• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Fraser (2009) sectio cesarea merupakan prosedur operatif yang dilakukan di bawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Menurut Fraser (2009) sectio cesarea merupakan prosedur operatif yang dilakukan di bawah"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar Wiknjosastro (2007). Bentuk persalinan dibagi menjadi 3, yaitu persalinan spontan, persalinan buatan dan persalinan anjuran. Persalinan spontan apabila persalinan seluruhnya berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri (normal). Persalinan anjuran adalah persalinan yang kekuatan untuk persalinan ditimbulkan dari luar dengan jalan rangsangan (induksi, vaml um , episiotomi). Persalinan buatan apabila proses persalinan yang dilakukan dengan bantuan tenaga dari luar ( sectio secarea /SC) (Kasdu, 2003).

Sectio cesarea adalah suatu teknik pembedahan untuk melahirkan janin melalui insisi dinding abdomen dan uterus sehingga janin dapat dilahirkan melalui dinding perut dan rahim agar janin lahir dalam keadaan utuh dan sehat (Jitowiyono & Kristiyanasari 2010). Menurut Fraser (2009) sectio cesarea merupakan prosedur operatif yang dilakukan di bawah anestesia sehingga janin, plasenta dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus.

Jumlah persalinan sectio cesarea di Indonesia selalu mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dari survei sederhana yang dilakukan Prof. Dr. Gulardi dan dr. A Basalamah pada tahun 1993, tercatat hanya 17.665 kelahiran sectio cesarea (Kasdu, 2003). Jumlah tersebut meningkat tajam menjadi 921.000 dari 4,039.000 persalinan atau meningkat 5213 % pada tahun 2007 (Sectio cesarea, 2010).

(2)

Survey awal yang peneliti lakukan di RSUD Cilacap menunjukkan bahwa Jumlah persalinan sectio cesarea dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 Jumlah persalinan sectio cesarea sebanyak 364 kasus dari 1263 persalinan atau 28,82%, pada tahun 2009. Jumlah persalinan sectio cesarea sebanyak 426 kasus dari 1463 persalinan atau 29,12 %, pada tahun 2010 Jumlah persalinan sectio cesarea sebanyak 371 kasus dari 1548 persalinan atau 23,96% dan pada tahun 2011 Jumlah persalinan sectio cesarea sebanyak 326 dari 1780 persalinan atau 18,3%.

Sebagai prosedur operasi, maka pelaksanaan sectio cesarea memerlukan tindakan anestesi. baik anestesi umum maupun anestesi lokal atau regional. Tindakan anestesi tersebut dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani prosedur operasi (Yuswana 2005).

Anestesia yang digunakan pada operasi sectio cesarea tidak sama dengan jenis anestesi pada prosedur operasi lain, karena harus meminimalkan transfer obat anestesi ke janin melalui placenta ibu. Obat dan teknik anestesi yang digunakan untuk operasi sectio cesarea harus dipilih yang baik untuk ibu, janin serta tidak mempengaruhi kontraksi ibu (Wirjoatmodjo 2005).

Dalam kondisi ibu dan fetus normal, anestesi umum memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya Apgar skor yang lebih rendah. Oleh karena itu, dalam operasi sectio cesarea , anestesi regional lebih sering digunakan dibandingkan anestesi general. Regional anestesi akan memberikan hasil neonatal terpapar lebih sedikit obat anestesi, terutama saat digunakan teknik spinal, memungkinkan ibu dan pasangannya mengikuti proses kelahiran bayi mereka dan memberikan pengobatan rasa sakit pascaoperasi yang lebih baik (Gruendemann & Fernsebner, 2006).

(3)

Teknik anestesi spinal mempunyai banyak keuntungan seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang lebih kecil, blok anesthesi yang baik, perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan penyulitnya telah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi dan adanya jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dengan anak segera setelah persalinan (Eliza, 2008).

Meskipun merupakan teknik anestesi terbaik bagi sectio cesarea , tetapi anestesi spinal juga memiliki kekurangan. Eliza (2008) menyatakan potensi untuk hipotensi dengan teknik spinal merupakan risiko terbesar bagi ibu bersalin. Gruendemann dan Fernsebner (2006) juga menyampaikan pendapat sebada bahwa anestesi spinal pada operasi sectio cesarea merupakan tantangan tersendiri bagi ahli anestesi karena seringkali terjadi kasus hipotensi pasca pembedahan. Pendapat senada dikemukakan Oxorn dan Forte (2010) yang mengatakan mengatakan kerugian utama anestesi spinal pada sectio cesarea adalah tingginya angka kejadian hipotensi maternal.

Hipotensi pasca anestesi spinal adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan tekanan darah mencapai 1/3 dibawah level pra bedah. Penurunan tekanan sistol menjadi 80 mm Hg dan diastole 60 mm Hg harus mendapat perhatian (Yuswana 2005). Selain dengan pengukuran tekanan sistol dan diastole, penentuan hipotensi pasca anestesi spinal lebih mudah menggunakan perhitungan Mean Arterial Pressure, yaitu tekanan di seluruh sistem arteri pada satu siklus jantung. Mean Arterial Pressure adalah tekanan di seluruh sistem arteri pada satu siklus jantung. Mean Arterial Pressure merupakan hasil perkalian curah jantung dengan tahanan perifer. Mean Arterial Pressure <70 mmHg dapat dikategorikan

(4)

Gruendemann dan Fernsebner (2006) menyatakan bahwa hipotensi berat pasca anestesi spinal sebagai akibat blok simpatis terjadi vasodilatasi pembuluh darah ( venous pooling) yang menyebabkan meningkatkan ruang dalam pembuluh darah yang berakibat menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung. Pada keadaan ini terjadi pooling darah dari jantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi pasca anestesi spinal. Selain itu, Benson dan Pernoll (2009) menambahkan bahwa hipotensi pasca anestesi spinal dapat disebabkan oleh naiknya zat anestetik karena penyuntikan obat anestesi yang cepat atau ketegangan yang dialami oleh pasien.

Kondisi hipotensi seringkali akan lebih berat pada pasien dengan hipovolemi. Hipotensi biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat anestesi. Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub arakhnoid dan meluasnya blok (Gruendemann & Fernsebner, 2006).

Salah satu penatalaksanaan untuk mencegah hipotensi pasca anestesi spinal adalah dengan pemberian cairan intravena sebelum pembiusan (Yuswana 2005). Gruendemann dan Fernsebner (2006) menyatakan bahwa pemberian cairan ringer laktat (RL) 1000 ml sebelum pelaksanaan blok syaraf dan pemberian posisi yang tepat akan memperbaiki aliran balik vena dan curah jantung, sehingga dapat menghindari terjadinya hipotensi pasca anestesi spinal. Leksana (2006) juga mengemukakan bahwa cairan yang dapat diberikan pada pre operasi adalah jenis cairan kristaloid karena memiliki tekanan onkotik yang rendah sehingga dapat dengan cepat didistribusikan keseluruh ekstraseluler.

Mekipun cairan kristaloid cepat didistribusikan keseluruh ekstraseluler, tetapi pemberian kristaloid harus tetap diperhatikan, karena salah satu kelemahan cairan kristaloid adalah

(5)

apabila berlebih dapat menimbulkan edema yang berat serta dapat mempengaruhi keseimbangan elektrolit tubuh yang berakibat gangguan keseimbangan asam-basa (Novara, 2009). Menurut Irnizarifka (2010) kelemahan lain dari RL adalah dapat menyebabkan hiperkloremia dan acidosis metabolic, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.

Pendapat berbeda dikemukakan Renata (2009) yang menyatakan bahwa pada pasien dengan anestesi regional sebaiknya diberi cairan koloid. Salah satu fungsi koloid adalah mencegah hipotensi selama anastesi spinal dan bloodsaving techniques .

