• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERISTIWA SENDORENG DI KECAMATAN SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG (KAJIAN HISTORIS TENTANG KONFLIK ETNIS DAYAK-MADURA TERBESAR PERTAMA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERISTIWA SENDORENG DI KECAMATAN SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG (KAJIAN HISTORIS TENTANG KONFLIK ETNIS DAYAK-MADURA TERBESAR PERTAMA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979)."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i

KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh

Antonia Yunita Fitria 09406249007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Kupersembahkan skripi ini dengan penuh rasa syukur kepada:

1. Orangtua kebanggaanku F. Paulus Godang dan Laurensia Antonia dengan iringan doanya yang tak pernah putus mendukung dan menyemangatiku. 2. Keempat kakak kandungku beserta suami (Silvia Ana & Alexander Lowa,

Sesilia Sirafika & Herpinus, Hilaria Agnes & Boty, Agusta & Hendry), serta abang kandungku satu-satunya beserta istri (Fransiskus Yosep & Polena) sebagai penyemangatku menyelesaikan skripsi ini.

3. Keluarga Besar Godang dan sanak famili di Bengkayang yang banyak memberikan motivasi dan salam sukses untukku.

4. Bapa Oa dan Mama Oa terkasih Benyamin Yos Jo & Rosalia Fernandez serta Wigbertus D.S. Jo yang tak pernah kehabisan kata-kata menyemangatiku menyelesaikan kuliah dan mengajarkan untuk selalu pantang menyerah terhadap segala rintangan yang ditemui selama kuliah maupun selama penulisan skripsi ini berlangsung.

5. Pak Konteng & Ibu Lanny Ira sekeluarga yang selalu mengingatkan dan memotivasiku bahwa kebanggaan orangtua adalah ketika anaknya berhasil.

Serta kupersembahkan skripsiku untuk Almamater tercinta: Jurusan Pendidikan Sejarah

(6)

vi

ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Sebab itu,

janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

(Matius 7: 7-8, 6:34)

“Do the one thing you think you can not do. Fail at it. Try again. Do better the

second time. The only people who never tumble are those who never mount the

high wire. This is your moment. Own it.”

(Lakukan sesuatu yang kamu pikir kamu tidak bisa. Kalau pun kamu gagal, coba lagi. Lakukan lebih baik kali ini. Orang yang tidak pernah jatuh adalah yang tidak

pernah mendaki naik, ini adalah hidupmu. Milikilah hidupmu.) (Oprah Winfrey)

Keberhasilan seseorang adalah mampu membuat orang lain tersenyum melihat hasil kerjamu dan berkata “Sounds Good” (kedengarannya bagus).

(7)

vii

Konflik antar etnis Dayak-Madura di Kalimantan Barat tercatat sudah terjadi sebelas kali pada rentang tahun 1950-1997. Salah satu dari sebelas konflik tersebut yang menjadi kajian dalam skripsi ini adalah tentang Peristiwa Sendoreng tahun 1979. Tujuannya adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya, kronologis kejadiannya, dan upaya perdamaian oleh pemerintah di daerah konflik tersebut.

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo. Tahap yang pertama adalah pemilihan topik yakni tentang Peristiwa Sendoreng 1979. Tahap kedua, heuristik atau pengumpulan sumber (sumber tertulis dan tidak tertulis). Tahap ketiga, verifikasi atau kritik sumber baik ekstern maupun intern. Tahap keempat, interpretasi atau penafsiran dalam mengkorelasi data yang telah terkumpul. Tahap kelima adalah historiografi atau penulisan sejarah sebagai hasil dari penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya Peristiwa Sendoreng adalah adanya kesenjangan sosial antara Dayak dan Madura; munculnya stereotip negatif dari kedua etnis; serta akibat adanya konflik yang berulang yang melibatkan kedua etnis tersebut. Awal kejadian adalah permasalahan sepele antara Asikin bin Asmadin (Madura) yang merasa terhina oleh kata-kata Sidik (Dayak) yang menegurnya untuk berhati-hati mengarit rumput agar tak terkena padi ketika mencari rumput di pematang sawah Sidik di Desa Sendoreng. Buntutnya Asikin membacok Sidik hingga meregang nyawa dan meninggal keesokan harinya di RS Bethesda Serukam. Tewasnya Sidik menyebabkan perang berkecamuk di Samalantan dan Monterado hingga merengut puluhan korban jiwa dan harta benda yang terbakar. Konflik mereda seminggu kemudian setelah aparat keamanan diturunkan dari Batalyon 641 “Beruang Hitam”, Brimob, Polres Sambas, Kodim 1202, dan Hansip-Wanra. Upaya pemerintah memediasi perjanjian damai bagi kedua etnis berhasil dilakukan, ditandai dengan dibangunnya Tugu Perdamaian di Samalantan dan Tugu Bendera di Monterado.

(8)

viii

rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian

Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979)”.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, dorongan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkat dari Tuhan sehingga kendala-kendala tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bpk. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd, MA selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bpk. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag selaku Dekan Fakutas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogakarta.

3. Bpk. M. Nur Rokhman, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah.

(9)

ix penyusunan skripsi ini.

6. Bapak/ Ibu Dosen Pendidikan Sejarah yang telah mengajar, membimbing, dan mendidik dengan sepenuh hati, terutama Ibu Hj. Harianti, M. Pd yang telah membuat penulis tertarik untuk menulis skripsi tentang sejarah lokal. 7. Seluruh jajaran Sub-bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan yang telah

membantu dan melayani pengurusan administrasi.

8. Seluruh staf UPT Perpustakaan UNY, Laboratorium dan Perpustakaan Pendidikan Sejarah, Jogja Library Center, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan Kolese St. Ignatius, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Lembaga Studi Dayak (LSD) Yogyakarta dan Perpustakaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Kalimantan Barat.

9. Seluruh staf Badan Kesbanglinmas D.I. Yogyakarta, Badan Kesbang Pol Provinsi Kalimantan Barat, dan Badan Kesbang Pol Kabupaten Bengkayang yang telah membantu penulis mengurus surat perizinan penelitian.

10. Camat, Sekretaris Camat, dan seluruh jajaran staf Kecamatan Samalantan dan Kecamatan Monterado yang telah menerima penulis dengan baik selama melakukan penelitian.

(10)

x

13. Pak Andri beserta staf lainnya dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Kalimantan Barat yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan literatur dan informasi yang berguna untuk penulisan skripsi ini. 14. Pak Hendrikus Clemen dan Pak Giring atas tulisannya yang sangat membantu

penulis dalam menyusun skripsi dan tak lupa pula banyak memberikan dorongan dan masukan yang sangat membangun kepada penulis serta senantiasa memberikan nasihat agar selalu optimis dalam menulis skripsi. 15. Teman-teman Bengkayang Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2009

terutama Pak Cik “Nurdin” Hendi, Pak Cik Jhon Putra Sebalos, Kak Maya “Intan” Simorangkir, Endi si “Mbah Surip”, Willy Libau, dan Mas Supri, Ekta “Diuy”, Paulus “Prambanan”, Marsel Agus “Tio”, dan Bang Topan,

yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

16. Kawan-kawanku Jurusan Pendidikan Sejarah Angkatan 2010: Indri, Winda, Danu, Dani, Ageng, Itama, Titan, Handika, Ririn, Syeila Jo, Yuli, Iskandar, Leni, dan Nurul yang selalu ada dan saling memotivasi baik dikala sedih maupun senang.

