• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI KEBIJAKAN PUBLIK DAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI KEBIJAKAN PUBLIK DAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

Kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pemerintahannya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kebijakan publik dan hukum mempunyai peranan yang penting. Pembahasan mengenai hukum dapat meliputi dua aspek yaitu :

Pertama, aspek keadilan menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di tengah sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat.

Kedua, aspek legalitas ini menyangkut apa yang disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum (Wibowo, et. al., 2004 : 30-31).

Berdasarkan kedua aspek tersebut, seringkali terjadi perbenturan di mana “terkadang

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

I Wayan Suandi

Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana, Bali ABSTRACT :

Public policy and law need each other in the implementation of local government. Both of them are in relation to public interest. In generally, public policy will be legal if it is made in a law whereas the law is a result from public policy. Furthermore, legal product without the processing of public policy will lose the meaning of its substancy. On the contrary, if the processing of public policy without legalization so, its operational dimension will be weak. Therefore, both of them are important to regulate the public interest.

Key words : public policy, law and the implementation of local government

hukum positif ternyata tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak mempunyai kepastian hukum. Di tengah itu maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu sendiri” (Wibowo, 2004).

Berangkat dari kesadaran tersebutlah maka selanjutnya hukum pada dasarnya akan lebih banyak berbicara pada “sekian banyak rentetan aturan-aturan yang sah dan legal. Masyarakat akan lebih banyak dikendalikan dinamika sosialnya oleh aturan-aturan ini. Pada sisi ini kemudian masyarakat modern memunculkan gagasan tentang kebijakan publik sebagai sebuah instrumen dalam mengendalikan masyarakat” (Wibowo, 2004). Dengan demikian maka melalui kebijakan publik ini akan dilakukan penyesuaian bagi penerapan hukum dalam penyelenggaraan

(2)

pemerintahan daerah agar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang sekaligus dapat menumbuhkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Kebijakan publik berperan sebagai pengaturan masyarakat yang pada umumnya menekankan pada proses dengan tetap memerlukan hukum untuk keabsahan dari kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang hendak dibahas adalah mengenai bagaimanakah eksistensi kebijakan publik dan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ?

2. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik. Kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata Inggris policy artinya politik, siasat, kebijaksanaan (Wojowasito, 1975 : 60). Dalam pembahasan ini kebijakan dibedakan dengan kebijaksanaan. Menurut M. Irfan Islamy, policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada didalamnya (Islamy, 1999 : 13). Policy atau kebijakan ini “tertuang dalam dokumen resmi .... Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, ... misalnya di dalam UU, PP, Keppres, Peraturan Menteri (Permen), Perda dan lain-lain” (Lubis, 2007 : 5). Dengan demikian, kebijakan (policy) adalah “seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”.

Kata publik mempunyai makna atau pengertian yang dapat berbeda dengan pengertian masyarakat. Perbedaan pengertiannya adalah :

Masyarakat diartikan sebagai sistem antar hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat atau membatasi kehidupan anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma atau nilai yang mengikat/ membatasi perilaku publik sebagaimana halnya pada masyarakat karena publik itu sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol adalah mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama (Islamy : 1.6).

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang mempunyai dampak terhadap banyak orang. Sehubungan dengan ini Mac Rae dan Wilde mengartikan kebijakan publik sebagai :

Serangkaian tindakan yang dipilih oleh Pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar orang. Pengertian ini mengandung maksud bahwa kebijakan itu terdiri dari berbagai kegiatan yang terangkai, yang merupakan pilihan Pemerintah dan kebijakan tersebut mempunyai pengaruh dan dampak terhadap sejumlah besar orang. Karena kebijakan merupakan suatu rangkaian tindakan, maka suatu contoh misalnya keputusan seorang Rektor menerima seorang mahasiswa pindahan dari universitas lain, maka itu tidak dapat disebut sebagai kebijakan. Tetapi bila keputusan-keputusan tersebut berkenaan dengan penentuan syarat-syarat yang diperlukan bagi semua mahasiswa pindahan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah itu maka hal tersebut baru dapat disebut sebagai kebijakan. Jadi

(3)

kebijakan itu harus terdiri dari berbagai kegiatan dan berdampak terhadap banyak orang (Islamy : 1.7).