Cairan Hydroxylethyl Starch (HES) mempunyai tekanan onkotik yang tinggi dan molekul molekul besar yang sulit menembus membrane kapiler dan memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume intra vaskuler. Cairan HES memiliki kemampuan menurunkan resiko kebocoran kapiler dan tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma. Kelebihan cairan HES diantaranya memiliki waktu paruh intravaskuler yang lama. Kelemahan cairan HES adalah onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, adanya efek samping pada pemakaian dan harganya lebih mahal (Irnizarifka 2010).

Berdasarkan kelebihan dan kelemahan dari masing-masing jenis cairan untuk rehidrasi tersebut, maka pemberian jenis cairan rehidrasi pada pasien pre operasi dapat berbeda antara pasien satu dengan lainnya. Secara umum, jenis cairan yang digunakan untuk rehidrasi pre anestesi adalah pemberian RL atau pemberian HES. Pemilihan jenis cairan rehidrasi tersebut tergantung dari kebijakan tim anestesi yang bersangkutan. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 779/2009 Jo 519/2011 tentang pedoman pelayanan anestesi dan reanimasi di Rumah Sakit menyatakan bahwa tim anestesi terdiri dari dokter spesialis anestesi, residen anestesi dan perawat anestesi.

(6)

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkaitan dengan pengaruh pemberian cairan koloid-krostaloid dan kristaloid pre operasi sectio cesarea dengan anestesi spinal terhadap Mean Arterial Pressure di RSUD Cilacap Tahun 2012.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasar uraian tersebut, maka rumusan dalam penelitian ini adalah ”Apakah ada pengaruh pemberian cairan koloid-krostaloid dan kristaloid pre operasi sectio cesarea dengan anestesi spinal terhadap Mean Arterial Pressure di RSUD Cilacap Tahun 2012 ?”

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian cairan koloid-krostaloid dan kristaloid pre operasi sectio cesarea dengan anestesi spinal terhadap Mean Arterial Pressure di RSUD Cilacap Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum operasi antara pasien yang mendapat cairan kristaloid 1000 ml dan yang mendapat cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml di RSUD Cilacap Tahun 2012

(7)

b. Mengetahui Perbedaan Mean Arterial Pressure setelah operasi antara pasien yang mendapat cairan kristaloid 1000 ml dan yang mendapat cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml di RSUD Cilacap Tahun 2012

c. Mengetahui perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah operasi pada pasien yang mendapat cairan kristaloid 1000 ml di RSUD Cilacap Tahun 2012 d. Mengetahui Perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah operasi pada

pasien yang mendapat cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml di RSUD Cilacap Tahun 2012

e. Menganalisa pengaruh pemberian cairan koloid-krostaloid dan kristaloid pre operasi terhadap Mean Arterial Pressure pada pasien sebelum dan setelah sectio cesarea di RSUD Cilacap

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Secara teori hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kajian pustaka terkait dengan pemberian cairan pada pasien yang menjalani operasi sectio cesarea dengan teknik anestesi spinal.

2. Manfaat Praktis

(8)

Sebagai salah satu bahan informasi dan bahan masukan dalam merumuskan kebijakan rumah sakit terkait dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pemenuhan kebutuhan cairan pada pasien perioperatif dengan anestesi spinal. b. Bagi pendidikan

Memperkuat teori tentang kebutuhan cairan pre operasi pada pasien dengan anestesi spinal.

c. Bagi peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penelitian tentang rehidrasi pada pasien perioperatif dengan anestesi spinal di RSUD Cilacap.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah :

1. Hardiyanto (2006), dengan judul : Pengaruh Anestesi Spinal Terhadap Hemodinamik Pada Penderita Dengan sectio cesarea di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Karyadi Semarang periode Maret sampai dengan Mei 2006.

Jenis penelitian bersifat analitik observasional dengan metode Cross Sectional. Bentuk rancangan penelitian adalah pre dan post test one group design . Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 95 %. Hasil uji statistik menunjukkan nilai Chi-Square = 6,652 dan pv = 0,010 (pv < a = 0,05), sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah, denyut nadi dan Mean Arterial Pressure pada sebelum dan sesudah pemberian anestesi spinal pada sectio

(9)

Persamaan dengan penelitian ini adalah pada ruang lingkup keilmuan berdasarkan ilmu anestesi, khususnya tentang anestesi spinal. Populasi target adalah pasien operasi sectio cesarea dengan spinal anestesi. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 95 %.

Perbedaan penelitian pertama dengan penelitian ini adalah pada variabel penelitian, variabel bebas pada penelitian sebelumnya adalah jenis anestesi, sedangkan pada penelitian ini adalah jenis cairan, sedangkan variabel terikat pada penelitian tersebut adalah hemodinamik pasien, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini lebih spesifik, yaitu Mean Arterial Pressure pasien. Bentuk rancangan penelitian pertama adalah pre dan post test one group design , sedangkan bentuk rancangan penelitian ini adalah pre dan post test with control group design.

2. Rudi, P. (2006) dengan judul Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal.

Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui cairan mana yang lebih baik, RL ataupun NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asam-basa yang didasarkan pada metode Stewart. Teknik sampling menggunakan purposive sampling. Uji statistik dengan menggunakan t-test. Hasil penelitian menunjukkan. Hasil penelitian menunjukkan rerata setelah operasi SID RL (37,79±1,18) menunjukkan kestabilan dibandingkan rerata SID NaCl (39,67±3,10) yang alkalosis. Kesimpulan penelitian adalah pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan

(10)

dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart.

Persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian, yaitu quasi experiment. Ruang lingkup keilmuan kedua penelitian ini adalah berdasarkan ilmu anestesi, khususnya tentang anestesi spinal. Populasi target adalah pasien operasi sectio cesarea dengan spinal anestesi.

Perbedaan penelitian pertama dengan penelitian ini adalah pada variabel penelitian, variabel bebas pada penelitian sebelumnya adalah jenis anestesi, sedangkan pada penelitian ini adalah jenis cairan, sedangkan variabel terikat pada penelitian tersebut adalah hemodinamik pasien, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini lebih spesifik, yaitu Mean Arterial Pressure pasien. Uji statistik penelitian sebelumnya adalah t-test, sedangkan penelitian ini adalah chi square.

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Persalinan

a. Pengertian Persalinan

Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology (IJOG, 2008) mengatakan bahwa persalinan adalah suatu proses dimana fetus dan plasenta keluar dari uterus ditandai dengan peningkatan aktivitas myometrium, dalam frekuensi dan intensitas kontraksi, yang menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks serta keluarnya lendir darah dari vagina. Sumarah,Widyastuti dan Wiyati (2009) menyatakan persalinan dan kelahiran normal adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke jalan lahir, proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir.

b. Macam-macam persalinan

Menurut Liu (2008) persalinan dapat dibedakan berdasarkan macamnya menjadi :

1) Persalinan spontan: persalinan yang berlangsung dengan kekuatan sendiri dan melalui jalan lahir

2) Persalinan buatan: persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar (misalnya forcep, vakum, operasi sectio cesarea ).

3) Persalinan anjuran: persalinan yang tidak dimulai sendiri, tetapi baru berlangsung setelah pemecahan ketuban, pemberian pitogen/ prostaglandin.