(11)

xi

dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta, 16 September 2014 Yang menyatakan,

(12)

xii

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN MOTTO... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

DAFTAR ISTILAH... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 9

E. Kajian Pustaka... 10

F. Historiografi yang Relevan... 15

G. Metode Penelitian... 18

(13)

xiii

A. Sejarah Singkat Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang... 27 1. Kabupaten Sambas... 27 2. Kabupaten Bengkayang... 29 B. Suku Dayak dan Suku Madura di Kecamatan Samalantan dan

Kecamatan Monterado... 31 1. Suku Dayak... 31 2. Suku Madura... 36 C. Penyebab terjadinya Peristiwa Sendoreng di Kecamatan

Monterado dan Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979... 45 BAB III. KRONOLOGIS KEJADIAN PERISTIWA SENDORENG DI

KECAMATAN MONTERADO DAN KECAMATAN

SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979

A. Versi Majalah... 58 1. Majalah Tempo No. 41 Thn. IX 8 Desember 1979... 58 2. Potongan liputan berita mengenai Peristiwa Sendoreng 1979

yang dirangkum dalam buku berjudul “Sisi Gelap Kalimantan Barat Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997”... 60

(14)

xiv

BAB IV. UPAYA PENYELESAIAN PERISTIWA SENDORENG DI

KECAMATAN MONTERADO DAN KECAMATAN

SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979

A. Penyelesaian Konflik... 77

B. Pendirian Tugu Perdamaian di Samalantan dan Monterado... 79

BAB V. KESIMPULAN... 84

DAFTAR PUSTAKA... 87

(15)

xv

Tabel 1. Persebaran Suku Dayak di Samalantan dan Monterado... 35 Tabel 2. Jumlah Suku Madura yang bermukim di Samalantan tahun 1980... 43 Tabel 3. Perkiraan Jumlah Orang Madura di Sambas Tahun 1980... 43 Tabel 4. Persebaran Madura di Kecamatan Singkawang, Tebas, dan

(16)

xvi

(17)

xvii

Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata, lebih baik mati daripada menanggung malu.

Perbuatan penipuan salah satu pihak yang mengingkari suatu perjanjian lisan yang telah dibuat antara kedua belah pihak.

Bahasa Madura ini digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama teman.

Bahasa Madura ini digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama teman, namun dalam situasi yang lebih formal. Bahasa Madura ini merupakan tingkat tutur kata yang paling tinggi dan paling halus daripada Bhasa enjag-iya dan Bhasa enggi-enten.

(18)

xviii

Tanda permisi telah mengambil barang milik orang lain dalam keadaan mendesak/ darurat.

(19)

xix

Kayau, pengayauan, pemenggalan kepala lawan sebagai salah satu bagian ritus peralihan kedewasaan dalam kehidupan seorang pria.

Melukai orang lain dengan menggunakan senjata tajam.

Perbuatan seseorang yang melukai orang lain dengan menggunakan senjata tajam dan mengakibatkan orang lain tersebut kehilangan nyawanya.

Berasal dari dua suku kata Sam (tiga) dan Bas (suku bangsa) berarti kawasan yang

(20)

xx

Tungkal :

(21)

TENTANG KONFLIK ETNIS DAYAK-MADURA

Konflik antar etnis Dayak-Madura di Kalimantan Barat tercatat sudah terjadi sebelas kali pada rentang tahun 1950-1997. Salah satu dari sebelas konflik tersebut yang menjadi kajian dalam skripsi ini adalah tentang Peristiwa Sendoreng tahun 1979. Tujuannya adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya, kronologis kejadiannya, dan upaya perdamaian oleh pemerintah di daerah konflik tersebut.

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo. Tahap yang pertama adalah pemilihan topik yakni tentang Peristiwa Sendoreng 1979. Tahap kedua, heuristik atau pengumpulan sumber (sumber tertulis dan tidak tertulis). Tahap ketiga, verifikasi atau kritik sumber baik ekstern maupun intern. Tahap keempat, interpretasi atau penafsiran dalam mengkorelasi data yang telah terkumpul. Tahap kelima adalah historiografi atau penulisan sejarah sebagai hasil dari penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya Peristiwa Sendoreng adalah adanya kesenjangan sosial antara Dayak dan Madura; munculnya stereotip negatif dari kedua etnis; serta akibat adanya konflik yang berulang yang melibatkan kedua etnis tersebut. Awal kejadian adalah permasalahan sepele antara Asikin bin Asmadin (Madura) yang merasa terhina oleh kata-kata Sidik (Dayak) yang menegurnya untuk berhati-hati mengarit rumput agar tak terkena padi ketika mencari rumput di pematang sawah Sidik di Desa Sendoreng. Buntutnya Asikin membacok Sidik hingga meregang nyawa dan meninggal keesokan harinya di RS Bethesda Serukam. Tewasnya Sidik menyebabkan perang berkecamuk di Samalantan dan Monterado hingga merengut puluhan korban jiwa dan harta benda yang terbakar. Konflik mereda seminggu kemudian setelah aparat keamanan diturunkan dari

Batalyon 641 “Beruang Hitam”, Brimob, Polres Sambas, Kodim 1202, dan Hansip

-Wanra. Upaya pemerintah memediasi perjanjian damai bagi kedua etnis berhasil dilakukan, ditandai dengan dibangunnya Tugu Perdamaian di Samalantan dan Tugu Bendera di Monterado.

(22)

1

(23)

menjadi permasalahan yang krusial, bahkan dapat memecah belah Bangsa Indonesia.1

Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah yang banyak mencatat pertikaian etnis yang berujung pada konflik. Konflik-konflik tersebut melibatkan beberapa etnis di dalamnya. Beberapa tulisan mengungkapkan bahwa etnis Dayak dan etnis Madura adalah etnis yang sering terlibat pertikaian di Kalimantan Barat. Menurut Edi Petebang dalam bukunya yang berjudul Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah, Konflik Etnis di Kalbar 1996/1997 menyebutkan bahwa berdasarkan data yang

dikumpulkannya, baik tulisan maupun lisan, dalam versi Dayak sudah sebelas kali terjadi konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat hingga tahun 1997.2 Menilik pada banyaknya jumlah peristiwa yang terjadi, berbagai pendapat pun bergulir untuk menemukan penyebab-penyebab konflik. Ada tiga argumen yang dikemukakan komentator lokal untuk menjelaskan pertikaian antara antara Dayak dan Madura, yaitu argumen budaya, ekonomi, dan politik.3 Argumen pertama menyebutkan kuatnya sifat kesukuan/ kultur

1

Lihat dalam Jurnal Pemerintahan Edisi Perdana Januari-Maret yang ditulis oleh Simão de Assunção, 2007, Peranan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Budaya, Jakarta: Lembaga Pengkajian Manajeman Pemerintah Indonesia, hlm. 126.

2

Edi Petebang, Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah, Konflik Etnis di Kalbar 1996/1997, Pontianak: Institut Dayakologi, 1998, hlm. 79-81.

3

(24)

budaya masing-masing etnis dan perbedaan adat istiadat memudahkan terjadinya gesekan atau perselisihan. Argumen kedua, timbulnya kesenjangan sosial diantara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang termasuk Suku Madura. Kesenjangan sosial muncul ke permukaan akibat adanya peminggiran terhadap suku pribumi dimana lahan pertanian mereka secara perlahan berubah menjadi area perkebunan komersil atau kawasan pertambangan yang lama-kelamaan diambil alih oleh para pendatang maupun para transmigran. Argumen ketiga dengan melihat adanya penggunaan kekuasaan di daerah konflik dan kepentingan politik yang mungkin disebabkan oleh pertikaian etnis.4

Konflik etnis antara Dayak dan Madura di Kalimantan Barat pertama kali terjadi pada tahun 1950.5 Konflik ini terjadi di Samalantan6 yang dipicu oleh perkelahian antara Anyom (etnis Dayak) dengan seorang warga Madura yang nama dan cara penyelesaian konflik tersebut tidak diketahui. Jika merujuk pada tahun kejadian, kala itu jumlah etnis Madura yang bermigrasi ke Kalimantan Barat sedang mengalami peningkatan. Bertambahnya migrasi etnis Madura ke Kalimantan Barat tak lepas dari terbukanya kesempatan kerja dan banyaknya orang Madura yang berhasil memperbaiki perekonomiannya

4

Ibid. 5

Edi Petebang, loc.cit., hlm. 79. 6

(25)

di daerah ini. Tidak mengherankan apabila migrasi etnis Madura ke Kalimantan Barat pada rentang tahun 1950-1980 masuk dalam periode keberhasilan.7

Kedatangan para pendatang dari kalangan Madura ke Kalimantan terjadi dalam tiga periode. Periode awal kedatangan mereka, dimulai pada tahun 1902-1942 (periode perintisan), periode kedua pada tahun 1942-1950 (periode surut), dan periode keberhasilan setelah tahun 1950.8 Era perintisan ini berada di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda sampai kedatangan tentara Jepang ke Indonesia. Periode ini dikenang sebagai sebuah masa yang penuh dengan penderitaan karena para pendatang yang pertama kali masuk ke Kalimantan Barat harus mengalami kehidupan yang keras serta harus berhadapan dengan adanya indikasi praktek jual beli tenaga mereka diantara para juragan. Mereka didatangkan oleh para juragan melalui jasa perantara yang akan mencari calon pekerja untuk dibawa ke Kalimantan Barat dengan iming-iming bahwa ditempat baru mereka akan lebih mudah mendapat pekerjaan. Setelah kedatangan mereka ke Kalimantan Barat, para juragan mereka lalu membarter tenaga para pendatang baru ini ke pihak-pihak yang memerlukan jasa pekerja dengan masa kerja dua tahun. Setelah masa itu berakhir, barulah mereka bebas menentukan untuk mencari kerja di tempat lain atau tetap bertahan di tuan mereka yang lama. Kedatangan para pekerja

7

Hendro Suroyo Sudagung, Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, Institut Studi Arus Informasi bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, 2001, hlm. 83-87.

