sangat bercita-cita mewujudkan persatuan bangsa.

(11)

Salah satu kesulitan dalam mewujudkan persatuan bangsa yang benar-benar utuh, adalah pasang surutnya hubungan etnis-etnis yang ada di Indonesia. Seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat, Etnis Dayak sebagai pribumi memiliki hubungan yang pasang surut dengan Etnis Tionghoa sebagai etnis non pribumi. Pasang surut hubungan yang terjadi terkait dengan sistem sosial kehidupan mereka di masa lalu yang diwariskan oleh pemerintah Kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Keharmonisan antar etnis di Kalimantan Barat memang sering kali terusik akibat beberapa konflik antar etnis yang pernah terjadi. Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa pernah terlibat dalam konflik berkepanjangan di masa Kesultanan Sambas, dimana Etnis Tionghoa mengadakan pemberontakan yang membuat mereka dibenci oleh rakyat pribumi di Kalimantan Barat. Perasaan tidak senang tersebut terus dipelihara hingga bertahun-tahun setelahnya sehingga membuat hubungan Dayak – Tionghoa mengalami pasang surut, terlihat baik-baik saja namun sebenarnya menyimpan potensi konflik.

Kondisi hubungan Dayak – Tionghoa yang baik dapat terjalin di masa-masa pasca kemerdekaan, terutama terkait dengan gagasan para pemimpin Indonesia mengenai persatuan bangsa. Pada masa-masa ini gejolak konflik dapat diredam dengan semangat dan kegembiraan dari negara yang baru merdeka. Kondisi seperti ini tidak hanya terjalin di wilayah Kalimantan Barat, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya hubungan diantara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa, tetapi juga hubungan diantara etnis-etnis lain ikut menggelorakan semangat persatuan bangsa. Kondisi integrasi semacam ini juga diperkuat oleh beberapa peristiwa yang terjadi tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia. Diantara beberapa peristiwa tersebut misalnya Agresi Militer Belanda yang memaksa rakyat Indonesia bersatu dan berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih.

(12)

memandang bahwa rencana Malaysia ini hanya demi kepentingan Inggris di Asia, sehingga dengan tegas Soekarno menyatakan menentang keras rencana tersebut dan akan menggagalkannya. Semboyan “Ganyang Malaysia” banyak diserukan di beberapa wilayah Indonesia, kondisi ini juga dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melancarkan kampanye dan menyebarluaskan paham komunis di seluruh Indonesia. Dampak gerakan Dwikora yang didukung penuh oleh PKI sangat terasa di wilayah Kalimantan karena berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Oleh karena itu muncul pemberontakan atas Malaysia yang berbasis di Kalimantan Utara. Gerakan ini dikenal dengan nama Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU).

Keberadaan PGRS/PARAKU di Kalimantan, menyebabkan garis konflik antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa kembali muncul dan semakin jelas terlihat. Pada masa awal gerakan ini, pandangan rakyat di Kalimantan terbagi dua antara pro PGRS/PARAKU dan bersikap netral. Selama kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemberontak di pedalaman Kalimantan untuk melawan militer Malaysia yang didukung Inggris, banyak orang-orang keturunan Tionghoa yang pro bergabung dalam gerakan ini karena juga terdapat unsur komunis didalamnya. Selain itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendukung para gerilyawan, ditambah dukungan dari relawan-relawan buruh tani. Kondisi ini membuat kekuatan gerilyawan semakin kuat dan mampu mempertahankan diri dengan baik dari desakkan militer Malaysia dan Inggris di perbatasan Malaysia-Kalimantan.

(13)

perhatian, mereka dianggap berpaham komunis dan kemudian dijuluki Gerombolan Tjina Komunis (GTK).

Kekacauan politik di Jakarta mengarah pada pergantian presiden, dari sinilah titik balik perubahan arah politik yang dilakukan Indonesia menyikapi permasalahan Malaysia. Menurut pandangan Hendropriyono (2013, hlm. 61) Perubahan arah politik yang secara tiba-tiba ini merubah juga stigma politik Indonesia terhadap permasalahan Malaysia. Indonesia dengan Malaysia memperbaiki hubungan baik mereka dibawah kepemimpinan presiden Soeharto pasca menggantikan presiden Soekarno. TNI yang semula mendukung perjuangan para gerilyawan, akhirnya mendesak mereka untuk meletakkan senjata dan mengakhiri gerakan tersebut. Hal ini membuat posisi PGRS/PARAKU menjadi sulit, antara melanjutkan perjuangan tanpa dukungan Indonesia atau menyerah dan mengakhiri perjuangan mereka. Walaupun pada akhirnya, PGRS/PARAKU memilih melanjutkan perjuangannya menentang Negara Federasi Malaysia.

Dalam situasi kekacauan politik di Kalimantan, pecahlah sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai “Demonstrasi Masyarakat Dayak” atau kemudian orang -orang menyebutnya “Peristiwa Mangkok Merah”. Disebut Mangkok Merah karena memang gerakan ini menggunakan cara tradisi adat, dimana kepala adat menyebarkan mangkok yang diisi darah hewan atau cairan tumbuhan jaranang, kemudian disebar di pintu-pintu rumah orang Dayak sebagai seruan untuk berperang. Peristiwa ini melibatkan mobilisasi massa Dayak yang bergerak ke kampung-kampung Tionghoa untuk mengusir mereka dari tanah Kalimantan. Pengusiran ini terkait dengan keberadaan orang-orang Tionghoa yang disebut GTK dan munculnya isu pembunuhan diantara orang-orang Dayak. Banyak pihak yang mengatakan, pembunuhan terhadap beberapa orang Dayak dilakukan oleh orang Tionghoa sehingga terjadilah konflik kekerasan Dayak-Tionghoa yang memakan ribuan korban jiwa.

(14)

terjadi, Kalimantan Barat menjadi ajang kerusuhan massal dan kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa di kalangan orang-orang Dayak maupun Tionghoa. Dari fakta tersebut, timbul sebuah pertanyaan besar tentang alasan dibalik pertikaian Dayak-Tionghoa yang memakan banyak korban jiwa. Penulis meyakini, peristiwa ini bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Artinya, tidak mungkin orang-orang Dayak secara tiba-tiba dengan mudah membunuh orang-orang Tionghoa yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan baik, hanya karena isu yang belum jelas kebenarannya. Apalagi jika dikatakan peristiwa ini karena terkait tindakan spontan Dayak untuk memberantas komunis, mengingat kesadaran politik masyarakat adat Dayak yang hidup di pedalaman tidak terlalu mementingkan masalah-masalah politik. Konflik antara masyarakat Dayak dan Tionghoa adalah konflik berskala besar, mengingat jumlah korban jiwa mencapai ribuan orang, ditambah lagi dengan jumlah pengungsi Tionghoa yang juga mencapai ribuan jiwa. Melihat banyaknya jumlah korban pada peristiwa ini, tentunya juga berkaitan dengan masalah-masalah yang lebih sensitif dan berlangsung sejak lama. Kemarahan orang-orang Dayak tidak hanya didasari oleh kondisi politik Indonesia, namun juga melibatkan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Pemberitaan media mengenai peristiwa ini dapat dikatakan tidak banyak, dikarenakan situasi pada saat kejadian yang berlangsung secara cepat, menyebar di berbagai kampung-kampung, dan akses transportasi yang sulit untuk menjangkau wilayah konflik. Kalimantan Barat pada tahun 1967 masih dikategorikan sebagai pedalaman yang minim fasilitas sarana dan prasarana, akan tetapi orang-orang Dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan sangat menguasai medan-medan hutan di pedalaman Kalimantan Barat.