(12)

2. Sectio Cesarea a. Pengertian

Sectio cesarea merupakan suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1992 dalam Jitowiyono & Kristianasari 2010). Sectio cesarea merupakan prosedur operatif yang dilakukan di bawah anestesia sehingga janin, plasenta dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Fraser & Cooper 2009).

b. Indikasi Sectio Cesarea

Kasdu (2003) mengemukakan bahwa secara umum, indikasi sectio cesarea dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor ibu dan faktor janin. Faktor janin meliputi kelainan plasenta, kelainan tali pusat, bayi terlalu besar dan kelainan letak bayi, sedangkan faktor ibu meliputi usia, riwayat sectio cesarea sebelumnya, kondisi hambatan jalan lahir serta adanya penyulit kehamilan atau persalinan. Menurut hasil pelatihan JNPK-KR (2007), indikasi sectio cesarea terbagi menjadi indikasi ibu meliputi CPD, persalinan abnormal, sectio cesarea ulangan dengan indikasi yang sama, perdarahan antepartum, obstruksi jaringan lunak, kegagalan induksi persalinan,dan riwayat operasi pada rahim. Sedangkan indikasi janin meliputi persistent fetal distress , malpresentasi, postmaturitas dan gawat janin, hamil

ganda/Gemelli, serta prolapsus tali pusat. c. Keuntungan Sectio Cesarea

Tindakan sectio cesarea bisa menguntungkan, apabila tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan tepat dan didukung data objektif lainnya. Misalnya, diagnosis kesempitan panggul atau fetal distress didukung data pelvimetri dan rekaman jantung

(13)

anak yang akurat. Selain itu, banyak ibu yang merasakan nyeri yang relatif sedikit dibandingkan dengan apabila ibu menjalani persalinan normal (Gomez, 2005).

d. Kerugian Sectio Cesarea

Gomez (2005) menyatakan kerugian sectio cesarea tidak hanya pada satu pihak, tetapi bayi dan ibu juga mengalami kerugian, sectio cesarea , yaitu :

1) Kerugian Sectio Cesarea bagi Bayi

Karena operasi ini dianggap sebagai bedah abdomen mayor, maka memerlukan anestesi atau pembiusan, baik anesthesi total maupun lokal. Pembiusan yang terlalu lama (semula dimaksudkan untuk membius sang ibu) bisa membuat anak ikut terbius. Akibatnya, anak yang dilahirkan tidak spontan menangis melainkan harus dirangsang sesaat untuk bisa menangis. Kelambatan menangis ini mengakibatkan kelainan hemodinamika dan mengurangi apgar (penilaian) terhadap bayi. Pengeluaran lendir atau sisa air ketuban di saluran napas anak juga tidak sempurna. Pada persalinan alamiah, tubuh bayi harus melalui lorong jalan lahir sempit seakan-akan dadanya diperas sehingga sisa cairan dalam saluran napas terperas keluar.

Dengan sectio cesarea, bayi yang dilahirkan selalu dibayangi penyakit Hyaline Membrane Disease (HMD). Kemungkinan terjadinya trauma persalinan juga ada. Sayatan terlampau dalam bisa mengakibatkan tubuh bayi ikut tersayat. Di samping itu, pada persalinan alamiah anak akan melewati vagina yang dalam keadaan normal mengandung bakteri dan jamur. Pada tubuh ibu sehat sudah terkandung antibodi terhadap antigen asing itu dan secara pasif membagikan sebagian antibodinya kepada janin. Pada persalinan alamiah sistem kekebalan

(14)

tubuh janin segera dan langsung terpapar ulang antigen yang sama sehingga respons kekebalannya akan secara aktif lebih cepat membentuk antibodi dan secara bertahap diperkenalkan dengan antigen lain di sekitarnya. Pada persalinan lewat sectio cesarea, proses ini tidak terjadi karena bayi berhadapan langsung dengan lingkungan steril.

2) Kerugian Sectio Cesarea bagi Ibu

Ibu akan mendapat luka operasi baru di perut dan kemungkinan timbulnya infeksi bila luka operasi tidak dirawat dengan baik. Ibu juga akan membatasi pergerakan tubuhnya karena adanya luka operasi tadi, sehingga proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu setelah melahirkan ikut terpengaruh.

Kemampuan jalan lahir juga tidak teruji bila ibu belum pernah melahirkan pervagina dan keadaan penyempitan panggul berada dalam batas perkiraan yang meragukan. Apalagi kalau anak yang dilahirkan tidak terlalu besar, mungkin bobotnya cuma 2.500-4.000 gr. Waktu pemulihan pasca-melahirkan juga lebih lama karena pemulihan bekas luka operasi memerlukan tempo lebih lama. Bahkan, ibu berpeluang mendapatkan efek sampingan yang tidak diharapkan seperti bekas parut luka operasi di perut yang tidak estetis, infeksi pasca persalinan dan fistula.

(15)

Menurut Handaya (2007) tipe insisi sectio cesarea yang sering digunakan adalah :

1) Insisi garis tengah sub umbilical

Insisi ini mudah dan cepat. Akses mudah dengan perdarahan minimal dan berguna jika akses ke segmen bawah rahim sulit.

2) Insisi transversa (Pfannenstiel)

Insisi transversa merupakan insisi pilihan saat ini karena secara kosmetik memuaskan dan lebih sedikit menimbulkan luka serta kenyamanan dan memungkinkan mobilitas pasca operasi lebih baik.

f. Kontra indikasi Operasi Sectio Cesarea

Kontra indikasi sectio cesarea meliputi janin dalam keadaan mati, ibu hamil dengan syok, anemia berat sebelum diatasi dan kelainan kongenital (Prawirohardjo 2008).

g. Komplikasi Operasi Sectio Cesarea

Operasi sectio cesarea dapat menimbulkan komplikasi infeksi puerperal, perdarahan, luka kandung kencing dan embolisme. Komplikasi lain dapat muncul setelah operasi yang dapat menimbulkan rupture uteri karena kurang kuatnya dinding parut pada dinding uterus (Prawirohardjo 2008).

3. Anestesi Spinal

a. Pengertian Anestesi Spinal

Grace dan Borley (2006) mendefinisikan anestesi sebagai suatu teknik penggunaan obat untuk menghilangkan sebagian atau seluruh bentuk sensasi yang disebabkan oleh patologi pada sistem syaraf untuk periode waktu tertentu. Oxorn dan

(16)

Forte (2010) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan anestesi spinal adalah blok anestesi pada lintasan simpatetik pada segmen thoracal XI dan XII dengan cara cara menyuntikan obat anestesi lokal kedalam LCS dalam ruang subarachnoid (canalis spinalis) melalui interspace lumbal.

Anestesi spinal ini dapat digunakan untuk hampir semua jenis operasi abdomen bagian bawah, perineum dan kaki. Pada jenis obat anestesi tertentu, misalnya buvakain, durasi anestesi spinal selama 2-3 jam (Dobson, 2004).

b. Keuntungan Anestesi Spinal

Benson dan Pernoll (2009) mengemukakan bahwa beberapa keuntungan dari anestesi spinal adalah jarang terjadi hipoksia janin, kehilangan darah menimal, ibu tetap sadar selama proses persalinan, tidak diperlukan obat anestesi inhalasi dan analegesik tambahan selama prosedur operasi, teknik pelaksanaan yang sederhana dan mudah serta tercapainya relaksasi dasar pelvic serta jalan lahir bagian bawah dengan baik.

c. Kerugian Anestesi Spinal

Oxorn dan Forte (2010) mengatakan kerugian utama anestesi spinal adalah tingginya angka kejadian hipotensi maternal dan bradikardi pada janin. Sedangkan menurut Benson dan Pernoll (2009), kerugian anestesi spinal antara lain hipotensi dan gagal nafas pada ibu yang disebabkan oleh naiknya zat anestetik karena penyuntikan obat anestesi yang cepat atau ketegangan yang dialami oleh pasien. d. Indikasi Anestesi Spinal

Gruendemann dan Fernsebner (2006) mengatakan indikasi dari anestesi spinal adalah :

(17)

1) Operasi-operasi yang sesuai, misalnya untuk menghilangkan nyeri pada operasi obstetrik dan ginekologik

2) Frakturiga

3) Neuralgia pasca herpes 4) Kolik ginjal

5) Pankreatitis akut

6) Pasien perioperatif yang mengalami nyeri kronik 7) Amputasi ekstremitas bawah

e. Kontraindikasi Anestesi Spinal

Dobson (2004) dan Gruendemann dan Fernsebner (2006) menyatakan ada beberapa kondisi yang menjadi kontraindikasi anestesi spinal, yaitu :