8

(26)

dari Madura ke Kalimantan Barat pertama kali di Ketapang, kemudian menyebar ke Pontianak pada tahun 1910, dan Sambas pada tahun 1930. Jumlah orang Madura yang datang ke Kalimantan Barat pada periode kedua (1942-1950) mengalami penurunan yang sangat drastis. Jumlah mereka sangat kecil. Hal ini dikarenakan pada masa itu Indonesia berada di bawah penjajahan Jepang dimana kehidupan penuh dengan penderitaan yang berat, serta situasi keamanan yang tidak mantap.9 Setelah tahun 1950, jumlah migrasi etnis Madura ke Kalimantan Barat meningkat. Periode ini dikenal sebagai periode keberhasilan (1950-1980).

Sejak kedatangan etnis Madura ke Kalimantan Barat, interaksi antara Madura dan Dayak pun mulai terjalin. Namun, dari interaksi itu pula rupanya dapat pula memunculkan gesekan-gesekan yang berujung konflik. Etnis Madura sebagai pendatang dengan adat-istiadatnya yang berbeda dengan Suku Dayak, lama-kelamaan mulai membentuk dan mengubah cara pandang etnis Dayak terhadap citra orang Madura. Sebagai contoh, Suku Madura biasanya membawa senjata tajam kemana pun mereka pergi. Suku Dayak menganggap kebiasaan ini tidak lazim dalam kehidupan mereka. Mereka (Dayak) menganggap kebiasaan (Madura) membawa senjata tajam dapat mengancam keselamatan mereka, padahal bagi Suku Madura sendiri hal ini dianggap biasa dan lumrah serta menjadi bagian dari adat istiadat mereka. Orang Dayak dicitrakan sebagai suku bangsa yang memiliki lembaga budaya Tariu (teriakan atau pemanggilan histeris roh pahlawan leluhur agar merasuk

9

(27)

dalam diri panglima suku guna membantunya menghadapi ancaman terhadap suku bangsanya), Mangkok Merah (pengedaran cepat dari kampung ke kampung wadah tanah liat atau teras bambu berisi potongan jeringau, bulu ayam merah, daun rumbia, tali kulit kapuak dan bahan lain yang ditetesi darah, yang kesemuanya dibebat atau dibungkus dalam kain merah sebagai sarana pengumuman atau isyarat komunikasi keadaaan darurat perang), dan Pangayo (pengayauan atau pemenggalan kepala lawan sebagai salah satu

bagian ritus peralihan kedewasaan dalam kehidupan soerang pria).10 Citra tentang orang Dayak di mata orang Madura, atau sebaliknya turut mempengaruhi sikap dan tindakan yang diambil dalam hubungan kedua suku tersebut.11 Pencitraan itu berkaitan dengan pecahnya konflik diantara keduanya pada tahun-tahun berikutnya. Untuk itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam hal penanganannya.

Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak dan kabupaten Sambas. Pertikaian di wilayah Kabupaten Sambas banyak terjadi di Samalantan dan sekitarnya, bahkan konflik terbesar pertama etnis Dayak dan Madura terjadi di Samalantan pada tahun 1979, tepatnya di Desa Sendoreng. Beberapa literatur yang penulis temukan adanya versi cerita yang berbeda dalam penggambaran situasi kala itu. Salah satu literatur menceritakan bahwa konflik tahun 1979 terjadi di

10

Giring dalam Sugiyarto A. Z. Dan Ismahfudi M. H., Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, Yogyakarta: Pilar Media, 2007, hlm. 185-186.

11

(28)

persimpang Mayasopa, namun kejadian tersebut sebenarnya adalah buntut dari tragedi di Sendoreng beberapa hari setelahnya. Pemicu pecahnya konflik etnis tahun 1979 di Sendoreng adalah perkelahian antara orang Madura dengan orang Dayak yang akhirnya menewaskan si orang Dayak. Kejadian ini kemudian memicu aksi balas dendam dengan saling serang, akibatnya, lima belas orang tewas dan lebih dari sepuluh rumah terbakar. Pemerintah cepat tanggap dalam konflik ini, dan akhirnya bisa didamaikan oleh pemerintah dengan dibantu aparat keamanan dalam tempo empat hari. Untuk memperingati peristiwa tersebut, dibangunlah sebuah Tugu perdamaian yang berlokasi di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

(29)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengapa bisa terjadi Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979?

2. Bagaimana kronologi kejadian Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun Samalantan 1979?

3. Bagaimana upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi pada Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

a. Melatih pola pikir ilmiah, sistematis dan objektif dalam melakukan penelitian sejarah lokal.

b. Sebagai bukti penerapan metodologi penelitian sejarah, terutama sejarah lokal tentang “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun

1979)”.

(30)

d. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana strata satu pendidikan sejarah.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979.

b. Untuk mengetahui kejadian Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979.

c. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam meredam konflik yang terjadi pada Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979.

d. Untuk mengetahui akhir dari penyelesaian Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang tahun 1979.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pembaca

a. Pembaca dapat mengetahui konflik yang terjadi di Kalimantan Barat khususnya pada Peristiwa Sendoreng tahun 1979 yang melibatkan etnis Dayak dan Madura di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat.

b. Untuk menambah wawasan pembaca tentang sejarah lokal terutama mengenai “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura

(31)

c. Hasil karya ilmiah yang berupa skripsi ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur untuk penulisan seterusnya.

d. Sebagai referensi sejarah bagi pembaca yang menyangkut tentang sejarah lokal.

2. Bagi Penulis

a. Karya ini sebagai bukti untuk melatih penulis berpikir kritis dan logis dalam merekonstruksi peristiwa sejarah.

b. Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi referensi sejarah lokal tentang “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura

Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979)”.

c. Penulis berusaha memperkenalkan sejarah lokal yang kurang dipublikasikan terutama mengenai “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama di Provinsi

Kalimantan Barat Tahun 1979)”.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.12 Kajian pustaka mutlak diperlukan, agar penulis dapat melakukan tinjauan terhadap informasi yang telah diperoleh dari literatur yang akan digunakan dalam penelitian. Melalui

12

(32)

telaah inilah, penulis bisa mengutarakan persamaan atau perbandingan informasi yang menjadi kajian penelitian, dalam hal ini kajian mengenai Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan tahun 1979.

Rumusan masalah yang pertama diambil oleh penulis adalah mengenai sebab terjadinya perisiwa Sendoreng di Kecamatan Monterado dan Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Terkait dengan rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan beberapa sumber buku dan majalah untuk membantu penulis menemukan penyebab Peristiwa Sendoreng bisa terjadi di sana.

Peristiwa yang bermula di Kampung Sendoreng terebut pada mulanya merupakan permasalahan kecil. Permasalahan yang demikian sepele tersebut berubah menjadi konflik panas antara etnis Dayak dan etnis Madura disebabkan pula karena adanya ketidakharmonisan yang timbul antara kedua suku yang bertikai. Ketidakharmonisan ini dalam artian adanya prasangka negatif dalam interaksi sosial mereka karena adanya perbedaan kultur budaya yang besar. Selain itu, adanya peminggiran ekonomi dan peran masyarakat lokal yang secara berjenjang mulai dikuasai oleh para pendatang (termasuk Suku Madura). Faktor pemicu ketidakharmonisan ini diperparah dengan adanya rentetan catatan kelam konflik antara Dayak-Madura di masa lalu. Gambaran peneyebab konflik etnis ini terangkum dalam buku yang berjudul

“Indonesia Communal Violence in West Kalimantan”, a.b. Herlan Artono

(33)

konflik di Kalimantan Barat di atas ke dalam beberapa argumen, yakni argumen budaya, argumen marginalisasi, dan argumen manipulasi politik.

