• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang adalah pembangunan disegala bidang kehidupan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang adalah pembangunan disegala bidang kehidupan."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang sedang berkembang. Salah satu ciri dari negara berkembang adalah pembangunan disegala bidang kehidupan. Pengembangan dunia usaha oleh para pelaku bisnis merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan. Salah satu faktor penting untuk terselenggaranya dunia bisnis selain pelaku bisnis adalah adanya tenaga kerja. Jumlah penduduk yang sangat besar akan sangat menunjang ketersediaan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja yang potensial.

Kondisi perekonomian Indonesia yang terus berkembang semakin mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis dibidang perekonomian. Krisis finansial pada tahun 1997 telah mendorong perubahan besar terhadap sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu melalui program reformasi hukum ketenagakerjaan yang pada hakekatnya menekankan pada mekanisme pasar. Hasilnya adalah diundangkannya 3 (tiga) undang-undang terkait dunia ketenagakerjaan yaitu : Undang-Undang No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB), Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang

(2)

Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.1

UU Ketenagakerjaan secara khusus mengatur mengenai beberapa jenis perjanjian kerja yakni meliputi : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan termasuk pula outsourcing. Pengaturan PKWT dan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai upaya untuk mewujudkan pasar kerja yang fleksibel di Indonesia. PKWT dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan pasar kerja fleksibel yang ditujukan untuk perbaikan iklim investasi ditengah guncangan perekonomian pasca krisis finansial pada tahun 1997.

Persaingan dunia bisnis yang begitu dinamis telah memaksa perusahaan untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Konsekuensi logis dari strategi ini adalah keputusan perusahaan untuk mengalihdayakan atau menyerahkan proses-proses yang bukan merupakan core competence perusahaan tersebut kepihak lain dengan sistem yang disebut sebagai oustsourcing.2 Penerapan sistem ini bermanfaat bagi perusahaan untuk dapat menghemat pengeluaran dalam berbagai sumber daya manusia yang bekerja pada perusahaan bersangkutan. Keuntungan tersebut kemudian mengakibatkan baik PKWT dan outsourcing menjadi pilihan menarik bagi para pengusaha dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.

       1

(3)

Sistem outsourcing telah memiliki landasan hukum sehingga potensi bisnis

melalui sistem ini dimasa datang sangat luas dan menjanjikan.3 Pengusaha seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil dan keuntungan dengan maksimal dengan menekan pengeluaran yang minimal. Pengusaha lupa dengan sejarah yang telah terbukti gaya potong memotong ongkos ini memiliki limit tertentu, baik itu batas ekonomi maupun batas etika.4

Pendataan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemenakertrans RI) per 10 Oktober 2012 yang dilakukan terhadap dinas-dinas yang menangani ketenagakerjaan di tingkat provinsi memberikan gambaran bahwa terdapat lebih kurang 6.239 perusahaan jasa alih daya atau outsourcing dengan jumlah pekerja sebanyak 338.505 orang.5 Hasil investigasi Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) mengindentifikasikan bahwa dalam setiap tahunnya pekerja kontrak dan outsourcing mengalami peningkatan rata-rata sebesar lima persen pertahun yang pada akhir 2011 terdata terdapat 25 juta jiwa pekerja yang berstatus sebagai pekerja PKWT dan outsourcing di Indonesia.6 Data-data tersebut menunjukkan sebuah fakta bahwa sistem outsourcing sudah tidak dapat lagi dipandang sebagai hal sederhana oleh pihak manapun.

       3

Sehat Damanik, 2006, Outsourcing dan Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jakarta, hlm. 20. 4

Gunarto Suhardi, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Universitas Atmaja, Jogjakarta, hlm. 1.

5

Iman Herdiana, “Kemakertrans Awasi 6.239 Perusahaan Jasa Outsourcing”,

http://www.okezone.com, diakses tanggal 12 Maret 2014.

6

Sri Handriatmo Malau, “GSBI Tuntut Dihapuskan Sistem Outsourcing”,

(4)

Pelaksanaan outsourcing di Indonesia merupakan salah satu isu hangat dan

menarik karena menimbukan prokontra dimasyarakat khususnya antara kaum pengusaha dan pekerja. Gerakan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya oleh serikat pekerja/serikat buruh terhadap penerapan sistem ini terus menguat. Tuntutan utama yang dibawa para pekerja ialah penghapusan PKWT dan outsourcing dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Pekerja beranggapan bahwa sistem outsourcing telah mengurangi kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan hak-hak dasar mereka.

Dalam konteks pelaksanaan outsourcing di Indonesia, tampaknya ada benarnya pendapat yang menyatakan bahwa outsourcing lebih berdampak merusak kepada pekerja dan organisasi pekerja daripada pemberi kerja atau pengusaha. Dampak outsourcing di Indonesia adalah rendahnya upah dan tempat kerja yang tidak nyaman. Pihak yang paling menderita adalah pekerja lepas dan pekerja kontrak yang lahir dari mekanisme outsourcing. Pekerja tidak dapat menikmati asuransi sosial, skema pensiun, maupun kenaikan upah berkala yang didasarkan atas masa kerja. Pelaksanaan sistem ini juga dapat menimbulkan perselisihan antara pekerja lepas dan pekerja tetap sebagai akibat adanya perbedaan perlakuan diantara keduanya.