1) Hipovolemia akibat pengeluaran darah, plasma dan cairan. Pemberian anestesi spinal pada pasien ini akan menyebabkan krisis hipotensi yang parah

2) Infeksi di tempat penyuntikan obat anestesi 3) Dicurigai mengalami septikemia

4) Keadaan hipokoagulasi yang dapat menyebabkan terbentuknya hematoma epidural

f. Obat obat untuk Anestesi Spinal

Menurut Yuswana (2005) obat yang dipakai untuk spinal anestesi adalah Lignocain 1-2% dengan atau tanpa adrenalin dan Bupivakain 0,25-0,5% dengan atau tanpa adrenalin. Dobson (2004) mengemukakan obat anestesi jenis Bupivakain, sinkokain dan tetrakain 0,5% dapat digunakan pada blok saraf yang lebih besar seperti pada teknik spinal anestesi. Obat ini dipakai karena dapat menimbulkan

(18)

potensi yang kuat dan durasi yang panjang yaitu 180 – 600 menit. Obat Bupivakain dapat diberikan dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB.

g. Patofisiologi Bupivakain Menyebabkan Hipotensi

Komplikasi sirkulasi yang sering dijumpai pada anestesi spinal adalah hipotensi. Penurunan tekanan darah sering disebabkan oleh kekurangan cairan, sisa obat anestesi yang masih tertinggal didalam sirkulasi dan terutama jika tahap anestesi masih dalam akhir pembedahan (Penatalaksanaan Pasien Anestesi 2009).

Gruendemann dan Fernsebner (2006) mengatakan bahwa komplikasi dengan bupivakian yang paling sering terjadi pada pasien dengan anestesi spinal adalah hipotensi arteri. Kondisi ini disebabkan oleh karena blok pra ganglion parasimpatis. Bradikardi juga cukup sering ditemukan yang disebabkan oleh paralisis serabut kardioakselerator (T 1-4).

Selain itu, biasanya anestesi spinal akan menyebabkan perubahan ventilasi respirasi spontan sampai derajat sedang. Hal ini disebabkan karena diafragma merupakan organ utama pernafasan yang persarafan fungsional organ ini datang dari plexus saraf C3-5 yang turut terdampak blok anestesi spinal. Dyspneu dapat terjadi

apabila paralisis hantaran cukup tinggi di segmen thorakal (Gruendemann dan Fernsebner 2006).

Yunarti (2010) menyatakan penyuntikan anestesi lokal (misalnya bupivakain) ke dalam ruang epidural lumbar akan menghasil kan blok saraf simpatik dan sensorik segmental dan penurunan katekolamin endogen dengan timbulnya rasa sakit relief. Hipotensi atau normalisasi tekanan darah ke tingkat pre-labour dapat terjadi dengan

(19)

vasodilatasi, yang mungkin hasil dari blokade saraf simpatik dan penurunan sirkulasi katekolamin.

h. Prosedur spinal anestesi

Benson dan Pernoll (2009) menjelaskan prosedur anestesi spinal adalah sebagai berikut :

1) Pasien berbaring pada sisi tubuh atau duduk, kemudian suntikkan obat anestesi secara perlahan ke dalam ruang antar lumbal ketiga dan keempat diantara kontraksi.

2) Tinggikan kepala pasien segera setelah obat anestesi disuntikkan untuk mencapai obat anestesi mendekati atau setingkat umbilikal

3) Catat tekanan darah pasien setiap 5 –10 menit 4) Berikan oksigen untuk mengatasi depresi pernafasan 5) Pada pasien sectio cesarea , miringkan pasien 15-20

o

ke kiri dengan meninggikan panggul kanan ibu untuk menghindari kompresi vena kava oleh uterus dan mengantisipasi gawat janin

i. Teknik Anestesi Spinal

Menurut Yuswana (2005) anestesi spinal lebih mudah dilakukan dalam posisi duduk dari pada posisi lateral. Langkah langkah anestesi spinal dalam posisi duduk adalah sebagai berikut: pasien duduk di pinggiran meja bedah dengan kaki di topang bangku, punggung flexy dengan dagu menekan sternum teknik ini bermanfaat pada blockade sakralis dengan obat anestesi hyper baric, walaupun untuk maksud yang sama juga dapat dilakukan dengan posisi lateral. Pada bekas tusukan jarum cukup di tutup dengan kasa yang di beri antiseptic. Jika jarum mengenai cauda equine maka

(20)

pasien akan mengeluh rasa sakit pada tungkai, biasanya hal itu tidak membahayakan. Kejadian seperti ini harus di catat pada kartu anestesi. Jika punctie pada satu celah itu gagal, dapat di pindahkan pada celah lain.

4. Tekanan Darah a. Pengertian

Tekanan darah yaitu tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah dibuat dengan mengambil dua ukuran dan biasanya terdapat dua angka yang akan disebut saat pengukuran tekanan darah (Susalit, 2005).

Angka pertama yang disebut pertama adalah tekanan sistolik, yaitu menunjukkan tekanan ke atas pembuluh arteri akibat denyutan jantung atau pada saat jantung berdenyut atau berdetak. Angka kedua yang disebut adalah tekanan diastolik, yaitu menunjukkan tekanan saat jantung beristirahat di antara pemompaan (Susalit, 2005).

b. Kategori Pengukuran Tekanan Darah

Penggolongan tekanan darah berdasarkan angka hasil pengukuran dengan tensimeter untuk tekanan sistolik dan diastolik dicantumkan dalam tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1 Penggolongan Tekanan Darah Berdasarkan Tekanan Sistoli-Diastolik

Tekanan Darah Sistolik Diastolik MAP

Hipotensi Di bawah 90 Di bawah 60 <70

Normal 90–119 60–79 70-92

Pre-hipertensi 120–139 80–89 93-106

Darah tinggi atau

hipertensi (stadium 1) 140–159 90–99 107-119 Darah tinggi atau

(21)

Darah tinggi atau 180 110 133 hipertensi (stadium 3)

(sumber : Susalit, 2005)

c. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Susalit (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah antara lain :

1) Usia

Usia seseorang mempengaruhi tekanan darah. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Seiring bertambahnya usia, maka seseorang semakin besar berisiko mengalami peningkatan tekanan darah.

2) Jenis kelamin

Pada umumnya tekanan darah pada pria pada pria lebih tinggi daripada wanita. Namun pada usia pertengahan dan lebih tua, tekanan darah pada wanita akan meningkat yang disebabkan karena faktor hormonal pada wanita.

3) Obesitas

Rohaendi (2008) menyatakan obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan sub kutan tirai usus, organ vital jantung, paru dan hati) yang menyebabkan jaringan lemak in aktif sehingga beban kerja jantung meningkat. Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% atau lebih dari berat badan ideal. Obesitas adalah penumpukan jaringan lemak tubuh

(22)

yang berlebihan dengan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 27,0. Pada orang yang menderita obesitas ini organ-organ tubuhnya dipaksa untuk bekerja lebih berat, oleh sebab itu pada waktunya lebih cepat gerah dan capai. Akibat dari obesitas, para penderita cenderung menderita penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan diabetes mellitus .

4) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang menunjukkan adanya tekanan darah yang meninggi merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi di masa yang akan datang. Tekanan darah kerabat dewasa tingkat pertama (orang tua saudara kandung) yang dikoreksi terhadap umur dan jenis kelamin tampak ada pada semua tingkat tekanan darah.

5) Merokok

Rohaendi (2008) mengatakan bahwa setiap batang rokok terdapat ± 4000 unsur kimia, diantaranya adalah: tar, nikotin, gas Karbon Oksida (CO), N2,

amonia dan asetaldehida serta unsur-unsur karsinogen. Nikotin, penyebab ketagihan merokok akan merangsang jantung, saraf, otak dan bagian tubuh lainnya bekerja tidak normal.

Nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, dan tekanan kontraksi otot jantung. Selain itu, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung dan dapat menyebabkan gangguan irama jantung (aritmia) serta berbagai kerusakan lainnya.