Literatur kedua yang penulis pakai untuk menjawab rumusan permasalah pertama adalah buku yang ditulis oleh Bambang Hendarta Suta Purwana dengan judul “Kerusuhan Sosial di Sambas: Eksplorasi Akar

Permasalahan dan Kebijakan Penyelesaian” diterbitkan tahun 2002 oleh

Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. Buku ini memaparkan bahwa yang menjadi akar penyebab konflik etnis di Kalimantan Barat melalui identifikasi simbol-simbol budaya seperti istilah-istilah, peribahasa, mitos, benda budaya, dan konsep budaya tertentu.

Ada anggapan yang berbunyi “Nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi

ganti gigi” atau di kalangan masyarakat Dayak lebih dikenal dengan istilah

Adat Pati Nyawa (Adat Ganti Nyawa).13 Seseorang dianggap melanggar adat Pati Nyawa apabila orang tersebut telah melukai orang lain hingga meninggal dunia. Adat Pati Nyawa ini diwujudkan dalam bentuk diedarkannya Mangkok Merah di seluruh wilayah tempat masyarakat Dayak bermukim. Tujuannya

adalah sebagai ajakan untuk berperang melawan musuh yang telah membunuh salah satu anggota suku mereka. Sementara di kalangan Suku Madura, Budaya Carok muncul dari adanya istilah “Ango’an poteya tolang,

etembhang poteya mata” (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus

13

(34)

hidup dengan perasaan malu).14 Jika menilik pada awal mula kejadian di Sendoreng tahun 1979 adalah tindakan Asikin bin Asmadin (Madura) yang tidak terima atas perkataan Sidik (Dayak) yang menegurnya untuk berhati-hati mengarit rumput di sawahnya, hingga berujung pada tewasnya Sidik di tangan Asikin. Sayangnya, kematian Sidik justru menyebabkan konflik melebar ke beberapa daerah dan pada akhirnya merugikan kedua belah pihak ditandai dengan banyaknya jumlah korban dan kerugian harta benda.

Sumber lain yang terkait dengan penyebab konflik etnis di Kalimantan Barat adalah tulisan L. H. Kadir yang ditulis bersambung menjadi dua bagian dan dimuat dalam majalah Duta No. 169 TH. XIV/ 2001-Agustus, halaman 16-17 dan No. 170 TH XV/ 2001-September, halaman 19-20 dengan judul

“Akar Penyebab Kerusuhan di Kalbar”. Tulisan ini memberikan gambaran

tentang akar penyebab konflik etnis di Kalimantan Barat adalah adanya benturan kebudayaan antara suku pendatang dan masyarakat lokal akibat kurangnya pemahaman masyarakat pendatang tentang nilai-nilai kearifan lokal (Suku Dayak) yang ada di Kalimantan Barat.

Rumusan masalah kedua dari penelitian ini adalah tentang kronologis kejadian dari Peristiwa Sendoreng tahun 1979. Penulis juga menggunakan beberapa sumber buku dan majalah utuk melengkapi sumber primer dari narasumber. Sumber majalah yang penulis gunakan untuk membahas

14

(35)

permasalahan kedua adalah sebuah ulasan berita berjudul “Tragedi di Sambas” yang diterbitkan oleh majalah Tempo No. 41 Thn. IX tanggal 8

Desember 1979 halaman 34. Tulisan ini menguraikan tentang awal mula kejadian hingga berimbas ke daerah lain di Samalantan dan Monterado dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa, rumah-rumah terbakar dan ribuan warga mengungsi. Selain dari majalah Tempo, penulis juga menggunakan artikel yang termuat dalam majalah Gatra No. 19 Tahun V tanggal 27 Maret 1999 yang berjudul “Bentrokan Tujuh Babak” pada halaman 29-30. Artikel ini merinci kejadian di Sendoreng hampir sama dengan majalah Tempo. Selain itu, artikel ini juga menerangkan bahwa pada konflik tahun 1997, Tugu Perdamaian yang mendamaikan konflik tahun 1979 sempat hendak dirobohkan namun aksi tersebut gagal.

Sumber buku yang mengurai tentang kronologis kejadian Peristiwa Sendoreng adalah buku yang ditulis oleh Hendro Suroyo Sudagung yang

berjudul “Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke

Kalimantan Barat”. Buku ini menggambarkan adanya ketidakharmonisan

(36)

rumput disawahnya. Peristiwa yang berujung pada tewasnya Sidik telah membawa Dayak-Madura pada sebuah konflik massal. Peristiwa itu dikenal dengan nama Peristiwa Sendoreng karena di sinilah awal mula konflik itu terjadi. Kejadian pada masa itu ada pula yang menyebutnya dengan nama Peristiwa Samalantan karena konflik itu dengan cepat menjalar ke daerah-daerah sekitar termasuk Samalantan hingga memakan korban jiwa dan material.

Buku ini sekaligus penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga karena di buku ini juga dipaparkan tentang penyelesaian konflik tahun 1979 di Samalantan dan Monterado. Buku ini menguraikan tentang andil aparat keamanan dalam mengamankan situasi agar tidak menyebar ke daerah lain yang lebih luas. Perkelahian massal ini kemudian dapat didamaikan oleh pihak yang berwajib, setelah pemuka ada setempat mengadakan sumpah adat di Samalantan.15 Buku ini juga menjelaskan tentang kronologis kejadian Peristiwa Sendoreng dari awal mula hingga pada penyelesaian konflik, namun tidak dipaparkan tentang hasil kesepakatan damai dari konflik tersebut.

F. Historiografi Yang Relevan

Historiografi adalah rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses menguji dan

15

(37)

menganalisis secara kritis semua rekaman dan peninggalan masa lampau.16 Penulisan sebuah karya ilmiah memerlukan adanya historiografi yang relevan. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian bisa bersifat lebih objektif. Melalui historigrafi yang relevan, penulis dapat membuat perbandingan antara penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian sebelumnya.

Historiografi yang relevan yang penulis gunakan sebagai pembanding dari penelitian yang penulis lakukan adalah skripsi yang dikaji oleh Jon Hanta dari Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2013. Skripsi Jon Hanta yang berjudul “Konflik Antar Etnis (Dayak-Madura) di Samalantan Kabupaten Bengkayang Pada Tahun

1996/ 1997” lebih banyak memaparkan tentang argumen dari para komentator

lokal yang membahas seputar konflik antar etnis Dayak-Madura di Samalantan, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat tahun 1996/ 1997 yang didamaikan melalui ikrar perdamaian tingkat provinsi yang dibacakan dan ditandatangani oleh masing-masing perwakilan etnis Dayak dan etnis Madura tanggal 15 Maret 1997 di Depan Markas Korem 121/ AWB Pontianak. Sementara, kronologis kejadian dan penyelesaian konflik dari daerah yang menjadi kajian penelitiannya kurang dipaparkan. Samalantan adalah salah satu daerah yang terkena imbas dari konflik Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat (pusat konflik tahun 1996/1997). Imbas konflik tersebut terjadi pada tanggal 31 Desember 1996 dimana

16 Louis Gottchalk, “Understanding History: A Primer of Historical

(38)

kejadian bermula dari Ledo, menyebar ke Bengkayang, lalu menjalar ke Samalantan (di daerah Jirak, Sindu, Sungai Petak, Marga Mulia, Monterado Simpang Monterado, dan Sansibo), dan Kecamatan Tujuh Belas (Nyarungkop, Pajintan, dan Bagak).17 Konflik mulai mereda di Samalantan dan Kecamatan Tujuh Belas beberapa hari kemudian, dan tidak ada lagi kerusuhan pada tanggal 4 Januari 1997. Tepat pada pukul 11.00 WIB tanggal 5 Januari 1997 masyarakat perbatasan Desa Pangmilang dan Sagatani Kecamatan Tujuh Belas (Kabupaten Sambas) melaksanakan Upacara Adat Pamabang yang dipimpin oleh Yohanes Asin (selaku kepala adat wilayah/ Kepala Binua Garantung Sagatani) sebagai ujud perdamaian dari kedua suku.18 Upacara adat Pamabang ini disaksikan oleh Bupati Sambas Tarya Aryanto, Kajari Singkawang Zaenal Arifin, serta anggota dari Komnas HAM Asmara Nababan dan M. Salim.19 Pada tanggal 8 Januari 1997 di Kecamatan Tujuh Belas yang diikuti oleh warga desa Bagak Sahwa, Pajintan, Nyarungkop, dan Mayasopa membuat lima kesepakatan bersama yang bunyinya antara lain:20

17

Edi Petebang, op.cit., hlm. 85. 18

Ibid., hlm. 87. 19

Anonim, (2011). “Legenda „Mangkuk Merah‟ Berembus”, Dalam Narartha Situmorang (Ed.). Sisi Gelap Kalimantan Barat Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997, Pontianak: Institut Dayakologi, hlm. 298.