(15)

Tionghoa di Indonesia yang sudah berbaur sejak lama dan berhubungan dengan baik. Namun salah satu masa-masa penting yang membedakan golongan kelas masyarakat pribumi Indonesia dengan Etnis Tionghoa terjadi ketika masa pemerintahan Kolonial Belanda.

Tidak hanya itu, penulis ingin mengkaji lebih jauh lagi tentang bagaimana proses Peristiwa Mangkok Merah ini terjadi di Kalimantan Barat, serta penyebab dan dampaknya secara khusus bagi Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa serta bagi Indonesia secara umum. Dalam kajian peristiwa yang melibatkan Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa ini, tentu saja penulis memerlukan kajian secara historis maupun sosiologis untuk memahami akar permasalahan konflik yang terjadi di Kalimantan Barat ini. Selain itu, untuk lebih memahami faktor keterlibatan pihak lain diluar Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa yang terlibat, penulis perlu analisis yang lebih mendalam sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat Peristiwa Mangkok Merah ini ke dalam bentuk karya tulis ilmiah.

Hal yang paling menarik bagi penulis, selain pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana Peristiwa Mangkok Merah ini bisa terjadi, penulis mendapatkan temuan di lapangan bahwa belum banyak literatur yang secara khusus mengungkap Peristiwa Mangkok Merah ini ke dalam bentuk tulisan atau buku. Fakta ini yang semakin mendorong keinginan penulis untuk mengangkat Peristiwa Mangkok Merah ke dalam bentuk penelitian. Penulis memandang penting penulisan Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967 ini, untuk dapat menjelaskan kepada pembaca umumnya tentang keterkaitan antara sikap etnosentrisme yang menyulut konflik antar etnis, juga analisis terhadap dugaan isu politik di balik Peristiwa Mangkok Merah tersebut.

(16)

mungkin agar hal-hal tersebut tidak terjadi, kekhawatiran ini menjadi tantangan sendiri bagi penulis serta motivasi untuk menciptakan sebuah penulisan penelitian yang objektif dan layak untuk dipelajari. Untuk mencapai hal itu, penulis berusaha mengolah fakta-fakta yang didapatkan dari sumber-sumber literatur dengan baik. Tanpa bermaksud untuk mengatasnamakan pihak manapun, skripsi ini bertujuan untuk mengkaji masalah-masalah etnisitas yang sering terjadi di Indonesia, terutama antara Dayak – Tionghoa.

Berkaitan dengan keresahan penulis dan keingintahuan lebih jauh mengenai Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967, penulis mengharapkan penulisan penelitian ini menjadi salah satu sumber bacaan bagi pembaca untuk lebih memahami situasi, kondisi serta akar penyebab permasalahan Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa. Mengapa mereka yang sejak lama hidup berdampingan dengan baik sehingga bisa terlibat konflik yang memakan korban jiwa? Untuk itu, penulis memfokuskan kajian ini kepada Peristiwa Mangkok Merah sebagai upaya pembersihan Etnis Tionghoa yang dilakukan oleh Etnis Dayak di Kalimantan Barat tahun 1967 dengan menganalisis hubungan sosial antara orang-orang Dayak dengan Tionghoa, latar belakang peristiwa, proses peristiwa konflik itu erjadi, serta upaya penyelesaian dari konflik tersebut. Kajian-kajian dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai Peristiwa Mangkok Merah.

(17)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pokok-pokok pikiran yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, muncul suatu permasalahan utama yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Permasalahan utama yang diangkat dalam kajian ini adalah “Mengapa Dayak terlibat konflik dengan Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada tahun 1967 terkait dengan situasi politik di Indonesia?” Agar fokus

kajian yang penulis angkat ini tidak melebar, maka penulis perlu membatasi pertanyaan penelitian dengan merumuskannya sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah hubungan antara Dayak dengan Etnis Tionghoa sebelum terjadinya Peristiwa Mangkok Merah?

2. Bagaimana latar belakang Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat?

3. Bagaimana proses terjadinya Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat pada Oktober – November tahun 1967?

4. Bagaimana upaya penyelesaian konflik Dayak dengan Etnis Tionghoa pasca Peristiwa Mangkok Merah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan “Seperti apa konflik Dayak dengan Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada tahun 1967 terkait keberadaan PGRS/PARAKU dan situasi

politik Indonesia.” Selain itu penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis hubungan sosial masyarakat Dayak yang hidup berdampingan dengan orang-orang Tionghoa sejak lama.

2. Memahami latar belakang Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967.

3. Menjelaskan bagaimana proses terjadinya Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan barat tahun 1967.

(18)

1.4. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian yaitu metode historis. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 17-19) “metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau.” Metode historis merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini karena data-data yang dibutuhkan menyangkut dengan masa lampau. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis menyusun langkah-langkah yang akan di lakukan dalam penyusunan skripsi ini sebagai berikut:

1. Heuristik adalah tahap pengumpulan sumber. Pada tahap ini penulis mulai menentukan dan mencari sumber baik tertulis maupun lisan untuk fokus kajian penelitiannya. Dalam metode heuristik ini penulis memerlukan banyak waktu, tenaga maupun biaya dalam rangka mencari sumber-sumber yang diperlukan. Sebelum melakukan tahap heuristik, sebaiknya penulis telah menentukan tema dari penelitian yang akan dikaji sehingga dapat mempermudah proses heuristik ini atau dengan kata lain dapat meminimalisir kebuntuan jika mendapati kesulitan dalam mendapatkan sumber yang tepat.

2. Kritik sumber terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal, yaitu proses menganalisis keotentikan sumber yang digunakan atau memvalidasi sumber yang akan digunakan karena tidak semua sumber dapat kita gunakan jika tidak relevan dan lemah dalam hal fakta. Kritik eksternal ini lebih melihat sumber dari segi luar buku, misalkan dalam hal ejaan bahasa, penulis dan waktu penulisan. Sedangkan kitik internal menganalisis isi dari bacaan isi dalam buku yang akan dijadikan sumber penelitian. Pada tahap ini penulis menentukan sumber-sumber mana yang akan dipakai sebagai sumber dan menentukan sumber mana yang akan dijadikan sebagai pembanding.

(19)

sumber-sumber dan data yang telah didapat dengan pemikiran sendiri. Penulis memilah keterangan yang dianggap subjektif kemudian mengolahnya untuk berusaha seobjektif mungkin. Dalam interpretasi juga penulis mengedepankan pemikirannya dalam menganalisis hasil bacaan dan kajian terhadap sumber yang dipakainya.