Berkaitan dengan kebijakan publik ini, Thomas R. Dye mengemukakan bahwa :

Public policy is whatever governments choose to do or not to do. Governments do many thinks; they regulate conflict within society; they organize society to carry on conflict with other societies; they distribute a great variety of symbolic rewards and materials services to members of the society; and they extract money from society, most often in the form of taxes. Thus public policies may be regulative, organizational, distributive, or extractive – or all these things at once ( Dye, 1978 : 3-4).

Pada prinsipnya kebijakan publik itu meliputi apapun yang dipilih atau tidak dipilih oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Lebih lanjut Thomas R. Dye mengemukakan bahwa “Public policies may deal with a wide variety of substantive areas defense, foreign affairs, education, welfare, police, highways, taxation, housing, social security, health, economic opportunity, urban development, inflation and recession, and so on” (Dye, 1978). Demikian juga, Easton mengemukakan kebijakan publik dapat diartikan sebagai “pengalokasin nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat” (Islamy : 1.9). Maksudnya, hanya Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah yang dapat melakukan tindakan-tindaknan secara sah untuk memaksakan nilai-nilai kepada masyarakatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian tindakan yang dipilih dan

dialokasikan secara sah oleh pemerintah/negara kepada seluruh anggota masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan publik” (Islamy : 1.9). Definisi kebijakan publik seperti ini mempunyai implikasi sebagai berikut :

1) Kebijakan publik itu berbentuk pilihan tindakan-tindakan pemerintah;

2) Tindakan-tindakan pemerintah itu dialokasikan kepada seluruh masyarakat sehingga bersifat mengikat;

3) Tindakan-tindakan pemerintah itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu; 4) Tindakan-tindakan pemerintah itu selalu

diorientasikan terhadap terpenuhinya kepentingan publik.

Jadi, yang menjadi fokus pengkajian dalam kebijakan publik adalah kepentingan publik. Oleh karenanya, dalam konteks ini “kebijakan publik dan pengambil kebijakannya itu (birokrat) harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat atau Islamy menyebutnya dengan semangat kepublikan” (Putra, 2001 : 19). Pada kesempatan tersebut Islamy mengemukakan bahwa :

Kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator publiknya yaitu dengan harapan agar mereka selalu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik. Untuk dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik, maka administrator publik perlu memiliki semangat “kepublikan” (the spirit of publicness). Semangat responsibilitas administratif dan politis harus melekat juga pada diri administrator publik, sehingga ia dapat menjalankan peran profesionalnya dengan baik. Kalau kepentingan publik adalah sentral maka menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas obyektif dan subyektifnya

(4)

serta meningkatkan aktualisasi dirinya” (Putra : 20).

Berdasarkan uraian ini, dapat dikatakan bahwa orientasi dari kebijakan publik adalah kepentingan publik. Dengan demikian dapat diartikan pula bahwa :

Studi ini pada tataran konseptual harus memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan kepentingan tersebut. Sebab, seperti telah sering diungkap dimuka bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula problem solver. Sementara problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupan bermasyarakat , artinya problem kebijakan itu tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Dan oleh karena itulah ia juga tumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri” (Putra : 20).

Kebijakan publik secara mendasar merupakan upaya yang dilandasi pemikiran rasional untuk mencapai suatu tujuan ideal diantaranya adalah :

Untuk mendapatkan keadilan, efisiensi, keamanan, kebebasan serta tujuan-tujuan dari suatu komunitas itu sendiri. Keadilan pada konteks ini diartikan sebagai memperlakukan seolah-olah seperti sama (treating likes alike), sedangkan efisiensi diartikan usaha mendapatkan output terbanyak dari sejumlah input tertentu. Keamanan diartikan pemuasan minimum atas kebutuhan manusia dan kebebasan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan sepanjang tidak mengganggu individu lain (Wibowo : 2004).

Poin-poin tersebut seringkali dijadikan sebagai “justifikasi dari kebijakan, tindakan pemerintah, atau juga pertimbangan apakah pemerintah akan segera melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Selain itu, poin-poin ini juga dipakai sebagai kriteria untuk mengevaluasi

program-program publik dalam hal ini poin-poin tersebut berfungsi sebagai standar atas program yang dievaluasi tersebut” (Wibowo : 2004).

3. HUBUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK

DAN HUKUM DALAM KONTEKS P E N Y E L E N G G A R A A N PEMERINTAHAN DAERAH

Pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, negara hukum merupakan salah satu tujuan negara, maksudnya :

Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan ialah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan negara sendiri. Baik negara maupun perseorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan lain sebagai sesamanya, sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa” (Yunas, 1992 : 26).

Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka tindakan yang dilakukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan tindakannya ini dapat dilihat

(5)

dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang sekaligus memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum administrasi adalah “melindungi administrasi negara itu sendiri (Basah, 1992 : 6). Maksudnya, kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Daerah akan mendapat perlindungan hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembatasan ini perlu dilakukan karena “sekecil apa pun kekuasaan yang digenggam satu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur” (Lay, 1997 : 12).

Seperti diketahui, hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka hukum dapat dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat;

2. Hukum merupakan sarana Pemerintah untuk menerapkan sanksi;

3. Hukum sering dipakai oleh Pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik;

4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya. (Sunggono, 1994 : 76-77).

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy” (Sigler, Beede and Rutgers, 1977 : 4). Dengan demikian, dasar bagi suatu pembuatan kebijakan publik oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan “Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

(6)

Kemudian dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat ,

dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Sehubungan dengan peraturan perundang-undangan ini, dalam Pasal 7 ayat (4) ditentukan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam penjelasan pasal ini ditentukan bahwa :

Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, kepala bidang, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan

yang baik (general principle of good administration). Asas-asas ini meliputi : 1. Asas kepastian hukum (principle of legal

security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality); 4. Asas bertindak cermat (principle of

carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)

6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence);

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation); 10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu

keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision); 11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia);

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service). (Syafrudin, 1994 : 38-39)

Asas kepastian hukum ( principle of legal security) mempunyai dua aspek yakni aspek material dan formal. Aspek material dari kepastian hukum berhubungan erat dengan asas kepercayaan. Dalam keadaan tertentu asas kepastian hukum dapat menghalangi badan

(7)

pemerintah untuk menarik kembali suatu ketetapan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Kemudian sisi formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan yang menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas ini memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya.

Asas keseimbangan (principle of proportionality), artinya kepentingan-kepentingan yang mempunyai hubungan langsung dengan kebijakan publik harus dipertimbangkan secara seimbang. Akibat dari suatu kebijakan publik harus sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pembuatan kebijakan publik sehubungan dengan asas keseimbangan sebagai berikut :

1. Kepentingan-kepentingan yang relevan harus dipersamakan;

2. Harus ada beberapa nilai kepentingan bagi pelaksanaan keseimbangan;

3. Beberapa pandangan harus diterima sebagai kepentingan tertentu yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain secara keseluruhan.

4. Keputusan badan publik harus dibuat sungguh-sungguh seimbang;

5. Pengadilan akan menentukan bagaimana menggunakan kriteria pengujian secara intensif. (Craig, 1994 : 414-415)

Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality), maksudnya hal-hal yang sama harus diperlakukan sama. Asas kesamaan ini dipandang sebagai salah

satu asas yang paling mendasar dan berakar di dalam kesadaran hukum warga masyarakat. Asas persamaan memaksa Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat tidak diskriminatif.

Asas bertindak cermat (principle of carefulness), mensyaratkan agar pemerintah sebelum membuat kebijakan publik meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan ke dalam pertimbangannya.

Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation), maksudnya suatu kebijakan publik harus dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya.

Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), artinya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain dari tujuan yang ditentukan untuk kewenangan itu.

Asas permainan yang layak (principle of fair play), maksudnya Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan publik yang dibuatnya.

Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness), maksudnya Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh membuat kebijakan yang sewenang-wenang karena kebijakan demikian ini dapat menimbulkan kerugikan bagi warga masyarakat. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation), artinya harapan-harapan yang ditimbulkan oleh janji-janji Pemerintah terhadap warga masyarakat

(8)

secara layak harus dihormati. Kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Daerah harus sesuai dengan harapan-harapan yang dijanjikannya karena kalau tidak maka dapat mengurangi kepercayaan warga masyarakat terhadap Pemerintah Daerah.

Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision), maksudnya dapat saja terjadi bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dibatalkan oleh Pejabat yang berwenang. Dengan demikian, Pemerintah wajib meniadakan kerugian-kerugian yang telah diderita oleh warga masyarakat.

Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life), artinya sesuatu yang dianggap baik berupa pandangan hidup pribadi warga masyarakat wajib diperhatikan pada saat dibuatnya kebijakan publik.

Asas kebijaksanaan (sapientia), artinya jika Pemerintah Daerah membuat kebijakan publik dalam penerapan asas kebijakasanaan wajib ditentukan kerangka hukumnya secara pasti untuk mencegah terjadinya penafsiran ambivalen yang dapat merugikan warga masyarakat.

Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service), artinya kepentingan umum menunjukkan kepentingan sebagian besar warga masyarakat yang sepatutnya didahulukan dari kepentingan pribadi dan golongan oleh Pemerintah Daerah dalam pembuatan kebijakan publik.

Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik adalah penting dengan maksud

agar penerapan hukum itu dapat menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan dalam bentuk hukum , karena sebuah hukum adalah hasil dan kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas. Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan prinsip saling mengisi” (Wibowo : 32). Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa “sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut (Wibowo. : 32).

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kebijakan publik dengan hukum berjalan seiring, sejalan dengan prinsip saling mengisi. Kebijakan publik umumnya dilegalisasikan dalam bentuk hukum sedangkan hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Maksudnya, sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik maka produk hukum tersebut dapat kehilangan makna substansinya.

Sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum maka dimensi operasionalisasinya akan menjadi lemah. Dengan demikian, kebijakan publik perlu dilegalisasi dalam bentuk hukum dengan tujuan untuk

(9)

menjamin legalitasnya di lapangan. Kadang-kadang dapat terjadi bahwa aturan hukum yang telah ditetapkan memerlukan kurun waktu tertentu agar dapat berlaku secara efektif. Dalam kondisi demikian ini, kebijakan publik diperlukan sebagai sarana untuk mendukung hukum agar penerapannya sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam pembahasan ini disarankan agar para pembuat kebijakan publik dalam membuat kebijakan sebaiknya sungguh-sungguh memperhatikan hubungan antara kebijakan publik dengan hukum sehingga kebijakan yang dibuatnya tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan kepada warga masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Basah, Sjachran, Perlindungan Hukum terhadap sikap tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992.

Dye, Thomas R., Understanding public policy, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1978.

Lay, Cornelis, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian atas Lembaga Kepresidenan RI, Pandega Media dengan BEM UGM, Yogyakarta, 1997.

Lubis, M.Solly, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Putra, Fadillah, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Sigler, Jay A., et. al., The Legal Sources of Public Policy, Lexington, Massaehusetts, Toronto, 1977.

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Syafrudin, Ateng, “Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), penyusun : Paulus Effendie Lotulung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Wibowo, Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik,

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004.

Wojowasito, S., et. al., Kamus Umum Inggris-Indonesia, Cypress, Jakarta, 1975. Yunas, Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum,

Angkasa Raya, Padang, 1992.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan asums dasar mengena keterkatan antara komodtas Pura Trta Empul dengan kehdupan sosal budaya masyarakat, maka Pura Trta Empul sebaga produk budaya

Kelemahan pemahaman masyarakat di dalam memaknai asas hukum pertanahan yaitu hak atas tanah bersifat mutlak, kuat dan abadi, sehingga pemikiran mereka hak

menggunakan dua skenario, dimana skenario pertama modal yang digunakan adalah modal sendiri dan skenario kedua modal berasal dari pinjaman bank, yaitu sebesar Rp74.750.000,00, dengan

Rp 223.907.057.000.000,00 (dua ratus dua puluh tiga triliun sembilan ratus tujuh miliar lima puluh tujuh juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), maka dalam

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Todaro (2006) bahwa pada negara berkembang seperti Indonesia, baik secara nasional maupun pada tingkat

Adanya interaksi DGU dan DGK terhadap lokasi pada karakter tertentu menunjukkan bahwa efek daya gabung umum tetua dan daya gabung khusus hibrida pada karakter tersebut dapat

Hukum perizinan merupakan hukum publik yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah di pusat maupun di daerah sebagai aparatur penyelenggaraan negara mengingat

TT : Tinggi tanaman (cm), JA : Jumlah anakan (batang per rumpun), UB : Umur berbunga (hst), UP : Umur panen (hst), BK : Bobot kering brangkasan (gram), DH : Daya hasil (ton