(23)

Menurut Rohaendi (2008), olah raga isotonik dengan teratur akan menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.

7) Stres

Menurut Rohaendi (2008), hubungan antara stres dengan tekanan darah diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten atau tidak menentu. Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.

8) Konsumsi Alkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah. Alkohol dihubungkan peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Alkohol juga diduga empunyai efek pressor langsung pada pembuluh darah, karena

alkohol menghambat natrium dan kalium, sehingga terjadi peningkatan natrium intrasel dan menghambat pertukaran natrium dan kalsium seluler yang akan memudahkan kontraksi sel otot. Otot pembuluh darah akan menjadi lebih sensitive terhadap zat-zat pressor seperti angiotensin dan katekolamin (Sidabutar, 2002).

9) Konsumsi minuman yang mengandung kafein

Kafein bekerja di dalam tubuh dengan mengambil alih reseptor adenosin dalam sel saraf yang akan memacu produksi hormon adrenalin dan menyebabkan peningkatan tekanan darah, sekresi asam lambung, dan aktifitas otot, serta perangsangan hati untuk melepaskan senyawa gula pada aliran darah untuk menghasil kan energi ekstra (Sidabutar, 2002).

(24)

Sumber lain juga menyebutkan bahwa kafein mengikat reseptor adenosina di otak. Adenosina ialah nukleotida yang mengurangi aktivitas sel saraf saat tertambat pada sel tersebut. Seperti adenosina, molekul kafeina juga tertambat pada reseptor yang sama, tetapi akibatnya berbeda. Kafeina tidak akan memperlambat aktivitas sel saraf/otak, sebaliknya menghalangi adenosina untuk berfungsi. Dampaknya aktivitas otak meningkat dan mengakibatkan hormon adrenalin atau epinefrin terlepas. Hormon tersebut akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran darah ke otot-otot, mengurangi penyaluran darah ke kulit dan organ dalam, dan mengeluarkan glukosa dari hati. Pada dosis tinggi, adrenalin mempunyai efek simpatomimetik yang menonjol yaitu dengan kontraksi semua pembuluh, tahanan perifer akan naik dan dengan ini baik tekanan sistolik maupun tekanan diastolik akan naik juga (Sidabutar, 2002).

d. Pemeriksaan/Pengukuran Tekanan darah

Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada pasien istirahat yang cukup, yaitu sesudah berbaring paling sedikit 5 meni (Tierney, 2001). Menurut Joint National Committeon Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight Blood Pressure pengukuran tekanan darah dianjurkan pada posisi duduk setelah beristirahat selama 5 menit dan 30 menit bebas rokok atau minum kopi.

Ukuran manset harus cocok dengan ukuran lengan atas. Manset harus melingkar paling sedikit 80% lengan atas dan lebar manset paling sedikit 2/3 kali panjang lengan atas. Banyak alat yang dapat digunakan untuk pengukuran tekanan darah baik

(25)

tensimeter digital, tensimeter pegas, tensimeter air raksa atau menggunakan bed side monitor (Tierney, 2001)

Pengukuran tekanan darah menggunakan bed side monitor di ruang operasi sangat mudah. Pengukuran tekanan darah di ruang operasi telah memenuhi seluruh syarat pengukuran tekanan darah yang baik karena dilakukan dengan posisi tidur dan pasien telah bebas makan minum. Langkah pertama yang dilakukan dengan memasang manset pada lengan atas, kira-kira 4 cm di atas lipatan siku. Setelah itu dilakukan setting pada bed side monitor untuk menentukan interval jarak pengukuran tekanan darah. Pengukuran tekanan darah menggunakan bed side monitor sudah dilengkapi dengan tekanan darah rata-rata atau Mean Arterial Pressure (Wirjoatmodjo, 2005).

5. Mean Arterial Pressure a. Pengertian

Tekanan darah rata-rata atau sering disebut Mean Arterial Pressure adalah tekanan di seluruh sistem arteri pada satu siklus jantung. Mean Arterial Pressure merupakan hasil perkalian curah jantung dengan tahanan perifer. Rumus Mean Arterial Pressure adalah sebagai berikut : Mean Arterial Pressure = 1/3. (Tekanan

Sistole - Tekanan Diastole) + Tekanan Diastole.

Wahyudo (2011) menyatakan Mean arterial pressure adalah tekanan rata-rata yang mendorong darah masuk ke jaringan selama siklus jantung. Pada frekuensi jantung saat istirahat, kurang lebih 2/3 siklus jantung merupakan fase diastole, dan 1/3 sisanya merupakan fase sistole. Oleh karena itu, Mean Arterial Pressure lebih mendekati tekanan diastole. Mean Arterial Pressure adalah hal yang dimonitor dan

(26)

diregulasi oleh berbagai refleks tekanan darah. Karena arteri memiliki nilai tahanan yang rendah terhadap aliran darah, energi tekanan yang hilang karena friksi tidak signifikan dan tekanan arteri dapat dianggap sama pada seluruh arteri.

MAP adalah daya utama yang menentukan perfusi jaringan, tekanan ini mendorong darah ke dalam jaringan. Oleh karena itu, Mean Arterial Pressure harus dipertahankan cukup tinggi untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke berbagai jaringan (terutama otak) dan tidak terlalu tinggi sehingga tidak membebani jantung

dan tidak meningkatkan risiko kerusakan vaskular (Wahyudo, 2011).

Nilai Mean Arterial Pressure tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan faktor yang berpengaruh padanya seperti curah jantung, isi sekuncup, denyut jantung, tahanan perifer dan sebagainya maupun pada keadaan olah raga, usia lanjut, jenis kelamin, suku bangsa, iklim, dan penyakit-penyakit jantung atau pembuluh darahnya. Rata-rata Mean Arterial Pressure secara klinis dapat berguna sebagai indikator dari rata-rata tekanan perfusi organ-organ (Ibnu, 2006).

b. Klasifikasi Mean Arterial Pressure

Penggolongan tekanan darah berdasarkan angka hasil pengukuran berdasarkan nilai Mean Arterial Pressure dicantumkan dalam tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Penggolongan Tekanan Darah Berdasarkan Mean Arterial Pressure

Kategori Tekanan Darah MAP

Hipotensi <70

Normal 70-92

Pre-hipertensi 93-106

Darah tinggi atau hipertensi (stadium 1) 107-119 Darah tinggi atau hipertensi (stadium 2) 120-132

(27)

Darah tinggi atau hipertensi (stadium 3) >133 (sumber : Susalit, 2005)

c. Patofisiologi Mean Arterial Pressure

Regulasi Mean Arterial Pressure dilakukan melalui mekanisme-mekanisme kompleks yang melibatkan aktivitas terintegrasi dari berbagai komponen sistem sirkulasi dan sistem lain. Mean Arterial Pressure bergantung pada curah jantung (cardiac output) dan tahanan perifer total ( total peripheral resistance ). Berbagai faktor lain mempengaruhi besar curah jantung dan tahanan perifer total (Wahyudo, 2011).

MAP bergantung pada curah jantung yang mempengaruhi tekanan sistol dan tahanan perifer total yang terutama mempengaruhi tekanan diastol.

1) Curah j antung

Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh setiap ventrikel setiap menitnya. Curah jantung didapat Berdasarkan hasil kali frekuensi denyut jantung (heart rate) dengan isi sekuncup (stroke volume). Frekuensi denyut jantung bergantung pada keseimbangan antara aktivitas sistem saraf simpatik (meningkatkan frekuensi denyut jantung) dan parasimpatik yang berasal dari percabangan nervus vagus (mengurangi frekuensi denyut jantung).

Isi sekuncup dipengaruhi oleh kontrol ekstrinsik dan intrinsik. kontrol ekstrinsik dari aktivitas sistem saraf simpatik dan hormon medula adrenal yang menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel. Kontrol instrinsik yakni hubungan panjang awal (yang ditentukan oleh venous return/preload/derajat pengisian ventrikel) dan tegangan miokardium sesuai hukum Frank-Starling.