4. Historiografi dalam penelitian sejarah adalah penulisan sejarah. Penulisan sejarah ini merupakan proses akhir dari suatu metode penelitian sejarah dimana penulis mengungkapkan hasil penelitiannya ke dalam bentuk tulisan sebelum akhirnya dikaji oleh pembaca. Pada penulisan ini juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada penulisan sebuah penelitian, untuk itu penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia sebagai panduan penulis menyelesaikan penelitian penulis ke dalam bentuk tulisan agar dapat menghasilkan sebuah penelitian yang berlandaskan akademis dan dapat dipertanggung jawabkan baik isinya maupun pemanfaatannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis membagi tahap-tahap dalam metode penelitian ini, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan laporan penyusunan proposal. Teknik penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan memakai studi kepustakaan. Studi kepustakaan yaitu mempelajari data–data atau catatan– catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan mempelajari buku– buku atau litelatur untuk memperoleh informasi teoritis yang berkenaan dengan masalah penelitian. Dengan teknik ini diharapkan dapat membantu dan mendapatkan sumber yang relevan.

1.5. Manfaat Penelitian

(20)

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam penulisan penelitian serta menambah keterampilan dalam hal penelitian dan kajian historis yang akan berguna pada masa-masa mendatang baik dalam menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dalam pekerjaan pada kehidupan sehari-hari.

2. Bagi pembaca, dapat dijadikan bacaan yang bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai konflik yang terjadi di Kalimantan Barat serta dapat dijadikan sumber referensi untuk penulisan penelitian dengan tema yang sama.

3. Bagi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) khususnya bagi Departemen Pendidikan Sejarah, dapat memperkaya literatur penelitian sejarah lokal yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa nasional, tragedi mangkok merah di Kalimantan Barat yang dapat menambah perbendaharaan sumber-sumber penelitian bagi mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah yang akan mengangkat tema yang sama.

4. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah pada kajian masa Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru di Indonesia. Kajian ini juga dapat dikembangkan sebagai dampak luas Peristiwa G30S/PKI pada materi mengenai pemberontakan G30S/PKI.

1.6. Struktur Organisasi Skripsi

(21)

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2014 sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I berisi latar belakang masalah, mengapa penulis memilih tema ini. Selain itu, bab ini juga memuat rumusan masalah yang bertujuan agar pembahasan dalam penulisan penelitian ini terfokus terhadap suatu masalah. Bab ini juga memuat tujuan penulisan yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Bagian selanjutnya adalah sistematika penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Bab II menjelaskan tentang literatur yang digunakan oleh penulis, tinjauan pustaka berisi teori yang disesuaikan dengan variable penelitian, selanjutnya dibuat kerangka teori dan kerangka konsep agar penulisan lebih terarah. Pada bab ini juga dijelaskan kajian penulis mengenai sumber-sumber yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab III berisi mengenai penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis, yaitu metode historis dengan cara studi literatur. Pada bab ini penulis memaparkan seluruh tahapan kegiatan yang dilakukan untuk menyelesaikan penelitian ini. Tahapan kegiatan yang dimaksud, terkait dengan metode penelitian secara historis yaitu tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. BAB IV : PEMBAHASAN

(22)

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

(23)

Pada bab III ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian serta langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis untuk menyelesaikan penelitian dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967)”. Metode yang digunakan oleh penulis yaitu metode historis, menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 17-19) “metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau”. Hal ini sama seperti yang dikemukakan Gottschalk (2006, hlm. 39) metode historis merupakan proses pengujian dan analisis terhadap rekaman peristiwa serta peninggalan-peninggalan masa lampau. Dalam menempuh metode ini, penulis perlu menggali sumber, mengartikan, menafsirkan fakta-fakta dari masa lampau kemudian menganalisisnya serta menarik sebuah kesimpulan dari hasil penelitian.

Hasil yang diharapkan oleh penulis dari penelitian ini tentunya hasil yang objektif untuk memberikan pemahaman yang utuh berdasarkan pemikiran penulis. Untuk mencapai tahap itu, penulis perlu memperhatikan setiap langkah penelitian agar sesuai dengan kaidah keilmuan serta menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan isinya. Metode historis merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini karena data-data yang digunakan menyangkut dengan peristiwa masa lampau. Penulis berusaha melaksanakan setiap langkah penelitian dengan baik demi memenuhi kriteria karya tulis ilmiah yang baik dan benar.

Adapun menurut Ismaun (2005, hlm. 34), metode historis terdiri atas empat langkah penting yaitu sebagai berikut:

(24)

itu dapat berupa benda, tulisan maupun lisan. Sumber juga dapat dibedakan menjadi sumber formal (resmi) dan nonformal, dan dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer dan sekunder. Dalam metode heuristik ini penulis memerlukan banyak waktu, tenaga maupun biaya dalam rangka mencari sumber-sumber yang diperlukan. Sebelum melakukan tahap heuristik, sebaiknya penulis telah menentukan tema dari penelitian yang akan dikaji sehingga dapat mempermudah proses heuristik ini atau dengan kata lain dapat meminimalisir kebuntuan jika mendapati kesulitan dalam mendapatkan sumber yang tepat. 2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50).

Kritik sumber terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal, yaitu proses menganalisis keotentikan sumber yang digunakan atau memvalidasi sumber yang akan digunakan karena tidak semua sumber dapat kita gunakan jika tidak relevan dan lemah dalam hal fakta. Kritik eksternal ini lebih melihat sumber dari segi luar buku, misalkan dalam hal ejaan bahasa, penulis dan waktu penulisan. Sedangkan kitik internal menganalisis isi dari bacaan isi dalam buku yang akan dijadikan sumber penelitian. Pada tahap ini penulis menentukan sumber-sumber mana yang akan dipakai sebagai sumber dan menentukan sumber mana yang akan dijadikan sebagai pembanding.

3. Interpretasi, yaitu proses penafsiran terhadap kajian sejarah yang sedang diteliti dari sumber-sumber dan data yang telah kita dapatkan pada tahap heuristik dan telah dinyatakan otentik setelah melalui tahap kritik sumber baik eksternal maupun internal. Pada tahap interpretasi penulis harus menafsirkan isi pokok dari sumber-sumber dan data yang telah didapat dengan pemikiran sendiri. Penulis memilah keterangan yang dianggap subjektif kemudian mengolahnya untuk berusaha seobjektif mungkin. Dalam interpretasi juga penulis mengedepankan pemikirannya dalam menganalisis hasil bacaan dan kajian terhadap sumber yang dipakainya.

(25)

hasil penelitiannya ke dalam bentuk tulisan sebelum akhirnya dikaji oleh pembaca. Pada penulisan ini juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada penulisan sebuah karya ilmiah, untuk itu penulis menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia sebagai panduan penulis menyelesaikan penelitian penulis ke dalam bentuk tulisan agar dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang berlandaskan akademis dan dapat dipertanggung jawabkan baik isinya maupun pemanfaatannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis membagi tahap-tahap dalam metode penelitian ini kedalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan hasil penelitian. Ketiga tahapan tersebut harus dilaksanakan untuk menyelesaikan penelitian ini. Adapun ketiga tahap penelitian tersebut akan dipaparkan secara khusus dalam pembahasan pada bagian selanjutnya. 3.1. Persiapan Penelitian

3.1.1. Penentuan Dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap penentuan tema dan pengajuan tema penelitian kepada TPPS (Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi) Departemen Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) merupakan tahap paling awal dalam melaksanakan penelitian ini. Pada tahap ini, penulis menentukan sendiri tema penelitian yang akan dikaji kemudian mendaftarkan tema penelitian kepada TPPS Departemen Pendidikan Sejarah UPI dalam bentuk proposal penelitian untuk mendapatkan verifikasi dan izin melaksanakan penelitian yang diajukan penulis sesuai dengan tema yang diajukan. Proses verifikasi ini ditempuh untuk menghasilkan penelitian baru demi memberikan tambahan referensi mengenai peristiwa sejarah yang belum pernah diteliti atau merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu yang sudah ditulis oleh penulis lain di lingkungan Departemen Pendidikan Sejarah UPI.