Langkah penting yang dilakukan pekerja untuk merespon permasalahan ini yaitu dengan mengajukan judicial riview kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh Didik Suprijadi yang bertindak atas nama Lembaga Swadaya

(5)

Masyarakat Aliansi Petugas Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Perkara diajukan pada tanggal 4 April tahun 2011 dengan Register Perkara No.27/PUU-IX/2011.

Dalam Pokok permohonannya diajukan permohonan pengujian atas Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Menurut pemohon, ketentuan tentang outsourcing dalam pasal-pasal UU Ketenagakerjaan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 yaitu :

1. bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja hanya untuk keuntungan bisnis MK kemudian melalui Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 menentukan perlindungan dan jaminan bagi tenaga kerja outsourcing melalui 2 (dua) model yang dapat dilaksanakan yakni : Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan

ousourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk PKWTT. Kedua,

(6)

Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) yang bekerja pada

perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing melalui PKWT.

Prinsip TUPE merupakan prinsip yang sudah lama diterapkan negara-negara maju dan ditujukan untuk melindungi hak-hak pekerja dalam situasi perpindahan sehingga memungkinkan pekerja untuk menikmati persyaratan yang sama. Kewajiban perusahaan outsourcing yang baru untuk melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya ditentukan dalam Putusan MK. Prinsip TUPE tersebut pada dasarnya sudah pernah diadopsi dalam pengaturan outsourcing di Indonesia yaitu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No.KEP/101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengaturan prinsip tersebut cenderung tidak efektif dan cenderung diabaikan perusahaan dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang akan merugikan perusahaan outsourcing sehingga perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing cenderung lemah atau tidak mengalami peningkatan.

Kelemahan dalam pengaturan tersebut semakin membuat perusahaan-perusahaan outsourcing bertindak semaunya terhadap pekerja. Konsepsi hubungan hukum yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha seringkali berada dalam hubungan subordinat atau hubungan dimana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin

(7)

parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.7

Efektifitas dari pengaturan konsep pengalihan perlindungan pekerja atau prinsip TUPE yang telah diamanatkan pada ketentuan Kepmenakertrans No.KEP/101/MEN/VI/2004 semakin tereduksi dikarenakan kelemahan-kelemahan tersebut. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di negara- negara maju, dimana prinsip TUPE merupakan salah satu alternatif terbaik yang digunakan untuk melindungi hak-hak pekerja outsourcing yang didasarkan pada PKWT.

Pengaturan mengenai prinsip TUPE ini kemudian diperkuat kembali dalam amar Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 sebagai upaya memberi perlindungan terhadap pekerja yang melaksanakan outsorcing berdasarkan PKWT. Pasca Putusan MK No.27PUU-IX/2011 pemerintah melalui Kemenakertrans RI kemudian merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor.B.31/PHIKSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang mengatur 3 pokok penguatan yang merupakan intisari dari Putusan MK. Pelaksanaan SE tersebut kemudian menjadi lemah karena belum mengatur khusus mengenai ketentuan teknis prosedural pelaksanaan dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

       7

Andari Yurikosari, “PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja”,

(8)

Pada rentang waktu 2012-2013, Pemerintah melalui Kemenakertrans RI kemudian mengeluarkan dua produk hukum baru berupa Permenakertrans No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Perusahaan Lain (Permenakertrnas 19/2012) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.04/MEN/VIII/2013 (SE Menakertrans 04/2013). Kedua produk hukum tersebut merupakan tindak lanjut dari Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 dan penyempurnaan Pemenakertrans terdahulu yang dinyatakan dicabut.

Pengaturan beberapa produk hukum baru sebagai pelengkap dan penunjang pelaksanaan Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terbukti belum sepenuhnya mampu memberi jawaban untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dilapangan ditemukan fakta bahwa hingga hari ini perusahaan-perusahaan outsourcing masih belum banyak yang menerapkan prinsip TUPE untuk pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT. Alasan tidak terlaksananya prinsip ini ialah masih ditemukan kendala sebagai faktor penghambat penerapan prinsip ini dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Diluar kendala tersebut, penerapan prinsip TUPE secara khusus merupakan salah satu alternatif terbaik yang diberikan MK guna meningkatkan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam pelaksanaan

outsourcing berdasarkan PKWT.

Berangkat dari latar belakang tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hukum dalam lingkup hukum ketenagakerjaan Indonesia

(9)

dengan mengambil judul : “Kajian Terhadap Pengaturan Prinsip Transfer of

Undertaking Protection of Employment (TUPE) Sebagai Upaya Perlindungan

Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pelaksanaan Outsourcing Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pekerja dengan pengaturan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 ?