(28)

Semakin penuh ventrikel terisi, semakin panjang otot tertarik mendekati panjang optimalnya, semakin kuat kontraksi yang terjadi.

Pengisian ventrikel berkaitan dengan alir balik vena yang dipengaruhi oleh:

a) Efek Vasokonstriksi Vena Dari Aktivitas Sistem Saraf Simpatis

Vena memiliki sedikit otot polos yang dipersarafi saraf simpatis. Stimulasi saraf simpatis menghasil kan vasokonstriksi moderat pada vena. Walaupun dalam keadaan konstriksi, diameter vena tetap besar dan resistansinya tetap kecil. Vasokonstriksi berfungsi dalam mengurangi kapasitas vena sehingga lebih banyak darah yang mengalir daripada tetap di vena.

b) Aktivitas Otot Rangka

Banyak vena yang terdapat di antara otot rangka. Kontraksi otot-otot ini mengkompresi vena sehingga terjadi penurunan kapasitas vena, peningkatan tekanan vena, dan peningkatan aliran darah menuju ke jantung. Kontraksi otot rangka juga membantu meningkatkan venous return pada posisi berdiri dengan membagi vena pada kaki menjadi segmen-segmen untuk mengurangi tekanan hidrostatik yang terbentuk.

c) Efek Katup Vena

Vena memiliki katup yang menjaga aliran darah ke satu arah. Ketika terjadi kompresi pada vena, misalnya pada saat kontraksi otot rangka, darah pada vena tidak mengalir ke dua arah, tetapi hanya ke arah jantung. Katup

(29)

vena juga membantu melawan gravitasi dengan mencegah aliran darah yang salah.

d) Aktivitas pernapasan

Karena aktivitas pernapasan, tekanan di rongga dada 5 mmHg lebih rendah dibandingkan di atmosfer. Darah dari ekstremitas atas melewati rongga dada untuk sampai ke jantung. Karena tekanan atmosfer berlaku pada vena ekstremitas bawah, terdapat gradien 5 mmHg antara vena bawah dengan vena dada sehingga darah dapat mengalir ke dada.

e) Efek hisap jantung

Saat ventrikel berkontraksi, katup AV tertarik ke bawah sehingga tercipta tekanan atrium di bawah 0 mmHg dan darah dapat mengalir dari vena ke atrium. Saat ventrikel berelaksasi, terjadi penurunan tekanan sementara sehingga darah mengalir dari vena dan atrium ke ventrikel. f) Volume darah yang bersirkulasi

Volumen darah yang bersirkulasi dalam jangka diregulasi oleh aliran pertukaran cairan interstisial-plasma sedangkan dalam jangka panjang diregulasi oleh keseimbangan garam-air yang dikontrol sistem renin-angiotensin-aldosterone dan vasopresin.

2) Tahanan perifer total

Bergantung pada diameter arteriol dan viskositas darah. Diameter arteriol ditentukan oleh kontrol ekstrinsik dan intrinsik. Kontorl ekstrinsik meliputi efek vasodilatasi vena generalisata dari aktivitas sistem parasimpatis, efek vasokonstriksi vena generalisata dari aktivitas sistem simpatis dan hormon dari

(30)

medual adrenal dan efek vasokonstriksi hormon vasopresin dan angiotensin II (terutama pada saat pendarahan). Sedangkan kontrol intrinsik meliputi pengaruh kimia dan pengaruh fisik.

Arteriol memiliki otot polos pada tunika medianya sehingga arteriol mampu mengatur diameter lumennya (vasokonstriksi dan vasodilatasi). Tahanan vaskular tinggi bila diameter pembuluh kecil. viskositas darah dipengaruhi oleh kandungan darah, terutama konsentrasi eritrosit. Semakin tinggi viskositas darah, semakin tinggi tahanan perifer total.

6. Hipotensi Pasca Anestesi Spinal a. Pengertian

Menurut Yuswana (2005) hipovolemia dapat menimbulkan hipotensi yang berat. Penurunan tekanan darah biasanya ter adi pada 20 menit setelah penyuntikan obat anestesi. Tindakan koreksi harus dilakukan ika penurunan tekanan darah mencapai 1/3 dibawah level pra bedah. Penurunan tekanan sistol men adi 80 mm Hg dan diastole 60 mm Hg harus mendapat perhatian dan tekanan sistol 50 mm Hg itu tidak boleh ter adi. Tekanan darah yang turun biasanya disertai penurunan frekwensi denyut nadi. Penurunan frekwensi antung akan ter adi apabila ter adi blokade pada syaraf anterior yang mengandung serabut syaraf symphatis cardiac aml elerator, seperti ter adi pada anestesi spinal blokade tinggi diatas T4 dan T5. Penyebab lain dari penurunan frekwensi denyut antung adalah penurunan tekanan darah pada atrium kanan sehubungan dengan penurunan venous return , bradikardi merupakan efek yang paling sering ter adi. Anestesi spinal tidak akan menimbulkan penurunan tekanan darah yang hebat ika tidak ada stimulus bedah atau gerakan tubuh.

(31)

Menurut Gruendemann & Fernsebner (2006), penyulit tersering pada pelaksanaan anestesi spinal adalah risiko terjadinya hipotensi. Pemberian cairan Ringer Laktat (RL) sebanyak 1500 ml sebelum pelaksanaan blok syaraf akan memperbaiki aliran balik vena dan curah jantung, sehingga risiko hipotensi pasca pemberian anestesi spinal dapat dihindari.

Teori yang menjelaskan penyebab hipotensi pasca anestesi spinal adalah: Blokade simpatis karena anestesi spinal dapat mengakibatkan menurunya cardiac output sehubungan berkurangnya “ venous return ” ke jantung dan kurangnya dorongan otot pada vena. Dilatasi pada kapiler post arteriol dan venule yang kecil akibat paralysis vasoconstrictor pada anggota tubuh yang teranestesi. Blokade spinal yang lebih tinggi terutama pada persyarafan jantung di T1-T4 akan menyebabkan hipotensi yang berat. Paralise nervus symphaticus yang ke kelenjar adrenal (nervus splanchicus ) dengan akibat penurunan catecholamine yang diteruskan kedalam sirkulasi. Sebagai akibat dari keadaan ini maka terjadilah iSectio Cesareahemia dan hypoxia dari pusat vital. Kompresi pada pembuluh darah yang besar dalam rongga perut akibat uterus yang hamil atau tumor abdomen dapat menimbulkan hipotensi (Yuswana 2005).

Menurut Wirjoatmodjo (2005) ibu hamil mengalami perubahan pada pernafasan, sirkulasi, aspirasi dan pembesaran rahim. Perubahan pernafasan pada ibu hamil dikarenakan cadangan oksigen dalam paru-paru menurun sehingga terjadi peningkatan kebutuhan oksigen. Tindakan pre oksigenasi sebelum anestesi sangat penting untuk mengurangi bahaya hypoxia. Pada perubahan sirkulasi ibu hamil juga mengalami peningkatan volume darah sampai rata – rata 50% yang berguna untuk mengatasi kehilangan darah waktu persalinan. Perkiraan volume darah pada wanita

(32)

tidak hamil adalah 70ml /kgBB sedangkan Jumlah rata – rata perdarahan operasi sectio cesarea adalah 1000 ml . Perdarahan < 15% dapat diatasi dengan diberikan cairan elektolit. Problem aspirasi pada ibu hamil dapat berupa peningkatan produksi asam lambung yang beresiko untuk terjadinya aspirasi pneumoni pasca anestesi. Untuk mengatasi hal ini pasien dipuasakan dan bila waktu tidak memungkinkan karena tindakan operasi segera maka dapat dilakukan penghisapan cairan dengan menggunakan pipa lambung dengan ukuran 18 atau 20. Perubahan rahim karena proses kehamilan dapat menimbulkan masalah berupa pardarahan pasca operasi sectio cesarea . Perdarahan terjadi karena proses pengosongan rahim yang berlangsung cepat akibat dari sebuah tindakan operasi. Untuk membantu kontraksi uterus di perlukan obat-obat uterotonika sehingga kasus perdarahan intra dan pasca operasi dengan anestesi spinal dapat di atasi.