20

(39)

1. Mengutuk dan menyesalkan pelanggaran perjanjian pedamaian yang dimonumenkan di Samalantan dengan terjadinya peristiwa Sanggau Ledo.

2. Bersumpah untuk mentaati isi perjanjian perdamaian yang dimonumenkan di Samalantan.

3. Bersumpah untuk memelihara dan membina kerukunan bersama, mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku bagi pelaku yang melakukan hal-hal yang dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan, serta tidak menampung pendatang baru yang tidak mempunyai identitas jelas.

4. Menolak budaya/ kebiasaan yang merugikan sesama manusia, antara lain membawa senjata tajam atau senjata dalam bentuk lain.

5. Menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadat masyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dari skripsi ini pemaparan seputar acara peresmian Tugu Perdamaian Samalantan sebagai tugu peringatan konflik etnis Dayak-Madura tahun 1979 dipaparkan dengan cukup jelas. Adapun kesamaan dari skripsi ini adalah menjadikan Samalantan sebagai daerah penelitian.

G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

(40)

dicapai dalam bentuk tulisan.21 Metode sejarah digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Tujuan dari penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan metode pemecahan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.22

Adapun metode penelitian sejarah yang penulis gunakan mengacu pada metode penelitian menurut Kuntowijoyo. Penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan.23

a. Pemilihan Topik

Pemilihan topik merupakan bagian penting dan merupakan langkah awal dalam penulisan sejarah. Pemilihan topik harus berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual agar memudahkan penulisan sejarah yang akan dikaji. Penulis memilih topik “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura

21

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 43-44.

22

Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979, hlm. 20.

23

(41)

Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979)”

sebagai judul skripsi ini. b. Pengumpulan Sumber

Pengumpulan sumber menurut bahannya, dapat dibagi menjadi dua: tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen dan artifact (artefact).24 Mengenai sumber tidak tertulis atau sumber lisan, sangat diperlukan dalam sebuah penelitian sejarah. Sumber lisan bisa dipakai guna mendapatkan informasi yang mungkin belum ada dalam sumber tertulis, sehingga hal-hal baru yang belum terungkap dari penelitian-penelitian sebelumnya dapat dicantumkan.

Menurut urutan penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan sumber sekunder.25 Penulis menggunakan kedua sumber ini agar hasil penelitian bisa lebih akurat. Sumber sejarah disebut primer bila disampaikan oleh saksi mata.26 Narasumber yang berkaitan dengan Peristiwa Samalantan 1979 berjumlah enam orang yang identitasnya kemudian penulis samarkan demi menjaga privasi para narasumber. Adapun para narasumber tersebut adalah kesemuanya laki-laki dengan rentang usia antara 54-84 tahun.

24

Ibid., hlm. 95.

25

Ibid., hlm. 97.

(42)

Penulis juga menggunakan sumber tertulis sebagai sumber sekunder dari penelitian ini. Tujuan digunakannya sumber tertulis adalah untuk melakukan kritik sumber terhadap data lisan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber. Apabila data yang dihasilkan menunjukkan kesamaan, maka akan memudahkan penulis untuk menganalisis peristiwa yang terjadi pada saat itu. Jika hasil yang diperoleh ternyata sedikit berbeda, penulis dapat memberikan pandangannya secara objektif dalam menginterpretasikan hasil penelitiannya.

c. Verifikasi

Verifikasi dapat disebut pula kritik sejarah atau keabsahan sumber. Verifikasi itu ada dua macam: autensitas atau keaslian sumber, atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai, atau kritik intern.27 Kaitan antara keduanya kemudian ditarik sebagai fakta sejarah yang penulis gunakan sebagai langkah dalam penelitian. Melalui tahapan ini, penulis telah melakukan kritik sumber terhadap data yang terkumpul mengenai Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan tahun 1979, baik dari sumber primer maupun sumber sekunder.

27

(43)

d. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas.28 Penulis menafsirkan hasil temuannya dengan cara menghubungkan antara fakta yang telah diteliti dengan memberikan asumsi dan imajinasi terhadap fakta-fakta yang mempunyai kesesuaian dengan masalah yang penulis teliti yakni tentang Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan dan Kecamatan Monterado yang terjadi pada tahun 1979.

e. Penulisan

Historiografi adalah penulisan sejarah yang memberikan gambaran tentang peritiwa masa lalu yang disebut sejarah. Penyajian ini hendaknya mampu memberikan gambaran mengenai proses penelitian dari awal kejadian sampai dengan penarikan kesimpulan perihal yang diteliti. Tahap ini merupakan tahap akhir untuk menyajikan semua fakta yang telah diperoleh ke dalam bentuk tulisan. Hasil dari historiografi penelitian ini adalah skripsi yang berjudul “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura

Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979)”.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

28

(44)

a. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi mengkaji sesi-segi sosial dan budaya dalam suatu peristiwa yang dikaji, misalnya golongan sosial yang berperan, menilai yang berlaku, konflik yang berdasarkan kepentingan, ideologi, dan lain-lain.29 Kajian suatu peristiwa dapat dikaji melalui pendekatan sosial. Pendekatan sosial merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakat terkait dengan ikatan adat, kebiasaan, kehidupan, tingkah laku, dan kesenian.30 Penulis menggunakan pendekatan sosiologi untuk menemukan keterkaitan sosial dan budaya yang menjadi latar belakang konflik kedua suku yang bertikai, yakni etnis Dayak dan etnis Madura.

c. Pendekatan Antropologi

Penulis menggunakan pendekataan antropologi dalam penelitian ini. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman nilai-nilai sosial budaya antara masyarakat pibumi (Dayak) dengan kaum pendatang (Madura) baik itu dari segi tingkah laku, ciri dan sifat, serta tata cara kehidupan dalam suatu masyarakat.

29

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 5.

30

(45)

b. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi merupakan penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, dan konsumsi yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasi yang dapat mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam keadaan ekonomi sehingga dapat dipastikan hukum kaidahnya.31 Melalui pendekatan ini, penulis ingin menelusuri seberapa jauh faktor kesenjangan atau ketimpangan ekonomi antara masyarakat Dayak dengan para transmigran, dalam hal ini etnis Madura, yang akhirnya bisa memicu terjadinya Peristiwa Sendoreng di Samalantan tahun 1979.

c. Pendekatan Politik

Pendekatan politik adalah segala usaha, tindakan atas suatu kejadian manusia yang berkaitan dengan kekuasan suatu negara dengan bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah, mempertahankan bentuk susunan masyarakat.32 Melalui pendekatan politik ini, penulis ingin lebih melihat peran pemerintah dalam mengupayakan perdamaian untuk menetralkan suasana konflik 1979 baik dalam upaya perundingan dalam maupun dalam upaya pengamanan situasi dengan meminta bantuan aparat keamanan.

31

Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bhratara, 1981, hlm. 32.

32

(46)

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun

1979)”, secara sistematis terdiri dari lima bab. Gambaran mengenai

sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah yang dikaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode dan pendekatan penelitian, serta sistematika penulisan yang akan memberikan gambaran singkat tentang isi penelitian.

BAB II. SEBAB PERISTIWA SENDORENG DI KECAMATAN MONTERADO DAN KECAMATAN SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979

(47)

BAB III. KRONOLOGIS KEJADIAN PERISTIWA SENDORENG DI KECAMATAN MONTERADO DAN KECAMATAN SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979

Bab ini akan menguraikan kronologis kejadian tentang konflik berdarah etnis Dayak-Madura yang terjadi di Samalantan tahun 1979. Adapun kronologis yang diungkap berdasarkan temuan di lapangan dan literatur-literatur terkait sehubungan dengan penelitian mengenai “Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979)”.

BAB IV. UPAYA PENYELESAIAN PERISTIWA SENDORENG DI KECAMATAN MONTERADO DAN KECAMATAN SAMALANTAN KABUPATEN BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1979

Bab ini memaparkan tentang upaya-upaya penyelesaian konflik 1979 yang akhirnya dapat didamaikan, ditandai dengan dibangunnya Tugu Perdamaian Samalantan, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.