2. Bagaimanakah sinkronisasi pengaturan Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dalam Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE Menakertrans RI No.04/MEN/VIII/2013 terhadap pengaturan prinsip TUPE dalam Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 ?

3. Apakah yang menjadi faktor penghambat perusahaan outsourcing untuk menerapkan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

(10)

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengkaji dan mengetahui keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pekerja dengan pengaturan prinsip TUPE dalam pelaksanaan

outsourcing berdasarkan PKWT pasca Putusan MK

No.27/PUU-IX/2011.

b. Untuk mengkaji dan mengetahui sinkronisasi pengaturan Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dalam Permenakertrans RI No.19 Tahun 2012 dan SE Menakertrans RI No.04/MEN/VIII/2013 terhadap pengaturan prinsip TUPE dalam Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

c. Untuk mengkaji dan mengetahui faktor penghambat bagi perusahaan

outsourcing untuk menerapkan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang ilmu hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, khususnya menyangkut perlindungan pekerja dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT.

b. Untuk melengkapi sebagian syarat akademis guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Magister Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(11)

c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri secara khusus dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari rencana penulisan ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya serta hukum ketenagakerjaan pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya refrensi dan literature dalam dunia kepustakaan dan literature tentang perlindungan hukum terhadap pekerja dalam pelaksanaan

outsourcing di Indonesia.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

(12)

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang sudah diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum ketenagakerjaan dalam hal perlindungan terhadap pekerja outsourcing berdasarkan PKWT.

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan peneliti berdasarkan hasil penelusuran di perpustakaan. Penulisan hukum atau tesis dengan judul “Kajian Terhadap Pengaturan

Prinsip Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pelaksanaan

(13)

belum pernah ditulis oleh siapapun. Penulisan ini merupakan hasil karya penulis bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya lain, kecuali kutipan-kutipan dan ringkasan-ringkasan yang semuanya telah dijelaskan sumber-sumbernya.

Secara umum penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pekerja

outsourcing bukan pertama kali dilakukan. Sebelumnya terdapat penelitian,

misalnya oleh Hans Benardi yang melakukan penelitian tentang “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011”. Penelitian tersebut mengkaji mengenai bagaimana perlindungan hukum dan dampak bagi pekerja outsourcing setelah keluarnya Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 dan kesesuaian aturan hukum bagi perusahaan outsourcing dikaitkan dengan standar penghargaan terhadap pekerja yang diatur dalam International

Labour Organization Equal Remuneration Convention No.100 Tahun 1951.8

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya, yaitu penelitian ini secara khusus akan mengkaji pengaturan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT dikaitkan dengan peningkatan upaya perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang cenderung terpinggirkan. Analisis akan lebih khusus membahas keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pekerja dengan pengaturan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT pasca Putusan MK No.27/PPU-IX/2011, sinkronisasi pengaturan produk-produk       

8

Hans Benardi, 2013, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Di Perusahaan

Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Tesis, Pasca Sarjana Fakultas Hukum

(14)

hukum penunjang pasca Putusan MK (Kepmenakertrans dan SE Menakertrans) terhadap pengaturan prinsip TUPE dalam Putusan MK.27/PUU-IX/2011, serta mengkaji dan berusaha menemukan faktor penghambat perusahaan outsourcing untuk menerapkan prinsip TUPE dalam pelaksanaan outsourcing berdasarkan PKWT. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis atas keasliannya (originalitas).

Referensi

Dokumen terkait

menjadikan penilaian syarat ini begitu mudah untuk diloloskan karena Pemda akan membuat standar yang mudah untuk dicapai. Dengan demikian didalam implementasi

Sebelum tahun 1990an eksekutif hanya diukur kinerja mereka dari perspektif keuangan, sehingga terdapat kecenderungan eksekutif mengabaikan kinerja non keuangan seperti

Pengawasan yang dilakukan Dinas Pendidikan mengenai dana yang bersumber dari sumbangan masyarakat hanya berupa laporan penggunaan dana tersebut pada awal tahun

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya melalui Bidang Permukiman berupaya untuk selalu mereview dan memperbaharui status dari Database infrastruktur,

Dengan penggunaan sistem informasi maka prestasi yang telah dicapai pada tiap pekerjaan dapat langsung diunggah pada database sistem, yang selanjutnya akan diolah dan

Pada hasil penelitian ini diperoleh bahwa terdapat pengaruh tingkat pendidikan orangtua terhadap pengetahuan lingkungan pada siswa SMP/MTs N dan SMA/MAN Adiwiyata

Harpindo Jaya yang selalu memberikan pelayanan terbaik bagi para pelanggannya, harus dan dikembangkan suatu sistem/perangkat lunak baru yang dapat mengatasi segala

Alat Analisis : Regresi Linier Berganda Variabel Dependen : Keputusan Pembelian Variabel Independen : Produk, Harga, Promosi, Tempat, Partisipan, Proses, Bukti Fisik Variabel