Ketertarikan penulis terhadap tema yang diajukan mengenai “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada

(26)

pada tanggal 18 September 2014 pada pukul 20.00 WIB. Program televisi “Jalan Pedang“ yang membahas khusus tema drama penumpasan PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat tersebut tayang 2 kali dengan bagian-bagian yang berbeda. Berawal dari tayangan dokumenter tersebut penulis merasa tertarik karena sebelumnya tidak banyak mengetahui mengenai peristiwa kerusuhan yang terjadi di Kalimantan Barat antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa pada tahun 1967 sehingga membuat penulis tertarik untuk menjadikannya sebagai tema penelitian dalam penulisan skripsi penulis.

Pada tayangan episode pertama program “Jalan Pedang“ Kompas TV mengenai PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat, dibahas mengenai latar belakang munculnya pemberontakan PGRS/PARAKU di Kalimantan Utara terhadap pembentukan negara federasi Malaysia. Gerakan pemberontakan menentang pembentukan negara federasi Malaysia ini didukung oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan TNI karena dianggap sebagai neo-kolonialisme yang diciptakan Inggris dan hanya akan menguntungkan politik luar negeri Inggris di Asia Tenggara. Pada episode kedua, program dokumenter ini membahas mengenai perubahan dukungan Indonesia terhadap PGRS/PARAKU yang balik menentang gerakan mereka, hal ini akibat pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang memiliki pandangan politik yang sangat berbeda. Indonesia dengan TNI pada akhirnya balik memusuhi PGRS/PARAKU karena dianggap telah disusupi paham komunisme terutama dari Cina. Pada bagian inilah penulis menemukan keterlibatan orang-orang Dayak dalam membersihkan Kalimantan Barat dari orang-orang Tionghoa yang dianggap pendukung paham komunis.

(27)

Pendidikan Sejarah UPI untuk ditindaklanjuti dan diverifikasi agar penulis dapat melaksanakan Seminar Proposal Rancangan Pra-penelitian di Departemen Pendidikan Sejarah UPI pada bulan Februari 2015.

3.1.2. Penyusunan Rancangan Penelitian

Setelah mendapat persetujuan dari TPPS yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si mengenai tema penelitian yang akan diangkat, penulis kemudian menindaklanjuti hal ini dengan membuat proposal rancangan pra-penelitian yang terdiri dari:

1. Judul

2. Latar Belakang Penelitian 3. Rumusan Masalah

4. Tujuan Penelitian 5. Manfaat Penelitian 6. Metode Penelitian 7. Kajian Pustaka

8. Struktur Organisasi Skripsi 9. Daftar Rujukan Atau Referensi

Setelah proposal rancangan pra-penelitian yang diajukan penulis diverifikasi TPPS Departemen Pendidikan Sejarah, penulis kemudian mendapatkan undangan resmi untuk mengikuti Seminar Proposal Rancangan Pra-penelitian yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 11 Februari 2015 pukul 07.00 WIB. Pelaksanaan seminar ini bertempat di Laboratorium Departemen Pendidikan Sejarah, lantai 4 Gedung FPIPS (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial) Universitas Pendidikan Indonesia.

Hasil dari seminar proposal rancangan pra-penelitian tersebut diantaranya adalah perubahan judul penelitian yang semula “Peristiwa Mangkok Merah (Keterlibatan Etnis Dayak Dalam Operasi Teritorial Di Kalimantan Barat Pada

Tahun 1967)” menjadi “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis

(28)

semata-mata demi lebih memfokuskan kajian terhadap peristiwa yang dimaksud agar tidak melebar dalam pembahasannya dan lebih spesifik, perubahan ini atas saran dari pembimbing dan pertimbangan dari penulis sendiri.

Perubahan judul penelitian yang dilakukan, secara otomatis merubah juga latar belakang penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian demi menyesuaikan dengan perubahan judul yang spesifik. Perubahan ini semata demi menghasilkan penelitian yang baik dan benar menyesuaikan dengan perubahan judul yang diangkat oleh penulis. Setelah penulis melakukan revisi sesuai arah dosen pembimbing, penulis kemudian mendapatkan SK (Surat Keputusan) Penunjukan Dosen Pembimbing Skripsi sebagai dokumen legalitas penelitian skripsi yang dilakukan oleh penulis.

3.1.3. Proses Bimbingan

Proses bimbingan dalam penulisan skripsi merupakan kegiatan konsultasi yang dilaksanakan bersama dua orang dosen pembimbing skripsi berdasarkan surat keputusan penunjukan dosen pembimbing yang memiliki kompetensi dalam kajian bidang kesejarahan sesuai dengan tema yang di angkat penulis, dalam hal ini kajian mengenai sejarah nasional. Berdasarkan surat keputusan penunjukan dosen pembimbing yang dikeluarkan oleh TPPS Departemen Pendidikan Sejarah, dalam penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum bertindak sebagai dosen pembimbing I dan Moch. Eryk Kamsori bertindak sebagai dosen pembimbing II.

(29)

bimbingan untuk mencatat waktu dan hasil bimbingan yang akan dilampirkan pada bagian skripsi sebagai bukti telah melaksanakan bimbingan dengan dosen pembimbing I dan II.

3.2. Pelaksanaan Penelitian

3.2.1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Tahapan atau proses heuristik ini bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan penulis dalam penelitiannya baik berupa sumber-sumber benda, sumber tertulis (literatur) maupun sumber lisan. Dalam upaya mendapatkan sumber-sumber awal, guna mendapatkan data-data serta fakta yang dibutuhkan oleh penulis perlu kecermatan dan efisiensi dari segi waktu, biaya maupun tenaga. Dalam proses heuristik ini dibutuhkan waktu, biaya serta tenaga yang cukup besar demi mendapatkan sumber yang dibutuhkan karena keberadaan sumber-sumber ini tidak berada pada tempat dan waktu yang sama. Kebanyakan penulis, sebelum mencari sumber-sumber yang dibutuhkan biasanya terlebih dahulu melakukan observasi pencarian sumber yang dibutuhkan berada dimana, baik menggunakan media internet maupun bertanya kepada orang lain.

Dalam kegiatan heuristik atau pencarian sumber-sumber yang berkaitan dengan peristiwa kerusuhan di Kalimantan Barat yang melibatkan orang-orang Dayak dan Tionghoa, penulis mengumpulkan sumber-sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis yang didapatkan kebanyakan berupa buku dan sebagian berupa jurnal online. Sumber-sumber berupa buku penulis dapatkan dari beberapa tempat seperti mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Kota Bandung serta beberapa toko buku di Kota Bandung. Penulis sempat kesulitan mendapatkan sumber-sumber buku yang dibutuhkan karena memang masih jarang buku yang berkaitan dengan tema penelitian penulis, namun kesulitan tersebut dapat terbantu dengan media internet dan bantuan dari salah seorang penjual buku di pasar Palasari Kota Bandung yang bersedia mencarikan buku yang penulis butuhkan.