BAB V. KESIMPULAN

(48)

27

A. Sejarah Singkat Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang 1. Kabupaten Sambas

Menilik sejarah Sambas, kata sambas dalam bahasa Tionghoa terdiri dari dua kata, yaki Sam dan Bas. Sam mempunyai arti Tiga, dan Bas bermakna Bangsa/ Suku Bangsa. Jadi, jika ditarik kesimpulan Sambas adalah wilayah yang di dalamnya berdiam tiga suku bangsa besar, yakni Dayak, Melayu, dan Cina (Tionghua).1 Selain itu, Sambas juga tak bisa dilepaskan dari sejarah kesultanan yang pada mulanya berasal dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Garis keturunan Kesultanan Sambas berasal dari Sultan Raja Tengah dimana anak sulungnya yang bernama Raden Sulaiman menikah dengan putri kedua dari Ratu Sepundak (seorang ratu keturunan Majapahit yang menganut agama Hinduisme) yang kala itu memerintah di Sambas bernama Mas Ayu Bungsu. Sambas sempat terpecah menjadi dua wilayah kekuasaan, sebelum akhirnya bersatu kembali dan berpusat di sebuah tepat yang bernama Muara Ulakan. Mulai saat itu, Sambas dipimpin oleh Sultan yang memeluk agama Islam. Sultan pertama yang dinobatkan untuk memerintah di Kerajaan Sambas adalah Raden Sulaiman dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin. Sistem

1

(49)

pemerintahan di Kerajaan Sambas berlangsung secara turun-temurun sesuai dengan garis keturunan Raden Sulaiman. Keturunan terakhir yang memerintah di Kerajaan Sambas dipegang oleh Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim, Bangsa Jepang mulai masuk merambah daerah Sambas. Tampuk kepemimpinan di Kerajaan Sambas berakhir karena Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang.2

Kini, Sambas merupakan salah satu kabupaten yang ada di Kalimantan Barat dengan luas wilayah 6.395,70 km2 atau 6339.570 ha. Kabupaten Sambas merupakan kabupaten yang terletak di bagian pantai barat paling utara dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah lautnya 1.467,84 km2 (12 mil dari darat) dengan panjang pantai ±128,5 km dan panjang perbatasan dengan Negara Malaysia ±97 km.3

Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Sambas terletak diantara

1’23” LU (Lintang Utara) dan 108’39” BT (Bujur Timur). Adapun batas -batas administratif Kabupaten Sambas adalah sebagai berikut:4

2

Anonim, (Tanpa Tahun), Sejarah Singkat, Tersedia pada

http://sambas.go.id/profile-daerah/pemerintahan/sejarah-singkat.html diakses

tanggal 11 September 2014. 3

Surjani Alloy, dkk., Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008, hlm. 27.

4

Bappeda Sambas, (2012), Profil Kabupaten Sambas 2012, Tersedia pada

http://sambas.go.id/profile-daerah/pemerintahan/kondisi-umum.html diakses

(50)

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang dan Serawak Malaysia.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Natuna.

(51)

Tanggaran, Sajad, Sejangkung, Paloh, Teluk Keramat, Subah, dan Kecamatan Sajingan dengan desa keseluruhan berjumlah 175 desa.5

2. Kabupaten Bengkayang

Kabupaten Bengkayang merupakan sebuah wilayah hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Sambas dengan luas wilayahnya 5.897 km².6 Bengkayang resmi menyandang nama menjadi kabupaten pada tahun 1999, tepatnya pada tanggal 27 April 1999. Mengacu pada UU No. 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkayang, wilayah Bengkayang resmi menjadi kabupaten baru di Provinsi Kalimantan Barat yang membawahi sepuluh wilayah kecamatan.7 Seiring dengan berjalannya sistem pemerintahan, jumlah kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Bengkayang kemudian dimekarkan kembali hingga menjadi tujuh belas kecamatan. Hasil pemekaran kecamatan-kecamatan8 tersebut antara lain adalah Kecamatan Seluas. Kecamatan Bengkayang dimekarkan menjadi Kecamatan Bengkayang, Kecamatan Teriak, dan Kecamatan Sungai Betung. Kecamatan Samalantan dimekarkan menjadi Kecamatan Samalantan, Kecamatan Monterado, dan Kecamatan Lembah Bawang. Kecamatan Ledo dimekarkan menjadi

5

Sujarni Alloy, dkk., loc. cit. 6

Ibid., hlm. 30. 7

Anonim, (2009). “Sejarah Singkat Kabupaten Bengkayang”, Suara Bengkayang, Edisi 4 Tahun III, hlm. 3.

8

(52)

Kecamatan Ledo, Kecamatan Suti Semarang, dan Kecamatan Lumar. Kecamatan Sungai Raya dimekarkan menjadi Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, dan Kecamatan Capkala. Kecamatan Jagoi Babang dimekarkan menjadi Kecamatan Jagoi Babang dan Kecamatan Siding. Kecamatan Sanggau Ledo dimekarkan menjadi Kecamatan Sanggau Ledo dan Kecamatan Tujuh Belas.

Sebelum Bengkayang menjadi kabupaten, Kecamatan Samalantan dan Kecamatan Moterado dulunya merupakan satu wilayah administratif. Jika merujuk pada tahun kejadian, wilayah Sendoreng9 masih masuk ke dalam wilayah kecamatan Samalantan sehingga kejadian tersebut dikenal dengan dua nama, yakni Peristiwa Sendoreng atau Peristiwa Samalantan.

Pada masa itu, kabupaten Sambas dipimpin oleh Kolonel Sumardji (1973-1983) selaku Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Camat yang bertugas di Kecamatan Samalantan adalah Antonius Alim, B.A. Masa jabatan Antonius Alim, B.A. sebagai Camat Samalantan adalah dari tahun 1978-1984. Pada masa pimpinan beliau lah Peristiwa Sendoreng terjadi, sehingga untuk mengingat kejadian tersebut dibuatlah Tugu Perdamaian di Samalantan (tugu besar) dan di Monterado (tugu kecil).

9

(53)

B. Suku Dayak dan Suku Madura di Kecamatan Samalantan dan Kecamatan Monterado

1. Suku Dayak

Suku Dayak identik dengan pulau Borneo. Persebaran Suku Bangsa Dayak yang terdiri dari banyak subsuku di Pulau Borneo terbagi dalam enam kelompok besar. Keenam kelompok besar Suku Dayak tersebut adalah sebagai berikut:10

a. Dayak Kenyah, Dayak Kayan, dan Dayak Bahau yang mendiami daerah Kalimantan Timur.

b. Dayak Ot-Danum yang umumnya mendiami daerah Kalimantan Tengah.

c. Dayak Klemantan yang mendiami daerah Kalimantan Barat. d. Dayak Iban yang mendiami daerah Serawak, Malaysia Timur.

e. Dayak Murut mendiami daerah Sabah Malaysia Timur dan Utara Kalimantan Timur.

f. Dayak Punan atau suku-suku yang mengembara di pedalaman Kalimantan.

Dayak Klemantan adalah salah satu kelompok besar Suku Dayak yang mendiami kawasan Kalimantan Barat. Kelompok besar Dayak Klemantan tersebut tersebar di seluruh kawasan Kalimantan Barat. Total subsuku Dayak yang ada di Kalimantan Barat berjumlah 151 subsuku,

10

(54)

yang mana dari ke-151 subsuku tersebut masih terbagi lagi 100 subsuku kecil dengan 168 bahasa Dayak yang berbeda.11

Suku Dayak di kawasan Kabupaten Bengkayang tersebar di sembilan kecamatan. Penyebaran Suku Dayak di sembilan kecamatan tersebut mencakup lima subsuku yang masih terbagi-bagi lagi menjadi 28 suku kecil dan lima belas bahasa. Kelima subsuku beserta suku kecil yang ada di dalamnya adalah sebagai berikut:12

a). Dayak Bidayuh/ Kumba: Dayak Jagoi, Dayak Liboy, Dayak Sikukng/ Sungkung, Dayak Tameng/ Tamong, Dayak Tawaeq/ Tawang, Dayak Kowotn/ Bengkawan, Dayak Butok, Dayak Tadietn/ Tadatn/ Tadan, Dayak Sapatoi/ Bung Pah Tung, dan Dayak Suti Bamayo.

b). Dayak Kanayat/ Kanayatn (Bakati’): Dayak Bakati’ Riok, Dayak Bakati’ Sara, Dayak Bakati’ Kuma/ Sangayan, Dayak Bakati’ Kanayatn Satango, Dayak Bakati’ Subah/ Lampahuk, Dayak Bakati’

Sebiha’, Dayak bakati’ Palayo/ Ba-Inyam, Dayak Bakati’ Rara, Dayak

Bakati’ Taria’, Dayak Bakati’ Lape, Dayak Bakati’ Payutn, dan Dayak Bakati’ Lumar.

c). Dayak Banyadu’: Dayak Banyadu’ di Taria’ (Teriak).