Yuswana (2005) menambahkan jika terjadi bradikardi berikan atropine 0,2 mg. Suntikan ephedrine telah dianjurkan untuk meningkatkan cardiac output dan venous return diimbangi dengan pemberian cairan elektrolit sampai berJumlah 2000 ml . b. Pencegahan dan Pengobatan Hipotensi Pasca Anestesi Spinal

Yuswana (2005) mengatakan bahwa pencegahan dan pengobatan pada hipotensi antara lain dengan pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, penyuntikan obat presor epedrin , bagian tungkai ditinggikan, jika terjadi bradikardi di berikan atropin 0,2 mg. Pada kejadian mual muntah dapat dicegah dengan di berikan obat antiemetik, jika kondisi masih berlangsung berikan suplemen pentothal dan nitrous oxide, bila

perlu diganti dengan anestesi umum. Kejadian retensio urine pasca anestesi spinal dapat diberikan neostigmin 0,5 mg secara intra muskuler.

(33)

7. Terapi cairan pra operatif

Terkait dengan kebutuhan cairan pada pasien operasi Wirjoatmodjo, (2005) menjelaskan, terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah dengan tujuan untuk mengatasi keadaan syok karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidarsi sedang dan ringan. Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus diperhitungkan, dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah. Pada pasien pasien yang karena penyakitnya tidak dapat nutrisi yang adekwat kualitatif maupun kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi. Hidrasi yang cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu kehilangan kehilangan yang disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi dan penguapan dari cavum peritoneum .

Menurut Mangku dan Senapathi (2010) tujuan pembarian cairan pemeliharaan adalah untuk mengganti air tubuh lewat urine, feses, paru, dan keringat yang pada golongan umur dewasa ditentukan dosis 1,5 – 2 ml /kg/jam. Koreksi cairan yang hilang selama operasi berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

Leksana (2006) mengatakan bahwa ganguan keseimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut cairan ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang mempengaruhi pergerakan air melalui pergerakan dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan tekanan onkotik akan turun sehingga cairan intra vaskuler akan didorong masuk ke interstisial yang berakibat edema. Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah pergerakan air. Albumin menghasil kan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada cairan intra vaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial.

(34)

8. Jenis Cairan a. Koloid

Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Hartanto, 2007). Koloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti albumin dalam plasma, tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu parah koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume darah (Rahadianto, 2009).

Berdasarkan sifat cairan koloid tersebut, maka cairan koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik atau hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak, misalnya luka bakar. Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match ” (Hartanto, 2007).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid: 1) Koloid alami

Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

(35)

2) Koloid sintesis yaitu: a) Dextran:

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan atau viskositas darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.

Pemberian Dextran melebihi 20 ml /kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan extran 1 (Promit) terlebih dahulu.

b) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Hydroxylethyl Starch cairan HES tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin dengan kemasan 500 ml (Irnizarifka, 2010). HES tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari.

(36)

Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase.

Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip HES, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.

Irnizarifka (2010) mengatakan bahwa pada kasus Cardiopulmonary bypass dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml /kg). Pada kasus sepsis merupakan kontra indikasi pemberian HES karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF).

Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid. Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis respiratorik. HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler. Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli (Irnizarifka 2010).

(37)

HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia. Cairan HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure . Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal) (Irnizarifka 2010). c) Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell), Urea linked gelatin dan Oxypoly gelatin.

b. Kristaloid

Menurut Rahadianto (2009), cairan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Sedangkan menurut Hartanto (2007) cairan kristaloid mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).

Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel (Rahadianto, 2009).

(38)

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah (Rahadianto, 2009).

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis ) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida (Hartanto, 2007).

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam Jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5 % digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel (Rahadianto, 2009).

Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation

(39)

terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan (Irnizarifka 2010). Sedangkan Hartanto (2007) menyatakan bahwa keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.

Cairan kristaloid bila diberikan dalam Jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Heugman et al (1972, dalam Hartanto, 2007) mengemukakan bahwa walaupun dalam Jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (dalam Hartanto, 2007) memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian seJumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel (Hartanto, 2007).

(40)

B. KERANGKA TEORI Persalinan Anestesi spinal Sectio Cesarea Penanganan penurunan tekanan darah : 1. pemberian cairan intravena 2. pemberian oksigen 3. penyuntikan obat presor epedrin 4. bagian tungkai ditinggikan Pencegahan komplikasi hipotensi :

1. Rehidrasi koloid dan kristaloid 2. Rehidrasi kristaloid Komplikasi utama : Penurunan tekanan darah

Faktor yang mempengaruhi tekanan darah : 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Obesitas 4. Riwayat keluarga 5. Merokok 6. Olah raga 7. Stres 8. Konsumsi Alkohol 9. Konsumsi kafein

(41)

Faktor yang mempengaruhi Mean Arterial Pressure : 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Obesitas 4. Riwayat keluarga 5. Merokok 6. Olah raga 7. Stres 8. Konsumsi Alkohol 9. Konsumsi kafein Bagan 2.1 Kerangka teori

Sumber : IJOG (2008), Sumarah, Widyastuti dan Wiyati (2009), Liu (2008), Jitowiyono dan Kristianasari (2020), Frase dan Cooper (2009), Kasdu (2003), JNPK-KR (2007), Gomez (2005),

Handaya (2007), Prawirohardjo (2008), Grace dan Borley (2006), Oxorn dan Forte (2010), Dobson (2004), Benson dan Pernoll (2009), Gruendemann dan Frensebner (2006), Yuswana

(2005), Yunarti (2010), Susalit (2005), Wahyudo (2011), Ibnu (2006), Rohaendi (2008), Sidabutar (2002), Tierney (2001), Wirjoatmodjo (2005), Leksana (2006), Rahadianto (2009) dan

Hartanto (2007)

C. KERANGKA KONSEP

Variabel bebas Variabel terikat Cairan rehidrasi pre operasi Mean Arterial Pressure post anestesi spinal Variabel pengganggu Bagan 2.2

Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :

(42)

variabel yang tidak diteliti

D. HIPOTESIS

Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka hipotesis penelitian ini adalah

Ho Tidak ada perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah operasi pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml. Ha

Ada perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah operasi pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml.

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode quasi eksperimental dengan menggunakan pendekatan pre test post test with control group . Pre test post test with control group adalah suatu rancangan untuk membandingkan hasil intervensi antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Desain penelitian Pre test post test with control group menurut Notoatmodjo (2010) adalah sebagai berikut

Kelompok intervensi Pre test Perlakuan Post Test

Kelompok kontrol O3 Y O4

Keterangan

X perlakuan berupa pemberian rehidrasi dengan cairan koloid Y perlakuan berupa pemberian rehidrasi dengan cairan kristaloid

O1 MAP sebelum anestesi spinal pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan

koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml

O2 MAP setelah anestesi spinal pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan koloid

500 ml dan kristaloid 500 ml

O3 MAP sebelum anestesi spinal pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan

kristaloid 1000 ml

O4 MAP setelah anestesi spinal pada pasien yang mendapat rehidrasi cairan

(44)

O1– O2 perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah anestesi spinal pada

pasien yang mendapat rehidrasi cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml. O1 –O3 perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum anestesi spinal antara pasien yang

mendapat rehidrasi cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml dengan yang mendapat rehidrasi kristaloid 1000 ml.

O3 – O4 perbedaan Mean Arterial Pressure sebelum dan setelah anestesi spinal pada

pasien yang mendapat rehidrasi kristaloid 1000 ml.

O2 – O4 perbedaan Mean Arterial Pressure setelah anestesi spinal antara pasien yang

mendapat rehidrasi cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml dengan yang mendapat rehidrasi kristaloid 1000 ml.