(30)

dapat menemukan buku yang dicari. Adapun beberapa tempat-tempat yang sempat penulis kunjungi adalah:

1. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, berada di Jalan Dr. Setiabudhi Bandung, terletak di dalam Kampus Universitas Pendidikan Indonesia. Di tempat ini penulis menemukan beberapa buku yang memiliki kaitan dengan tema yang dikaji oleh penulis mengenai konflik di Kalimantan Barat terutama berkenaan dengan latar belakang masalahnya. Penulis diantaranya menemukan buku karya Mayor Jenderal, Drs. Soemadi salah satu mantan Gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam XII/Tanjungpura, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara” terbitan

Yayasan Tanjungpura tahun 1974, merupakan salah satu sumber primer karena ditulis langsung oleh saksi dan pelaku sejarah peristiwa tersebut. Kemudian buku karya Kusumah Hadiningrat terbitan Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sejarah ABRI tahun 1971 yang berjudul “Sejarah Operasi-operasi Gabungan Dalam Rangka Dwikora”. Pada buku resmi sejarah ABRI ini dibahas secara luas

dan mendalam mengenai operasi-operasi terkait dengan Dwikora yang dikomando oleh presiden Soekarno baik yang dilakukan oleh TNI sendiri maupun operasi-operasi gabungan yang melibatkan banyak pihak seperti pejabat pemerintah, perangkat desa, maupun masyarakat setempat dalam upaya mengemban tugas negara bersama Tentara Nasional Indonesia. Buku-buku tersebut penulis dapatkan dengan cara meminjam susuai prosedur Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia dan digunakan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Toko Buku Gramedia, terletak di Jalan Merdeka Bandung. Di tempat ini penulis

(31)

pahlawan Etnis Tionghoa di Indonesia sampai menyangkut peristiwa-peristiwa nasional yang berkaitan dengan Etnis Tionghoa sebagai korban sebuah konflik. Kemudian buku karya A.M. Hendropriyono yang berjudul “Operasi Sandi Yudha Menumpas Gerakan Klandestin“ juga merupakan sumber primer karena A.M. Hendropriyono bertugas sebagai perwira muda pada saat operasi penumpasan PGRS/PARAKU. Lebih tepatnya, A.M. Hendropriyono bertugas pasca Peristiwa Mangkok Merah terjadi, dalam bukunya beliau memaparkan jalannya operasi Sandi Yudha yang dilaksanakan oleh TNI, kondisi di Kalimantan Barat serta keadaan dan situasi pasca kerusuhan dan pasca operasi dihentikan.

3. Pasar Buku Palasari, terletak di Jalan Palasari. Di tempat ini akan banyak dijumpai toko-toko buku yang menjual berbagai macam jenis buku baik buku bekas maupun buku baru, selain itu kita juga bisa memesan buku-buku yang kita cari apabila tidak tersedia di toko. Di Pasar Buku Palasari penulis memperoleh buku yang berjudul “Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat” karya Mary Somers Heidhues.Buku ini sudah

diterjemahkan oleh Asep Salmin, Suma Mihardja dkk. Dalam buku setebal 361 halaman ini dijelaskan secara rinci mengenai kehidupan orang-orang Tionghoa sejak mendiami pulau Borneo hingga sekarang, juga dibahas alur kehidupan orang-orang Tionghoa terkait ekonomi, politik, kebudayaan serta konflik yang pernah terjadi dan melibatkan orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat.

(32)

3.2.2 Kritik Sumber

Sebuah kritik pada umumnya dilakukan untuk menguji sebuah kebenaran suatu fakta, data atau pernyataan yang dikemukakan seseorang. Sama halnya dalam kritik sumber, proses ini dilakukan untuk mencari kebenaran serta membedakan mana sumber yang asli atau dapat dipercaya dan mana yang palsu kemungkinan jauh dari kebenaran (Sjamsuddin, 2007, hlm. 131). Pentingnya tahap kritik sumber ini berkaitan dengan keotentikan isi dari penelitian yang sedang dikaji. Bagi para akademisi, untuk mempercayai benar tidaknya suatu fakta atau otentik tidak otentiknya suatu fakta itu dilihat dari sumbernya. Merujuk pada pendapat Sjamsuddin (2007, hlm. 137) “para peneliti sejarah di setiap generasi selalu dibayangi dengan kemungkinan berhubungan dengan sumber-sumber palsu”. Di era modern seperti saat ini, kecanggihan teknologi sudah menyentuh hamper seluruh aspek kehidupan, termasuk pemalsuan dokumen-dokumen penting bahkan peninggalan-peninggalan sejarah pun tak lepas dari rekayasa teknologi yang semakin canggih.

Dalam menempuh proses kritik terhadap sumber ini, penulis mencoba memahami mengenai kriteria buku-buku atau sumber-sumber lain yang dapat dijadikan sumber dalam suatu penelitian. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber berupa tulisan yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Penulis memperoleh buku sumber primer dari karya Mayor Jenderal, Drs. Soemadi salah satu mantan Gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam XII/Tanjungpura, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara” terbitan Yayasan Tanjungpura tahun

1974. Selain itu, buku karya A.M. Hendropriyono yang berjudul “Operasi Sandi Yudha Menumpas Gerakan Klandestin“ juga merupakan sumber primer karena A.M.

Hendropriyono bertugas sebagai perwira muda pada saat operasi penumpasan PGRS/PARAKU.

(33)

1. Kritik eksternal, adalah cara menguji dan memverifikasi kebenaran suatu data, fakta atau pernyataan yang berkaitan dengan aspek “luar” dari sumber sejarah tersebut (Sjamsuddin, 2007, hlm. 132). Kritik eksternal dalam sumber tertulis digunakan untuk menjawab pertanyaan siapa penulisnya? Bagaimana latar belakang penulisnya? Kapan sumber itu ditulis? Hal ini dilakukan demi mengetahui sejauh mana sumber yang digunakan dapat dipercaya isinya. Pada buku sumber yang digunakan penulis, terutama pada sumber primer berupa buku kebanyakan ditulis oleh kalangan militer dan menggunakan sudut pandang militer mengenai peristiwa konflik di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Penulis menyadari bahwa meskipun penulis menggunakan beberapa sumber tulis yang bersifat primer, namun masih terdapat kelemahan karena kedua buku ini ditulis oleh orang dari kalangan militer dan penulis tidak menemukan sumber primer yang ditulis oleh sejarawan atau pihak lain diluar militer. Sumber-sumber primer dari sejarawan sangat sulit didapatkan, karena Peristiwa Mangkok Merah terjadi pada teritori operasi militer yang bersifat darurat.

(34)

3.2.3. Penafsiran Sumber (Interpretasi)

Interpretasi atau penafsiran terhadap suatu pemahaman sejarah yang berasal dari sumber-sumber dilakukan sejarawan pada tahap berikutnya setelah sebelumnya melakukan proses heuristik dan kritik sumber. Proses ini sangat penting karena hasil interpretasi penulis di tahap ini akan menjadi pokok utama kerangka berpikir dalam penelitiannya. Isi dari penelitian yang dilakukan oleh seorang sejarawan ditentukan dari hasil interpretasinya, bagaimana cara ia menganalisis fakta dan menafsirkannya menjadi sebuah pandangan yang dituangkan dalam hasil penelitiannya.

