• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Pengaruh Sinar Fototerapi Terhadap Bilirubin Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "C. Pengaruh Sinar Fototerapi Terhadap Bilirubin Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya telah secara Drastis membatasi penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011).

Kecenderungan pulang awal pada bayi cukup bulan akhir - akhir ini semakin meningkat karena alasan medis, sosial, dan ekonomi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pulang awal meningkatkan resiko rawat inap ulang, dan penyebab tersering rawat inap ulang selama periode neonatal awal adalah hiperbilirubinemia (Triasih, 2003). Pada awal era 90an, diperkenalkan program pemberian ASI eksklusif dan rumah sakit sayang bayi. Seiring dengan mulai diterapkannya praktik sedini mungkin dan ASI eksklusif, frekuensi kejadian ikterik neonatorum semakin sering ditemui (Uhudiah, 2003).

Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati neonatus belum dapat membersihkan bilirubin cukup cepat dalam darah. Walaupun sebagian besar bayi lahir dengan ikterik normal, tapi mereka butuh monitoring karena bilirubin memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat (Maisels, et al, 2008). Bilirubin serum dapat naik ke tingkat berbahaya yang menimbulkan ancaman langsung dari kerusakan otak. Akut ensefalopati bilirubin gangguan yang mungkin jarang terjadi, namun sering dapat berkembang menjadi kernikterus yaitu suatu kondisi yang dapat melumpuhkan dan menimbulkan kerusakan kronis yang ditandai oleh tetrad klinis cerebral palsy choreoathetoid, kehilangan pendengaran saraf pusat, saraf penglihatan vertikal, dan hypoplasia enamel gigi sebagai hasilnya keracunan bilirubin (Wathcko, et al, 2006).

Faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir Cukup (BBLC) yang secara statistik bermakna adalah keterlambatan pemberian ASI,

(2)

efektifitas menetek dan asfiksia neonatorum menit ke-1 (Lasmani, 2000). Peningkatan yang lebih besar dan lebih berkepanjangan di tingkat bilirubin dapat disebabkan oleh gangguan hemolitik (Inkompatibilitas ABO atau faktor Rh), glukosa-6-fosfat dehidrogenase kekurangan, atau trauma kelahiran. Secara klinis hiperbilirubinemia relevan juga terlihat di antara pemberian ASI bayi baru lahir cukup bulan atau prematur (Grohmanna, et al, 2006).

Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan faktor resiko terjadinya kernikterus, misalnya kadar bilirubin bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (kramer) dilakukan di bawah sinar biasa atau day light (Hendryawati, 2011). Gambaran untuk penilaian perkembangan ikterik atau jaundice pada bayi baru lahir diantaranya dimulai dari grade 1 daerah muka atau wajah dan leher, grade 2 daerah dada dan punggung, grade 3 daerah perut dibawah pusar sampai lutut, grade 4 daerah lengan dan betis dibawah lutut, grade 5 daerah sampai telapak tangan dan kaki (Keren, et al, 2008).

Pemantauan bilirubin secara klinis ini adalah langkah awal agar dapat dilakukan intervensi selanjutnya, apakah ada indikasi bayi dilakukan fototerapi atau tidak. Cara ini dianggap lebih mudah dan murah sebagai deteksi awal dilakukannya fototerapi.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir sebelum dilakukan Fototerapi

2. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir setelah dilakukan fototerapi

3. Untuk mengetahui pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir

C. Manfaat

Diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan dan keilmuan tentang bayi baru lahir dengan ikterik yang dilakukan fototerapi.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase.Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.

Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini

(4)

kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.

B. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi yang mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.

Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5 hari.

Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi, penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).

(5)

C. Pengaruh Sinar Fototerapi Terhadap Bilirubin

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan. Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum.18 Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat.6,18 Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.

(6)

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi. Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP)

D. Sinar Fototerapi

Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.

Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm. Sinar biru lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau.

Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum. Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi. Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke

(7)

neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

E. Jarak Sinar Fototerapi

Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.

Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan menggunakan sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.

F. Penurunan Kadar Bilirubin dengan Fototerapi

Penurunan kadar bilirubin ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain spektrum sinar yang dihasilkan, besar intensitas sinar, luasnya permukaan tubuh yang terpapar, penyebab dari ikterus dan kadar serum bilirubin pada saat fototerapi dimulai. Pada saat kadar bilirubin yang tinggi (lebih dari 30 mg/dL [513 μmol/L]) dengan menggunakan fototerapi ganda, kadar bilirubin akan mengalami penurunan sekitar 10 mg/dL (171 μmol/L) dapat terjadi dalam beberapa jam.

Garg AK dkk menyatakan fototerapi ganda lebih cepat menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan menggunakan fototerapi tunggal, selain mudah dilakukan dan lebih efektif. Dengan menggunakan sinar biru jarak yang terbaik untuk menurunkan kadar bilirubin adalah jarak 10 cm dengan penurunan kadar bilirubin sekitar 58% dibandingkan dengan jarak 30 cm dengan penurunan kadar bilirubin sekitar 45% dan 50 cm dengan penurunan kadar bilirubin sekitar 13%.20.

(8)

BAB III KESEIMPULAN

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin.untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.

Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Surasmi. S.php3?edisi=08392&rubrik=bayi.Suriadi. Etential of Nursing. Luis : The CV MosbyCompanyiii.ii. Ilmu Kesehatan anak.x.xi.Pritchard.com/artikel.

http://ba-yikuning.blogspot.co.id/2016/05/makalah hierbilirubinmlscribd.html.

http://www. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Pedoman Klilik Pediatrik.vi. 2001.tempointeraktif. Jakarta :PT.Solahudin. J

Referensi

Dokumen terkait

Perjalanan penyakit appendisitis akut bisa terhenti pada stadium akut fokal, namun mukosa yang telah mengalami iritasi akan menyisakan jaringan parut dalam proses

Dalam hasil wawancara dengan Benny Subiantoro, hasil karya beliau berupa lukisan dengan objek Tana Toraja, media cat air di koleksi (dibeli) oleh seorang dosen

Hal ini dapat dilihat dari beberapa karakteristik yang dapat dikenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang telah dikemukakan

Mata kuliah MBS pada kurikulum Program Studi PGSD, FKIP Universitas Tadulako telah dikembangkan secara bertahap dan pada tahun 2012 jumlah SKS MK MBS yang tadinya 2

Suplementasi enzim cairan rumen pada pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan campuran bahan nabati tepung daun lamtorogung pada penelitian ini

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karuia-Nya, Tugas Askhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar

Tabel 2 menampilkan identifikasi kendala terhadap pelaksanaan sinergitas program dalam penanganan infrastruktur jalan dan pemasangan utilitas di wilayah Kota

Dalam bagian ini penulis akan melakukan pembahasan tentang kajian representasi analisis semiotika pesan moral yang mengandung unsur makna atau nilai cinta dan kasih