11

Chatarina Pancer Istiyani, Memahami Peta Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008, hlm. 14.

12

(55)

d). Dayak Kanayatn (Badamea-Jare/ Banana’/ Ahe-Jare/ Salako): Dayak Salako Garantukng Sakawokng, Dayak Kanayatn Capala, Dayak Salako Badamea-Gajekng, dan Dayak Kanayatn Sawak-Badamea. e). Dayak Iban.

Suku-suku di atas menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Bengkayang, termasuk Kecamatan Samalantan dan Monterado. Suku Dayak yang terdapat di Samalantan dan Monterado adalah13 Suku Dayak Bakati’ Kanayatn Satango (Kampung Papan Pembai, Papan

Tembawang, Bekuan/ Baku’atn, Sijaruk Param, Sijaruk Timawakng, Papan Uduk, Papan Kersik, Papan Kolong, Kulong, Kinande, Janjat Pacok, Bengawit Song Bu, Manteng Jalatok, Mangap, Selayu, dan Majogo), Suku Dayak Kanayatn Capala (Kampung Monterado Ilir, Pak Nibatn, Tayatn, Singkong, Bong Li Tung, Nyongsen, Set Kay In, Pak Ilo, Gua Boma, dan Ten Pung), Suku Dayak Kanayatn Sawak-Badamea (Sawak Ulu: Kampung Apikng Simpang, Apikng Bulu, Serukam, Nyandong, Gumbang Batokakng, dan Bamatn; Sawak Ilir: Kampung Serong/ Parompong, Sapatutn, Godang Damar, Manukng Terusan, Sindu,

Sapatukng, Jirak, Puaje, dan Conde’), Suku Dayak Salako Badamea-Gajekng (Gajekng Ulu: Kampung Taradu Pato’, Subale, Padakng Sake’, Sabah, Oyatn, Tikala, Pacokng, Tabang Buah, Lao, Serukam, dan Bamatn Rancakng; Gajekng Ilir: Kampung Kilawit, Sangkubana, Polongan,

Malaba’e, Siraba’, Tawakng, Tangku, Nyempetn/ Nek Ginap, Monterado’,

13

(56)

Banawa, Sunge Limo, Samalantan Desa, Samalantan Pasar, Kincir, Pasuk Kayu, Kandang, dan Nyandong), dan Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng (Sendoreng/ Sanorekng, Rantau, Sei Petai, Pasar Sebau, dan Berabas Baru). Penjelasan tentang persebaran Subsuku Dayak di kawasan Samalantan dan Monterado di atas akan dijabarkan dalam tabel berikut ini:14

Tabel. 1

Persebaran Suku Dayak di Samalantan dan Monterado

No Suku Dayak Daerah Persebaran

1 Bakati’ Kanayatn Satango Kampung Papan Pembai, Papan Tembawang, Bekuan/ Baku’atn,

Nibatn, Tayatn, Singkong, Bong Li Tung, Nyongsen, Set Kay In, Pak Ilo, Gua Boma, dan Ten Pung

3 Kanayatn Sawak-Badamea Sawak Ulu:

(57)

Sawak Ilir:

4 Salako Badamea-Gajekng Gajekng Ulu:

Kampung Taradu Pato’, Subale,

5 Salako Garantukng-Sakawokng Sendoreng/ Sanorekng, Rantau, Sei Petai, Pasar Sebau, dan Berabas Baru

(58)

suku dan bahasa Dayak, yaitu unsur bahasa itu sendiri, unsur geografis seperti sungai, gunung, hutan, dan unsur wilayah adat atau binua.15 Unsur bahasa dipakai untuk penamaan bahasa suku yang pada penggunaan bahasa mereka sering melakukan perulangan kosa-kata, misalnya kati’ (artinya tidak). Kata ini sering muncul dalam setiap percakapan sehari-hari sehingga bahasa mereka kemudian disebut dengan bahasa Bakati’. Letak geografis tempat bermukimnya subsuku yang menggunakan bahasa Bakati’ tersebut juga ikut memberikan pengaruh pada penamaan subsuku

Dayak di Bengkayang sehingga dikenal beberapa subsuku Dayak Bakati’

Rara, Dayak Bakati’ Palayo, dan lain-lain.

Selain di wilayah Kabupaten Bengkayang, Suku Dayak juga tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Sambas. Suku Dayak yang bermukim di Kabupaten Sambas adalah kelompok minoritas berdasarkan data sensus penduduk tahun 2011 diketahui hanya sebesar ±5% dari total jumlah penduduk di Kabupaten Sambas. Penyebaran Suku Dayak di Kabupaten Sambas terdapat di empat kecamatan, yakni Kecamatan Sajingan Besar

(Dayak Salako), Kecamatan Subah (Dayak Bakati’), Kecamatan Tebas,

dan Kecamatan Selakau. 2. Suku Madura

Asal muasal kata Madura ada yang menyebutkan berdasarkan cerita rakyat, ada pula yang mengatakan kata Madura diberikan karena melihat mayoritas penghasilan masyarakat Madura. pulau Madura mendapat

15

(59)

julukan “Madu dari Segara”, dalam bahasa Jawa disebut “Madu Segara”

sehingga terjadilah rangkaian kata Madura.16 Penuturan asal muasal kata Madura menurut versi cerita rakyat adalah sebagai berikut:17

“Dahulu ada seorang putri raja yang tidak mau dikawinkan. Akan

tetapi lama kelamaan putri tersebut hamil tanpa suami. Raja merasa malu karena anaknya hamil tanpa suami. Raja menyuruh patihnya membuang anak tersebut. Untuk keperluan itu sang patih membuat perahu, kemudian sang putri disuruh naik dan dilepas di lautan. Akhirnya perahu tersebut terdampar di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Di pulau inilah sang putri melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut diberi nama Adi Segoro, lalu dikenal dengan nama Maddhuna Saghara. Dari kata tersebut kemudian menjadi Maddhuna dan akhirnya menjadi kata Madura seperti sekarang ini. Ada versi lain menyebutkan bahwa nama Madura erat sekali hubungannya dengan penyerangan Joko Tole atau Dampo Abang, raja negeri Cina yang hendak memperistri gadis-gadis Madura atau menghisap madunya gadis Madura. akan tetapi Dampo Abang mengalami kekalahan. Dengan kekalahan tersebut berarti gadis Madura masih asli, maksudnya belum dihisap. Dari kata Maddhuna-Dhara (Madu Gadis) timbullah nama Madura seperti sekarang ini.” Suku Madura adalah masyarakat Madura yang mendiami sebuah pulau tepat di atas Pulau Jawa di bagian Timur. Pulau Madura terletak diantara 113-115’ Bujur Timur dan 6.5-7.5’ Lintang Selatan dengan batas wilayah sebagai berikut:18

16

Kundharu Saddhono, Etnik Madura Perspektif Integrasi Linguistik Kultural, Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta didukung Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2006, hlm. 28.

17

Sodaqoh Zainudin dalam Kundharu Saddhono, Ibid, hlm.27-28. 18

(60)

a. Sebelah Selatan berbatas dengan Selat Madura b. Sebelah Utara berbatas dengan Laut Jawa c. Sebelah Timur berbatas dengan Laut Jawa d. Sebelah Barat berbatas dengan Selat Madura

Selain bermukim di Pulau Madura dan beberapa pulau-pulau kecil disekelilingnya, banyak pula etnis Madura yang telah bermigrasi ke luar Pulau Madura terutama di Jawa Timur (lebih khusus lagi di Malang) juga termasuk yang bermukim dan menetap di wilayah-wilayah lainnya seperti Jakarta, Kalimantan (terutama di Kotawaringin, Sambas, Banjarmasin, dan sebagainya), Sulawesi (terutama di Ujung Pandang), Bali, NTT dan sebagainya, bahkan banyak diantara mereka yang hijrah ke Singapura, Malaysia, dan Saudi Arabia.19

Suku Madura merupakan salah satu dari banyak suku pendatang yang mendiami kawasan Kalimantan Barat. Orang-orang Madura perantau itu (dahulu memberikan alasan) terpaksa meninggalkan Pulau Madura karena mencari nafkah.20 Mereka kebanyakan berasal dari Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang, Madura. Kabupaten Bangkalan merupakan daerah dataran rendah yang memiliki luas wilayah 1.350 km2. Bagian selatan Kabupaten Bangkalan Berbatasan dengan Selat Madura. Bagian Utara-nya berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kabupaten

19 K. H. Moh. Tidjani Djauhari, (1996), “Peran Islam dalam Pembentukan

Etos Masyarakat Madura”, dalam Aswab Mahasin, dkk. (Ed), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, hlm. 250.