Proses penafsiran sejarawan dalam interpretasinya bisa berbeda dengan sejarawan lain meskipun menulis tema yang sama dan menggunakan sumber yang sama, hal ini lebih dikarenakan setiap sejarawan memiliki gaya penafsiran yang berbeda dan dipengaruhi filsafat yang berbeda-beda pula. Hal ini senada dengan pendapat dari Sjamsuddin (2007, hlm. 158-159) yang mengemukakan bahwa “Ketika para sejarawan menulis, disadari atau tidak, diakui atau tidak, dinyatakan secara eksplisit atau implicit, mereka berpegang pada salah satu atau kombinasi beberapa filsafat sejarah tertentu yang menjadi dasar penafsirannya”.

Penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengkaji isi dari penelitian ini merujuk pada penafsiran sintesis yang merupakan kombinasi dari beberapa faktor penggerak sejarah yang menyebabkan sejarah itu terjadi. Penafsiran sintesis ini menekankan pada aspek gabungan beberapa penyebab suatu peristiwa, bahwa suatu peristiwa dapat terjadi tidak disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan rangkaian peristiwa-peristiwa sebelumnya yang saling mempengaruhi meskipun tidak berdampak secara langsung (Barnes dalam Sjamsuddin, 2007, hlm. 170). Penafsiran sintesis ini juga menekankan pada sisi humanisme dimana manusia tetap sebagai peran utama yang menggerakkan sejarah meskipun banyak di pengaruhi aspek-aspek lain seperti gejala alam, lingkungan fisik, kondisi sosial, kondisi ekonomi dan sebagainya. Seperti halnya siklus, penafsiran sintesis memiliki rangkaian sistem sendiri yang khas terkait aspek-aspek yang saling berkaitan.

(35)

melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber literatur yang digunakan sebelum melakukan analisis. Berdasarkan hasil penafsiran sumber-sumber tersebut, penulis menemukan perbedaan sudut pandang mengenai peristiwa mangkok merah. Penulis kemudian menarik suatu benang merah dari kedua pendapat yang berbeda, bahwa beberapa pendapat tersebut memiliki suatu kesimpulan yang sama. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil interpretasi ini mengarah pada latar belakang konflik Dayak-Tionghoa yang dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan kondisi sosial politik. Pecahnya konflik lebih diakibatkan karena terdapat sebab umum dan sebab-sebab khusus yang akan dipaparkan oleh penulis pada bagian bab IV.

3.2.4. Historiografi

Tahap akhir dalam metode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah historiografi atau penlisan sejarah. Pada tahap ini penulis memaparkan seluruh hasil kajiannya dalam sebuah bentuk tertulis dan laporan hasil penelitian. Historiografi dilakukan untuk menuliskan hasil olah data dan penafsiran dari penulis sehingga menampilkan kerangka berpikir yang utuh dari penulis mengenai suatu kajian yang berhubungan dengan tema atau judul yang diangkat penulis. Lebih jauh lagi Sjamsuddin (2007, hlm. 156) menjelaskan mengenai historiografi, bahwa:

Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi. Adapun dalam perkembangannya, historiografi dapat dibedakan menjadi dua jenis historiografi berdasarkan tipe penulisan yang berbeda yaitu historiografi tradisional dan historiografi modern. Kedua jenis historiografi ini berkembang mengikuti perubahan zaman, disesuaikan dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang sifatnya untuk semakin menyempurnakan.

(36)

tentang suatu peristiwa yang dianggap penting (Mulyana dan Darmiasti, 2009, hlm. 31). Jenis historiografi tradisional ini biasanya disebut dengan naskah, yaitu tulisan-tulisan yang berasal atau ditulis pada masa lampau dengan berbagai bahasa dan media tulisnya. Untuk lebih mengenali ciri-ciri historiografi tradisional, Mulyana dan Darmiasti (2009, hlm. 34-38) menjelaskan bahwa historiografi tradisional memiliki karakteristik budaya dari masyarakatnya yang sangat kental, dipengaruhi oleh mitologi dari kepercayaan masyarakatnya, mempercayai kesaktian seorang raja, kepercayaan unsur magis dari alam, dipengaruhi unsur magis dari tokoh-tokoh tertentu, serta menonjolkan gambaran dari tokoh-tokoh tertentu.

Historiografi modern mulai dikenal saat masyarakat sudah semakin menyadari bahwa tidak hanya keberadaan naskah-naskah dari masa lampau yang dianggap penting, melainkan juga tentang kebenaran isi naskah tersebut. Historiografi modern terlebih dahulu berkembang di negara-negara Barat. Penggunaan fakta menjadi sangat penting dan utama pada penulisan historiografi modern, karena fakta dapat menjadi kenyataan sejarah. Fakta juga menjadi satu-satunya perbedaan dengan historiografi tradisional (Mulyana dan Darmiasti, 2009, hlm. 1). Historiografi modern dapat dikatakan sebagai penyempurnaan dari historiografi tradisional yang tidak terlalu mementingkan fakta sehingga sering dianggap sebagai mitos dan cerita-cerita rekaan dari masa lampau yang belum tentu benar pada kenyataannya. Historiografi modern juga muncul untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan dalam perkembangan zaman di dunia yang semakin maju, kebutuhan akan keotentikan dan validasi suatu data tentang peristiwa sejarah yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historiografi dalam perspektif historiografi modern. Alasan penulis menggunakan pendekatan historiografi modern dalam penelitian yang berjudul “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967)

(37)

dari sumber-sumber untuk mendapatkan gambaran sejarah peristiwa yang terjadi sesungguhnya. Selain itu, demi memenuhi tuntutan akademis akan karya tulis ilmiah yang baik sesuai dengan “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI (2014)” agar menjadi penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril.

3.3. Laporan Hasil Penelitian

Seluruh tahapan metode penelitian yang telah dilakukan, pada akhirnya hasil kajian dan analisis dari penulis akan dipaparkan dalam sebuah bentuk tulisan karya ilmiah atau laporan hasil penelitian. Tahap ini merupakan tahap paling akhir dalam sebuah penelitian dimana penulis menampilkan keseluruhan hasil kerjanya secara utuh dan menggambarkan tentang kesimpulan dari hasil penelitiannya. Dalam penulisan laporan hasil penelitian ini, penulis harus dapat mendeskripsikan seluruh pemikiran dan hasil analisisnya kedalam bentuk narasi yang disesuaikan dengan etika dalam penulisan karya ilmiah yang baik dan benar.

Pada tahap laporan hasil penelitian ini, peran pembimbing skripsi sangat penting berkaitan dengan cara penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam dunia akademik. Lebih jauh lagi, Sjamsuddin (2007, hlm. 156) menambahkan bahwa dalam setiap penulisan sejarah mengandung unsur seni karena menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang berbeda dan dipadukan dengan kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis. Dengan kata lain, di setiap penulisan karya ilmiah mengandung unsur seni yang berpadu dengan keterampilan berpikir akademisi sehingga menghasilkan karya tulis ilmiah yang menarik namun tetap mengedukasi.