Sampel pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi, yaitu kelompok pasien yang mendapat rehidrasi dengan cairan koloid 500 ml dan kristaloid 500 ml dengan kelompok kontrol, yaitu kelompok pasien yang mendapat rehidrasi dengan cairan kristaloid 1000 ml.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Cilacap. 2. Waktu Penelitian

Waktu pengambilan data direncanakan pada Bulan minggu pertama dan kedua Desember 2012.

(45)

C. POPULASI DAN SAMPEL 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian. Populasi pada penelitian ini termasuk dalam kategori populasi infinit, yaitu populasi yang Jumlahnya tidak pasti (Machfoedz 2007). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu sectio cesarea dengan anestesi spinal di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Cilacap. Jumlah persalinan SC di RSUD Cilacap selama Tahun 2011 sebanyak 326 persalinan.

2. Sampel

a. Pengertian

Machfoedz (2007) menyatakan bahwa sampel adalah sebagian dari Jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini seluruh ibu sectio cesarea dengan anestesi spinal di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Cilacap selama Bulan Desember 2012 yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut :

1) Kriteria inklusi

a) Ibu usia reproduktif optimal, yaitu 20-35 tahun

b) Ibu dengan kondisi composmentis pada saat pre operasi c) Ibu yang mendapat anestesi spinal saat operasi SC d) Bersedia menjadi responden

2) Kriteria eksklusi

a) Ibu sectio cesarea atas indikasi pre eklampsi, pre eklampsi berat atau eklampsi

(46)

b) Ibu dengan riwayat hipertensi sebelumnya b. Teknik Sampling

Pengambilan sampel berdasarkan pendekatan purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo 2010).

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara peneliti mendatangi Ruang Rawat Inap RSUD Cilacap untuk mencari responden yang sesuai dengan kriteria inklusi. Untuk menentukan sampel kelompok intervensi atau kelompok kontrol, peneliti menggunakan nomor rekam medik. Pasien dengan nomor rekam medik genap dijadikan kelompok intervensi dan pasien dengan nomor rekam medik ganjil dijadikan kelompok kontrol sampai jumlah sampel yang ditentukan terpenuhi. c. Besar sampel

Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus untuk populasi kecil, yaitu < 10.000 :

N n: 1 + N (d2) Keterangan : n : besar sampel N : Jumlah populasi

d : derajat ketepatan yang diinginkan, yaitu sebesar 10 % atau 0,1 326

n=

(47)

n=

1 + 326 (0,01) n = 75,6

Berdasarkan hasil perhitungan rumus tersebut, maka sampel pada penelitian ini berJumlah 76 responden. Sampel pada penelitian ini akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu menggunakan kelompok kontrol dan kelompok intervensi, maka jumlah sampel setiap kelompoknya adalah 38 orang.

D. DEFINISIOPERASIONAL

Definisi operasional ialah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang sedang didefinisikan atau mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain (Koentjarangningrat 1991, dalam Ummah 2009). Definisi operasional dalam penelitian tertuang dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1

Identifikasi Variabel, Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur Dan Skala Pengukuran 326

N Skala

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur o

2. Cairan koloid Cairan berupa HES 500

ml yang diberikan secara intravena 30 menit sebelum pelaksanaan anestesi spinal 1. Mean Arterial

Pressure

MAP yang diukur 10 menit sebelum pelaksanaan anestesi spinal dan 20 menit setelah anestesi spinal

Diperoleh dengan cara melihat catatan Mean Arterial Pressure yang diukur dengan bed side

monitor di ruang operasi Melihat jenis cairan yang diberikan dan dimasukkan dalam

check list jenis

cairan

Sesuai dengan Mean Arterial

Pressure

Rasio

Sesuai dengan Nominal

jenis cairan

yang diberikan

(48)

3 Cairan kristaloid Cairan berupa Ringer Laktat (RL) 1000 ml yang diberikan secara intravena 30 menit sebelum pelaksanaan anestesi spinal Melihat jenis cairan yang diberikan dan dimasukkan dalam

check list jenis

cairan Sesuai dengan jenis cairan yang diberikan Nominal

E. ALAT PENGUMPULAN DATA

Sumber data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data primer. Data primer

adalah data yang diperoleh secara langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek

penelitiannya, baik dari berupa jawaban atau pengukuran langsung (Sugiyanto, 2009).

Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah check list. Check list berisi data tentang jenis cairan rehidrasi yang diberikan kepada pasien dan data Mean Arterial Pressure pasien sectio cesarea dengan anestesi spinal.

F. PENGOLAHAN DATA

Dalam penelitian ini, kegiatan mengolah data dilakukan dengan urutan kegiatan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Achmadi & Narbuko (2010) sebagai berikut :

1. Editing

Mengedit adalah memeriksa daftar jawaban orang tua atas kuesioner. Tujuan dari editing adalah untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada dalam pengisian check list oleh peneliti. Seluruh data pada penelitian ini telah lengkap dan dapat dijadikan data penelitian.

2. Coding

Coding adalah mengklarifikasi variabel penelitian ke dalam kode berbentuk angka. Coding pada penelitian ini dilakukan sebagai berikut :

(49)

a. Kelompok responden

1) Kelompok intervensi : kode 1 2) Kelompok kontrol : kode 0 b. MAP

Data Mean Arterial Pressure tidak dilakukan coding karena merupakan data rasio.

3. Tabulating

Tabulating merupakan kelanjutan langkah coding untuk mengelompokkan data ke dalam suatu data tertentu menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.

G. ANALISA DATA 1. Analisa univariat

Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentase dari masing-masing variabel. Variabel penelitian dalam hal ini adalah variabel Mean Arterial Pressure dan kelompok responden. Agar dapat dianalisa dengan analisis persentase, menggunakan rumus persentase yaitu :

Prosentase : X x100% N

Keterangan :

X : Jumlah responden dalam kategori yang diteliti N : Jumlah seluruh responden

(50)

Uji beda yang digunakan untuk mengetahui perbedaan Mean Arterial Pressure antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi menggunakan Independent Sample T-Test, sedangkan uji beda yang digunakan untuk mengetahui perbedaan Mean Arterial Pressure antara kelompok kontrol atau kelompok intervensi sebelum perlakuan menggunakan Paired Sample T-Test.

Menurut Sugiyono (2007), rumus Independent Sample T- Test yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan : t : t hitung

x : rata-rata kelompok S : standar deviasi kelompok µ : Mean populasi

Sedangkan rumus Paired Sample T- Test adalah sebagai berikut :

Keterangan : t : nilai t

x : rata-rata kelompok S : standar deviasi kelompok n : Jumlah anggota populasi

Pengambilan keputusan dari uji Independent Sample T-Test dan Paired Sample T-Test pada taraf signifikansi 5 % (a = 0,05) adalah :

(51)

a. Ho diterima apabila pv > 0,05

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan, pada penelitian ini penulis akan lebih menyoroti kesatuan gagasan, kepaduan dan kekompakan, penekanan inti

Berdasarkan simpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan sebagai berikut. 1) LPD disarankan memperhatikan risiko kredit (NPL), risiko likuiditas (LDR), risiko

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kejadian hipotensi setelah pemberian preload 500 cc cairan koloid HES 200 kD dan cairan ringer laktat pada anestesi spinal pasien

Dengan demikian dalam melaksanakan proses belajar mengajar dengan penggunaan media pembelajaran yaitu khususnya dengan media audio visual yang dilakukan oleh guru

Durasi siklus menstruasi normal bervariasi antara 21 sampai 35 hari, dengan perdarahan yang berlangsung 4-6 hari dan volume darah yang keluar rata-rata 35 mL.. Menurut Hanafiah

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi karyawan terhadap kompensasi dengan motivasi

demikian, dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel kualitas audit. tidak berpengaruh dalam menentukan ada tidaknya manajemen laba