20

(61)

Sampang terletak pada 13’08”-113’39” BT (Bujur Timur) dan 7’13” LS (Lintang Selatan) dengan luas wilayah 1.233,33 km2 (terdiri dari daratan dan sebuah pulau terpisah bernama Pulau Mandangin/ Pulau Kambing) yang terbagi menjadi 14 kecamatan dan 186 desa/ kelurahan. Bagian Timur Kabupaten Sampang diapit oleh Kabupaten Pamekasan, sementara di sebelah Barat diapit oleh Kabupaten Bangkalan. Selat Madura adalah batas wilayah Kabupaten Bangkalan di bagian selatan.

Migrasi Suku Madura untuk yang pertama kalinya ke Kalimantan Barat terjadi pada tahun 1902. Kedatangan para pekerja dari Madura ke Kalimantan Barat pertama kali di Ketapang, kemudian menyebar ke Pontianak pada tahun 1910, dan Sambas pada tahun 1930. Kedatangan para pendatang dari kalangan Madura ke Kalimantan terjadi dalam tiga periode. Periode awal kedatangan mereka, dimulai pada tahun 1902-1942 (periode perintisan), periode kedua pada tahun 1942-1950 (periode surut), dan periode keberhasilan setelah tahun 1950.21 Periode perintisan dikenang sebagai sebuah masa yang penuh dengan penderitaan karena para pendatang yang pertama kali masuk ke Kalimantan Barat harus mengalami kehidupan yang keras dan berhadapan dengan perdagangan manusia yang terselubung ditambah lagi pada masa itu Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda dan menjelang akhir periode perintis, Indonesia mulai dijajah oleh Jepang. Para juragan mendatangkan para pekerja asal Madura

21

(62)

oleh para juragan melalui jasa perantara untuk dibawa ke Kalimantan Barat dengan iming-iming bahwa ditempat baru mereka akan lebih mudah mendapat pekerjaan. Setelah kedatangan mereka ke Kalimantan Barat,

para juragan mereka lalu “menjual” para pendatang baru ini ke pihak -pihak yang memerlukan jasa pekerja dengan masa kerja dua tahun.22 Setelah masa itu berakhir, barulah mereka bebas menentukan untuk mencari kerja di tempat lain atau tetap bertahan di tuan mereka yang lama. Jumlah orang Madura yang datang ke Kalimantan Barat pada periode kedua (1942-1950) mengalami penurunan yang sangat drastis. Jumlah mereka sangat kecil. Hal ini dikarenakan pada masa itu Indonesia berada di bawah penjajahan Jepang dimana kehidupan penuh dengan penderitaan yang berat, serta situasi keamanan yang tidak mantap.23 Setelah tahun 1950, jumlah migrasi etnis Madura ke Kalimantan Barat meningkat. Periode ini dikenal sebagai periode keberhasilan (1950-1980). Banyak dari mereka dapat memperbaiki perekonomian mereka pada periode ini. Kedatangan mereka di Kalimantan Barat sebagian besar karena mengikuti program transmigrasi dari pemerintah. Selebihnya, migrasi warga Madura yang merantau ke Kalimantan Barat karena atas kemauan mereka sendiri. Migrasi semacam ini disebut transmigrasi spontan. Transmigrasi spontan

22

Ibid., hlm. 77. 23

(63)

inilah yang justru menyumbangkan jumlah terbesar bagi keberadaan etnis Madura di Kalimantan Barat.24

Suku Madura mulai merambah masuk ke wilayah Kecamatan Samalantan dimulai sekitar tahun 1939.25 Menurut Hendro Suroyo Sudagung dalam bukunya yang berjudul “Mengurai Pertikaian Etnis

Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat” mengkalkulasikan jumlah pendatang Madura yang bermukim di Samalantan berdasarkan data dari Kantor Pemerintah Daerah tingkat II Sambas tahun 1980 berjumlah 4.206 orang. Mereka tersebar di beberapa kampung, yakni Kampung Marga Mulia (1.022 orang), Kampung Sendoreng (625 orang), Kampung Jirak (594 orang), Kampung Mendung Terusan (556 orang), Kampung Monterado (204 orang), Kampung Sungai Petai (855 orang), dan Kampung Kincir (350 orang).26 Penjelasan tentang jumlah penduduk Madura di daerah Samalantan dan Monterado akan diuraikan dalam tabel berikut ini:27

24

Asnaini, Laporan Penelitian Kepemimpinan Lokal Orang Madura di Kota Pontianak. Pontianak: Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Tanpa Tahun, hlm. 30.

25

Hendro Suroyo Sudagung, loc. cit., hlm. 71. 26

Ibid., hlm. 70. 27

(64)

Tabel. 2

Jumlah Suku Madura yang bermukim di Samalantan tahun 1980

No Nama Kampung Jumlah

Sebagai perbandingan, jumlah Suku Madura di Kabupaten Sambas pada tahun 1980 adalah 3,3% (20.000 jiwa) dari total keseluruhan jumlah penduduk yang berjumlah 601.831 jiwa. Mereka (Madura) tersebar di sembilan kecamatan. Peta persebaran orang Madura di Kabupaten Sambas akan diuraikan dalam tabel berikut ini:28

Tabel. 3

Perkiraan Jumlah Orang Madura di Sambas Tahun 1980

No Kecamatan Jumlah Prosentase

(65)

7 Pemangkat 1.656 2,3

8 Sungai Raya 1.500 4

9 Selakau 1.428 5

Total 20.000

Persentase tertinggi terdapat di Kecamatan Samalantan yang peta persebarannya telah dijelaskan dalam tabel. 2 yakni sebesar 19,9%. Selain menebar di kampung-kampung yang ada di Kecamatan Samalantan, Suku Madura juga menyebar di kampung-kampung yang ada di Kecamatan Singkawang, Kecamatan Tebas, dan Kecamatan Sanggau Ledo. Peta persebaran mereka akan terangkum dalam tabel berikut ini:29

Tabel. 4

Persebaran Madura di Kecamatan Singkawang, Tebas, dan Sanggau Ledo

No Kecamatan Kampung Jumlah

(66)

Sungai Garam Hulu 1

Pola interaksi Suku Madura cenderung hidup mengelompok. Mereka membuat rumah atau kamar saling berdempetan satu dengan lainnya. Pola pemukiman yang saling berdekatan satu sama lain ini dalam pola pemukiman orang Madura di Bangkalan dan Sampang disebut Tanean

Lajang.30

Suku Madura dalam pelapisan sosial masyarakatnya membagi masyarakatnya ke dalam beberapa tingkatan yang dilihat berdasarkan garis keturunan, kekuasaan, tingkat pendidikan, kekayaan maupun usia.

30

Gambar

Tabel. 1 Persebaran Suku Dayak di Samalantan dan Monterado
Tabel. 3 Perkiraan Jumlah Orang Madura di Sambas Tahun 1980
Tabel. 4 Persebaran Madura di Kecamatan Singkawang, Tebas, dan Sanggau Ledo
Gambar. 1 Peta Pulau Madura
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada dua rumusan masalah yang hendak dikaji dalam skripsi ini, yaitu: 1) Bentuk perubahan masyarakat industri rumah tangga di Desa Purwodadi Kecamatan Sidayu Kabupaten

Skripsi ini berjudul “HAMANG UTAN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN KONFLIK (STUDI BUDAYA PADA MASYARAKAT DI WILAYAH ADAT NAPAULUN KECAMATAN ILE APE KABUPATEN LEMBATA)”

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Madura di Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep” bukan merupakan hasil karya tulis orang lain,