(38)

dikemudian hari. Adapun dalam penyusunan skripsi ini, sesuai dengan Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2014, penulis membagi pokok-pokok pikiran utama pada skripsi ini kedalam lima bab dengan struktur organisasi skripsi sebagai berikut:

1. BAB I Pendahuluan

Bab I berisi latar belakang penelitian, memaparkan alasan mengapa penulis memilih tema tersebut, memaparkan keresahan penulis dalam mengkaji topik penelitian, serta menjelaskan tujuan penulis dalam memilih tema dan menguraikan beberapa pertanyaan utama penelitian. Selain itu, bab ini juga memuat rumusan masalah yang bertujuan agar pembahasan dalam penulisan karya ilmiah ini terfokus terhadap suatu masalah. Rumusan masalah merupakan fokus utama masalah yang diangkat dan merupakan uraian dari sebuah pertanyaan atau masalah utama. Bab ini juga memuat tujuan penulisan yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Bagian selanjutnya adalah sistematika penulisan. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai gagasan awal penulis dalam mengkaji topik yang diangkat kedalam judul penelitian. Pokok pikiran utama pada bab ini adalah memaparkan gambaran umum keseluruhan isi kajian skripsi serta sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini.

2. BAB II Tinjauan Pustaka

(39)

digunakan penulis beserta dengan resensinya dan pendekatan teoritis untuk membantu proses analisis dan menjawab keresahan-keresahan awal penulis.

3. BAB III Metode Penelitian

Bab III berisi mengenai penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis, yaitu metode historis dengan cara studi literatur. Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan terhadap beberapa permasalahan yang telah diajukan sebelumnya. Hal ini tentunya dilakukan setelah penulis menemukan semua fakta yang ada dengan didukung oleh berbagai literatur yang telah dibaca, dikaji dan didiskusikan sebelumnya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai tahapan metodologi penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber (eksternal dan internal), interpretasi dan historiografi. Pokok pikiran utama pada bab ini adalah penjelasan secara rinci mengenai langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis hingga menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah yang baik sesuai dengan kaidah keilmuan. Pada bab ini juga memaparkan proses penelitian secara keseluruhan terkait metode yang digunakan.

4. BAB IV Konflik Etnis Dayak Dengan Etnis Tionghoa Pada Peristiwa Mangkok Merah Di Kalimantan Barat Tahun 1967

(40)

5. BAB V Simpulan Dan Saran

Bab V berisi simpulan dari penulis mengenai kajian tentang “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada

(41)

Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun

1967)”, berisi mengenai simpulan dari hasil kajian dan pembahasan serta saran untuk perkembangan bagi penelitian selanjutnya. Adapun hasil dari kesimpulan merujuk pada jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan oleh penulis dan telah dibahas pada bab sebelumnya. Jawaban atas pertanyaan penelitian yang dimaksud adalah mengenai hubungan sosial antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa sebelum terjadinya konflik, latar belakang Peristiwa Mangkok Merah, terjadinya Peristiwa Mangkok Merah, serta upaya penyelesaian konflik antara Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa pasca terjadinya Peristiwa Mangkok Merah. Penulis membagi kesimpulan tersebut kedalam empat bagian yaitu sebagai berikut:

5.1. Simpulan

(42)

Hubungan sosial yang terbangun antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa nyatanya tidak selamanya berjalan harmonis. Pasang surut hubungan antara keduanya membawa Dayak dan Tionghoa kerap terlibat dalam konflik antar etnis. Fase kehidupan yang saling berdampingan antara Dayak dengan Tionghoa pun melewati beberapa periode besar diantaranya masa kerajaan, masa Kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, masa kemerdekaan dan revolusi, Orde Lama dan pergantian menuju Orde Baru. Periode-periode tersebut sangat mempengaruhi hubungan antara Dayak dengan Tionghoa dan segala dampak yang ditinggalkannya. Peperangan Dayak dengan Tionghoa dimulai ketika para pekerja Tionghoa memberontak terhadap Raja Sambas. Sejak saat itu konflik terus berulang sampai terjadinya Peristiwa Mangkok Merah pada tahun 1967.

Kedua, latar belakang Peristiwa Mangkok Merah tahun 1967 harus dipahami dari mulai akar permasalahan kedua belah pihak antara Etnis Dayak dengan Etnis Tionghoa. Pasang surut hubungan yang terjalin antara Dayak dengan Tionghoa di Kalimantan Barat menjadi bagian penting dalam menganalisis latar belakang permasalahan keduanya. Sejak masa-masa kejayaan Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat, para pekerja Tionghoa pernah melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Sambas yang berkuasa. Pemberontakan tersebut untuk pertama kalinya membuuat hubungan antara pendatang yaitu Etnis Tionghoa dan pribumi Etnis Dayak dan Melayu menjadi memburuk. Sejak saat itu, pasang surut hubungan antara Dayak dan Tionghoa tidak dapat terhindarkan dari kehidupan keseharian mereka.

(43)

terjadi di Kalimantan Barat saat pecah konflik berdarah antara Etnis Dayak dan Etnis Tionghoa, dengan muatan politik yang begitu kuat.

Ketiga, terjadinya Peristiwa Mangkok Merah tidak bisa dilepaskan dari ritual adat masyarakat Dayak mengenai perintah dan seruan untuk berperang. Ritual tersebut dikenal dengan nama Upacara Mangkok Merah yang menggunakan simbol sebuah mangkok yang diisi dengan darah hewan tertentu sebagai pertanda seruan berperang. Mangkok yang berisi darah hewan tersebut kemudian diedarkan ke setiap kampung-kampung Dayak sebagai simbol peperangan. Setiap kampung yang menerima mangkok merah tersebut wajib mengirimkan pasukan perangnya untuk ikut berperang. Adanya pola mobilisasi massa pada ritual ini membuat konflik antara Dayak dengan Tionghoa segera terjadi dengan cepat, karena seruan berperang dengan simbol mangkok merah ini tidak boleh diabaikan untuk menghindari kutukan dari leluhur mereka.

Segera setelah mangkok merah tersebut diedarkan, orang-orang Dayak membentuk pasukan-pasukan dan bergerak maju menuju kampung-kampung Tionghoa di wilayah Kalimantan Barat dan perbatasan Kalimantan Utara. Pada mulanya, orang-orang Dayak melakukan pengusiran terhadap orang-orang Tionghoa dari kampung mereka, namun karena timbul perlawanan dari orang-orang Tionghoa, maka kerusuhan inipun dengan segera berubah menjadi tindak kekerasan. Korban jiwa mulai berjatuhan terutama dari orang-orang Tionghoa yang menjadi sasaran amuk orang-orang Dayak. Peristiwa ini berlangsung selama periode Oktober hingga November selama siang dan malam. Peristiwa ini menyebabkan ribuan orang-orang Tionghoa mengungsi keluar kampung mereka untuk menghindari konflik, serta ribuan lainnya tewas terbunuh dalam kerusuhan.

(44)

Indonesia. Selain itu, pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto membuat situasi politik yang terjadi semakin memanas, hal ini lebih karena perbedaan pandangan antara pemerintahan sebelumnya dengan pemerintahan yang baru menyikapi rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia. Kekisruhan politik ini pula yang membuat konflik-konflik dan sentimen anti Tionghoa menyebar di seluruh wilayah Indonesia.

Namun sayangnya, tidak ada solusi khusus untuk meredam ketegangan antara orang-orang Dayak dan Tionghoa. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap sentimen anti Tionghoa yang terjadi. Hal ini juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah baru dibawah komando Soeharto untuk menekan dan memaksa orang-orang keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia agar melebur kedalam budaya lokal. Hal ini dimaksudkan untuk meredam potensi konflik yang melibatkan Tionghoa di masa mendatang, mengingat kebudayaan mereka yang sangat kuat terkadang menimbulkan antipati di mata rakyat pribumi. Penyelesaian konflik antara Dayak dengan Tionghoa sejalan dengan berakhirnya Operasi Militer ABRI untuk menumpas gerakan PGRS/PARAKU yang berakhir pada tahun 1968. Setelah masa-masa itu, Etnis Tionghoa di Indonesia harus menaati undang-undang khusus yang diberlakukan bagi mereka yang tinggal di Indonesia.

5.2. Saran

Skripsi yang berjudul “Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967)” ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat khususnya bagi berbagai pihak, antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Lembaga Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)

(45)

pada materi pokok “Kehidupan Bangsa Indonesia di Masa Orde Baru dan Reformasi” yaitu pada jenjang kelas XII SMA mata pelajaran Sejarah Indonesia. Materi pokok tersebut didukung dengan Kompetensi Dasar sebagai berikut (3.5) Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. (3.6) Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal Reformasi. (3.7) Mengevaluasi peran pelajar, mahasiswa dan tokoh masyarakat dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia. (4.5) Melakukan penelitian sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis. (4.6) Melakukan penelitian sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal Reformasi dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis. (4.7) Menulis sejarah tentang peran pelajar, mahasiswa dan tokoh masyarakat dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia. 2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Bagi penelitian selanjutnya, penulis berharap skripsi ini dapat menjadi bahan rujukan dan referensi yang bermanfaat. Khususnya untuk penelitian yang membahas tema yang sama, skripsi ini diharapkan mampu menjadi sumber rujukan maupun pembanding. Adapun manfaat lain yang diharapkan adalah pada bagian daftar pustaka skripsi ini dapat menjadi pilihan sumber-sumber bagi penelitian selanjutnya. Penulis juga berharap isi dari kajian skripsi ini mampu memberikan pengetahuan umum bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Beberapa hal yang dapat menjadi penelitian lanjutan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

(46)

 Tumbuhnya Pasar Cina Pontianak. Pengungsian Tionghoa pasca konflik dengan Dayak tahun 1967 kemudian menempati tempat penampungan di Kota Pontianak. Pada perkembangannya, di Kota Pontianak tumbuh Pasar Cina Pontianak yang dibangun oleh pengungsi-pengungsi Tionghoa Kalimantan Barat. Komunitas Tionghoa di Pontianak kemudian mengembangkan Pasar Cina Pontianak menjadi pasar besar dengan perputaran ekonomi yang pesat. Dari Pasar Cina Pontianak, mulai dikenal pola pemukiman yang menyatu dengan tempat usaha dan industri, yang saat ini dikenal dengan istilah Rumah Toko (Ruko).

 Konflik Dayak dan Madura pada tahun 1997 dan 2001. Dayak kembali berkonflik dengan etnis lain, kali ini mereka berkonflik dengan orang-orang migran Madura. Konflik pertama pecah di Sambas pada Desember 1996 hingga Januari 1997, jumlah korban ribuan jiwa menjadi skala besar untuk menggambarkan konflik ini. Konflik antara Dayak dan Madura kembali pecah pada Februari 2001, kali ini terjadi di Sampit dan terus meluas ke daerah-daerah sekitarnya dan korbannya pun mencapai ribuan jiwa. Permasalahan sosial dan budaya kembali menjadi isu sensitif pada konflik ini.

(47)

Sumber Buku :

Anonim. (2004). Atlas Indonesia dan dunia, edisi 33 provinsi. Jakarta: Pustaka Ilmu. Cahyono, H. dkk. (2008). Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan panjang meretas

perdamaian.. Jakarta: P2P-LIPI.

Coomans, M. (1987). Manusia Daya dahulu, sekarang, masa depan. Jakarta: PT Gramedia.

Garna, J. K. (1996). Ilmu-ilmu sosial dasar-konsep-posisi. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran: Bandung.

Gottschalk, L. (2008). Mengerti sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadiningrat, K. (1971). Sedjarah operasi-operasi gabungan dalam rangka dwikora. Jakarta: Departemen Pertahanan – Keamanan Pusat Sedjarah ABRI.

Heidhues, M.S. (2008). Penambang emas, petani, dan pedagang di distrik Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.

Hendropriyono, A.M. (2013). Operasi sandi yudha menumpas gerakan klandestin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hidayat, M. (1991). TNI dalam politik luar negeri : Studi kasus penyelesaian konfrontasi Indonesia-Malaysia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hulten, H.J.V. (1992). Catatan seorang misionaris: Hidupku diantara suku Daya. Jakarta: Gramedia.

(48)

Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Klinken, G.V. (2007). Perang kota kecil: Kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. (2011). Pengantar antropologi 1. Rineka Cipta: Jakarta.

La Ode, M.D. (1997). Tiga muka etnis Cina-Indonesia fenomena di Kalimantan Barat. Yogyakarta: Biograf Publishing.

Leifer, M. (1989). Politik luar negeri Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Listiana, D. (2013). Tumbuh dan berkembangnya sebuah pasar kota: Pasar Cina Pontianak abad ke-19 sampai abad ke-20. Jakarta: Direktorat Sejarah Dan

Nilai Budaya Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Madu, L. dkk. (2010). Mengelola perbatasan Indonesia di dunia tanpa batas: Isu, permasalahan dan pilihan kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mangandalaram, S. (1987). Mengenal dari dekat Malaysia negara tetangga kita dalam ASEAN. Bandung: Remadja Karya.

Marzali, A, dkk. (1989). Pola-pola hubungan sosial antar golongan etnik di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat

Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional – Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai – Nilai Budaya.

Maunati, Y. (2004). Identitas Dayak : Komodifikasi dan politik kebudayaan. LKiS: Yogyakarta.

Moedjianto, G. (1988). Indonesia abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

(49)

Mulyana dan Darmiasti. (2009). Historiografi di Indonesia dari magis-religius hingga strukturis. Bandung: PT Refika Aditama.

Nazsir, N. (2008). Teori-teori sosiologi. Bandung: Widya Padjadjaran.

Petebang, E. (2005). Dayak sakti: Ngayau, tariu, mangkok merah. Pontianak: Institut Dayakology.

Poerwanto, H. (2005). Orang Cina khek dari Singkawang. Depok: Komunitas bumbu.

Poloma, M.M. (1984). Sosiologi kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Ricklefs, M.C. (2009). Sejarah Indonesia modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi.

Riwut, T. (1979). Kalimantan membangun. Jakarta: Jayakarta Agung Offset.

Santoso, I. (2014). Tionghoa dalam sejarah kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

SEMDAM XII/Tanjungpura. (1970). Tandjungpura berdjuang. Pontianak: Kodam XII Tandjungpura.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soemadi. (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam menghadapi subversi komunis Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura.

Soekanto, S. (2007). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tan, M.G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait